๐Š๐ž๐ญ๐ข๐ค๐š ๐“๐š๐ค๐๐ข๐ซ ๐Œ๏ฟฝ...

By Vllya_

30.7K 2.7K 112

Sudah terbit bersama Firaz Media Publisher๐Ÿ’“ Versi Wattpad masih terdapat beberapa typo dan kesalahan lainnya... More

PROLOGโœ“
MS. Dirgantara
Rutinitas
Dia
Tentang Rindu
Misi
Maaf
Kamu Hebat!
Holi-yeay
Tentang Dendam
Fracas!
Police Office & Hospital
Grup Random
Kembali
New Class
Sebuah Tawaran
Lolos?!
Ibukota
Mawar dan Durinya
Dia Telah Pergi
Keajaiban Tuhan
Nightmare
Penghargaan
Pulang
Kenapa?
Perih
Cepat Pulih, Bang Dirga
Sebuah Kejanggalan
Cuma Lelah
Sebuah kenyataan
Kenapa Harus Gue?!
M. Margantara Danuarta
Tamparan
Dika, Senja, dan Lapangan Basket
Fatal
Fatal (2)
Sebuah Permintaan
Bunda, Dirga Capek.
Bahagia yang Sesungguhnya
Terima Kasih
Maaf Untuk Andara
Drop!
Senja dan Sebuah Izin
Don't Go
Keputusan dan Kenyataan
Tentang Kehilangan
Satu dari Dua
Rest In Peace, Margantara
Dirga dan Lukanya | Ending
EPILOG
Sebuah Kabar Bahagia
OPEN POโœจ

Bingung

476 58 0
By Vllya_

Pukul sembilan malam, Alsya masih setia menunggu suaminya. Fairuz sampai saat ini masih belum tiba di rumah, lelaki itu juga tidak mengiriminya pesan sama sekali. Membuatnya overthinking saja.

Sekarang ia masih berada di kamar Dirga. Seperti biasa, menemani anak itu sebelum tidur. Sebenarnya Dirga tidak meminta, tapi Alsya senang saja ketika bersama putranya. Karena pagi sampai sore ia sibuk dinas, maka malam hari ia ingin lebih dekat dengan anak sulungnya itu.

"Abang kalau ngantuk tidur aja, ya!" Ujar Alsya. Ia masih mondar-mandir tak jelas di dalam kamar putranya itu.

"Bunda kenapa mondar-mandir sih. Dirga pusing lihatnya." Nahkan, kelakuannya sekarang memang tidak jelas.

Alsya terkekeh pelan, ia menggelengkan kepalanya kemudian mendekati Dirga. Seperti biasa, ia akan duduk di pinggir ranjang anak itu.

"Maaf, ya. Sekarang abang tidur, gih. Udah jam sembilan."

"Bentar lagi, Bun. Nunggu ayah pulang dulu."

"Kalau ayah pulangnya lama gimana? Kamu ga tidur-tidur, gitu?" Tanya Alsya sambil memandangi wajah Dirga.

Dirga terkekeh, tangannya meraih sebelah tangan Alsya, kemudian ia tempelkan ke pipinya. "Kalau kelamaan ya pasti Dirga tidur, Bunda ... Bentar lagi juga udah ngantuk," ujarnya lucu.

Alsya tersenyum manis menanggapi jawaban Dirga, namun sesaat kemudian senyumnya pudar karena sesuatu yang telah menyita perhatiannya.

Dengan pelan, ia meraih tangan Dirga, membalikkannya hingga sebuah plaster terlihat jelas menempel di sana.

"Dirga, ini kenapa?" Tanya Alsya bingung.

Bukannya langsung menjawab, Dirga malah dengan spontan menarik tangannya dari genggaman Alsya, membuat wanita itu menatapnya curiga.

"I-ini___"

"Ini apa?"

"Tadi Dirga jatuh, Bun. Di sekolah," dustanya.

"Gimana bisa jatuh sih?"

Untuk anak seumuran Dirga, tragedi jatuh itu mungkin sudah sangat jarang. Makanya agak sulit untuk dicerna.

"Yaaa, tadi Dirga main, terus kesandung. Jatuh."

