๐Š๐ž๐ญ๐ข๐ค๐š ๐“๐š๐ค๐๐ข๐ซ ๐Œ๏ฟฝ...

By Vllya_

30.7K 2.7K 112

Sudah terbit bersama Firaz Media Publisher๐Ÿ’“ Versi Wattpad masih terdapat beberapa typo dan kesalahan lainnya... More

PROLOGโœ“
MS. Dirgantara
Rutinitas
Dia
Tentang Rindu
Misi
Maaf
Kamu Hebat!
Bingung
Holi-yeay
Tentang Dendam
Fracas!
Police Office & Hospital
Grup Random
Kembali
New Class
Sebuah Tawaran
Lolos?!
Ibukota
Mawar dan Durinya
Dia Telah Pergi
Keajaiban Tuhan
Nightmare
Penghargaan
Pulang
Perih
Cepat Pulih, Bang Dirga
Sebuah Kejanggalan
Cuma Lelah
Sebuah kenyataan
Kenapa Harus Gue?!
M. Margantara Danuarta
Tamparan
Dika, Senja, dan Lapangan Basket
Fatal
Fatal (2)
Sebuah Permintaan
Bunda, Dirga Capek.
Bahagia yang Sesungguhnya
Terima Kasih
Maaf Untuk Andara
Drop!
Senja dan Sebuah Izin
Don't Go
Keputusan dan Kenyataan
Tentang Kehilangan
Satu dari Dua
Rest In Peace, Margantara
Dirga dan Lukanya | Ending
EPILOG
Sebuah Kabar Bahagia
OPEN POโœจ

Kenapa?

576 54 2
By Vllya_

Andara kembali memesan taksi melalui ponselnya. Kali ini ia akan pergi ke SMA Cakrawala. Tujuan pertama untuk bertemu abangnya, tujuan kedua, melihat-lihat calon sekolah barunya itu. Jika bertanya tentang alasan mengapa gadis itu secara tiba-tiba ingin kesana, jawabannya adalah karena tadi ia tak menemukan siapapun dirumahnya. Bahkan Andi dan Bagas tidak ada. Rumah itu benar-benar sepi bak kuburan.

Alhasil, Andara masuk ke dalam hanya untuk meletakkan koper dan langsung membulatkan niat untuk ke Cakrawala saja. Sebelumnya, dia tentu saja sudah melayangkan izin tertulis melalui pesan whatsapp kepada Andi dan juga bundanya.

Setibanya di depan gerbang sekolah ternama itu, Andara langsung turun setelah memberikan sejumlah uang kepada sang supir. Ia menyapa satpam sekolah dengan ramah, kemudian mulai menelusuri area sekolah yang cukup besar itu.

Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di Cakrawala. Andara sebenarnya tak tau jelas dimana letak kelas abangnya, ia hanya mengetahui namanya saja. Karena itulah Andara memilih mencari denah sekolah dulu sebelum merambat ke kelas yang dimaksud.

"Gila, jauh bener." Andara menghela nafas lelah ketika menaiki tangga-tangga yang ada disekolah abangnya. Entah punya masalah apa kelas abangnya ini ada di lantai tiga, membuatnya mati-matian harus menanjaki tangga di siang bolong begini.

"Tiga kali naik turun disini, kurus badan Ara," gumam gadis itu sambil terus menapaki tangga yang tinggal beberapa anak lagi.

"Nyampee!" Serunya bahagia lahir batin ketika kakinya sudah resmi menapaki lantai ketiga gedung dengan lambang huruf B besar didepannya.

"Boleh ga, ya, kalau nyaranin kepsek buat masang lift aja." Gadis itu masih saja berdumel tak jelas, merutuki anak tangga yang entah kenapa banyak sekali.

Koridor sekolah memang sudah sepi. Namun tadi kata Pak Satpam mungkin masih ada beberapa siswa yang belum pulang, karena terlihat jelas parkiran sekolah belum kosong, masih terdapat beberapa kendaraan disana.

Hal itu terbukti ketika Andara melihat seorang perempuan dengan seragam sekolahnya berjalan dari arah berlawanan. Masih ada tanda-tanda kehidupan, batinnya.

