๐Š๐ž๐ญ๐ข๐ค๐š ๐“๐š๐ค๐๐ข๐ซ ๐Œ๏ฟฝ...

By Vllya_

30K 2.7K 112

Sudah terbit bersama Firaz Media Publisher๐Ÿ’“ Versi Wattpad masih terdapat beberapa typo dan kesalahan lainnya... More

PROLOGโœ“
MS. Dirgantara
Rutinitas
Dia
Tentang Rindu
Misi
Maaf
Kamu Hebat!
Bingung
Holi-yeay
Tentang Dendam
Fracas!
Police Office & Hospital
Grup Random
Kembali
New Class
Sebuah Tawaran
Lolos?!
Ibukota
Mawar dan Durinya
Keajaiban Tuhan
Nightmare
Penghargaan
Pulang
Kenapa?
Perih
Cepat Pulih, Bang Dirga
Sebuah Kejanggalan
Cuma Lelah
Sebuah kenyataan
Kenapa Harus Gue?!
M. Margantara Danuarta
Tamparan
Dika, Senja, dan Lapangan Basket
Fatal
Fatal (2)
Sebuah Permintaan
Bunda, Dirga Capek.
Bahagia yang Sesungguhnya
Terima Kasih
Maaf Untuk Andara
Drop!
Senja dan Sebuah Izin
Don't Go
Keputusan dan Kenyataan
Tentang Kehilangan
Satu dari Dua
Rest In Peace, Margantara
Dirga dan Lukanya | Ending
EPILOG
Sebuah Kabar Bahagia
OPEN POโœจ

Dia Telah Pergi

547 48 1
By Vllya_

Sekitar pukul delapan malam, Alsya mendapat sebuah panggilan dari pihak official Cakrawala. Mereka mengabarkan bahwa Dirga berhasil meraih juara pertama dalam pertandingan kali ini. Alsya awalnya mengucap syukur atas pencapaian itu. Namun, semuanya seketika berubah ketika staf tersebut mengatakan Dirga mengalami kecelakaan setelah pertandingan itu.

Alsya nyaris pingsan mendengar hal tersebut jika saja Fairuz tidak langsung sigap berada disampingnya. Staf itu menjelaskan secara rinci bagaimana kejadian berlangsung, bermula dari keadaan Dirga yang memang sedang sakit, hingga berakhir muntah darah setelah terjatuh dari atas panggung pertandingan.

Wanita itu menangis berat setelah sambungan terputus. Ia sempat marah kepada Fairuz karena sama sekali tak memberitahunya tentang kondisi Dirga belakangan ini.

Dari awal keberangkatan, Alsya memang sudah memiliki firasat buruk, hanya saja ia berusaha menepisnya jauh-jauh. Tak disangka ternyata hal yang tak diinginkan ini malah terjadi.

Selang berapa menit setelah panggilan pertama itu terputus, sebuah panggilan kembali menghampiri mereka, kali ini di ponsel suaminya.

"Om," sapa orang dari seberang sana. Karena Fairuz mengeraskan volume hpnya, Alsya bisa mendengar dengan jelas keributan yang ada ditempat itu.

"Gimana, Bram? Tadi ada staf yang nelpon, katanya Dirga masuk rumah sakit. Benar?"

"Benar, Om. Kondisinya kritis sekarang," jawab Abram berat.

"Dokter minta Abram buat hubungin keluarga, ada sesuatu yang mau mereka tanyakan."

"Apa itu? Kasih aja ke dokternya!" Titah Fairuz.

"Sebentar."

Suara orang yang tengah bercakap mulai terdengar, tampaknya Abram sedang menemui dokter tersebut dan memberikan ponselnya. Hingga sesaat kemudian, sang dokter mulai menyapa mereka.

"Dengan keluarga Dirgantara?" Tanyanya sebagai pembuka.

"Benar, saya ayahnya," jawab Fairuz cepat. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Sambungnya kemudian.

