DEVANARA

By AliffiyaDza

13K 2.9K 455

[KREATIF DONG, JANGAN BISANYA PLAGIAT DOANG] [SLOW UPDATE] Note : cerita awal berjudul aldevano, sekarang gan... More

PROLOG
1.DANAU DAN AWAL
2.KOTAK DAN KENYA
3.MANSION ALDEV
4.CLUB MALAM
5.TRAGEDI CLUB
6.MENJAUH DARI NARA
8.BERULAH
9.PERINGATAN KECIL
10.TENTANG MIMPI
11.APAKAH BENAR PAPA?
12.MEMBUKA LUKA LAMA
13.BOCAH NYEBELIN
14.PERSOALAN GAVIN
15.CERITA TENTANG ELSYA
16.KELUARGA CEMARA
17.RINDU
18.DERETAN SENDU
19.IBLIS KECIL
20.BIANGLALA
21.HILANG
22.MAAF
23.KETEMU
24.KEMBALI SADAR
25.NARA DAN BOCIL KEMATIAN
26.MANJANYA ANARA
27. DAY WITH DEVAN
28. DATE?
29. CERITA PANTAI

7.JADI SIAPA YANG SALAH?

542 167 12
By AliffiyaDza

"Kalo lo gak bisa jauhin gue, biar gue
yang jauhin lo!"

-Aldevano Felixo-

Nara membuka matanya yang terasa berat. Oh tidak, bukan hanya matanya tapi tangannya pun kini terasa berat.

Nara menoleh ke bawah, melihat benda apa yang membuat tangannya terasa berat.

Nara terkejut saat melihat Aldev sedang tidur, sambil menggenggam tanggannya!

"Devan? Kenapa dia tidur di sini? Kepalanya pasti pegel deh. Devan genggam tangan aku? Sebenernya aku masih marah sama Devan, tapi aku juga gak tega lihat dia."

Nara menatap wajah Aldev yang sedang tidur dengan damainya, jika di perhatikan lebih jelas, Aldev memang tampan, sangat Tampan!

Nara mengangkat tangannya, berusaha melepaskan genggaman Aldev dari tangannya.

Namun alih-alih dilepaskan, Aldev malah semakin erat menggenggam tangannya, seolah tidak ingin Nara pergi darinya.

"Kenapa Devan malah semakain kuat genggam tangan aku?" ujar Nara terheran. "Huh, ya sudah deh biarin aja," lanjut Nara.

Nara kembali memejamkan matanya. Gadis itu tidak kembali tidur, dia hanya memejamkan matanya saja.

Dia lelah!

Nara tersentak saat mendapat usapan lembut di kepalanya.

Siapa yang mengusap kepalanya?

Apakah Aldev?

Ingin rasanya Nara membuka mata, namun dengan cepat ia tahan rasa penasarannya itu.

Suara pintu yang di buka mengalihkan semuanya, tangan itu berhenti mengelus kepalanya.

Dan tangan Aldev yang tadi menggenggam tangannya, kini sudah terlepas. Nara yakin Aldev sudah bangun.

"Kenapa lo di sini? Mau lo apain lagi itu cewek?" ujar Gavin dengan nada yang sinis.

Aldev bangkit dari posisi duduknya itu, dia berdiri di depan Gavin. "Gue tau gue salah, tapi dia juga salah Gav," ucap Aldev membela dirinya.

"Lo masih mau nyalahin itu cewek? Lo mau limpahin semua kesalahan lo ke dia? Iya?" Gavin berusaha untuk tidak kembali tersulut dengan emosinya.

Aldev memejamkan matanya, tangannya terkepal kuat. "Logika aja Gav, buat apa dia ke club kalau dia gak tau akhirnya bakal seperti ini?"

Aldev berjalan mendahului sahabatnya itu. "Gadis bodoh kayak dia memang gak pantas hidup Gav, cuman jadi beban!"

Aldev sudah menghilang di balik pintu. Wajah Gavin merah padam, dia sungguh emosi mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Lo gak jauh beda dari bokap lo Al, sama-sama pengecut!" ujar Gavin dengan geram, dia langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya itu.