Andara kembali melihat denah khusus gedung B yang terpajang didekat belokan pertama gedung tersebut. Kelas abangnya tidak jauh lagi, tinggal lurus dan belok kiri di simpangan selanjutnya. Semoga saja, ia bisa menemui abangnya disana.

***

Jika Andara tadinya sedang sibuk mencari ruang kelasnya, maka Dirga sekarang baru saja keluar dari kelasnya, menuju tangga yang berada tepat disamping ruangan itu.

Ini belum genap seminggu ia masuk sekolah setelah insidennya beberapa waktu lalu. Setelah tiba di Aceh, ia tak serta merta diizinkan untuk sekolah. Ia kembali dirawat dirumah sakit kurang lebih lima hari, dan baru keluar minggu lalu. Dirga sebenarnya benar-benar muak dengan yang namanya rumah sakit. Namun apa boleh buat, dia harus tetap menjalani masa pemulihan pasca operasi.

Jujur, Dirga sedikit terpukul atas kejadian ini. Kehilangan sebelah ginjalnya membuat ia harus merelakan cita-citanya saat itu juga. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, mengikuti jejak ayah dan bundanya sebagai tentara sudah menjadi salah satu keinginannya. Dulu, dia sempat dipatahkan karena keadaan tubuhnya yang sangat rentan, sering sakit karena imunnya yang lemah.

Beberapa saat setelah masalah itu ditangani, semangatnya kembali dibentuk lagi. Harapannya untuk menjadi seorang tentara semakin besar. Namun, beberapa waktu lalu hal ini kembali dipatahkan, bahkan dihancurkan sampai berkeping-keping, melalui operasi pengangkatan ginjal.

Siapa yang menyangka aksi penembakan beberapa bulan lalu mampu membuat ginjalnya hancur dan menjadi penyebab utama belakangan ini ia sering sakit-sakitan. Bahkan tentang mimisan saat di Jakarta, itu semua juga terjadi karena ginjalnya yang rusak. Mustahil jika Dirga tidak mengalami depresi barang sedikitpun. Kenyataan ini lumayan sulit untuk diterima olehnya. Jika saja waktu itu bukan Alsya yang pertama kali dilihatnya, tak terbayang hal buruk apa yang akan dia lakukan.

Sekarang, ia tak lebih dari seorang anak yang hidup bergantung pada obat-obatan. Memiliki satu ginjal memang bukan berarti akan mati besok, hanya saja, sekarang semua kegiatannya serba dibatasi. Dia dilarang keras untuk melakukan pekerjaan berat dan mengonsumsi sembarang makanan. Jika tidak, maka efek tak menyenangkan akan dirasakan oleh tubuhnya. Persis dengan apa yang dia rasakan sekarang.

Bel pulang sudah berbunyi bahkan sejak sejam yang lalu. Tapi lelaki itu baru memutuskan untuk pulang sekarang dikarenakan sejak tadi kepalanya dilanda sakit yang teramat. Semuanya dirasa karena Dirga terlalu banyak melakukan aktivitas hari ini. Naik turun tangga untuk menemui guru di gedung utama, yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat, cukup membuat tenaganya terkuras.

Dirga tak yakin bisa menyetir dalam keadaannya yang seperti itu, makanya ia memilih mengistirahatkan tubuhnya sejenak dikelas. Dia hari ini memang terpaksa membawa motor sendiri, karena semuanya sedang benar-benar sibuk.

"Abang!!"

Sebuah suara teriakan membuat langkahnya terhenti sejenak, bukan karena apa-apa, tapi karena terkejut. Setelah itu Dirga kembali berjalan, mengabaikan suara itu, toh tidak jelas juga siapa yang dipanggil.

Namun, tepat ketika Dirga hendak berbelok ...

"Bang Dirgaa!"

Suara keras itu kembali terdengar diiringi dengan derap langkah yang kian mendekat. Dirga berbalik dan mendapati sosok adiknya disana.

"Araa?" Gumamnya tak percaya.

Andara berjalan cepat menuju kearahnya, gadis itu langsung saja menubruk tubuh Dirga membuat ia sedikit terhuyung kebelakang.