"Maaf, Pak. Dengan berat hati kami sampaikan saat ini kondisinya masih kritis. Untuk kelanjutan pemeriksaan, bolehkah kami menanyakan beberapa hal?"

"Silahkan!"

"Baik, apa selama ini putra Anda mengidap suatu penyakit tertentu?"

"Tidak," jawab Fairuz yakin.

"Kami mendengar bahwa ia sempat pingsan sebelum kejadian ini terjadi, boleh kami tau apakah belakangan ini ia sering mengalami hal tersebut?"

"Iya, belakangan kondisi kesehatannya memang tidak baik, dia sering pingsan jika kelelahan," ujar Fairuz.

"Apakah sudah dibawa ke dokter, Pak?"

"Belum."

"Baik. Boleh kami tau kapan pertama kali dia mengalami pingsan?"

Fairuz berpikir sejenak, jika mengingat kapan pertama kali, itu sudah sangat lama, bahkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Karena terdiam lumayan lama, Alsya menyikut lengannya kemudian berbisik pelan.

"Jawab saja!"

"Hem ... Pertama kali saat umurnya masih dua tahun," ujarnya pelan.

"Dua tahun?" Dokter di seberang sana sempat kaget, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Tanyanya sesaat setelah itu.

"Begini, Dok. Sejak dilahirkan, dokter yang menanganinya mengatakan bahwa tubuhnya lemah. Namun, semua itu sudah bisa diatasi saat umurnya menginjak tiga tahun," jelas Fairuz. Dirga memang tidak sesempurna itu, sejak hari pertamanya di dunia, kehidupannya telah diuji dengan berbagai masalah di tubuhnya. Hidupnya tak semulus yang dibayangkan, saat kecil ia bahkan tak bisa bermain sebebas anak lain karena tubuhnya yang sangat rentan.

Dokter itu akhirnya mengiyakan penjelasan Fairuz setelah terdiam beberapa saat. Terdengar ia seperti sedang mendiskusikan sesuatu dengan rekannya.

"Maaf, Pak. Karena ketidakhadiran keluarga pasien disini, maka kami terpaksa meminta izin melalui telpon seperti ini. Hal ini kami perlukan untuk kelangsungan operasi, Pak," ujar Dokter itu tiba-tiba membuat Alsya dan Fairuz seketika terkejut.

"Operasi?" ulangnya.

"Benar. Kondisi Dirga ternyata sudah sangat parah, Pak. Ginjal kanannya mengalami kerusakan parah. Kami belum melakukan observasi lebih lanjut tentang itu, namun operasi ini harus segera dilakukan demi keselamatannya. Sebelah ginjalnya yang rusak akan segera diangkat, Pak."

"Jadi ... Setelah ini anak saya hanya memilik satu ginjal?"

"Benar, Pak."

Fairuz merasa seperti ada sebuah belati yang menghunus hatinya, dalam. Sakit sekali rasanya mendengar keadaan Dirga sekarang. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana kehidupan Dirga setelah ini. Operasi pengangkatan ginjal ini tentunya membuat Dirga harus merelakan cita-citanya, tak terbayang akan sesakit apa itu.

"Maaf, Pak. Rekan saya menemukan sebuah luka tembak di perut Dirga, apakah dia pernah tertembak sebelumnya?"

"Pernah, Dok. Kejadiannya sekitar delapan bulan lalu."

"Baik. Operasi kali ini mungkin sedikit berisiko, Pak, mengingat keadaan Dirga yang sudah seperti ini. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin. Mohon do'anya, selamat malam," ujar dokter itu.

"Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok," pinta Fairuz sesaat sebelum sambungan terputus.

Lelaki itu langsung menatap wanita di sampingnya, Alsya sudah kembali meneteskan air matanya setelah mendengar kenyataan pahit yang malam ini harus diterimanya.