"Tapi kok ini kayak luka goresan, mana besar lagi." Dirga mulai kewalahan, bundanya ini kalau bertanya sangat mendetail.

"Iya, Bunda. Tadi emang kegores sama kawat," alibi Dirga.

"Emang di lingkungan sekolah kamu ada kawat? Dimananya? Kok bunda ga tau."

"Ya jelas lah bunda gatau, kan ga pernah ke sekolah Dirga. Asal ada apa-apa yang pergi kan ayah." Dirga untuk sekian kalinya kembai mengeles.

"Yaudah besok bunda ke sekolah kamu, buat mastiin."

Dirga tepuk jidat seketika.

"Ya Allah, Bun ... Ga gitu juga konsepnya," ujar Dirga frutasi.

Alsya tertawa cukup keras, jarinya dengan santai menjawil hidung Dirga.

"Bercanda, Sayang. Bunda percaya kok sama kamu. Jadi ini siapa yang ngobatin?"

"Om Andi."

Dirga menghela nafas lega, untung bundanya tidak bertanya lebih lanjut, bisa mati mendadak dia. Dalam hati ia memohon maaf karena telah membohongi bunda tercinta, jika ketahuan, habislah sudah.

Di tengah suasana yang menurut Dirga sedikit aneh ini, terdengar suara pintu diketuk. Dalam hati ia kembali bersyukur, itu pasti ayahnya.

Benar saja, suara lelaki itu mulai terdengar, mengucapkan salam sembari memanggil Alsya. Yang dipanggil pun langsung menyahut dan bersiap untuk keluar dari kamar Dirga.

Ia terlebih dahulu membenarkan selimut Dirga, mencium kening anak itu sekilas kemudian langsung melenggang keluar. Menyambut sang suami.

"Selamat tidur, Dirga," ujarnya sembari melambai kearah Dirga sebelum menutup rapat pintu kamarnya.

Dirga terkekeh pelan, bundanya ini, lucu sekali.

***

Satu jam telah berlalu, mondar-mandir sebentar, tidak terasa waktu sudah berjalan begitu cepat.

Alsya kini sedang duduk di pinggiran tempat tidur, memainkan rambut pendeknya sembari memperhatikan Fairuz yang sedang mengacak-acak rambut basahnya.

"Ngeliatinnya ngapa gitu banget sih? Mas kelewat ganteng, ya?" Tanya Fairuz dengan kepedean tingkat dewa.

Alsya terlonjak kaget, matanya membelalak dan langsung menatap horor kearah Fairuz.

"Monmaap, Pak. Yang kelewatan bukan gantengnya, tapi pedenya. Narsisnya kurang-kurangih deh, Pak. Ingat loh, Bapak udah punya anak dua," canda Alsya.

Fairuz tersenyum jahil, matanya memicing membuat Alsya langsung paham, sebentar lagi hal yang tidak diinginkan pasti akan terjadi.

Benar saja, Fairuz langsung mendekat kearah, memeluknya dari belakang kemudian menggelitik pinggangnya. Area paling rawan bagi Alsya, karena itu bagian tergeli setelah leher menurutnya.

"Mas Fairuz! Geli, tau. Ish lepas!" Pekik Alsya pelan karena ini sudah malam. Ia juga memukuli tangan Fairuz yang sangat minus akhlak ini.

"Ngomong apa tadi, hemm? Ngomong apa? Apa hubungannya ganteng sama punya anak dua."

"Terserah Anda, Pak, terserah. Lepas ish! Mau aku cubit, kah?" Ancam Alsya yang malah membuat Fairuz terkekeh.

"Cubit aja kalau bisa," jawab Fairuz santai.

"Nantangin nih orang," gumam Alsya sambil tersenyum licik. Setelah mengumpulkan kekuatan milik Boboiboy, ia langsung mendaratkan sebuah di tangan Fairuz. Lelaki itu mengerang keras kemudian langsung melepaskan kedua tangannya dari pinggang Alsya.

"Sok nantangin, dicubit dikit teriak," ledek Alsya sok sinis.