Tubuh Dirga limbung seketika, jika saja tangannya tidak cepat bertahan pada dinding kelas, bisa dipastikan ia sudah terjatuh. Jika biasanya ia sanggup menahan tubrukan Andara, tapi tidak untuk sekarang, tubuhnya sedang tidak bisa diajak kompromi. Dia lemas.

Dirga refleks memejamkan matanya erat ketika sakit dikepalanya kembali menghujam. Ingin sekali ia merutuki penyakit tersebut karena terus-terusan membuatnya tersiksa.

"Abang kenapa?" Andara tiba-tiba panik karena ikut merasakan tubuh Dirga yang langsung terhuyung ketika ia memeluknya tadi.

"Gapapa kok." Dirga menerbitkan seutas senyum di bibirnya, bertingkah seolah ia baik-baik saja.

Andara melepas pelukannya di tubuh Dirga, gadis itu mundur dua langkah, dan menatap lekat wajah abangnya.

"Bilang aja kalau ada sesuatu, Bang." Raut kekhawatiran jelas terpampang di wajah cantik gadis itu.

"Ga ada, Sayang," jawab Dirga pelan.

"Aish, sayang," goda Andara disertai dengan kekehan ringannya. Dirga ikut tersenyum, cara terbaik membuat perhatian Andara teralih adalah dengan memanggilnya lembut, terlebih jika dengan kata sayang.

"Padahal kamunya juga kesenengan kalau abang panggil sayang. Iya, kan?"

"Iya dong. Sayang ... Abang," ujar gadis itu ceria kemudian memeluk lengan kekar Dirga dengan tangan mungilnya.

"Pulang yuk," ajak Dirga yang langsung diangguki oleh sang adik. Lelaki itu tidak lagi bertanya kenapa Andara bisa ada disini, pulang dengan apa dan kapan. Karena pagi tadi Andara sudah mengirimkan pesan kepadanya bahwa akan pulang kemari, tak disangka saja jika gadis itu akan mendatangi sekolahnya. Di waktu yang tidak tepat pula.

Dirga tersenyum hangat, kemudian melepaskan tangan adiknya yang masih setia memeluk tangannya. Ia memilih untuk menggenggam tangan gadis itu dan berjalan bersisian dengannya.

Andara terlihat malu-malu mendapat perlakuan romantis dari abangnya. Jika Dirga saja setiap hari bisa memberinya kehangatan seperti ini, maka Andara tak perlu repot-repot lagi untuk mencari pacar. Cukup abangnya saja.

***

Dirga tetap memfokuskan penglihatannya pada jalanan yang sedang dilaluinya. Walau begitu, tidak bisa di pungkiri bahwa kepalanya masih tetap pusing. Dirga mengambil resiko berat karena berani berkendara ketika kondisinya sedang buruk. Namun apa boleh buat, tidak ada cara lain sekarang.

Sedikit lagi mereka hampir sampai ke asrama, Dirga malah memilih meminggirkan motornya dan berhenti sejenak membuat Andara bingung dengan apa yang terjadi.

"Bang kenapa? Kok berhenti?" Tanya gadis itu, mendekatkan diri dengan Dirga.

"Sebentar, Dek, abang capek," jawab Dirga dengan suara pelan.

Lelaki itu tak berbohong, dia memang merasa lelah sekarang, bahkan sejak tadi. Ia bahkan hampir kehilangan suaranya akibat tubuhnya yang terus melemah.

"Ba-baiklah," jawab Andara tak kalah pelan.

"Kok bang Dirga aneh, ya?" Sambungnya di dalam hati.

Gadis itu sedikit tak percaya ketika tadi Dirga mengatakan tidak apa-apa, tampaknya memang ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh lelaki itu.

Merasa sudah mendingan, Dirga pun kembali memacu motornya, membelah jalanan kota tanpa sepatah kata pun yang menemani perjalanan mereka.

Membisu tanpa kata, itulah yang terjadi pada kedua insan itu.

***

Ara dan Dirga akhirnya tiba dirumahnya. Dengan segera Dirga memarkirkan motornya di garasi samping rumah. Disana ternyata sudah ada Andi dan Bagas.

