Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18.3K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 3.11

48 15 22
By monochrome_shana404

Peperangan terus berlangsung hingga menjelang fajar. Itu juga belum tentu terhitung usai. Barangkali jika diminta untuk datang sebagai bala bantuan pun, toh kejadian malam ini akan terulang.

Pasalnya, memang Leona tetap melempar pasukan-pasukan cadangan guna menyaring habis tikus-tikus di dalam selimut itu. Risikonya memang besar, mereka harus terus melawan jumlah yang nyaris serupa sebagaimana peperangan di malam hari, tetapi agaknya mereka tak memiliki pilihan lain. Ya, sebab jelas para pengkhianat tidak tinggal diam di sana. Pastilah tak menutup kemungkinan mereka mencari jalan untuk memorak-poranda Hokkaido dan Kumamoto.

Kegiatan berpikir berlebihan ini teramat menyakitkan lagi melelahkan. Jatah istirahat begitu singkat, tetapi tak sedikit pun Leona berminat memanfaatkan waktunya.

Kala matahari bersinar, sendu menyiram kota dengan secercah kehangatan. Usaha sang mentari tak juga mampu mengusir dingin, Leona mendengkus pun menciptakan uap yang kabur lebih cepat. Yah, apa pula yang mesti diharapkan jika pendar matahari hanya memperburuk suasana hati sekarang?

Betapa tidak. Kini mereka mampu melihat kehancuran distrik lebih jelas ketimbang kala malam. Sisa-sisa asap dari sejumlah ledakan masih membumbung sebisanya, jalanan mulai tampak rusak berhias mayat-mayat berserak.

"Semoga kalian diterima di sisi-Nya," bisik Leona refleks meletakkan tangan di atas jantung.

Sudah sepatutnya ia berterima kasih kepada mereka yang telah berkontribusi melindungi pusat. Sulit menjadi saksi di tengah riuh peperangan, tetapi sepintas ingatan dari sekilas penglihatannya dalam gelap murni terngiang di kepalanya.

Misalnya salah seorang prajurit yang enggan mundur meski salah satu matanya pecah akibat peluru yang akhirnya berhasil menerobos pelindung kepala. Ya, Leona menyaksikannya terus menyerang dan bertahan.

Tahu-tahu di pagi ini mereka kembali dipertemukan dengan dirinya yang telah tinggal nyawa. Napas Leona tertahan memandangi prajurit di atas tandu yang tewas menerima luka cakaran besar dari dada, menjalar hingga perut.

"Ratu mungkin memang tidak akan marah soal ini," gumamnya tepat sebelum ia mengibas tangan mengisyaratkan para penggotong jasad tersebut segera enyah dari hadapannya. Lantas ia berbalik dan mendongak kepada gedung perusahaan yang terdapat kerusakan minor.

Ya, dia mengeluhkan para pengkhianat yang konon nekat menyerang gedung dari kejauhan. Beruntung sekali orang-orang di dalam sana sudah lebih dulu diungsikan sehingga mereka bisa melanjutkan tugas pemantauan.

Entah situasi ini juga menguntungkan, tetapi sinyal lokal yang hanya diperuntukkan para prajurit memudahkan Leona menyembunyikan situasi dari Kirika.

Yah, setidaknya untuk saat ini.

Sembari menekan tombol pada pelindung kepala yang begitu cepat menyusut berubah wujud menjadi kacamata pelindung, Leona melangkah memasuki gedung temaram. Dengan begini ia mampu menyapu pemandangan lobi yang porak-poranda. Pecahan kaca berserak di lantai bersama satu dua pot keramik besar tumbang memperparah suasana.

Akan tetapi kini bukan waktunya menjadikan masalah kecil sebagai pemicu stres utama. Cepatlah ia beralih menuju lift terdekat, lantas turun satu lantai di mana ruang pemantauan berada.

Sesampainya ia mendapatkan sosok Aoi yang berfokus kepada monitor, ia berceletuk, "Mendapatkan kabar dari Yokohama?"

Ya, seharusnya Kirika tiba kurang dari satu jam setelah keberangkatannya. Sayang, jika diterka-terka kabar sang Madam berdasarkan muramnya ekspresi Aoi yang ia tangkap, agaknya mereka tidak mendapatkan kabar baik.

"Helikopter yang ditumpangi Madam dilaporkan menghilang di jalur udara Kawasaki. Kemungkinan terserang dan terjatuh, sebab riuh dan serangan sempat terdengar dari rekaman."

