"Selamat menikmati kematian, Gadis cantik."
BRAKKK!!!
Dirga menatap semua orang yang ada disana tepat setelah menendang kasar pintu bangunan itu. Nafasnya terengah-engah, matanya menatap nyalang dengan kilatan penuh emosi.
Lelaki itu bertambah berang ketika melihat adiknya tengah ditodong pistol orang manusia tak dikenal.
"Wah, lihatlah siapa yang datang. Abangmu, kan?" Tanya lelaki yang tadinya menodong pistol tepat di depan kepala Andara.
Dirga melirik sinis kearahnya, juga menatap khawatir kearah Andara. Melihat jumlah orang yang ada disana, membuat Dirga langsung tersadar, ia tak akan bisa melawan mereka semua seorang diri, terlebih mereka dilengkapi dengan senjata.
Dirga kesini tanpa ada apa-apa, hanya diri yang dia bawa. Tak ada satupun benda tajam yang ia miliki, meski hanya sebilah silet.
Otak Dirga mulai berputar, ia harus segera menentukan prioritasnya. Memilih menghabisi mereka semua, atau mengorbankan dirinya untuk keselamatan Andara.
Tanpa pikir panjang, Dirga tentunya memilih keselamatan Andara. Mengacu pada janji yang pernah ia ucapkan pada dirinya sendiri, bahwa ia akan melindungi dan menjaga Andara sebaik mungkin, bahkan dengan nyawanya sekalipun.
Dirga akan berusaha, menyerang sebisa mungkin dan langsung menyelamatkan Andara. Terlepas dari semua yang akan terjadi setelahnya, ia tak peduli lagi.
"Rencana hari ini indah sekali bukan, sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Satu dipancing, dua-duanya kita jumpai. Selamat datang, Dirgantara," ujar lelaki itu yang membuat Dirga semakin berang. Kenapa manusia itu bisa tau namanya.
"Apa mungkin kalian adalah orang yang sama, yang menyerang saya tempo hari?" Tanya Dirga mengingat kembali aksi penyerangan itu, yang membuatnya hampir mati jika tak berhasil melakukan perlawanan. Andara yang mendengar sontak terkejut, ia tak menyangka bahwa penyerangan seperti ini sudah pernah terjadi, dan itu telah menimpa abangnya sendiri.
"Ya, benar sekali. Saya akui, kamu sangat terlatih dalam membaca siasat, Dirga. Siapa yang mengajarimu, hem?" Desis Lexi.
"Ohh, saya tau, pasti bundamu telah mengajarkan semuanya, kan? Saya ingat, dia tergabung dalam satuan intelijen, bukan? Pastinya wanita itu sudah sangat mahir menangani kasus-kasus begini."
Dirga mengeraskan kepalan tangannya ketika bundanya ikut terbawa dalam masalah ini. Dua wanita yang sangat ia sayangi kini telah disinggung, membuat Dirga ingin membunuh orang ini sekarang juga. Namun, semuanya tetap memiliki tahapan.
"Lepaskan Andara sekarang!" Titah Dirga langsung kepada bos mereka.
"Heh! Emang kamu punya jaminan apa? Punya apa kamu?" Balas seorang yang berada tepat di samping Lexi, dia Kara.
"Jaminannya, adalah diri saya sendiri. Lepaskan Andara sekarang, biar saya yang menjadi gantinya. Jangan sakiti dia barang sedikitpun, kalau kalian ga mau mati."
"BANYAK BACOT!! HABISI DIA!" Titah lelaki tambun yang tadinya sempat melecehkan Andara. Puluhan orang yang ada disana langsung menyerbu kearahnya. Rata-rata dari mereka membawa sebuah pisau di tangannya.
Andara berteriak keras ketika Dirga mulai terlibat perkelahian dengan orang-orang itu. Dirga kalah telak dalam segi jumlah, dia hanya datang seorang diri dan dengan tangan kosong. Dirga beberapa kali terkena serangan keras di bagian perutnya, membuat lelaki itu beberapa kali terhuyung kebelakang.
Di tengah kericuhan itu, Dirga melihat dengan ekor matanya, bahwa Lexi dan Kara mulai meninggalkan tempat itu.
Apa yang sedang mereka rencanakan? Batinnya.
Dirga berhasil mengambil sebilah pisau dari seorang penjahat itu. Awalnya ia menendang keras tangannya yang membuat pisau itu terjatuh ke lantai. Dirga dengan segera mengambil pisau itu, meski harus menerima pukulan keras di punggungnya, yang penting ia sudah punya senjata sekarang.
