#15: Spend Forever

10.3K 1.9K 117
                                    

Gavin berlari dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit, yang lantas membuat beberapa orang yang juga tengah berada di sana menatap Gavin dengan tatapan bertanya-tanya. Tapi, persetan dengan itu semua. Hatinya sangat gelisah tentang bagaimana kondisi Nata sekarang. Napasnya tercekat saat melihat mamanya tengah menangis di bangku panjang khas rumah sakit yang terletak di sebelah pintu ruangan tempat Nata dirawat. Dengan Calvin yang tengah menepuk-nepuk bahu sang wanita paruh baya sembari mengelus pelan bahunya, dan Jihan yang tertidur di kereta bayi.

"Mama," panggil Gavin seraya menghampiri sang ibu dan adik kembarnya. Mama Gavin lantas mendongak. Matanya sembab. "Keadaan Nata gimana?" tanyanya.

Mama Gavin langsung menghambur ke dalam pelukan anak pertamanya tersebut, "Nata ... masih kritis. Tadi, ada orang yang sengaja nabrak dia. Tapi, orangnya kabur." jawab Mama Gavin. Suaranya teredam pada bahu kokoh anaknya itu.

Gavin diam-diam menggeram. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Gilang dan Vincent?

Ia lantas mendesah kasar yang terdengar begitu frustasi. Sekarang ia harus apa? Menunggu Nata di luar sini di saat hatinya tidak bisa tenang memikirkan bagaimana keadaan laki-laki manis itu? Rasanya Gavin bisa gila. "Boleh masuk, nggak, Ma?" tanya Gavin yang diangguki oleh sang mama, "Tapi harus satu-satu. Kamu masuk aja gih. Mama sama Calvin tunggu di sini. Kata dokter nggak boleh lama-lama. Biar Natanya istirahat."

Gavin mengangguk paham. Setelahnya ia menguraikan pelukannya dengan sang wanita dan beranjak masuk ke dalam ruangan penuh alat-alat medis itu dengan perlahan. Bau obat-obatan langsung meruak berlomba-lomba masuk ke dalam penciumannya. Gavin menatap sendu pada laki-laki yang terbaring lemah di hadapannya setelah sebelumnya ia diharuskan menggunakan baju steril oleh salah satu perawat di sana.

Laki-laki itu duduk di samping Nata. Mengenggam tangan Nata yang dipakaikan dengan jarum infus erat, "Na, ayo bangun." bisiknya sendu.

"Waktu itu kamu bilang kita harus bareng-bareng, 'kan? Sama Jihan juga. Kenapa jadi kamu yang sekarang malah kayak gini, Na? Ayo bangun. Kita pulang. Aku janji abis ini aku bakal jagain kamu terus, ya?" Mata Gavin berkaca-kaca. Ia menarik napas mencoba agar air matanya tak mengalir. "A—ayo kita nikah, nanti. Atau kalau kamu nggak mau juga gapapa. Tapi, kamu bangun, ya?"

Kepala Gavin menunduk. Menumpahkan segala emosinya di sana karena ia gagal menahan tangisnya. Lalu tanpa sadar Gavin terisak sembari kembalk berbisik meskipun tak peduli apakah Nata akan mendengarnya atau tidak.

"I'll wait. Even if it's spend forever to wait you here, I'll do. I'll spend forever, Na."

"Dar, you okay?" tanya Brandon sesaat setelah ia melihat Haidar yang sejak tadi melamun di kantin. Bahkan makanannya belum tersentuh sama sekali. Tentu saja ini adalah pemandangan langka. Biasanya Haidar adalah seorang yang hiperaktif. But, today he seems off. Haidar masih belum menjawab. Hingga Brandon harus melambaikan tangannya di depan laki-laki itu, "Earth to Haidar???"

Haidar tersadar, lantas menggeleng. Menarik kembali kesadarannya keatas permukaan, "Ya, Kak? Kenapa?" balas Haidar linglung.

"Are you okay? Is there something bother you? You can tell it to me. I'm all ears," ujar Brandon.

"Ngomong apa sih? Teu nyaho. Urang mah orang Sunda. Susundaan kieu weh mun rek nyarios teh. Boder boder naon? Sono ngomong sama tembok!"

Brandon meringis. Hampir saja lupa kalau Haidar itu tidak fasih dalam bahas Inggris seperti dirinya yang seringkali mencampur bahasa dalam percakapan. "Oh, sori. Maksud gue, kalo lo ngerasa nggak enak, lo bisa cerita sama gue. Gue bakal dengerin, gitu. Eh, tapi kalo lo nggak mau cerita juga gapapa. Gue nggak mak—"

"Kak, lo bisa nggak sih sehari aja nggak buat gue jatuh sama lo?" Haidar menatap Brandon tepat di matanya. Sedangkan yang ditatap hanya mengernyit keheranan, tidak mengerti apa yang Haidar katakan. "Hah? Lo jatuh di mana?" tanya Brandon dengan wajah polosnya.

Haidar menghela napas kasar, jadi begini kalau sedang berbicara dengan orang yang bodoh dalam perihal perasaan. "Gue suka sama lo, Kak. Ah, gue jatuh cinta sama lo, Kak. Lo nggak sadar, 'kan? Dan lo juga nggak mungkin suka balik sama gue. Tapi, gapapa. Ya udah gue pamit dulu."

Haidar baru saja ingin bangkit dari tempat duduknya. Namun, lengannya ditahan oleh Brandon. Laki-laki berdarah Kanada itu tersenyum tipis penuh arti. "Lo tau apa tentang perasaan gue, Dar? Lo aja nggak pernah bilang itu. Gue juga suka sama lo, asal lo tau. Mungkin jauh sebelum lo suka sama gue. Tapi, gue selalu takut ditolak kalo gue nembak lo. Makanya selama ini gue selalu bohong setiap mau ngajak lo ke mana-mana. Padahal itu gue mau berusaha deket sama lo."

Haidar melotot tak percaya. Jadi ... selama ini?

"Lo bohong, 'kan, Kak?" tanya Haidar masih dengan nada tak percaya. Bisa saja semua ini hanya ada dalam alam mimpinya. Atau sekarang ia tengah pingsan?

"Iya."

Haidar mengernyit, namun ekspresinya memaklumi walau ada kecewa disana. Bahunya terkulai lemas lalu kembali terduduk di atas bangku, "Tuh kan gue kata juga apa. Pasti gue lagi mim—"

"Iya, nggak mungkin bohong, maksudnya," Brandon terkekeh. Lantas kedua tangannya mengenggam tangan milik Haidar yang begitu pas mengisi kekosongan di jarinya. Kedua netranya menatap milik bola mata Haidar dalam seolah ia tengah menyelam di dalam sana, "Gue bukan orang yang romantis yang bisa nembak lo di taman yang ada bunga-bunga sama lampu. Tapi, gue jujur soal perasaan gue. Perasaan gue lebih besar dari itu."

Ada jeda dalam ucapan Brandon. Ia menarik napasnya sebentar. Berusaha mengontrol dan mencoba mengatakan semuanya perlahan. "Udah lah, ya. Gue nggak mau banyak basa-basi. Gue nggak pinter ngomong juga. But, I swear to God, gue bakal jagain lo kayak yang seharusnya. Gue bakal mencintai lo lebih dari yang lo punya. Gue bakal di sini disamping lo saat semuanya berat. Jadi, lo mau nggak jadi pacar gue?" tanya Brandon.

Napas Haidar tercekat. Tidak mengira hari seperti ini di mana ia benar-benar ditembak oleh Brandon akan tiba. Tadinya ia pikir mengatakan perasaannya pada Brandon adalah suatu kesalahan besar yang mungkin akan sangat memalukan baginya. Namun, itu semua berbanding terbalik dengan ekspetasinya.

"Beneran ... Kak?" Haidar masih tak percaya. Membuat Brandon terkekeh kecil melihat tingkah lucu laki-laki di depannya itu yang terlihat berlipat-lipat kali lebih imut dengan mata bulat layaknya bulan purnama.

"I swear, I'm a man of my words," Brandon mengangguk tegas menjawab pertanyaan yang Haidar lontarkan. "Jadinya mau nggak jadi pacar gue nih?"

"Y—ya, maulah!" jawab Haidar dalam jeda kurang dari setengah detik.

Brandon tertawa, "Beneran?"

"Beneran!"

"Good," balas Brandon. "WOI KALIAN SEMUA, MULAI HARI INI DAN SETERUSNYA HAIDAR JADI PACAR GUE. JADI LO SEMUA JANGAN ADA YANG BERANI DEKETIN DIA!" seru Brandon pada seisi kantin secara tiba-tiba. Membuat pipi Haidar mengeluarkan rona merah.

"Gila nih cowok!" tegurnya sembari memukul lengan Brandon pelan, malu.

"Iya, sayang?" balas Brandon dengan jahil. Lantas Haidar mehambur dalam pelukan kekasihnya itu. Menenggelamkan kepalanya di dada Brandon.

Hari itu, perjalanan kisah asmara Haidar dan Brandon baru saja dimulai. []

ㅡnotes:
Halo 😬 Dua chapter ini tipis-tipis dulu ya hahahah trailer ke bagian akhir cerita nanti. Jadi maaf kalau narasinya pendek.

La Victoiré. ✔Where stories live. Discover now