Setelah memarkirkan motornya, Dirga langsung melenggang masuk tanpa berbicara sepatah katapun. Hanya seulas senyum tipis yang dia arahkan pada dua lelaki yang ada di garasi itu.

Andara tampaknya masih berbicara singkat dengan kedua orang itu. Sedangkan Dirga, ia sekarang sudah melempar asal tasnya di dekat sofa dan langsung saja menghempaskan tubuhnya ke sofa tersebut.

"Hah!"

Ia menghela kuat. Mata lelaki itu kemudian terpejam, tangannya naik memijit kepalanya yang sudah sakit tak karuan. Denyutan demi denyutan dirasakannya semakin menjadi-jadi.

"Abang?"

Sebuah suara membuat ia segera membuka matanya. Tangannya yang sedari tadi digunakan untuk memijit kepalanya turun dengan spontan.

"Ada apa?" Tanya Dirga pada adiknya yang masih berdiri dengan jarak satu meter darinya.

Andara tidak menjawab dulu. Ia memilih melangkahkan kakinya dan duduk dekat dengan abangnya.

"Abang kenapa? Ngantuk?" Bukannya menjawab, gadis itu ternyata memilih untuk kembali bertanya.

"Hem," gumam Dirga singkat membuat Andara semakin heran.

"Abang ke kamar aja, gih, tidur. Nanti Ara bangunin buat makan," ujar Andara lalu bangkit dari duduknya. Niat hati hendak mengambil tas Dirga yang tergeletak asal di lantai, namun lengannya dicekal cepat oleh lelaki itu.

"Sini, Dek," titah Dirga memintanya untuk duduk kembali.

Setelah Andara duduk dengan sigap Dirga mengambil sebuah bantal kecil yang memang ada di sofa dan meletakkannya di pangkuan Andara. Lalu ia pun menidurkan kepalanya disana, menghadap penuh kewajah sang adik.

Bukannya tidak mau ke kamar. Namun, tubuhnya sudah tak sanggup lagi. Ia memperkirakan kalau dia bangun, tubuhnya akan limbung, lebih parahnya bisa jatuh. Dirga tak mau menambah kecurigaan Andara terhadap dirinya.

"Sebentar aja," lirih Dirga kemudian langsung memejamkan matanya. Sebelah tangannya ia letakkan di atas perut sedangkan sebelahnya dia biarkan bebas.

Andara tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tak masalah apakah itu sebentar atau lama, Andara sama sekali tidak keberatan.

Andara memusatkan fokusnya kearah wajah tampan abangnya. Kulit sawo matang, hidung yang lumayan mancung, alis tebal, mata tajam plus dengan rahang yang kokoh membuat Andara klepek-klepek dengan abangnya sendiri.

Lelaki itu adalah abang yang selalu melindunginya, menjaganya bak intan permata, juga lelaki yang selalu menasehati nya tanpa melibatkan emosi. Ara tak tau bagaimana jalan hidupnya jika Dirga tak membersamainya.

Dirga memang memejamkan matanya. Namun itu sama sekali bukan niat untuk tertidur, semua itu ia lakukan semata-mata agar sakit dikepalanya bisa mereda. Tapi malah semakin menjadi-jadi.

Kepalanya kini terasa dihujam ribuan paku. Sakit yang teramat. Bahkan yang tak pernah ia rasakan sekali pun. Kening Dirga sampai berkerut karena menahan rasa sakit itu.

"Itu keningnya dikerut-kerutin biar apa coba?" Tanya Ara sambil menekan-nekan kening abangnya

"Sakit, Ra," batinnya bersuara.

Tangan Andara masih saja mengelus-elus kening abangnya. Memijitnya pelan dan tanpa sengaja tangannya beralih menyentuh pipi Dirga, sesuatu ia rasakan, hingga sebuah kalimat meluncur dari bibir tipisnya.

"Abang sakit, ya?" Tanya Andara

Mata Dirga yang awalnya terpejam langsung terbuka spontan ketika mendengar kalimat yang dilontarkan oleh adiknya. Ia panik sekarang, apakah bahasa tubuhnya yang sedang berbohong terlihat sangat jelas?

"Kenapa kamu nanya gitu?"

"Ya, badan abang panas banget. Demam?" Ujar Andara memperjelas. Dirga menggigit bibirnya pelan. Sial, secepat itukah suhu tubuhnya naik.

"Engga. Paling juga karena paparan matahari tadi," alibinya.

"Masa iya karena paparan matahari. Ga mungkin lah sampai segitunya," ujar Andara tak percaya, ini sedikit tidak masuk akal. Lagian tadi Dirga juga memakai helm, sinar matahari darimana.

"Udah sih," bentak Dirga telak mengakhiri pembicaraan mereka tentang suhu tubuh Dirga.

Dirga tak tau, apakah kalimatnya barusan mengejutkan Andara atau tidak, yang jelas Dirga tak ingin mendebatkan hal ini lagi dengan Andara. Beberapa saat lalu, ia mulai kesusahan merespon setiap kata yang keluar dari mulut adiknya. Konsentrasi nya seolah sedang berada di titik nol, sehingga ia jadi linglung bergini.

Merasa abangnya tidak nyaman ditanyai hal itu, Andara dengan segera mengubah topik pembicaraan mereka.

"Bunda sama ayah biasanya pulang sorean kan, Bang?"

Menunggu beberapa detik, Dirga benar-benar tak merespon pertanyaannya. Ia mulai memperhatikan wajah Dirga dengan seksama, mata lelaki itu terpejam erat, nafasnya juga teratur. Namun, banyak peluh yang membasahi kening hingga rambutnya, membuat Andara sedikit bingung.

"Kok bisa cepat banget, ya, lelapnya?" Gumam gadis itu heran.

Andara mengela nafas sejenak. Kemudian menggerakkan tangannya untuk mengelus rambut Dirga. Memindahkan anak-anak rambut yang menutupi sebagian mata abangnya. Tapi ketika matanya melihat segumapalan rambut ditangannya, Andara langsung terkejut.

Matanya membelalak. Memastikan bahwa yang ada dalam genggamannya itu benar rambut Dirga. Andara bahkan mencoba mengelusnya sekali lagi, mencoba sepelan mungkin agar abangnya tidak terganggu. Namun hal yang sama kembali ia dapati. Rambut Dirga rontok dalam jumlah banyak. Tangan Ara sampai bergetar melihat segumapalan rambut itu ada di genggamannya.

"Ke-kenapa bisa?" Gumamnya parau. Embun sudah membendung di pelupuk matanya. Siap tumpah kapan saja.

Andara sudah tak tahan lagi. Ia harus menanyakan hal ini pada abangnya. Andara pun menunduk, menghadap penuh pada wajah abangnya. Namun ada yang berbeda disana. Bukan tatanannya, tapi ada darah segar yang mengalir dari hidung Dirga hingga Andara hampir berteriak keras.

"Astaghfirullah, Bang Dirga ..." Ucapnya kemudian langsung membekap mulutnya dengan tangan.

Sesaat kemudian, ia tersadar dan dengan segera mengambil tisu didepannya kemudian menyeka darah yang mengalir dari hidung abangnya. Andara semakin bingung, karena darahnya bukan makin bersih, namun semakin banyak.

Andara mencoba menepuk-nepuk pelan pipi Dirga. Memanggil-manggil nama abangnya hingga berkali-kali. Namun Dirga tak merespon barang sedikitpun.

Air mata Andara sudah tumpah sejak tadi. Ia masih belum menyerah, terus saja menepuk-nepuk pipi Dirga walau tak ada hasilnya. Lelaki itu tetap tidak terbangun.

"OM ANDI! OM BAGASS!!" Teriak Andara kalut. Ia tak tau harus berbuat apa lagi.

Tak perlu waktu lama, dua lelaki itu langsung berlari kedalam rumah karena ikut panik mendengar teriakan keras gadis itu.

"Ada apa sih, Mbak? Kok teriak-te__"

"Astagfirullah, DIRGA!!"

