Fate : A Journey of The Blood...

Av monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... Mer

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 3.6

49 15 34
Av monochrome_shana404

Jika manusia menganggap dunia begitu membosankan, bagi Vanessa seisinya tampak penuh dengan warna kalau ia harus membandingkannya dengan laboratorium tempat ia tinggal. Rasanya keluar sekali dalam dua tahun sudah cukup.

Namun, tiada guna agaknya mengeluh sebab harus mendekam begitu lama di laboratorium biogenik. Bertahan hidup selama hampir mencapai tiga belas tahun usianya, bersama gen Kirika dan juga serum yang membuat fisiknya tumbuh menjadi belia berumur dua puluh tahun bahkan sudah menjadi anugerah bagi Vanessa.

Sang ibunda, Aleah, pula memenuhi kebutuhannya. Buku, lukisan, hingga sulaman ... kegemaran Vanessa yang silih berganti tak pernah menjadi masalah besar untuk dituruti. Pun, Vanessa tak pernah bosan-bosan menekuni apa yang sudah tersedia, maka ia tak punya waktu untuk mengeluh akan perintah memingit diri di ruangannya.

Betapa Kirika mengagumi kesabaran yang dimiliki adik manisnya.

Seharusnya Vanessa menyelesaikan sulaman edisi musim gugurnya hari ini. Begitu saja ia tinggalkan pembidang yang telah mengait kain dengan sketsa ranting maple, lantas ia menerima ajakan Kirika untuk bermain keluar.

Pergi bersama sang kakak—atau begitulah selama ini ia menyebut Kirika—ialah sebuah peristiwa yang langka sekarang. Dia mengerti kesibukan yang diemban Kirika, mengakibatkan sang Madam teramat sulit menyisihkan waktu untuknya, bahkan di akhir pekan sekali pun.

Beberapa hari lalu ia sudah berpuas diri menikmati susu kocok labu karamel di cuaca dingin persis seperti hari ini. Teramat mudah mengumpulkan dedaunan gugur untuk dijadikan koleksi jurnal Vanessa, tetapi sayangnya mereka tak menemukan kupu-kupu mengingat tak banyak bunga di taman. Pun, tak mereka dapati nutrisi yang dibutuhkan ulat sebelum menjelma kepompong.

"Aku tidak pernah berkeinginan melibatkanmu dalam pekerjaan kami, Vanessa. Tapi kelihatannya Bibi sudah menceritakan semuanya padamu."

Vanessa mengangkat tangan dengan tergesa-gesa sementara manik cerinya tertuju kepada karamel labu yang hampir habis. Dia menyedotnya sampai habis, bahkan hingga gelas menggemakan bunyi sisa-sisa cairan yang tersangkut di dalam sedotan.

Kirika tersenyum lebar mendapati reaksi si adik merasakan ubun-ubunnya membeku. Namun, gelengan kecil bersama wajah semringah darinya membuktikan bahwa ia sedang menikmati sensasi dingin di dalam otaknya.

"Sangat sulit merekrut orang-orang baru setelah semua yang telah terjadi, Kakak." Meski manik ceri tersebut tak memandang lurus kepada sepasang delima di hadapannya, akhirnya empunya bersuara dengan tenang. "Lagi, barangkali kita kehabisan waktu untuk menaruh percaya terhadap orang lain.

"Aku kandidat yang tepat untuk situasi ini, Kakak. Percayalah padaku."

Sekarang sudah saatnya membalas budi.

Di sinilah ia. Salah satu ruang konseling dengan perabotan sederhana, bernuansa putih susu hingga cokelat gelap. Sementara waktu Vanessa dipersilakan duduk menelusuri seisi ruangan, menanti si psikiater kembali.

Dia membuang nama belakangnya hari ini. Sehari berperan sebagai Vanessa Krueger, pasien baru klinik psikiatri di salah satu distrik Yokohama. Pun, secara kebetulan, menjadi pasien pertama yang berkunjung untuk Akira Kurihara kali ini.

"Senang bertemu dengan Anda, Nona Krueger." Suara Akira sukses mengalihkan perhatian Vanessa. Tenang sekali ia berujar, pula ia duduk tanpa sedikit pun melontar tatapan curiga. Itulah yang membuat Vanessa sedikit lega.

Puas dirinya memandangi rambut yang lebih gelap dari foto kartu identitas lama si psikiater, lantas manik ceri Vanessa lantas mempertemukan diri dengan dua netra dengan warna yang berbeda; segelap malam dan secerah langit musim panas. Tatapan yang ia lontar senantiasa menyambut ramah orang-orang yang ia temui.