Akan tetapi, siapa sangka kabarnya akan muncul seburuk itu?

Leona bahkan sempat menahan napas. Namun, semestinya ia tak perlu heran. Toh, dia selalu percaya dengan setiap refleks Kirika. Untuk kesekian kalinya, dia pasti selamat dalam maut.

"Kami sedang mencari kabar terbaru dari pemantauan pusat." Kali ini Nina yang bersuara. "Memang sepatutnya kami harus tenang, tetapi tetap saja ...."

"Sebaiknya kalian berfokus kepada misi utama. Biarkan mereka melacak keberadaan Madam," tukas Leona. Tampak cuek dirinya, tetapi tanpa ia tahu, Adam sendiri mampu menangkap kilatan cemas di manik kebiruan itu. "Kirika berkali-kali mengarungi dan menantang maut ribuan kali, bahkan sebelum ia memimpin perusahaan ini. Jadi memang kalian tak perlu mengkhawatirkannya sekarang."

Benar ucapan Leona mengenai Kirika.

Helikopternya memang hancur tepat ia mencapai perbatasan Kawasaki setengah jam lalu. Pilotnya ikut tewas di dalam karena tak sempat minggat dari kursi, tetapi dua prajurit serta Edward dan Kirika berhasil terjun bersama parasut dari serangan bazoka. Cepat-cepat mereka mengatur formasi, bersembunyi dan melawan musuh yang mulai mendekat.

Sembari menyerang, Kirika segera dihadapkan dengan monster seukuran delapan kaki. Dentuman langkahnya menghancurkan aspal jalanan, tangan-tangan yang terseret-seret penuh lecet menggulingkan kendaraan yang kemudian berbunyi nyaring alarmnya. Lantas ia aktifkan sepatu roda elektrik yang tersembunyi dari tapak botnya, menyusuri jalan, mengelak dari bagian yang berlubang, pula melangkahi bermacam kendaraan yang tumbang.

Dari kaca pelindung kepalanya, terdeteksi musuh yang bersembunyi di balik sana. Sebelum mereka angkat senjata, Kirika lebih dulu menembakkan peluru ke ulu hati, juga kepada anggota gerak mereka sebelum ia hampiri dan ia tikam menggunakan bilah dari tangan prostetiknya. Dia melompat, mendarat mematahkan leher salah seorang prajurit musuh. Cepat ia berputar menyerang musuh yang tersisa di balik punggung dengan sabetan sepatu yang telah berganti wujud dari roda ke bilah, mengakibatkan botnya penuh oleh bercak darah.

Kembali meluncur dirinya kepada yang ia tuju dengan kecepatan tinggi. Begitulah ia mampu melompat tinggi menyabet mulut monster hingga daging rahangnya terbelah. Belum juga menjerit musuh besarnya, ia beralih menginjak bahu, lantas mengoyak punggung hingga tampak tulang belakangnya.

Sesampai di tengah ia sekuat tenaga melompat menjauh, lalu berbalik melemparkan pedang yang tersemat di pinggang belakang. Demikian ia mendarat sempurna, lantas tembakan dari kejauhan terdengar menggema. Terlihat si monster mendongak sebab sorongan peluru yang menyerang otaknya, melambat gerakannya, mulai patah-patah lagi kaku.

Monster tersebut akhirnya tumbang. Barulah Kirika bisa menoleh kepada muasal tembakan.

Tampaklah Edward berlutut bersama sniper di tangannya dari kejauhan. Dia mengembuskan napas lega, lantas tersenyum lebar kepada sang Madam.

"Ah, selalu mengambil langkah yang tak terduga, ya," gumam Kirika sembari menyungging senyum miring untuk Edward yang meluncur kepadanya. Sesampainya pria muda tersebut di hadapannya, ia lalu meneruskan, "Kau tahu, aku tak senang berhutang."

"Sudah merupakan kewajiban saya, Madam. Sungguhan tak masalah. Saya sedang berusaha bersenang-senang di tengah ketegangan ini."

"Rasanya seperti sedang bermain permainan FPS*, benar begitu?" Kemudian ia berbalik menghadap matahari yang tengah bangkit dari tidurnya. "Sekarang kita memiliki perjalanan yang panjang menuju Yokohama."

