La Victoiré. ✔

By lunairnight

379K 55.8K 5.8K

NOMIN ╱ JENO JAEMIN Adinata adalah laki-laki yang cukup terkenal di kalangan kampus dan disukai banyak mahasi... More

Prelude
#01: Sebuah Bunga Mawar
#02: Tawaran dari Gavin
#03: Thank You for Saying Yes
#04: Menjadi Orang Tua
#05: He's Mad
#06: Baba dan Ayah
#07: Perkelahian
#08: Went to the Zoo
#09: Impian dan Keraguan
#10: Dilingkup Frustasi
#12: Keluarga Bahagia
#13: His Favorite Place
#14: Hancur
#15: Spend Forever
#16: Sadar
#17: Menunggu Lagi
#18: Cantik
#19: The Answer
#20: Di Bawah Pendar Bintang

#11: Lose Something

11.5K 2.2K 122
By lunairnight

Sudah satu jam Juanda mencoba untuk membolak-balikkan tubuhnya bahkan mengubah posisi tidurnya namun matanya masih enggan menutup. Otaknya seolah-olah dipaksa untuk bekerja terus menerus padahal tubuhnya sudah lelah dan berteriak ingin beristirahat hingga matahari menjemput besok pagi.

Perlahan bibirnya mengumpat tanpa suara seraya menaruh lengannya di atas dahi. Karena pesan Gian tadi, Juanda jadi memikirkannya seharian. Selama ia mencoba untuk tidak memikirkan pesan Gian, selama itu juga otaknya semakin penuh. Lalu akhirnya laki-laki itu memilih untuk mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas dan membuka ruang obrolannya dengan Gian.

Gian brengsek

tanggung jawab lo.

hah? lo 'kan belom gue hamilin.

sembarangan, monyet.
maksud gue yang tadi.
gue jadi nggak bisa tidur.

sini gue tidurin.

JARI LO GUE COPOTIN YA.

YA MAAP.
YA TERUS GUE JUGA HARUS GIMANA???

ketemu di tukang nasi goreng depan komplek kostan gue sekarang.
ada yang mau gue omongin.

mauan.

ANJING.
CEPET GAK.
ATAU BAN MOTOR LO GUE KEMPESIN BESOK.

IYE, MAK.
KUDU BANGET NGEGAS.
CABUT NIH GUE.
PUAS 'KAN.

bagus.

Juanda lantas bangkit dari tempat tidur. Tangannya bergerak mengambil jaket tipis berwarna abu-abu untuk melapisi kaos putih yang ia tengah kenakan. Setelah memastikan Haidar telah tertidur, Juanda bergerak untuk melangkah dengan perlahan agar tidak membangunkan Haidar. Lalu ia pun membuka pintu kamar kost miliknya dan Haidar. Tungkainya kini melangkah menuju tempat di mana ia menyuruh Gian untuk menemuinya—di salah satu tukang nasi goreng paling favorit di daerah tersebut.

"Cepet amat???? Lo kesini kayang apa gimana???" Juanda terkejut saat menemukan Gian sudah duduk manis di salah satu meja sambil tersenyum dan melambai kecil padanya.

"Hehe," Gian hanya tersenyum tak berdosa. "Abis keluar gue. Terus kebetulan deket sini. Jadi tinggal ngesot aja sih." Gian mengendikkan bahunya. Ia memang baru saja kembali setelah nongkrong dengan beberapa anggota UKM yang dekat dengannya dan kebetulan tempat Gian nongkrong tak jauh dari daerah kostan Juanda.

"Geblek, ngesot katanya," tukas Juanda.

"Mau ngomong apa? Lo mau bilang kalo lo mau jadi pacar gue ya? Duh, sori deh, Jun. Tapi ada hati yang harus gue jaga. Cailaaaaaaah," Gian terkikik mendengar lontaran kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri seraya mengirup es teh yang tadi ia pesan sesaat setelah sampai dan duduk di meja.

"Apaan sih nih bocah stress ya. Mimpi aja lo sana sampe saturnus," ketus Juanda. "Gue mau ngomong soal chat lo tadi siang. Maksudnya apa?"

Atmosfer yang tercipta di antara mereka tiba-tiba berubah menjadi lebih serius setelah raut wajah Gian yang berubah dalam sekejap. Jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang sama seraya netranya menatap ke sekitar mencoba berpikir kalimat apa yang pas untuk menjawab pertanyaan dari laki-laki di depannya.

"Lo tau apa yang gue maksud, Juanda." Gian masih enggan menatap Juanda dan memilih untuk mengalihkan pandangan. Hidungnya lalu mengerut dan kembali mengirup es teh dengan gerakan canggung karena Juanda tak kunjung membalas jawaban ambigunya.

"Gue ngerti. Tapi, gue nggak dapet apa poin yang pengen lo sampaiin ke gue," Juanda menunduk sembari memainkan resleting jaketnya dengan asal. "Dan dari mana dia tau coba? Padahal nggak ada yang cerita. Gue juga selama ini tutup mulut—bukan, bahkan gue baru tau."

"Lo sendiri 'kan tau, dia kan emang tipe orang yang emang kayak gitu," balas Gian. "Gue nggak mengelompokkan dan mengomentari orang berdasarkan ini dan itunya atau nuduh-nuduh asal tapi ya memang begitu."

"Terus lo tau dari mana? Jangan-jangan lo kongkalikong sama dia?" tuduh Juanda.

"Ya nggaklah?! Gila aja lo. Gini-gini juga gue masih waras," Gian tak sengaja meninggikan nadanya karena tak terima dirinya dituduh secara tak bedasar seperti itu. "He used to be my best best friend. Gue tau gimana sifatnya. Ya nggak susah juga buat baca ekspresi sama gerak-geriknya. Kentara banget lagian."

"Terus lo mau ngapain? Mau berantem sama dia gitu?"

"Yang itu juga enggak. Tapi, liat nanti ajalah. Kalo dia udah keterlaluan ya gue maju. Kalo dia masih bisa mikir dan mau main rapi, gue juga bisa," Gian tersenyum miring, sontak mendapat komentar dari Juanda. "Sok banget lo berasa superior bener."

"Halah bacot lo juga nggak bantu," balas Gian tak mau kalah.

"Just watch me out."

Nata baru saja berhasil membuat Jihan tertidur. Sedaritadi anak itu rewel sekali entah karena apa. Mungkin memang karena sudah memasuki jam tidurnya dan ia mengantuk. Kini, Nata tengah menatap ke luar jendela kamar Gavin. Entah kenapa belakangan ini Jihan lebih mudah tertidur lelap di kamar Babanya. Padahal ia juga mempunyai kamar sendiri semenjak anak itu diputuskan untuk diadopsi oleh Gavin dan Nata. Untuk Nata sendiri, biasanya tidur di kamar tamu atau tidur bersama Jihan. Walau sesekali masih pulang ke kostan karena merasa tak enak terus menerus menginap di rumah orang.

Tiba-tiba sebuah lengan melingkar di perut Nata. Membuat laki-laki itu berjengit kecil sebelum menolehkan kepalanya dan menemukan Gavin dengan wajah lelahnya tengah menaruh dagu miliknya di atas bahu kanan Nata.

"Sorry. Sebentar aja."

Nata menghela napas berusaha menetralkan degup jantunya. Antara terkejut karena tingkah Gavin yang terlalu tiba-tiba, atau memang ada gelenyar aneh yang menggelitik perutnya setiap kali laki-laki itu berada di dekat sang laki-laki yang lebih tua. Akhirnya Nata mencoba mengabaikan Gavin dan kembali menatap ke arah jendela. Rintik-rintik kecil hujan terlihat menghiasi kaca bening itu, ditambah suhu kamar Gavin yang kian menurun membuat Nata sesekali bergidik kedinginan.

"Kenapa?" tanya Nata pelan dengan nada lembut pada Gavin seraya mengelus tangan laki-laki itu yang melingkar pada pinggangnya. "Capek. Lagi banyak tugas," jawab Gavin seadanya lalu kembali melesakkan wajahnya pada ceruk leher Nata. Namun, Nata tahu bahwa ada hal lain yang mengganggu Gavin hingga membuat laki-laki itu tidak tenang.

"You know, you can tell me," bisik Nata. Ia lantas membalikkan tubuhnya, masih dengan lengan Gavin yang setia melingkar di pinggangnya seolah tak mau bergerak dan ingin terus menerus memeluk pinggang ramping itu. "Lucu, ya." Gavin tertawa hambar.

"Apanya?"

"Padahal kamu yang mau pergi. Padahal aku nggak ada hak buat nahan kamu di sini. Tapi, kenapa rasanya kayak aku nggak ikhlas?" Gavin menundukkan kepalanya, "Aku belum kenal kamu se lama itu, belum juga tau gimana sifat kamu sampai se dalam itu. Bahkan mungkin kamu anggap aku cuma karena aku Babanya Jihan. And thinking about it, make me hurt even more ... sorry, Na."

Nata sedikit terkejut dengan apa yang baru saja Gavin katakan. Selama ini mereka memang tidak seterbuka itu terhadap satu sama lain walau sesekali mengeluh saat terlalu lelah dengan tugas yang juga dibarengi oleh kewajiban mengurus Jihan. Status mereka juga tidak jelas akhirnya seperti apa. Tapi, Nata percaya Gavin, dan begitu juga sebaliknya. Menurut Nata, itu sudah cukup. Ia juga tidak ingin meminta lebih. Selama Jihan dan Gavin juga bahagia, ia bahagia.

Tapi, hari ini rasanya berbeda.

"Gavin, listen to me," Nata bergerak mengelus pipi Gavin dengan pelan. "Kenapa mikir gitu? Walaupun kita belum kenal lama dan sedeket itu, aku selalu nyaman ada di deket kamu, karena kamu itu Gavin. Dan walaupun kamu mikir, kamu nggak punya hak atas aku, itu juga sebabnya aku selalu minta pendapat kamu dulu sebelum mutusin apapun. Itu karena aku mau kamu nggak ngerasa sendiri dan selalu ngerasa dibutuhin. Aku nggak pernah anggap kamu sekedar Babanya Jihan, you're more than it. You're Gavin and nobody else can be you. Aku percaya sama kamu, Vin. Dan kamu tau, kepercayaan itu hal yang penting buat aku,"

"Aku juga udah mikirin tentang rencana lanjut kuliah S2ku secara matang-matang." lanjut Nata.

Gavin lantas menatap wajah Nata sembari melebarkan matanya, "Bener? Terus gimana? Kamu jadi keluar negeri?" tanyanya bertubi-tubi.

Nata terkekeh, lantas menggeleng, "Nggak jadi. Aku pikir saat ada orang yang bilang 'sometimes we have to lose something to gain another thing' itu bener. Ada hal yang lain yang lebih mau aku jaga dan perjuangin walaupun rasanya masih berat dan aku masih mencoba buat rela."

"And what is that?"

Nata menoleh ke arah Jihan. Anak perempuan cantiknya yang tengah terlelap dengan begitu tenang. Membuat hati Nata menghangat dan seulas senyum tipis tercipta dengan otomatis di wajah Nata. "It's her," Nata lalu menatap Gavin kembali. Kali ini, tatapannya lebih teduh. "And it's you."

"But, why? Na, aku nggak mau jadi penghalang ka—"

"Because it's you from the start. It's always been you, Vin."

Gavin lantas memeluk Nata dengan erat. Seolah ia takkan bisa lagi memeluknya di hari esok. Kini Gavin mengerti, bahwa presensinya itu sangat berharga di hidup Nata lebih dari apa yang ia bayangkan selama ini. []

Continue Reading

You'll Also Like

962K 78.3K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
6.8K 751 5
『 end! sad romance // short 』" Kau bilang peran kekasih dan sahabat itu sama, yang membedakan hanya rasa. Untuk apa aku memiliki kekasih bila aku men...
193K 29.9K 54
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
89.3K 8.2K 30
Dia datang di waktu yang tidak tepat. Memberikan secercah harapan baru dan kehidupan yg baru pula. Memberanikan diri untuk terjun ke dalam jurang hit...