Bukan Fairuz namanya jika tidak membalas, ia juga mulai menyipitkan matanya, melirik Alsya dengan kesinisan tingkat dewa. Namun itu semua tidak bertahan lama karena Alsya sudah terlanjur ngakak lalu menghambur kedalam pelukannya. Humornya memang terlalu rendah.

"Udahh ih, bukannya seram malah lucu," ujar Alsya masih dengan tawa yang berderai.

Fairuz hanya bisa tersenyum sambil memeluk istrinya itu. Beberapa hari terakhir ia selalu pulang telat karena beberapa urusan, membuat ia tidak punya waktu untuk Alsya juga anaknya.

"Dirga udah tidur?" Tanyanya karena kebetulan sedang teringat.

"Seharusnya udah," jawab Alsya. Soalnya, malam ini ia keluar dari kamar Dirga dengan keadaan anak itu belum menutup matanya.

"Dia sehat kan, Dek?"

"Alhamdulillah sehat kok, Mas. Kamu tenang aja. Cuma tadi katanya dia jatuh di sekolah," ujar Alsya setelah cerita Dirga tadi terlintas di benaknya.

"Jatuh? Gimana ceritanya?"

"Lagi main, kesandung, terus kegores kawat. Begitulah."

"Emang di Cakrawala ada kawat, ya?" Tanya Fairuz heran sendiri.

"Entahlah dia itu, bilangnya karena kawat. Tapi lukanya lumayan besar. Sejari gitulah, lebih sedikit," jelas Alsya sambil menyentuh jemari Fairuz lalu melihatnya satu persatu-satu.

"Mencurigakan," gumam Fairuz yang masih terdengar oleh Alsya.

"Eh iya, Mas," panggil Alsya spontan.

"Apa?"

"Tempo hari Dirga nanya sesuatu sama aku, mungkin menurut kamu wajar-wajar aja, tapi aku ngerasa aneh gitu."

"Tentang apa memangnya?"

Alsya sedikit menegakkan tubuhnya, kemudian berbisik pelan di telinga Fairuz.

"Terorisme."

Isu begini lumayan sensitif jika dibahas dengan Fairuz, makanya dia agak memelankan suaranya.

"Kenapa bisa ngerasa aneh? Mungkin dia emang lagi belajar itu di sekolahnya."

"Engga. Dirga kan masih kelas satu, materi begituan belum masuk dalam mapel PKN-nya. Paling baru materi HAM yang dibahas. Dirga sendiri juga bilang dia ga belajar itu di sekolah," jelas Alsya.

"Dia ga terlalu fokus ke pengertian terorisme itu sih. Dari yang aku tangkap, Dirga lebih fokus ke pertanyaan awalnya, kenapa di dunia harus ada orang jahat?"

"Dia juga nanya kenapa ada orang-orang yang ngelakuin aksi teror, dan motifnya itu apa-apa aja."

"Serius dia tanya itu?"

"Iya, Mas. Beneran deh."

"Kalau lagi ga belajar itu, ngapain juga dia nyinggung-nyinggung topik begituan? Perasaan, di tv pun lagi ga ada berita menyangkut permasalahan itu," cetus Fairuz yang ikut heran.

Bukannya tidak membolehkan Dirga untuk bertanya dan tau lebih banyak. Hanya saja, topik ini lumayan berat dan sensitif. Sebagai orangtua, mereka memang memiliki kewajiban untuk mengedukasi anak-anak mereka tentang terorisme. Tapi jika Dirgalah yang menyinggung duluan, itu membuatnya merasa aneh. Terlebih ada sebuah masalah yang membuatnya selalu was-was.

"Jangan-jangan ..."

Fairuz dengan tenang langsung meletakkan telunjuknya di bibir Alsya. Memaksa wanita itu untuk membungkam mulutnya.

"Besok kita tanya sama Andi aja, ya. Jangan berpikir kemana-mana dulu."

Sejak dulu hingga sekarang, Fairuz tetaplah lelaki yang sangat tenang. Ia selalu bijaksana dalam menghadapi setiap masalah. Ia juga selalu mampu membuat Alsya membuang pikiran yang membuatnya khawatir. Fairuz selalu sukses meredam kegelisahan yang seringkali menghampiri.

***

Sekitar pukul sebelas malam, Alsya masuk ke dalam kamar Dirga, setelah tadinya meminta izin kepada Fairuz.

Ia lupa memastikan seragam yang akan dikenakan oleh Dirga besok paginya. Syukur-syukur kalau seragam itu telah digantung rapi, namun jika tidak, akan terjadi kerepotan luar biasa di hari esok.

Dugaannya tidak meleset, Dirga sama sekali tidak menggantung seragamnya dengan baik, anak itu malah menyampirkan asal pakaiannya pada kursi.

Alsya meraih kemeja putih itu, merapikannya sedikit. Wanita itu tiba-tiba terpaku pada noda yang ada di bagian belakangnya.

"Apa ini?" Gumamnya sambil terus memperhatikan noda hitam pekat yang lumayan banyak.

"Bundaa." Alsya sedikit terlonjak ketika suara parau itu memanggilnya. Ia langsung menoleh, dan mendapati Dirga yang menatap ke arahnya.

"Kamu belum tidur?" Tanyanya.

"Udah, Bun. Cuma barusan baru balik dari kamar mandi. Bunda ngapain?" Dirga ikut bertanya dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk.

"Cuma ngecek seragam kamu aja. Tidur lagu, ya," pinta Alsya.

"Ohiya, besok kamu ambil seragam yang lain aja di lemari," ujar wanita itu, mengingat seragam Dirga yang sudah tak bisa dipakai.

"Memang kenapa? Baju tadi baru Dirga pakai sekali," tanya Dirga heran. Ia melupakan sebuah tragedi yang dialaminya siang tadi. Yang membuatnya terhempas kencang ke aspal hingga membuat seragamnya kotor.

"Belakangnya ada noda, ga bisa dipake. Yaudah, Dirga, lanjut tidur, ya. Ini udah larut," ujar Alsya. Ia kemudian langsung keluar dari kamar Dirga tanpa sepatah kata pun, tak lupa, ia juga membawa seragam anaknya tadi.

Alsya kembali mengingat-ingat, adakah sesuatu yang ia lewatkan, adakah cerita Dirga yang tadinya tak sempurna ia dengar. Ia hanya mengingat bahwa Dirga mengatakan ia jatuh, tapi secara logika, jika tersandung tidak mungkin jatuh ke belakang, kan?

Wanita itu segera menghampiri suaminya, memberikan seragam itu, kemudian menanyakan sesuatu.

"Menurut kamu itu bekas apa?"

***

Di saat matahari belum sempurna menampakkan wujudnya, Andi sudah merapat ke rumah Dirga dan sekarang tengah berada di garasi.

Saat ini, Dirga masih belum keluar dari kamarnya. Kesempatan emas bagi Alsya untuk menemui Andi secara diam-diam. Sudah seperti apa saja.

"Om Andi," panggil Alsya pelan. Untuk panggilan om sendiri, itu sudah biasa terdengar di lingkungan asrama. Panggilan tersebut lebih sering digunakan daripada langsung memanggil namanya.

"Siap, Ibu," jawab Andi tegas dan langsung menghadap ke arah Alsya.

"Kan udah saya bilang kalau dirumah panggil mbak aja," keluh Alsya. Demi apapun wanita itu sangat tidak suka dipanggil ibu. Dia ini masih muda loh, ya. Umurnya dengan Andi juga hanya berselang sedikit. Kalau Fairuz aja bisa dipanggil abang, kenapa Alsya tidak ikut-ikutan dipanggil mbak atau kakak.

Tapi begitulah yang namanya peraturan. Sedikit sulit untuk kita bantah. Meski perbedaan umur mereka yang memang tidak banyak, Andi juga tidak seberani itu untuk memanggil Alsya dengan panggilan lain selain ibu. Kalau untuk Fairuz, panggilan abang sudah biasa.

"Om, saya mau nanya nih. Belakangan Dirga pulang sekolah, kalau boleh tau ada kemana dulu?" Alsya mencoba untuk bertanya sesopan mungkin.

"Engga kemana-mana juga, Bu. Seperti biasa langsung pulang ke rumah. Cuma kalau beberapa hari lalu dia sempat telat karena ke gelanggang dulu, pergi sama temennya," jelas Andi.

"Terus kalau kemarin gimana, Ndi?"

Andi langsung berdiri tegak ketika Fairuz tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Alamat akan diintrogasi kalau begini caranya.

"Iya, kalau kemarin ada kemana dulu gitu?" Tanya Alsya memperjelas.

"Ijin, Pak, Bu. Mohon maaf sebelumnya, kemarin Dirga memang pulang telat, ada sebuah urusan katanya. Namun, saya sendiri tidak tahu, Bu. Di tengah perjalanan saya ke sana, dia ngabarin saya, bilang jangan ke sekolahnya dulu. Saya bahkan disuruh berhenti dulu."

"Saya berusaha nelponin dia tapi ga di jawab-jawab. Sampai tiba waktu Asar, saya langsung merapat ke sekolahnya. Tapi dia juga ga ada di sana. Saya tanyain ke satpam katanya Dirga udah keluar. Saya bahkan ngecek sampai ke dalam, beneran ga ada."

"Di situ dia bener-bener ga bisa di hubungi, mau nelpon temannya juga saya ga punya nomor. Alhasil dia baru muncul sekitar setengah lima-an."

Untuk masalah yang satu ini, dengan terpaksa ia harus menceritakan semuanya.

"Dia dari arah mana, Ndi?" Tanya Fairuz.

"Dari arah gelanggang, Pak."

"Sendirian?" Alsya mulai menimpali.

"Iya, Bu."

Alsya dan Fairuz tampak memikirkan sesuatu. Dari cerita Andi barusan, belum ditemui tanda-tanda yang begitu mencolok. Semuanya mungkin masih bisa ditolerir oleh mereka.

"Ijin, Ibu. Waktu Dirga sampe mobil, itu kondisinya berantakan banget, muka pucat, nafas juga ga teratur. Saya tanyain ada apa, dia ga bilang. Tangannya juga luka, mungkin bapak dan ibu sudah lihat sendiri. Saya ga yakin itu bekas goresan kawat atau semacamnya, karena waktu saya bersihkan itu lebih seperti luka karena terkena pisau atau benda tajam lainnya, Ibu."

"Ada lagi, Om?" Tanya Alsya memastikan. Ia cukup terkejut dengan pernyataan Andi barusan.

Andi tampak berpikir sejenak, memutar kembali memorinya tentang semua hal yang ia lihat kemarin, hingga sesuatu yang cukup janggal menurutnya, terlintas di benaknya.

"Itu, Bu___"

"Iya, kenapa?"

"Sekitar lima belas menit sebelum Dirga muncul, ada tiga orang memakai jaket hitam juga datang dari arah yang sama dengan Dirga. Mereka menggunakan dua motor, dan kondisi mereka juga tampak seperti habis terlibat perkelahian atau tawuran begitu. Di salah satu motor saya sempat melihat ada tulisan, tidak tau apa maknanya, tapi tulisannya itu___"

"Uzi?" Fairuz langsung memotong pembicaraan Andi ketika otaknya entah mengapa langsung mengarah ke sana.

"Siap, benar, Pak," jawab Andi cepat.

"Uzi? Apa itu, Mas?" Tanya Alsya yang mulai bingung dengan topik pembicaraan sekarang.

Fairuz malah tidak menjawab pertanyaannya, lelaki itu tampak diam sejenak dengan mata yang berkilat tajam.

"Hubungi Andara sekarang! Dan Andi, tolong perketat penjagaan Dirga, ya. Kabari apapun yang tampak mencurigakan."

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.3K 249 31
Laut itu? Yang membuat nya merasakan kesedihan, ketika dia harus melihat orang yang dia sayang, hilang.. "Ayah jahat, al rindu bunda.." Dan laut itu...
196K 3.9K 7
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Perjanjian itu juga akhirnya adalah kematian Reval! Reval nggak bodoh untuk menyadari kalau jantung Reval diambil, Reval ak...
17.8K 1.4K 52
"Dan kalo lo suka matahari, gue bakal jadi awan putih yang berada di bawah sinar matahari." -Ervin Garavy Albirru. Awan yang mendung dan sering meng...
95.4K 12K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...