Hasil latihan selama di markas sepatutnya tak mengundang Edward mengeluh. Dia bahkan meragukan lari sepuluh kali keliling lapangan markas dua hari sekali akan benar-benar berefek baik sepanjang perjalanan, sebab nyaris dari seluruh mereka menggendong tas berat berisikan amunisi, senjata cadangan, makanan darurat hingga kotak P3K.

Ditambah tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak musuh berkeliaran di sepanjang jalan menuju perbatasan, walau memang tak seutuhnya mereka yang mengatasi.

Edward menyapu pandangan. Samar, tetapi ia masih mampu menangkap keberadaan kawan dan musuh saling berjuang demi pihaknya masing-masing.

"Sudah melaporkan pusat mengenai keadaan kita?"

"Seperti yang Anda ketahui, sinyal lokal sedikit mempersulit kita untuk menghubungi langsung pemantau pusat. Kami tentu tidak akan berhenti mencoba sembari kita berjalan."

"Bagus. Kalau begitu akan lebih baik jika kita mengatur navigasi menuju pemantau bagian Kawasaki. Barangkali, kita bisa menggunakan transportasi mereka dari sana."

Pada akhirnya mereka sepakat dan mulai bergerak.

~*~*~*~*~

Parahnya pusat Kawasaki tidaklah separah ujung Yokohama. Tak sekadar jalanan rusak serta kendaraan-kendaraan terbalik, gedung-gedung megah bahkan kini telah luluhlantak menjelma puing-puing.

Laung mutan-mutan gagal hasil eksperimen di masa lampau itu sekali lagi menggema, sungguh usaha yang bagus mengenyahkan lagi mengurung niat burung-burung pulang ke sangkar lama.

Agaknya memang tak mengherankan jika dengan bala bantuan pun Alford ikut kewalahan. Tak hanya monster dan mutan, di sini juga terdapat masyarakat yang melakukan pengusian mandiri berkomplot dengan pasukan Oohara menjadi kelompok kriminal bersenjata.

Di kawasan yang kini pada akhirnya aman, Silvis berdiri menelusuri tiap-tiap mayat yang telah berjajar rapi di masing-masing kantong jenazahnya. Demikian ia mengangkat pandangan kepada mentari pagi begitu muram, mengira-ngira berapa puluh lagi jasad yang belum di angkat di luar sana.

Tembakan tak lagi saling menyahut, begitu pula letusan bom. Tetap saja sisa-sisa dari bau pekat yang kurang mengenakkan di sekitar masih memberikan suasana tegangnya peperangan.

Lantas melalui jendela, Silvis kembali menyibukkan diri dengan menatap langit; memastikan helikopter yang ditumpangi keponakannya ada di sana. Keadaan yang menyulitkan dalam kondisi separah ini tak henti-henti membuat ia resah memikirkan keadaan Kirika.

Seharusnya ia sampai lebih cepat, tetapi tiada seorang prajurit pun yang mengaku mereka sempat menyambut kedatangan sang Madam.

Memang raga Silvis bekerja sebagaimana semestinya; membantu dan memimpin palang merah menggotong serta memberikan pertolongan pertama kepada para prajurit yang terluka. Bersama pekerjaan yang seolah tiada habisnya pun masih sulit bagi Silvis mengenyahkan pikiran mengenai Kirika, konon lagi jika masanya sedang kosong seperti ini.

Seharusnya jika memang luang pun, Leon bisa kembali jika memang urusannya usai. Pikirannya begitu cepat beralih kepada sisi khawatir terhadap sahabat lama dari almarhum sang kakak.

Namun, beruntung yang sedang dipikirkan agaknya diberkahi umur panjang.

Sedikit lebih lega perasaannya tepat Leon memasuki gedung sembari ia melepas pelindung kepala. Ya, tampaknya begitu lebih baik ketimbang mempertahankan kaca yang sudah pecah akibat peluru yang nyaris lolos memecahkan matanya.

"Kelompok kriminal bersenjata itu kuat sekali," keluhnya sambil ia angkat sedikit lengan atas yang sobek. Ketimbang meringis, ia lebih memilih terkekeh. Darahnya sudah merembes menodai seragamnya, hampir mengering pula membuat pakaian kian kaku. "Pola targetnya terus menyerang titik yang sama, ketika lengah kawanannya akan bersatu menyerang titik lain."

Sungguh, sekarang Silvis tak pernah habis pikir dengan tingkah laku tentara. Pria yang di hadapannya ini memiliki kepribadian yang nyaris serupa dengan almarhum kakaknya; menganggap perang itu soal mudah. Tak tanggung-tanggung memuji musuhnya pula.