Dengan kegesitan gerakan yang mampu ia kuasai, Dirga langsung memainkan pisau yang ada ditangannya. Beberapa penjahat yang ilmu beladirinya hanya asal ada, langsung Dirga taklukan dengan menggores pisau itu ke bagian tubuh mereka. Entah itu tangan, leher, dan bagian mana saja yang bisa ia jangkau. Tenang, Dirga tetap memperkirakan setiap kelakuannya, dia tidak berniat untuk membunuh disini.
Karena mereka semua sudah mulai lengah, dan hanya tersisa beberapa, Dirga langsung berlari cepat, menghampiri Andara. Dengan pisau yang masih ada di tangannya, Dirga langsung memutus tali yang mengikat tangan Andara. Ia membantu Andara berdiri dengan baik, namun ditengah itu penyerangan kembali terjadi.
Dirga menggenggam erat tangan Andara, mengarahkan gadis itu untuk selalu berada di belakang tubuhnya. Sekarang Dirga hanya bertahan dengan sebelah tangannya, berusaha menangkis dan sesekali menyerang balas.
Dirga berusaha untuk membuka jalan, jika sudah memungkinkan ia akan mengeluarkan Andara lebih dulu dari tempat ini. Keberadaan Andara disini sangat rawan, anak itu sama sekali tak bisa beladiri, lain cerita dengan Anindya yang waktu itu bisa sedikit membantu Dirga.
"Keluar sekarang!" Perintah Dirga sambil sedikit membalikkan badannya, melihat Andara.
"Abang gimana?" Cicit gadis itu takut. Ia sudah cukup trauma melihat perkelahian ini.
"Gausah mikirin abang dulu. Sekarang tugas kamu keluar dari sini. Cepat lari!"
"Tapi__"
"ABANG BILANG LARI, LARI, ANDARAA!! KELUAR SEKARANG!"
Andara tersentak kaget mendengar teriakan Dirga, lelaki itu bahkan mendorong tubuhnya dengan kuat. Tak ada pilihan lain, ia langsung berlari ke luar dari ruangan itu.
Setiap ada orang yang berusaha mencegatnya, Dirga dengan sigap langsung menerjang orang tersebut hingga terkapar di lantai.
Dirga sendiri sebenarnya sudah babak belur. Terdapat luka sobek yang cukup lebar di pelipis kirinya. Sudut bibirnya juga berdarah karena beberapa kali terkena bogem mentah dari orang-orang ini. Perutnya, jangan ditanya. Sakit luar biasa sudah Dirga rasakan sejak tadi. Entah sudah berapa kali perutnya mendapati tendangan keras, bahkan pukulan dari sebuah balok.
Kini ia tengah berhadapan dengan seorang lelaki tambun dengan warna kulit yang gelap. Lelaki itu sejak tadi hanya tertawa sinis melihat perlawanannya. Ia membawa sebatang balok ditangannya, membuat Dirga sedikit pasrah akan apapun yang terjadi setelah ini. Jujur, dia sudah lelah.
"Kau mau menyerang kah?" Tanyanya meledek.
"Asal kau tau, adikmu itu sudah kulecehkan sejak tadi. Hemm, kulitnya cukup bagus. Sangat lembut ketika dibelai. Dia juga cukup cantik, sayangnya aku tidak sempat mengajaknya untuk bermain."
Nafas Dirga memburu ketika mendengar pernyataan lelaki tambun itu. Ia tak menyangka bahwa adiknya telah disentuh oleh manusia biadab seperti itu. Jika tadi ia sempat pasrah, maka kali ini tidak lagi. Ia bersumpah akan membalas siapapun yang berani melecehkan adiknya.
Tanpa memikirkan apa-apa lagi, Dirga langsung mengarahkan pisau ke lengan lelaki itu. Kali ini goresannya cukup kuat, membuat darah segar langsung mengucur deras. Saat lelaki itu kesakitan, ia langsung mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan tendangannya. Lelaki itu tidak terlalu tinggi, jadi kakinya masih sanggup menjangkau kepala lelaki itu.
Tendangannya mendarat sempurna, membuat lelaki itu oleng dan jatuh ke lantai. Namun di saat bersamaan, ia juga mendapat pukulan keras oleh balok yang ada ditangan lelaki tadi, kali ini lehernya yang menjadi sasaran. Dirga mengerang keras sembari memegang bagian belakang lehernya, kepalanya pusing seketika. Nafasnya terasa sesak, bersamaan dengan telinganya yang berdenging.