Akhirnya si psikiater melanjutkan tuturnya, "Pun, ini kali pertama bagi saya menerima klien. Secara ajaib, jika boleh saya anggap begitu. Sebab dia datang tanpa menghubungi terlebih dahulu klinik yang hendak ia kunjungi."

"Maaf, Tuan Kurihara. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya sekadar datang untuk melihat-lihat dulu. Namun, Anda begitu bermurah hati mendaftarkan diri saya sebagai klien sesegera mungkin."

"Bukan masalah besar," balas lawan bicaranya sembari meraih catatan kecil dan bolpoin di dalam nakas. Barulah ia bergerak santai dan duduk dengan tenang di hadapan Vanessa.

Hingga detik ini, sikap Akira pun tetap sama.

Namun, siapa tahu ia sedang berpura-pura sebagaimana Leona bercerita tentangnya ketika insiden hotel mendiang Howard terjadi? Entahlah. Enggan memikirkan cerita lama, sekadarnya Vanessa menghirup napas dalam-dalam.

Jika memang menyelinap masuk adalah sebuah keberuntungan, maka dalam interaksi selanjutnya Vanessa pula akan kembali bergantung keberuntungan itu.

"Omong-omong mengenai klien ... apa maksudnya Anda mendapatkan klien pertama di hari ini?"

"Tepatnya ini hari pertama bagi saya berhadapan dengan klien pertama setelah seminggu bekerja di sini," balas Akira, yang kemudian ditanggapi satu kedipan dari Vanessa. "Klinik ini jarang menerima klien baru. Sementara, untuk sekarang saya sendiri hanya diperbolehkan menangani orang-orang baru.

"Ah, agaknya saya terlalu banyak menceritakan diri saya. Maaf." Sejenak ia menjeda untuk menatap jam tangan. "Baiklah. Jika Anda tidak keberatan, kita bisa memulai sesi konselingnya, Nona Krueger?"

Tatakan beradu dengan cangkir bersuara samar mengisi kekosongan di antara mereka. Kontan suaranya disambung dengan embusan napas halus, tetapi Vanessa mengerti itu adalah sebuah bentuk dari keluhan singkat.

"Bahkan sudah sampai tahu pelacakan yang sedang dikerjakan Adam, sepertinya aku tidak memiliki pilihan," katanya. "Tapi biarkan aku mengingatkanmu. Ini bukan permainan mata-mata seperti di dalam film, Vanessa."

Justru ujaran itu disambut dengan anggukan dan senyum yang mengembang dari Vanessa. "Komandan Gilbert sering mendatangiku untuk berlatih, kau tahu itu. Jadi kupikir aku siap jika perihal yang tidak diinginkan terjadi."

Sungguh, tutur katanya tak pernah gagal mengukir senyum di wajah Kirika.

"Baiklah." Demikian ia membelai pipi adiknya. "Kau akan menyelinap masuk dan berperan sebagai klien di sebuah klinik psikiatri. Aku akan memberikan alamatnya nanti."

"Hanya itu?"

Waktu seolah berhenti sementara manik delima memalingkan perhatian barang sebentar. Vanessa menunggu dengan sabar, tetapi aura yang berkuasa kurang mengenakkan sehingga ia ingin Kirika cepat-cepat menjawab pertanyaannya.

"Kau akan mengulur waktu selagi aku berperan sebagai Ayame."

Selagi berbincang bersama Akira, pikiran Vanessa berputar kepada Ayame. Memang, dia sempat dipertemukan dengan wanita itu, si tangan kanan Kenji, yang hingga saat ini belum Vanessa dapatkan jawaban bagaimana ia tertangkap. Namun, jelas bahwa ia melakukan kesalahan fatal dalam misinya, justru itu membuat pikirannya segera berpusat kepada maksud Kirika beberapa hari lalu.

Agaknya Kirika bukan berupaya berperan sebagai Ayame dalam bentuk wujud, melainkan ....

Tepat kepalanya mendapatkan jawaban atas pernyataan Kirika kemarin, seketika Vanessa merasakan nyeri di mata kiri. Konon ia mengerang pelan, lantas Akira menghentikan penjelasannya.

"Anda baik-baik saja?"

Pertanyaan itu kontan dijawab dengan anggukan gugup. "Mungkin ... debu menghinggapi mata saya."

Bukan.

Barusan adalah sebuah sinyal dari lensa kontak yang ia kenakan. Ketika sinyal tersebut aktif, lensa kontak akan menyengat mata si pemakai dan segera akan terputus sepihak. Berbahaya untuk indera penglihatan, tetapi cukup efektif untuk memberi kabar singkat.

Kirika sudah berhasil menyelinap sebagaimana Ayame melakukannya di gedung perusahaan. Artinya Vanessa harus cepat-cepat angkat kaki dari klinik psikiatri ini.