Ucapan Andi langsung terputus ketika melihat darah segar mulai mengalir dari hidung Dirga. Jantungnya berpacu dengan cepat, ada ketakutan yang mendalam jika kejadian beberapa minggu lalu kembali terulang.

"Bagas, siapin mobil! Kita kerumah sakit sekarang. CEPAT!"

"Siap," jawab Bagas kemudian langsung berlari keluar.

Dengan sigap, Andi langsung mengangkat tubuh Dirga untuk dibawa kerumah sakit. Beberapa bercak darah sudah mengenai kemeja putih yang ia pakai. Darahnya terus saja mengucur membuat Andi makin dilanda panik.

"Bertahan ya, Dir. Bertahan!" Bisik Andi namun masih terdengar oleh Andara.

"Sebenarnya abang kenapa?" Batin gadis itu memberontak.

Ia bukan lagi anak kecil yang tak paham apa-apa. Ia tau, pasti ada sesuatu yang sedang disembunyikan sekarang.

"Tutup pintunya, Mbak!" Titah Bagas.

Andara langsung menurutinya dan kemudian ikut masuk kedalam mobil. Ia duduk di bangku depan, tepat disamping Bagas. Sedangkan Andi di kursi belakang bersama dengan abangnya.

"Cepat, Gas! Jangan sampai kita terlambat," ujar Andi panik sambil terus menahan laju darah Dirga dengan tangannya. Ia tak paham kenapa darahnya banyak sekali. Mimisan Dirga kali ini tidak normal sama sekali.

"Gas, minta kotak tisuenya," pinta Andi yang dengan cepat langsung dilaksanakan oleh Andara.

"Bang, coba tahan laju darahnya," ujar Bagas dari balik kemudi. Tidak bisa di pungkiri, lelaki itu juga ikut-ikutan panik sekarang.

"Ga bisa, Gas. Susah. Darahnya deras banget."

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Andi. Tubuh Andara bahkan sampai bergetar melihat Andi terus-terusan menarik tisue untuk menahan laju darah yang keluar dari hidung abangnya. Ditambah lagi dengan kemeja Dirga yang dasarnya putih kini telah dihiasi dengan bercakan darah.

"Bang, usahakan kepala Dirga jangan ngedonggak keatas, tetap nunduk aja. Takut imbasnya malah muntah darah lagi."

Deg!

"Lagi? Apa cuma Ara yang ga tau apa-apa disini?"

"Sebenarnya abang kenapa, Om?" Tanya Andara dengan suara parau.

Baik Bagas maupun Andi sama-sama diam membisu, tak ada satupun yang membuka mulut.

"Om?"

"Saya ga tau, Mbak." Akhirnya kalimat itu lolos dari mulut Bagas.

Andara menganggukkan kepalanya, pura-pura percaya, padahal ia sangat yakin kalau Andi dan Bagas tau semuanya.

"Kok kita bukan ke Kesrem?" Tanya Andara ketika Bagas melewati salah satu rumah sakit terdekat dari lokasi mereka.

"Karena sejak awal bang Dirga ga dirawat disini." Andi memejamkan matanya erat setelah mendengar kalimat refleks yang keluar dari mulut Bagas. Tamatlah sudah.

Apakah Andara tidak salah dengar? Sejak awal? Berarti kejadian ini sudah pernah terjadi sebelumnya?

"Maksudnya?" Tanya Andara. Bagas tak mampu menjawab. Ia salah kali ini, karena panik ia akhirnya membocorkan sebuah rahasia besar yang sejak awal telah dijaga.

"OM BAGAS, JAWAB! SEJAK AWAL? MAKSUDNYA APA?!"

***

Continue Reading

You'll Also Like

101K 12.6K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
36.7K 4K 18
PART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini mes...
2.3K 118 35
~TAMAT~ Lukas tumbuh menjadi seorang pemuda kasar yang masih memendam kebencian terhadap kakaknya, entah penyebab apa yang membuat hati pemuda itu te...
505K 36K 46
Tahap revisi!! Amazing cover by @Melmelquen๐Ÿ˜˜โค Adelion Mahendra? Siapa yang tidak mengenalnya? Cowok selengekan, cuek dan pembangkang! Cowok dengan s...