Dirga terjatuh, ia meringkuk sambil terus memegangi lehernya. Saat pusingnya mereda, dengan tertatih ia langsung menghampiri lelaki tambun tadi. Lelaki itu masih tergeletak di lantai, tanpa menunjukkan tanda-tanda bisa kembali untuk bangkit.
Dirga mengepalkan tangannya, menyalurkan semua dendamnya disana. Dilayangkannya bogem mentah itu berkali-kali ke arah wajah lelaki itu. Terus-terusan hingga darah segar mengalir dari mulutnya.
"ANJING!!! BERANI-BERANINYA LO NYENTUH ADIK GUE!"
"MATI LO, BANGSAT, MATII!!"
"GA AKAN GUE BIARIN MANUSIA BIADAB KAYAK LO HIDUP DI MUKA BUMI INI!"
Dirga mulai kehabisan tenaganya, ditambah dengan pandangannya yang sudah kabur karena sakit yang teramat di kepalanya. Lelaki tadi langsung mengambil kesempatan untuk mendorong kuat tubuh Dirga.
Dirga terhuyung kebelakang, dan saat itu juga, satu tembakan langsung mengarah tepat di perutnya. Dirga terdiam, tubuhnya menegang seketika. Sakit, itu yang dia rasakan. Hawa yang sangat panas sangat terasa dibagian perutnya. Ia langsung memegangi perutnya yang hanya beberapa saat sudah penuh dengan darah.
Dirga benar-benar limbung, ia jatuh terlentang dengan kesadaran yang sudah menipis. Para penjahat yang masih bisa bangun langsung meninggal lokasi, termasuk Lexi dan Kara. Mereka dengan cepat langsung menghilang dari tempat itu.
Dirga memejamkan matanya sejenak, meringis kesakitan sambil terus memegangi perutnya yang tertembak. Darah terus mengucur membuat seragam putihnya kini sudah didominasi oleh warna merah.
Meski sudah lemas, ia berusaha untuk meraih ponsel yang ada di sakunya. Menekan tombol angka 110 di layar panggilan darurat. Ia butuh polisi sekarang.
"110 ... Apa keadaan darurat Anda?" Tanya petugas yang ada disana, sesaat setelah panggilan itu terhubung.
Dirga menarik nafas dalam, memaksa dirinya untuk bisa menjawab pertanyaan dari seberang sana.
"Saya butuh bantuan, disini ada se-kelompok orang bersenjata, mereka mencoba untuk membunuh adik saya. Mereka sempat menyekapnya, dan melecehkannya."
"Baik, bisa tolong sebutkan dimana kamu sekarang?"
"50 meter, di belakang Halte Cempaka. Jalan gang D."
"Boleh kami tau siapa nama Anda?"
"D-Dirga, Dirgantara," jawab Dirga mulai terbata-bata, ia semakin sulit untuk bernafas sekarang.
"Baik, Dirga. Tadi kamu mengatakan bahwa mereka mencoba untuk membunuh adikmu, apakah kamu tau motifnya melakukan itu?"
"Saya tidak tau jelas, hanya saja orang itu berkali-kali menyinggung tentang dendamnya."
"Oke, berapa umur adikmu? Dan apakah dia perempuan atau laki-laki?"
"Lima belas tahun. Dia perempuan."
"Dimana dia sekarang? Apakah dia bersamamu?"
"Tidak. Dia sudah lari lebih dulu. Mungkin sekarang, dia masih berada di sekitaran Halte Cempaka."
"Oke. Apakah kamu kenal siapa pelakunya?"
"Tidak."
"Apakah pelaku masih disana?"
"Tidak. Hanya saja terdapat beberapa anak buahnya yang sudah tidak sadarkan diri."
"Apakah kamu sempat melakukan perlawanan?"
"Ya."
"Baik. Suaramu terdengar sangat lemah, apakah kamu terluka?"
"Sedikit."
"Bertahanlah sebentar, petugas kami sedang menuju kesana, oke?"
"Ya," lirihnya pelan. Itu mungkin menjadi jawaban terakhir yang bisa Dirga berikan. Ia benar-benar kehabisan tenaganya sekarang. Tangannya terkulai lemas hingga ponsel yang tadinya digenggamnya langsung jatuh menyentuh lantai.
"Kamu terluka dibagian mana?"
"Halo?"
"Apakah kamu masih disana? Kamu baik-baik saja?"
"Halo?"
Samar-samar, Dirga masih bisa mendengar suara operator yang terus memanggilnya. Namun, berselang beberapa menit kemudian, matanya terpejam erat. Dirga kehilangan kesadarannya pada saat itu.
***
💡| Notes
💓