#16: Sadar

10.4K 1.9K 198
                                    

"NYETIR TUH YANG BENER, BANGSAT! GUE NGGAK MAU MATI MUDA, GIAN ADITYAAAAAA!" seru Juanda seraya berpegangan pada lengan Gian yang tengah menyetir di sebelahnya.

"Heh, mulut," tegur Gian. "Gapapa, Jun. Kita seru-seruan dulu. Nah 'kan, dikejar polisi. Ayo kita main kejar-kejaran, Paaaak!" Gian malah melaju semakin kencang membelah jalanan. Membuat mobil polisi yang sedaritadi mengikutinya juga ikut melaju lebih cepat.

"HEH, SUPRIATO. LO KALO GELO JANGAN DIBORONG SEMUA MAKANYA. BERENTI, NGGAK?! LO MAU MASUK PENJARA GARA-GARA NGELANGGAR RAMBU LALU LINTAS?"

"Ssssh. Diem, sayang," balas Gian, masih fokus mengemudi mobilnya. Sedangkan Juanda melotot pada laki-laki di sebelahnya itu.  "Sayang-sayang, pala lo kotak! Lo lagi dikejar polisi, anjir. Bisa-bisanya!"

"Ya, makanya diem dulu."

Tiba-tiba suara aneh terdengar. Seperti suara beberapa mobil yang berhenti tiba-tiba. Hampir saja terjadi kecelakaan lalu lintas kalau saja mobil polisi tadi tidak berhenti di pinggir jalan. Sedangkan Gian tersenyum puas karena mobil polisi itu terjebak di antara mobil lain, "Nah. Apa kata gue. Makanya diem dulu aja. Polisi gituan mah nggak ada apa-apanya sama gue." ujarnya congkak.

"Tai! Mobil lo 'kan, bisa dilacak, bodoh."

"Lah iya juga ..." Gian berpikir sejenak, "Ya udah abis ini langsung gue buang aja. Biar kagak bisa dilacak." Gian lalu berujar dengan santai seolah sebuah mobil hanyalah permen karet yang bisa dimakan-buang seenaknya.

Juanda meringis menatap laki-laki itu. Gemas untuk tidak menjitak kepalanya hingga membuat sang empunya kesakitan.

"YA TUHAN. GUE MAU JENGUK NATA AJA COBAANNYA BANYAK AMAT. SAMA ORANG TOLOL PULA," keluh Juanda menyindir Gian.

Sudah seminggu.

Oh, tidak. Hampir seminggu.

Hampir seminggu Nata terbaring lemas di atas kasur rawat inap rumah sakit, dan selama itu juga Gavin menemaninya pagi malam. Gavin selalu ada di samping laki-laki manis itu. Bahkan memaksa untuk tidak masuk kuliah agar bisa menetap di rumah sakit menjaga Nata. "Bang, makan dulu, elah. Badan lo udah kayak lidi tau nggak? Masih aja nggak mau makan," bujuk Calvin. Namun, Gavin tetap menggeleng. Ia hanya ingin menemani Nata.

"Nggak usah. Gue gapapa," balas Gavin. Netranya masih menatap Nata dengan lekat. Seolah takut napas laki-laki itu tak lagi terdengar.

"Gapapa apanya? Badan lo udah krempeng begini. Nanti gue yang kena omel Mama gara-gara nggak bisa bujuk lo. Ayo cepet makan. Gue yang gantian jagain Nata."

"Nggak mau, ya, nggak mau, Cal." tegas Gavin.

Calvin hanya bisa menghela napas melihat kembarannya. Namun, hatinya juga merasa iba. Ia tahu mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk Nata juga berdoa agar laki-laki itu segera siuman dari komanya.

"Gavin?" Tiba-tiba sebias suara menyeruak di ruangan tersebut. Gavin menoleh saat namanya dipanggil. Itu Brandon, bersama Haidar di sampingnya. Gavin lantas berdiri, "Hai." balasnya canggung.

"Gimana keadaan Nata?" tanya Haidar seraya menghampiri sahabatnya tersebut.

Gavin mengulas senyum tipis, "Nggak ada perkembangan baru. Tapi, kemarin dia udah berhasil ngelewatin masa kritisnya dan masih koma sampe sekarang. Kata dokter, kita cuma perlu tunggu dia bangun. Mungkin, sedikit lebih lama karena pendarahan di kepalanya cukup parah." jelas Gavin.

Brandon menghampiri Gavin, berdiri di sebelah laki-laki itu sembari menepuk pundaknya pelan. Bermaksud menyalurkan semangat padanya. "Yang kuat ya, Vin. Percaya Nata pasti bakal siuman." ujar Brandon. Gavin hanya tersenyum sebagai respon.