Nara membuka kedua matanya saat mendengar suara air di dalam kamar mandi. Gadis itu meringis.

"Devan benar, memang gak seharusnya aku hidup," lirihnya.

"Aku salah, aku harusnya minta maaf sama Devan karena udah nyusahin dia," gumam gadis itu dengan rasa bersalah yang besar.

Gavin keluar dari dalam kamar mandi, wajahnya sudah kembali segar. Perasaan marahnya tadi juga sudah agak mereda.

Lelaki itu meletakkan plastik obat yang tadi dia tebus di apotek depan rumah sakit, dia berjalan mendekati brankar Nara.

"Bangun, gue tau lo pura-pura tidur," ujar Gavin sembari meletakkan plastik itu di atas nakas.

Perlahan Nara membuka kedua matanya, dia melihat Gavin yang berdiri di depannya. Lelaki itu menatapnya dengan wajah yang sulit diartikan.

"Kok kamu tau, aku pura-pura tidur?" tanya gadis itu dengan polos.

"Lo gak pinter akting-nya," jawab Gavin singkat.

"Lo mau makan?" tanya Gavin.

Nara menggeleng. "Nanti aja, sekarang belum lapar," jawabnya.

Gavin mengangguk paham, dia kembali duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.

•••

Gavin mendengus, menatap gadis yang tengah tertidur di brankar dengan kesal. "Kenapa lo mau ketemu sama Aldev," ujar Gavin dengan serius.


"Aku mau minta maaf sama Devan," jawab Nara dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa lo mau minta maaf? Bukannya di sini yang salah itu Aldev," ucap Gavin dengan nada yang naik satu oktaf.

Nara menunduk. "Devan gak salah kok, aku yang salah bukan Devan," lirih Nara.

Gavin semakin geram dengan gadis itu. "Lo tuh bego banget sih jadi cewek!" bentak Gavin kelepasan.

Nara tersentak, dia semakin menundukkan kepalanya karena takut dengan Gavin.

Gavin mengusap wajahnya kasar. "Sorry udah bentak lo," ujar lelaki itu tulus.

"I–iya, gak apa-apa kok," jawan gadis itu.

"Sekarang gue mau nanya, kenapa lo bisa ada di club saat itu." Pembahasan Gavin mulai serius.

"Tatap gue, gue ngomong sama lo bukan tembok," lanjut lelaki itu.

Nara mengangkat kepalanya lalu menatap wajah Gavin. Gadis itu mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir.

"Jadi ..."

Nara menceritakan semua kejadian kemarin tanpa cela, mulai dari dia bertemu Aldev di jalanan, hingga saat dia pulang ke rumahnya dan berakhir di rumah sakit saat ini.

"Devan gak sepenuhnya salah," ujar gadis itu lagi.

Gavin mengangguk, dia sudah paham akar dari masalahnya sekarang.

"Tapi Aldev brengsek, dia udah hancurin masa depan lo."

Nara kembali menunduk. "Devan gak salah kok, Nara yang salah." Gadis itu masih terus menyalahkan dirinya sendiri.

Gavin menghela napasnya lelah. Gadis ini sungguh keras kepala. "Ya udah, gue bakal minta Aldev ke sini," ujar lelaki itu pasrah.

Nara menatap wajah Gavin dengan senyuman. "Terima kasih, Gavin."

Gavin mengangguk. Lelaki itu sedikit terpesona dengan wajah cantik gadis itu.

"Gue ke depan sebentar." Nara mengangguk.

Gavin keluar dari kamar inap gadis itu, dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Membuka aplikasi kontak dan mencari nama sahabatnya di sana.

Sambungan di telepon berdering, dan tidak lama setelahnya ada sahutan di sebrang sana.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak ak–"

Gavin terus mencoba menghubungi sahabatnya itu, namun yang terdengar hanya suara dari mba-mba operator.

Gavin mengela napasnya, dia berjalan menuju basement untuk mengambil motornya.

Gavin memarkirkan motornya di basement gedung apartement Aldev. Lelaki itu langsung masuk ke dalam lift dan menekan lantai nomor 17.

Sampai di lantai 17, lelaki itu langsung menuju pintu apartement sahabatnya itu. Gavin langsung memencet tombol password untuk masuk ke dalam sana.

Yang pertama kali Gavin lihat saat masuk ke dalam adalah gelap. Apartement sahabatnya ini sangat gelap, tidak ada lampu yang menyala, bahkan gorden juga tidak di buka.

Gavin langsung menghidupkan lampu, berjalan menuju balkon untuk membuka pintu balkon agar udara bisa masuk, lelaki itu membuka seluruh gorden yang ada.

Gavin berjalan menuju kamar sahabatnya itu, ternyata di sana kosong dan tidak ada siapa-siapa.

Gavin memutuskan untuk kembali menutup pintu balkon, lalu dia keluar dari dalam apartement dan menjalankan motornya menuju kantor.

"Gue yakin kalau dia gak ada di apartement, pasti dia di kantor," gumam lelaki itu sambil terus melajukan motornya.

Gavin sampai di gedung AV Corporation, dia memarkirkan motornya di depan lobby dan langsung masuk ke dalam.

Banyak karyawan yang menyapanya, namun dia abaikan. Dia langsung masuk ke dalam lift, menuju ruangan CEO.

Gavin mengetuk pintu ruangan itu, kemudian dia masuk ke dalam. Dapat Gavin lihat, sahabatnya itu sangat fokus dengan berkas-berkas yang ada.

"Kenapa Vin?" tanya Aldev tanpa mengalihkan pandangannya.

"Nara nyariin lo, dia mau ketemu sama lo," jawab Gavin yang sudah duduk di sofa sambil memakan camilan yang ada.

Aldev menghentikan pekerjaannya, lelaku itu menaikkan kedua alisnya. "Kenapa?"

"Udah temuin aja, kasian dia. Lagian juga lo harus minta maaf sama dia," ucap Gavin yang masih sibuk dengan camilannya itu.

Aldev menghembuskan napasnya. "Ayo!"

"Lo sendiri aja, gue males balik lagi ke sana," jawab Gavin.

"Ya udah, lo lanjutin pekerjaan gue," titah lelaki itu.

Gavin melotot tidak terima. "Ogah," jawabnya dengan malas.

"Gue tambahin bonus untuk bulan ini," ujar Aldev.

"Oke kalo gitu siap." Gavin mengacungkan jempolnya pertanda setuju.

•••

Aldev membuka pintu ruang inap Nara, lelaki itu masuk dengan tampang datarnya.

Seorang gadis yang tengah asyik dengan ponselnya itu, kini sudah mengalihkan pandangannya untuk melihat siapakah orang yang masuk ke dalam kamar inapnya.


"Kamu datang?" ujar gadis itu masih tidak percaya.

Aldev berdehem. "Iya," jawab lelaki itu.

"Kenapa lo minta gue ke sini?" ujar lelaki itu to the point.

Nara mendengus. "Aku mau minta maaf."

Aldev mengerutkan dahinya. "For what?" tanyanya heran.

"Maaf sudah buat kamu disalahkan tentang kejadian kemarin," ujar gadis itu.

Aldev sedikit terkejut, namun dia berusaha mempertahankan raut wajah datarnya itu.

"Hm," jawab lelaki itu seadanya.

Saat hendak melangkah untuk pergi dari sana, kakinya mendadak berhenti saat suara gadis itu kembali menginstrupsi.

"Tapi kamu juga salah," sarkasnya tiba-tiba.

Aldev membalikan tubuhnya menghadap ke belakang. "Gue?" ujarnya dengan dahi yang berkerut.

"Iya, kamu!" ujar gadis itu setengah marah.

"Gue gak salah," jawan Aldev tidak terima disalahkan oleh Nara.

Nara mendesis. "Kamu salah!" pekik gadis itu.

"Gue gak salah." Aldev masih terus mempertahankan argumennya itu.

"Kamu salah!"

"Gue gak salah. Memang selain untuk minum dan melakukan hal bejad lainnya, untuk apa seseorang ke club? Berenang?" sindir lelaki itu dengan wajah yang sama sekali tidak merasa bersalah.

Nara terdiam lalu menunduk. Apa yang dibilang oleh lelaki di hadapannya ini adalah sepenuhnya benar.

Berenang?

Di club?

Yang benar saja!

Nara semakin menundukkan wajahnya itu. "A–aku juga gak mau ke club itu Dev. Hiks ... Aku juga udah berusaha berontak saat ibu maksa aku kesana ... Hiks ... T–tapi aku tetep aja gak bisa ngelawan ibu Dev, aku harus gimana? Iya aku salah!" Nara memberi jeda.

"Memang aku yang salah! Kalian gak pernah salah! Selalu aku yang salah! Terus kenapa kamu nyelamatin aku? Kenapa gak biarin aku mati aja kemarin! Apa karena kamu mau aku terus hidup dalam rasa bersalah? Iya!" Lanjutnya dengan marah.

Nara menjambak-jambak rambutnya, gadis itu berteriak dengan histeris.

"U–udah Nar lo jangan kayak gini, gue juga salah kok bukan cuman lo," ujar Aldev tidak enak hati, dia tidak tau jika Nara akan merespon perkataannya seperti ini.

"Enggak Dev, kamu gak salah. Ibu gak salah. Aku yang salah. Aku memang dilahirkan untuk selalu menjadi orang yang paling bersalah di dunia ini," ujar Nara menjadi semakin histeris.

Aldev kalap. Dia tidak tau harus berbuat apa, Akhirnya lelaki itu memilih untuk memeluk Nara. Berusaha menenangkan Nara yang kian semakin histeris.

Aldev membiarkan Nara memukul-mukul dada bidangnnya. Dia membiarkan gadis itu menangis sepuasnya di dalam dekapannya.

"Luapin semua emosi lo Nar," bisik Aldev.

"Dev, aku memang selalu salah. Ibu selalu nyalahin aku. Ibu selalu bilang, aku memang seharusnya gak lahir ke dunia ini Dev. Aku gak benci sama ibu, aku gak marah sama ibu. Aku cuman sedih Dev." Nara kembali menjeda ucapannya.

"Kenapa semua orang di dunia ini gak ada yang bisa terima aku? Kamu juga tau aku selalu sendiri Dev. Jangankan untuk berteman, berkenalan saja mereka sepertinya enggan," lirih gadis itu.

Nara spontan membalas pelukan dari Aldev, mungkin saat ini dia memang sedang membutuhkan pelukan.

"Boleh 'kan sebentar aja aku pinjem dada kamu buat jadi sandaran aku. Bentar aja, gak lama kok." Nara memohon.

"Iya gak apa, lo bisa pake dada gue buat sandaran lo kapan aja," ujar Aldev sedikit gugup.

Lelaki itu membiarkan Nara menangis di dadanya. Bajunya mulai basah dengan air mata gadis itu. Tapi tidak apa-apa, dia tidak keberatan sama sekali, toh dia juga bersalah.

"Nara."

Nara mengeratkan pelukannya pada Aldev.

"Bentar Dev aku masih nyaman kayak gini, bolehkan aku peluk kamu sebentar lagi?" ujar Nara memohon.

Aldev kalah. Dia tidak tega melihat Nara memohon seperti ini. "Iya boleh kok," jawab Aldev pasrah.

Nara adalah gadis pertama yang berani memeluk dirinya, selain Mama Aldev tentunya.

Setelah beberapa saat di posisi yang sama, Aldev kembali berbicara. "Bisa di lepas? Kaki gue udah mati rasa," ujar lelaki itu.

Nara dengan cepat melepaskan pelukannya pada Aldev, dia menatap Aldev lalu tersenyum. "Makasih ya Dev, kamu udah minjemin bahu kamu ke aku," ujar Nara.

"Gak masalah," jawab lelaki itu.

•••

Vomentnya jangan lupa ya guys.

See you di next chapter^^

Continue Reading

You'll Also Like

842K 63.8K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
1.3M 120K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 24.3K 10
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
10.6M 674K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...