Fairuz sendiri tak tau harus berkata apa, ia pun sama terpukulnya. Ia hanya bisa membawa Alsya kedalam pelukannya. Mendekap erat tubuh wanita itu, sambil mengelus pelan punggungnya.

Alsya menatap dalam suaminya, sesaat setelah tangisnya seidkit mereda.

"Mas ..."

"Aku mau kesana," lirihnya.

***

Saat malam kian larut bersamaan dengan gelapnya yang semakin pekat. Abram masih setia menunggui Dirga di dalam ruangan yang super steril itu. Dibaluti dengan pakaian khusus yang telah disedikan, ia terus berdoa agar Dirga bisa selamat.

Operasi pengangkatan ginjal sudah selesai dilakukan. Kondisinya yang kritis membuat para petugas menempatkannya di ruang ICU ini.

Abram sendiri ikut terkejut ketika dokter mengatakan sebelah ginjal Dirga bermasalah. Ia tak menyangka kondisi Dirga akan seburuk ini. Jika tau akan begini akhirnya, saat itu ia tak akan merekomendasikan Dirga sebagai atlet pengganti. Namun apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terjadi dan waktu tidak bisa di putar.

"Dek, bangunlah. Jangan begini," lirihnya sambil menatap wajah Dirga yang telah dipasangkan masker oksigen.

"Bunda sebentar lagi sampai, Dek. Kamu ga mau lihat dia? Kamu ga rindu dia?" Sambung Abram.

Hanya berselang berapa menit sejak panggilan tadi terputus, Fairuz kembali menghubunginya untuk mengabarkan bahwa Alsya akan berangkat ke Jakarta bersama dengan Andi dan Bagas. Abram perkirakan, sekarang mereka bisa saja sudah mendarat di bandara Jakarta.

"Dirga, yang kuat, ya! Bertahanlah." Abram kehabisan kata-kata. Pemandangan di depannya terlalu menyakitkan. Wajah Dirga yang pucat membuat hatinya semakin sakit.

Di dadanya telah terpasang banyak kabel yang terhubung dengan mesin EKG. Selang infus juga sudah bertengger manis di tangannya, membuat Dirga semakin terlihat sangat menyedihkan.

Abram yang tadinya sedang tertunduk langsung menegakkan tubuhnya saat melihat tubuh Dirga yang mengejang tiba-tiba. Ia dengan cepat langsung menekan tombol darurat di samping ranjang Dirga, lalu spontan berteriak keras memanggil dokter.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah berlari masuk kedalam ruangan. Bergerak cepat melakukan tindak penyelamatan. Abram sedikit memundurkan dirinya, memberikan ruang untuk mereka menjalankan tugasnya.

"Siapkan defibrilator!" Pekik dokter itu keras namun berusaha untuk tetap tenang.

Salah seorang suster disana pun mulai menyiapkan alat pacu jantung itu. Memberikannya kepada dokter kemudian mengatur tegangannya.

"Berapa?" Tanyanya.

"100 joule," jawab dokter itu, " ready!" Sambungnya.

Shock

Tubuh Dirga terlonjak keatas bersamaan dengan paddle defibrilator yang bersentuh langsung dengan dadanya. Tapi tetap saja, belum ada perubahan yang ditunjukkan oleh garis grafik di mesin EKG.

"150 joule! Ready!" Pekiknya sembari memastikan tidak ada petugas yang menempel langsung dengan ranjang Dirga.

"Ayo, Dek, kamu ga boleh nyerah gitu aja," lirih Abram penuh harap.

"200 joule! Ready!!" Teriak sang dokter dihentakan terakhir.

Segenap upaya telah mereka lakukan, namun Tuhan berkata lain. Mesin EKG menunjukkan garis lurus bersamaan dengan bunyi nyaring yang sangat memekakkan telinga.

Air mata Abram langsung menetes tanpa perintah. Terlebih saat pria paruh baya itu mendekatinya dan menepuk bahunya.

"Kita sudah berusaha semampunya, namun Allah berkehendak lain. Ia telah pergi," ujar dokter tersebut penuh penyesalan.

"Ini mimpi, kan? Adik saya ga meninggal kan, Dok?" Abram mengguncang keras lengan pria itu dengan keadaan mata yang memerah.

"Dia ... Meninggal," jelas dokter itu, menyampaikan kabar sesuai dengan realita yang ada.

Abram tak kuasa menahan sesak di dadanya, Dirga telah pergi bahkan tanpa menunggu kedatangan Alsya terlebih dahulu. Bagaimana ia bisa menjelaskan ini semua nantinya. Bagaimana juga dengan Andara, dia bahkan tidak mengetahui bagaimana perjuangan Dirga diakhir hayatnya.

Ditengah kekalutan itu, tampak Fauzan dan Panji berlari masuk kedalam ruangan. Mereka memutuskan untuk menerobos ke ruangan itu setelah mendengar beberapa keributan.

Fauzan terpaku ditempat, begitupun dengan Panji di belakangnya. Mereka membisu, mencoba untuk memahami apa yang telah terjadi. Fauzan melirik sekilas kearah Abram yang sedang menutup wajahnya, menangis dalam diamnya. Kemudian kembali melihat seseorang yang sudah terbujur kaku di depan sana.

Kini dia paham, paham akan apa yang sudah terjadi. Kenyataan pahit harus diterimanya malam ini juga, bahkan hanya berselang beberapa saat setelah mereka baru saja merasakan kebahagiaan atas kemenangannya di event lomba kali ini.

"Bang Dirga," lirihnya dengan sesak yang teramat di dalam dada.

"Waktu kematian 22.43. Kami turut berduka cita sedalam-dalamnya," ujar sang dokter yang semakin memperjelas segalanya.

"Selamat jalan, Bang. Terima kasih karena sudah membawa kemenangan untuk Cakrawala, di detik-detik terakhir sebelum abang akhirnya ninggalin kami semua," lirihnya kemudian langsung meninggalkan ruangan tersebut. Siapa juga yang sanggup melihat seseorang yang sangat berarti bagi kita kini sudah tidak bernyawa.

Dirga telah pergi, membawa banyak rasa sakit yang selama ini dia alami. Membawa semua penderitaan yang selama ini menghantui. Dirga pergi setelah memenuhi janjinya untuk Cakrawala, membawa pulang medali emas yang selama ini didambakannya.

Rest in peace, the most beautiful stars🌹

***

💡| Notes

Sumber: alodokter.com

Terkait dengan masalah imun anak yang lemah, berikut adalah;

Enam Cara Meningkatkan Sistem Kekebalan Tubuh Anak💡

1. Penuhi kebutuhan nutrisinya.
2. Pantau waktu tidurnya.
3. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar.
4. Mengajaknya berolahraga.
5. Jauhkan dari asap rokok dan kendaraan.
6. Rutin memeriksakan kesehatan anak ke dokter.

Sumber: hellosehat.com

💓

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 430 23
Seperti badai yang menghempaskan seluruh ruang di hadapannya, kedatangan seorang remaja yang mengaku anak dari bundanya membuat keluarga Gama yang du...
56.9K 7.3K 37
Ini bukan tentang Marvel menghindari cedera kaki pada pertandingan bola basket. Melainkan suatu kalimat yang ia tulis, "Akan kupastikan ketika pertan...
195K 17.4K 33
"Dia sangat berbeda dengan Ragil. Padahal mereka saudara kembar." "Romeo sama sekali nggak bisa diandalkan. Beda banget sama adik kembarnya." "Ragil...
12.9K 671 18
~Blurb Aku tak mengenal kata berharga. Bahagia adalah sekitarku walaupun aku bukan bagiannya. Semesta terlalu luas bagiku. Ya, benar. Aku terbiasa de...