"Na, lo kapan mau bangun? Ayo bangun. Main sama Haidar sama Juan lagi. Nata nggak kangen sama kita? Sama anak lo juga, Na." Haidar tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. Lantas pandangannya beralih pada Gavin, "Maafin gue. Kalo aja waktu itu gue nahan Nata buat nggak ke minimarket, pasti Nata bakal baik-baik aja."

Gavin menggeleng, "Itu bukan salah lo. Emang udah kehendak Tuhan. Gue yang telat sadar sama semuanya. Harusnya gue lebih waspada dan jagain Nata lebih awal."

"Pelakunya udah ditangkep, Vin?" tanya Brandon.

"Gue udah tau siapa pelakunya."

"Hah? Lo udah tau? Berarti udah ditangkep sama polisi dong?"

Gavin menggeleng lagi, "Belom. Nanti gue urus. Tapi, nggak sekarang. Gue mau fokus sama kesehatan Nata dulu kalo sekarang. Yang penting Nata siuman dulu."

Brandon mengernyit heran. Tapi, kemudian memilih untuk tidak mencampuri urusan Gavin dan Nata karena ia tahu Gavin bisa mengatasi semuanya sendiri. "Gav—Haidar?" Haidar menolehkan kepalanya tatkala merasa namanya dipanggil oleh seseorang. Di sana, di ambang pintu ada Juanda yang tengah menatapnya terkejut, juga Gian yang berdiri di belakang laki-laki itu sembari makan permen lolipop. "Lo sejak kapan ada di sini?" tanyanya.

"Sejak tadi. Tuh sama Kak Don," Haidar menunjuk Brandon dengan dagunya setelah ia menghapus air matanya yang masih ada di pelupuk mata dengan cepat.

"Rame banget buset dah," komentar Calvin. Laki-laki itu sebenarnya sudah menyerah membujuk Gavin dan memilih untuk bermain game di ponselnya sejak tadi. "Udah mending sono lo makan, Bang. Banyak yang jagain Nata tuh. Gue juga di sini."

Juanda mendekat ke arah kasur tempat Nata terbaring, "Lo belom makan, Vin? Gila, ya? Udah jam 2 siang, anjir. Lo mau sakit?"

"Gue nggak nafsu makan, Jun." balas Gavin asal.

"Biarpun nggak nafsu juga harus makan. Nanti Nata sembuh, lo mau gantiin dia yang tidur di atas bangsal gini?" Juanda masih marah.

"Kalo bisa dituker mah, gue juga rela. Dari pada gue liat Nata kayak gini," ujar Gavin pelan. Lantas semuanya bungkam. Juanda sadar, ia salah mengatakan kalimat pada Gavin.

"Vin," panggil Brandon. "Makan dulu aja. Santailah kayak sama siapa aja. Nanti kalo Nata udah sadar atau gimana, gue langsung kabarin lo. Lo makan dulu aja." Brandon ikut membujuk Gavin.

"Gapapa, Bang."

Gian yang kesal lantas mendekat ke arah Gavin dan mengangkat kaos laki-laki itu dari belakang layaknya sebuah barang. "Ayo cepet makan. Mumpung gue lagi baik. Gue traktir dah. Cepetan."

"Kagak mau guenya, Bopak."

"Sialan lo. Bagus gue tawarin. Lo nggak mikir apa itu Nata nanti malah nangis atau sedih pas sadar ngeliat lo udah kayak orang-orangan sawah begini???"

Ucapan Gian ada benarnya juga. Tapi, tetap saja. Gavin masih khawatir terhadap keadaan laki-laki manis itu. Pun ia menghela napas, "Ya udah gue makan. Tapi, makanannya gue bungkus aja. Jagain bentar, ya. Nanti gue balik."

"Na, aku beli makan dulu, ya." Gavin meraih tangan Nata yang dingin sebab suhu ruangan yang turun. Lalu tanpa sadar Gavin menangkap gerakan kecil dari tangan milik Nata. "Na???" panggilnya.

Semua orang yang ada di ruangan itu lantas mendekat, "Nata udah sadar??? Na, lo bisa denger suara gue, 'kan? Na???"

Setelahnya kelopak mata milik Nata bergerak. Sedangkan tubuh Gavin rasanya ingin melayang. Ada binar bahagia saat ia melihat mata indah itu terbuka lagi. Namun, semuanya langsung berubah saat Nata melontarkan pertanyaannya.

"Kamu ... siapa?" []

La Victoiré. ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя