Sabella menyipitkan matanya kala sinar matahari menerobos masuk lewat celah gorden. Ia menggeliat, menyibakkan selimut, lalu memutarkan tubuhnya untuk melihat Decan. Ia spontan duduk dari posisi tidurnya ketika tidak menemukan Decan berada di tempat tidur. Jantungnya berdegup kencang, ia tak mau jauh lagi dari Decan.
Lantas, Sabella turun dari ranjang. Ia berjalan kearah kamar mandi, Decan juga tidak ada disana. Ia menarik bathrobe yang menggantung di sisi kamar mandi untuk menutupi tubuh polosnya. Ia dengan cepat keluar dari kamar.
Keadaan rumah tak ada bedanya dengan yang ia lihat semalam sebelum ia bercinta dengan Decan. Tidak ada tanda-tanda keributan ataupun sesuatu yang mencelakakan Decan. Namun, ia khawatir karna belum melihat Decan dengan keadaan sempurna di hadapannya.
Sabella menuju ruang tamu, pintu depan masih terkunci rapat dari dalam. Ia menghembuskan nafas frustasi, ia takut kehilangan Decan lagi.
"Decan ?!"
Tak ada jawaban. Sabella membuka semua kamar yang ada dirumah, berputar-putar di dapur, kembali ke kamar, melihat sekeliling rumah. Decan tak terlihat sama sekali. Sabella putus asa, air matanya sudah mengalir di pipinya, ia mendudukkan diri di kursi halaman belakang.
Dadanya sakit, tenggorokannya perih, kepalanya pening. Suara isakan tangisnya semakin jelas. Samar-samar ia mendengar suara serine, ia mengadahkan kepalanya, kenapa harus sekarang. Ia harus menemukan Decan. Ia ingin bersama Decan, ia rela dipenjara bersama Decan hanya untuk bersama selama sisa hidupnya.
Ia mencintai Decan. Tidak ada keraguan tentang itu. Tidak ada alasan untuk itu. Ia hanya mencintai Decan. Sangat-sangat mencintai Decan.
Sabella berdiri, hendak masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar dentuman keras dari dalam gubuk yang berjarak 20 kaki dari tempat ia berdiri. Jantungnya kembali berpacu cepat, ia belum memeriksa disana, tapi tidak mungkin kan Decan disana padahal ia sudah meneriaki namanya, tidak mungkin kan ia tidak mendengar Sabella ?
Sabella mengusap air matanya, ia menelan sallivanya dengan payah, tangannya bergetar hebat. Di samping itu, suara serine semakin dekat. Sabella gelisah, perasaan takut membabi buta dalam dirinya.
Telapak kaki telanjangnya dengan pelan menapakkan kaki di hamparan rumput hijau menuju gubuk bercat putih yang tak pernah ia masuki sebelumnya.
Sisi dirinya ingin menemukan Decan disana sambil tersenyum dan mengatakan ia mencari hamer untuk memperbaiki sesuatu di dalam rumah, tapi sisi lain memeluknya dengan perasaan takut dan gelisah yang sudah menjalar di seluruh pembuluh darahnya.
Sabella kembali meneguk sallivanya, tangannya mulai dingin, buliran keringat dingin sudah memenuhi pelipisnya.
Sabella memberhentikan langkahnya ketika jaraknya dengan pintu gubuk tinggal 3 kaki. Ia menutup matanya, menarik nafas dalam berkali-kali hingga akhirnya ia mendengar suara dobrakan yang sangat keras dari arah depan rumah. Suara pecahan kaca juga terdengar, jantung Sabella seakan berhenti berdetak. Ia diambang neraka sekarang.
Tanpa fikir panjang, Sabella melangkahkan kakinya dan membuka paksa pintu gubuk di depannya.
Sabella membelakkannya matanya, ia menutup bibirnya dengan kedua telapak tangannya,
Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Mesin kremasi lengkap dengan mesin penghancur tulang, peti-peti es, meja pingpong dengan noda darah yang pekat. Kumpulan garis kuning polisi yang terbakar di tengah ruangan.
Air matanya mengalir, apa yang terjadi sebenarnya ? pikirnya. Sabella melangkahkan kakinya. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Kenapa semua benda mengerikan ini berada di rumah Decan. Sabella bingung, ia tak mengerti, ia tak bisa berfikir. Untuk apa semua ini sebenarnya ?
Bahkan api di mesin kremasi membara-bara. Sabella dapat merasakan hawa panasnya. Sabella mengelilingi gubuk tersebut dengan kaki yang lemas.
Yang ada di pikirannya hanya ; kenapa Decan menyimpan benda ini ? apa yang di lakukan Decan dengan benda-benda ini ?
Sabella terdiam sesaat, jika ia tidak menemukan Decan disini, kemana lagi Decan ? fikirannya penuh, ia tak bisa memikirkan semuanya satu-satu, semua ini terlalu membingungkan. Semua ini terlalu memusingkan. Sabella memegang kepalanya ketika ia merasakan pening luar biasa.
Sabella menutup matanya, air matanya spontan mengalir di pipinya.
Sabella hampir saja hendak duduk di meja pingpong sampai akhirnya ia merasa lengannya di pegang oleh seseorang. Sabella sontak berbalik, ia yakin itu Decan. Tapi sayangnya, yang ia temui bukan Decan, melainkan petugas polisi.
Petugas polisi itu mencoba membopong tubuh Sabella, namun Sabella menolak. Di belakang petugas polisi yang memegangnya, ada banyak petugas polisi lain, di antaranya menodongkan senjata.
"mbak ? mbak gak apa-apa ?" sabella mengangguk. Laki-laki itu berusaha menarik Sabella untuk keluar dari gubuk itu.
Sabella kebingungan, ia tak tau apa yang harus di ikutinya, hatinya yang ia tetap disini atau raganya yang sudah lelah ingin berada di pelukan Decan. Keduanya berkonteks sama, sama-sama ingin bersama Decan. Tapi Decan tidak ada disini, ia juga tidak akan ada di luar. Ia yakin itu saat pertama kali melihat polisi di luar.
Sabella menarik nafasnya, ia mulai melangkahkan kakinya. Namun langkahnya terhenti karna sebuah dentuman berasal dari belakangnya. Sontak ia mendengar suara polisi mengeluarkan pistolnya.
Sabella berbalik, ia langsung menjerit. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Dan ia tak mau percaya. Ia tak mau berfikiran bahwa sebuah tangan yang terlihat di mesin kremasi yang membara tadi adalah milik Decan.
Sabella menggeleng, air matanya sudah mengalir dengan deras. Tenggorokannya sangat perih. Tubuhnya lemas. Ia tak bisa berdiri lagi, ia membiarkan tubuhnya ambruk di lantai.
Polisi tadi mencoba menariknya, tapi Sabella menahan tubuhnya untuk diam. Sabella menggeleng terus menerus, ia tak ingin percaya bahwa itu Decan tapi kenapa rasanya ia sangat marah, ia marah pada Decan tak tau kenapa.
Sampai akhirnya kedua tangan tadi kembali menghilang. Sabella berteriak, ia merangkak mencoba meraih mesin kremasi tapi petugas polisi dengan cepat menariknya. Sabella berontak, ia berteriak, meraung seperti orang gila.
Yang ia rasakan saat ini hanyalah rasa sakit luar biasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kepalanya pening luar biasa, tenggorokannya tercekat dan perih, dadanya sesak.
Jika sebelumnya ia diminta untuk memilih, ia lebih memilih mati daripada merasakan ini. Ini sungguh menyiksa raganya.
Ia tak ingin berfikir itu Decan tapi lebih dari separuh raganya menangis seolah-olah mereka tau bahwa ada seonggok tubuh Decan di mesin kremasi yang membara-bara tadi.
"DECAN !!!" jerit Sabella saat tubuhnya digendong paksa oleh seorang polisi.
Ia tak bisa menahannya lagi, ini terlalu menyakitkan untuknya.
Sabella meronta-ronta sampai akhirnya kepalanya semakin sakit dan pandangannya mengabur lalu menghitam.
Sabella mengerjapkan matanya, samar-samar ia dapat melihat Decan. Wajahnya terlihat panik, ia berada di samping Sabella. "decan.." gumam Sabella. Decan menoleh, ia lalu tersenyum tipis. Ia menyentuh tangan Sabella, tapi sentuhan itu terasa tidak nyata.
Sabella ingat sesuatu kala itu, ia ingat ketika ia sekarat setelah Adam menyiksanya saat ia hamil hingga ia kehilangan bayinya. Kala itu saat perjalanan menuju rumah sakit, ia melihat Decan berada di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Ia merasa hangat, ia merasa aman.
Dan itu terulang lagi sekarang.
Ia juga ingat adegan Arturo tidak sengaja tertembak di series Lacasa de Papel. Tokyo bilang seseorang yang sudah di ujung nyawanya, seseorang yang hampir meninggal cenderung melihat kejadian-kejadian indah dan menyenangkan yang pernah ia lewati.
Tokyo benar, saat Sabella sudah tidak tahan dengan deritanya saat ini ia melihat kejadian indahnya bersama Decan. Walau dapat dihitung, tapi ia sangat bahagia sekarang, apalagi melihat Decan di sebelahnya, memegang tangannya.
Walaupun itu hanya fana.
***
hehe akhirnya ya, selesai juga. jangan marah dulu, abis ini ada satu part lagi, judulnya Epilogue. di part itu kalian bakalan tau sesuatu, gamau spoiler ah. Kalau endingnya gini, greget-greget mantap gitu gak si HAHAHAHAHAHAHAH.
love,
Depone.