Alih-alih ambil pusing soal itu, Silvis lebih memilih menawarkan diri untuk mengobati luka Letnan Jenderal.

"Agaknya mereka pula menolak untuk istirahat. Kita harus mengganti regu."

"Ya. Kita tidak boleh kalah hanya karena prajurit kehabisan stamina," jawab Silvis sembari mengelap pinggiran luka sabetan yang menganga lebar. Beruntungnya luka tersebut tak terlalu dalam, jadi Leon tak membutuhkan sesi jahit.

Tampak begitu terampil Silvis, memastikan luka benar-benar bersih sebelum mengobatinya. Dia juga menitah salah seorang anggota palang merah mengambilkan baju cadangan untuk Leon yang diam mengamati. Bahkan ia juga memperingatkan agar Leon memberitahunya kalau-kalau perban yang ia lilit terlalu ketat.

"Saat ini, saya pikir tetap bertahan saja cukup," celetuknya meneruskan topik yang sempat terhenti. "Setidaknya mudah bagi kita memberikan jalan kepada pasukan baru."

Leon setuju.

Kirika memang merencanakan itu; semula pasukan Alford akan membantu Pasukan Bela Diri Jepang melindungi tiap-tiap kota yang menjadi sasaran musuh. Jika dirasa para pengkhianat telah habis, maka dua per tiga dari pasukan di Tokyo maupun Kawasaki akan dikirimkan ke Yokohama sebagai kekuatan tambahan untuk mendorong mundur musuh.

Leona memimpin Tokyo dipandu oleh mantan Brigda Jenderal asal Rusia yang memimpin pasukan dari markas Sapporo, sementara Jenderal Gilbert di Kawasaki. Leon agaknya tak perlu khawatir akan kekurangan tenaga bantuan, lantas ia juga memprediksikan penyerangan di sana akan cepat selesai mengingat pasukan musuh tampak kurang persiapan dalam aturan formasi.

Beda hal di sini yang meski memiliki kekurangan serupa, terlihat mereka terus memanfaatkan kekuatan dan kekompakan. Ditambah mereka menguasai gedung-gedung kosong dan bersembunyi di balik puing-puing, sulit menemukan mereka jika pasukan Alford tidak bergantung kepada drone.

"Ah, omong-omong ... pasukan kita telah kusiasati meniru taktik kelompok kriminal bersenjata itu dalam pemanfaatan drone. Dengan drone, kita menyerang titik yang mendeteksi keberadaan musuh. Pastilah itu akan mengalihkan perhatian mereka dan memilih mundur—ah, tidak ... menyerang drone hingga benda tersebut tumbang."

Silvis mengangguk paham.

"Cara tersebut memudahkan pasukan kita menyerang secara sembunyi-sembunyi seperti mereka, benar?" terka Silvis retoris. "Agaknya Anda sudah merencanakan semuanya agar hasilnya sesuai ekspektasi."

"Memang, tetapi aku tidak tahu apakah strategi ini akan tetap bertahan sampai kita mencapai pusat kandang musuh." Leon bersedekap. "Berdasarkan observasi laporan penyerangan malam tadi, tak hanya pengkhianat dan kelompok kriminal bersenjata saja yang menjadi pengaruh keunggulan pertahanan mereka, tetapi mereka juga memiliki pemantau dan peretas di sana.

"Drone yang digunakan kebanyakan harus turun dan sepenuhnya dihancurkan, sebab sebagian besar berhasil diambil alih kendalinya oleh musuh. AK-25 atau siapalah namanya ... barangkali merupakan salah satu pelaku peretasan."

Yah, sebelumnya di kawasan taman bermain Yokohama kala itu, Akira melakukan peretas cepat dan singkat terhadap sinyal, ponsel, serta kamera pengawas, tentu meretas drone kecil sudah pasti menjadi pekerjaan semudah ia mengedipkan mata.

Leon juga menerangkan si android muncul dalam rekaman drone, sekadar berdiam diri di tempat. Semua drone yang hampir berhasil memasuki gedung tak pernah lolos jika dia menoleh kepada benda itu. Demikian drone malah berbalik mendorong mundur pasukan Alford.

"Ketiadaan penggunaan drone membuat para prajurit buta," imbuh Leon. "Satu-satunya taktik yang bisa kita lakukan menunggu kekuatan yang cukup untuk menerobos masuk dan menangkap bocah Oohara itu. Jadi jika memang ingin rencana pertama mendapatkan hasil optimal, sembari bertahan pun, sekarang ini minimal kita harus menguasai hingga setengah jalan menuju gedung perusahaan Oohara."

Ada benarnya. Namun, apakah melawan ratusan pasukan dengan seperduabelas penduduk yang berbalik menjadi kelompok kriminal bersenjata memungkinkan hasil prediksi berpeluang kecil ini berhasil?

Silvis mengalihkan pandangan keluar sana, memperhitungkan dalam diam. Memang tak seluruhnya kelompok bersenjata tersebut berada di sini, pastilah jumlah mereka berkurang seiring peperangan berlangsung. Lantas para pengkhianat barangkali juga serupa.

Rasanya semua ini hanya membuat pusing. Sepertinya akan lebih baik jika ia mendekam dalam laboratorium saja seperti dulu kala.

Desah napas yang keluar tanpa sadar mengundang pria di sampingnya menepuk punggung Silvis pelan-pelan.

"Tak perlu berpikir keras, Tuan Silvis. Percayakan medan perang kepada kami," kata Leon. "Jangan membuang energi kepada pikiran negatif, akan lebih baik jika kau menyalurkan tenaga ke tugas relawan. Kami membutuhkannya; begitu pula Madam."

Silvis terbelalak mendengarnya. Astaga, sungguh begitu cepat semua ini mengalihkan pikiran. Dia benar-benar hampir melupakannya. Persis jantungnya merosot kala terpicu oleh ucapan Leon.

"Apa yang terjadi dengannya?"

"Helikopternya diserang di Kawasaki. Untunglah dia dan pasukan yang menjaganya baik-baik saja," jawab Leon. "Kini mereka berada di pemantauan pusat Kawasaki dan akan menyusul di malam hari."

Setidaknya sekarang ia bisa lebih lega dengan berita itu.

Akhirnya Leon bangkit. "Aku akan mengkoordinasikan pasukan sesuai taktik. Semoga saja hasilnya akan sesuai dengan prediksi."

"Saya memohon bantuannya."

Sebagai balasan terakhir sebelum ia utuh keluar dari tenda, Leon sekadar mengangguk. Pun, enggan membiarkan dirinya kembali dikuasai oleh pikiran-pikirannya, Silvis segera beranjak menyibukkan diri.

Namun, tetap saja tak mampu ia pungkiri kepada satu tanya yang kini hinggap di hati kecilnya.

Sungguhkah segalanya akan benar-benar berakhir?

Lantas ... dengan hasil yang bagaimana?

FPS : First person shooter, sub-genre video game yang berpusat pada pertarungan berbasis senjata dalam perspektif orang pertama.

~*~*~*~*~

Ngang-ngong-ngang-ngong. Setelah sekian lama nganggurin bagian perang (kayaknya ada 1-2 tahun wkwkwkwk), akhirnya balik lagi ke sini hadeeeeuuuh.

Takut sebenernya. Karena ini beneran bukan di bidang saya. Meskipun udah riset, tetap aja khawatir hiksrot. Tapi ga papa, saya bakalan berusaha semaksimal mungkin biar kayak dokter-dokter sinetron kanal televisi maskot ikan terbang sayap pelangi. :")

Semoga kalian suka. Terima kasih banyak buat kalian yang terus mantengin karya ini. JUJUR SAYA SENEEEEEEEEEEEENG BANGET!! Sampe ada lagi yang nambahin ke reading list, masya Allah. Semoga kalian dilimpahkan banyak rezeki, ya! :> Makasih banyak! <3

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

174K 14K 10
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
4.8K 1.5K 23
It's a cliche story: si cewek bertemu si cowok di sebuah pesta. Si cewek mempermalukan si cowok yang ternyata merupakan berandalan terkenal di sekola...
337K 13.4K 9
TAMAT May contain mature scenes Ray awalnya memiliki segalanya, namun ia kembali jatuh dan bahkan kehilangan semua yang pernah ia punya. Impian, ka...
Enemies and Preys By siGit

Mystery / Thriller

14.1K 4.7K 54
Pembunuhan dan pembakaran sadis terhadap tiga wanita secara acak terjadi di sepenjuru kota. Iptu Nikodim Patibrata yang bermasalah sekaligus berpenga...