~*~*~*~*~

Wanita itu melepaskan rambut palsu yang membuatnya gerah sejak ia masuk sebagai petugas kebersihan. Temperatur yang telah diatur di dalam klinik terlampau hangat, agak sedikit menyiksa.

Toilet merupakan tempat paling aman di klinik psikiatri ini. Mereka tidak memasang cermin dua arah, ditambah siapa saja yang masuk dapat mengunci pintu dari dalam.

Seusai melepas lensa kontak yang menyembunyikan warna matanya, segera ia berbalik sembari tangannya meremas keras-keras tempat lensa kontak tersebut dan mengedar pandangan kepada keramik-keramik lantai.

Dia tidak menyangka semuanya akan berakhir mudah seperti ini. Namun, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk merayakannya, bukan? Sebab masalah baru selalu datang ketika masalah yang lain selesai dipecahkan.

Agaknya Vanessa sudah keluar dan menyelesaikan konseling pertama dan terakhirnya. Maka Kirika pula harus menuntaskan tugasnya.

Orang-orang senang menyembunyikan sesuatu dengan cara klasik. Rumit dalam penciptaannya, tetapi memang itu cukup berguna. Seperti ruang rahasia atau semacamnya. Sembari menapakkan langkah menuju salah satu bilik, ia memutar otak kepada masalah baru. Kirika membuka pintunya, lantas tak lebih mendapatkan kloset serta tisu yang menggantung tak jauh di sampingnya. Tapi ... di mana?

Mungkin berperan sebagai petugas kebersihan adalah sebuah kesalahan, batinnya lantas putus asa semudah membalikkan telapak tangan. Sulit bagi Kirika untuk memasuki ruang-ruang konseling tanpa seizin pegawai tetap. Konon lagi, di luar sana, barangkali mudah bagi Akira mendeteksi wajahnya.

Pada akhirnya Kirika membuka satu per satu bilik yang ada. Bagai orang iseng, tiap-tiap tombol penyiram kloset hingga toilet penuh dengan suara air yang terjun menuju lubang-lubang klosetnya.

Tetap saja ia tak menemukan apa pun.

Kirika beralih kepada setiap dinding, berikut mengentak-ngentak lantai. Tidak membutuhkan selang waktu lebih lama ia merasakan kejanggalan di beberapa keramik.

Enam keramik lantai yang serumpun di ujung toilet seolah bukan tercipta dari keramik biasa. Jika diteliti, warnanya sedikit berbeda dengan keramik lainnya. Sementara keramik dinding yang tak begitu jauh dari bagian lantai itu, terdapat bagian nat keramik yang bercelah.

Ketika Kirika mencongkel celah tersebut, keramik lantas membuka masing-masing seperempat. Segera enam keramik di dekat kakinya tergeser dengan sendirinya, terpangah lebar-lebar memperlihatkan anak tangga curam mengarah ke bawah.

Sungguh tepat persembunyian yang klasik. Tapi ... benarkah semua berjalan semudah ini?

Satu sisi batinnya menolak untuk masuk dan memilih untuk sekadar tahu sampai di sini. Namun, tentu sisi lainnya dilingkupi oleh rasa penasaran dan keingintahuan soal apa yang berada di dalam sana.

Meninjau kesempatan yang hanya datang sekali ini, tentu Kirika mengambil langkah menuju ruang bawah tanah. Ya, ia akan meneruskan perannya sebagai Ayame tanpa sedikit pun keraguan di dalam hati.

Dia memasuki lorong curam itu sembari ia menjatuhkan tempat lensa kontak ke salah satu anak tangga. Utuh tubuhnya memasuki lorong tangga, akses masuknya segera menutup sendiri. Kirika tak menolehkan pandangan, terus pelan-pelan mengambil langkah dengan mengendap-ngendap. Sebab tak perlu memastikan hal yang pasti, ia yakin keramik dinding toilet yang terpangah pun juga ikut kembali ke tempatnya semula.

Hingga sampailah ia ke ruang bawah tanah temaram nan suram.

Sebisanya manik delima itu mengedar pandangan. Tanpa sadar tubuhnya tertarik untuk terus memeriksa satu per satu yang terpampang.

Terdapat dua tabung inkubator sebesar pilar istana berdiri kokoh di tengah ruangan, sekelilingnya dikepung oleh meja yang menampung buku-buku dan alat kendali yang agak usang. Di beberapa sisi terdapat meja belajar, sofa, serta sejumlah ranjang besi dengan kasur seadanya.

Tepat netranya kembali tertuju kepada isi tabung inkubator, napasnya seketika tertahan. Bukan sebab ia sempat mendapati lebih jelas makhluk yang sedang terlelap di dalamnya, tetapi justru pandangannya teralih kepada sesosok pria muda yang muncul tak begitu jauh dari tengah ruangan.

"Akira berkata padaku bahwa akan ada yang sedang datang." Suaranya menggema memenuhi hening. "Kadangkala android bisa sensitif mengenai orang-orang baru, ya. Persis seperti kucing ketika melindungi wilayah yang dikuasainya."

Dia tampak familier, itulah yang menarik perhatian Kirika. Bertubuh tinggi, berambut pirang keriting. Pun, siapa pun tahu ialah orang yang paling senang mengulas senyum manis. Tak ragu-ragu pula ia mendekati Kirika, seolah hendak menyapa kedatangan tamu dengan ramahnya.

Lantas sampailah ia, berdiri di antara tabung inkubator dan berujar santai, "Selamat datang, Madam."

Si lawan bicara bungkam, tetapi sama sekali ia tak menunjukkan sedikit pun rasa keterkejutan. Malah ia bertingkah seperti biasa ketika ia menjumpai setiap saat ketika masih berada di gedung Alford Corp.

"Daniel."

Ya, tenang dan dingin bersama senyum samarnya.

Dia yang disebut namanya sekadar memperlebar senyum sampai matanya menyipit.

"Aku tersanjung. Kau masih mengingatku dengan nama itu," ucapnya. "Sayangnya mereka tidak mengenalku sebagai Daniel di sini. Ingatkah kita pernah bercerita tentang Jackal?"

Hendaknya Jackal meneruskan celotehnya, tetapi dalam sekilas, mata safirnya teralihkan. Pun, Kirika yang hendak menaikkan dagu mengerling ke arah tatapan singkat tersebut menuju.

Akira—tanpa suara atau bahkan pertanda—telah berdiri di belakang Kirika.

"Senang bertemu dengan Anda kembali, Nona Alford."

Pun, pada akhirnya ia bersuara.

Begitu gesit ia meraih lengan Kirika yang sama sekali tak memberikan perlawanan. Dia mengingat kedua ibu jari sang Madam dengan pengikat kabel, kontan melanjutkan tuturnya, "Saya tidak menyangka singa juga bisa tertarik dengan lubang tikus."

"Agaknya dia terlalu lapar akan rasa penasarannya, Akira," sahut Jackal tepat si android mulai menekuk lutut Kirika. "Dia tidak bisa menahan nafsunya sampai rela dimakan tikus pemangsa seperti kita."

Lensa Akira sama sekali tak berminat melirik Jackal. Namun, tepat ia mendengar ujaran itu, senyum kecilnya merekah.

"Saya akui, rencana yang kalian lakukan teramat rapi." Sekarang ia berceletuk. "Namun, sayangnya percikan sinyal di mata Nona Krueger teramat mengganggu. Jadi kelihatannya semua pengalihan ini berlaku sia-sia, ya, Nona Alford?

"Tapi cukuplah mengenai urusan kita. Berhubung Anda masih berada di sini, tidak ada salahnya jika saya bertanya, bukan? Kini saya memiliki tanggung jawab dalam pencarian salah satu rekan kami." Salah satu tangannya beralih mendekat kepada tengkuk Kirika. "Ayame Sano. Atau sering akrab dengan sebutan Nona Rubah. Anda pasti mengenalnya."

Senyum samar justru kembali tercetak di wajah Kirika. Sedikit pun ia tak merasa gentar, kontan tanpa keraguan ia menoleh kepada lawan bicaranya.

"Sayangnya kami tak memiliki data mengenai nama yang kau sebutkan. Jadi aku tidak bisa membantumu."

Si android justru menanggapi dengan senyum ramah. Bersama nada sabar, pada akhirnya ia membalas, "Tentu Anda bisa. Semua orang selalu membantu kami ketika kewarasannya hendak melayang."

Sekejap Kirika merasakan nyeri akibat pukulan yang menyerang tengkuknya. Waktu seolah berhenti tepat pandangannya mulai utuh gelap. Sekujur tubuh si wanita ikut melemah berikut kesadaran yang perlahan menghilang.

Fortsett å les

You'll Also Like

12.8K 1.7K 40
Melupakan tak mengubah masa lalu. Rengganis Lusiana menulis Kelompok Penunggang Kuda untuk mengenang teman masa kecilnya yang hilang dalam peristiwa...
350K 67.3K 20
Tidak ada yang salah dengan media sosial. Yah, setidaknya, itu pendapatku sebelum tiga remaja asing seumuranku datang menghampiri dan mengaku bahwa m...
27.8K 1.5K 40
Cie kepo, kalo kepo ayo mampir sini follow dulu syenkk LAPAK BROTHERSHIP NOT BL❌❌❌ ( FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!!! ) ( JANGAN LUPA UNTUK TINGGALKAN...
29.3K 5.4K 23
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk