Second Gift (COMPLETE)

By Ahsheina

237K 15.4K 1.4K

Harapan selalu datang saat kita kehilangan. Sebuah pepatah yang nyaris dipatahkan oleh seorang pria yang meya... More

Mr. Cool
Come Back Home
Challenge
Meet Up
Enough !!!
Can You Stop ?
Friend ?
Frog Prince ?
New Story
Be Gentle Ken !!!
Quality Time With The Girl's
Promise ?
Messeges From Kirana
More Than Promise
The Rival ?
Fucking Dinner
New Planning
Nice Day
Hopeless
Long Distance
Collaboration
Breaking Down
Extreme
Again and Again
Good Man
Peace ?
Sweety Kenken
Marry Me ?
The Ring
Because I Love You
Welcome New Family
Part of Kenneth
Story About Andreas
Meet Up With Andreas
Bridal Conversation
Make a Child ?
About Wife
Feels So Different
Kalimantan ?
Move on ?
Speechless
Life is Choice
Move
The Fact
The Secret
Cassie Engangement
Don't Leave Me !!
Sick
Are You Believe ?
Dr. Kenneth
Best Daddy in the World
Part of Kirana
Epilog

Rain of Love

3.7K 260 14
By Ahsheina

Hi everyone..
Oke sudah berdoa semuanya ?? Kita lihat ending part ini akan penuh dukungan untuk mas Kenneth atau kekesalan seperti biasanya.. Happy reading 💕

Berakhir pekan adalah sebuah cara untuk menghilangkan kejenuhan. Bagi Karen, entah akan menghabiskannya dengan liburan atau hanya bersantai di rumah, dia tidak terlalu menemukan perbedaannya.

Beberapa hari yang lalu sejak Rossie menginap di apartemennya, Karen jadi memikirkan ulang mengenai sikapnya belakangan ini terhadap Kenneth. Karen menghindari perdebatan dan Kenneth yang menghilang tanpa kabar.

Keduanya seperti magnet dengan dua kutub yang sama. Tolak menolak, dan jelas ada jarak kini diantara mereka.

Karen memandang undangan yang terletak di atas mejanya. Sebuah ajakan untuk merayakan peresmian salah satu project kolaborasi dari Joddy dan Vannesha, adik James. Mereka bergerak dalam bidang usaha yang sama saat ini, desain grafis. Meski Vannesha belakangan lebih sering menunjukkan minatnya pada desain fashion untuk perempuan.

Rossie memberikan undangan tersebut beberapa hari lalu saat menginap di apartemennya. Sejujurnya Karen tidak terlalu senang datang ke acara semacam itu. Ia bahkan tidak terlalu mengenal banyak orang di Indonesia selain beberapa temannya yang juga berprofesi serupa dengannya.

Karen menghabiskan waktunya di dalam apartemen sambil menunggu sore tiba. Dia memutuskan untuk datang karena tentu saja memandang hubungan pertemanannya dengan Anne dan adik semata wayang James tersebut.

Sambil menunggu, ada baiknya dia melakukan hal lain yang lebih bermanfaat ketimbang terus-menerus memikirkan masalahnya dengan Kenneth.

Mengambil kunci mobilnya, Karen beranjak dari apartemennya menuju ke tempat yang beberapa waktu belakangan ini tak sempat lagi dikunjunginya, makam Kirana.

Setelah membeli sebuah buket bunga, Karen melajukan mobilnya menuju ke area sekitar pemakaman dan memarkirkan mobilnya di salah satu lokasi yang terletak tidak terlalu jauh dari makam Kirana.

Berjalan menyusuri area pemakaman, Karen tiba di salah satu nisan dengan nama yang sangat lekat dalam dunianya. Ia meletakkan buket mawar merah yang selalu disukai Kirana semasa hidupnya.

Seperti bertemu sahabat lama, Karen berjongkok dan tersenyum sembari mengusap pelan nisan di hadapannya. Rasanya ingin sekali menumpahkan semua hal yang dirasakannya belakangan ini.

"Hei, mengapa membuat janji semacam itu dengan Kenneth ?"

Sebuah pertanyaan akhirnya terlontar begitu saja dari mulut Karen. Seolah mempertanyakan mengenai apa yang dilakukan Kirana di hari-hari terkahir kehidupannya.

"Kenneth mengatakan soal janjinya padamu untuk menjagaku"

"Aku seperti di hadapkan pada sesuatu yang tidak bisa kuselesaikan jika bersamanya. Berputar-putar dalam masalah yang tidak akan pernah selesai"

Karen menunduk lesu. Antara lelah dan jengah sudah bercampur menjadi satu.

"Aku tak ingin kami terluka lebih jauh lagi. Semua hal yang terjadi setelah kamu tidak ada membuatnya seperti banyak melakukan hal yang bukan menjadi keinginannya. Salah satunya adalah ketika dia berhadapan denganku"

"Aku tidak bisa menerima semua hal yang kamu minta padanya, termasuk soal menjagaku. Aku sudah memutuskan untuk melakukan semua hal sendiri"

Karen menarik nafasnya dengan lelah. Kentara sekali bahwa masalah yang dihadapinya jelas membuat batinnya cukup tersiksa.

"Aku akan melanjutkan hidupku kembali di Inggris setelah ini. Atau mungkin mencoba peruntungan di Jepang untuk melanjutkan pendidikanku"

"Aku tahu kita selalu merasa dekat meski kini ruang dan waktu kita jelas berbeda. Tak ada banyak hal yang akan kusampaikan padamu hari ini. Karena aku tahu, kamu pasti memahami apa yang aku rasakan bahkan ketika aku tidak mengatakannya"

Karen terdiam sejenak dan menundukkan kepalanya. Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya kecuali sebuah keheningan dalam doa yang cukup panjang.

Ia hanya mampu berharap semua baik-baik saja pada akhirnya.

"Aku pulang dulu, sore nanti Rossie mengajakku ke salah satu acara. Kamu pasti akan tertawa jika mendapati sekarang aku mau pergi ke acara semacam itu"

"Yeah, ini hidupku sekarang dan aku sedang berusaha untuk menikmatinya. Sampai jumpa lagi Kirana"

Karen mengusap pelan sebaris nama dalam nisan yang ada di hadapannya. Hatinya selalu pilu membayangkan saudari terkasihnya kini memang sudah benar-benar pergi. Tapi Karen selalu yakin bahwa Kirana kini sudah bahagia.

Bangun dari posisinya, Karen merapikan sedikit pakaiannya dan berjalan meninggalkan makam Kirana. Tepat setelah beberapa langkah ia berjalan, di hadapannya kini seorang Kenneth berjalan dari arah yang berlawanan.

Dia membawa sebuket mawar merah yang nampak serupa dengan yang dibawa oleh Karen, meski tidak sama, Karen tahu pria itu masih sangat mengingat bunga kesukaan Kirana.

Karen melihatnya, Kenneth berjalan dengan tatapan datarnya dan berlalu begitu saja. Bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya saat berpapasan dengan Karen.

Pria itu nampak hanya fokus pada tujuannya meski Karen dapat memastikan bahwa Kenneth tidak buta dan cukup dapat melihat Karen ketika berada disana.

Kenyataan itu sedikit menghentikan langkah Karen. Pria itu seolah mengabaikan dan jelas menganggap Karen tidak ada.

Tidak ingin bertahan dengan pemikiran bodoh tersebut, Karen melanjutkan langkahnya dan dengan cepat mengendarai mobilnya meninggalkan area pemakaman.

Memang apa yang bisa diharapkan dari sosok Kenneth jika bertemu dengannya tadi ? Tentu pria itu tak akan menyapanya dengan ramah atau tersenyum dengan manis.

Mengapa Karen jadi kecewa mendapati kenyataan semacam ini ? Bukankah seharusnya ia senang, karena jika kini Kenneth mengabaikannya, artinya Karen bisa bebas tentu saja dari semua hal yang pria itu janjikan pada Kirana.

Tiba di apartemen, meski sudah melakukan banyak kegiatan dan berusaha melupakan kejadian di pemakaman tadi, nyatanya justru fikiran Karen masih saja melalang buana memikirkan Kenneth. Pria itu memang dingin, namun entah mengapa ia tidak terlihat seperti dirinya sekarang.

Jam hampir menunjukkan pukul 06.30 malam saat Karen sudah bersiap menghadiri acara yang diadakan di salah satu hotel milik keluarga Joddy.

Bertukar pesan dengan Rossie dan memastikan bahwa perempuan hamil itu sudah tiba di sana lebih dulu, membuat perasaan karen menjadi lebih baik. Setidaknya dia tidak perlu kelihatan bodoh menikmati sebuah acara yang bukan menjadi kegemarannya.

"Karen !!" Sebuah panggilan suara muncul saat Karen memasuki ballroom hotel dan mendapati banyak sekali tamu disana.

Lambaian tangan Rossie terlihat meski dari kejauhan. Ia tengah duduk bersama dengan Vannesha, adik bungsu dari James. Mereka menikmati acara justru di meja lingkaran yang terletak di pojok ruangan.

"Aku belum terlambat ?" Karen bertanya setelah memeluk erat Rossie dan Vannesha secara bergantian.

Vannesha mendesah malas dan duduk kembali di kursinya, "acara semacam ini tak pernah ada kata terlambat, apalagi untuk Joddy dan Nick"

Vannesha yang belakangan diketahui sedang menjalin hubungan dekat dengan Joddy itu nampak seperti ogah-ogahan dengan acara yang berlangsung.

"Setidaknya aku tidak menjadi satu-satunya orang yang tidak terlalu menyukai acara seperti ini" Karen akhirnya tersenyum hambar.

"Jujur saja aku sedikit bingung saat Rossie mengantarkan undangan ke apartemenku"

Rossie tertawa dan terlihat santai dengan respon dari Karen dan Vannesha, "aku perlu mencarikan Vannesha teman agar tidak menjadi satu-satunya perempuan yang menolak acara ini"

Rossie tersenyum senang dan Karen kini mendapati wajah Vannesha yang semakin ditekuk.

"Pria itu seringkali membuat keputusan sendiri dan membuatku sangat marah, jangan harap aku mengampuninya sekarang ini" Vannesha bersungut marah.

Rossie tertawa dan justru tampak menyemangati tindakan perempuan itu dengan ucapan konyolnya, "beri dia pelajaran agar tidak mengulanginya lagi. Pria itu perlu diberikan sedikit gertakan agar tidak lagi mengambil keputusan semena-mena"

"Jangan mengajari Vannesha menjadi lebih garang darimu, Ros !" Karen menyela ucapan Rossie meski dengan nada gurauan.

"Aku tak perlu mengajarinya, aku lihat power itu sudah ada" Rossie menjawab dengan santai.

"Dan jangan lupakan bahwa dia memiliki kakak ipar perempuan yang jauh lebih berpengaruh daripada aku" Rossie berkata lagi.

Perkataan Rossie barusan mengingatkan Karen pada Anne. Dia masih berada jauh di luar kota saat ini dan sudah hampir dua minggu meninggalkan Jakarta karena masalahnya dengan James.

"James tidak datang malam ini ?" Karen akhirnya bertanya karena penasaran dengan apa yang difikirkannya sejak tadi.

Vannesha menatapnya dan menggeleng, "dia menghabiskan banyak waktunya dengan bekerja. Beberapa hari lalu Kak James sempat berbicara dengan Dad dan Uncle Anthony mengenai Kak Anne. Mereka juga sama sekali tidak tahu menahu mengenai kepergian Kak Anne"

Jika difikirkan, tindakan yang dilakukan Anne jauh lebih nekat dan beresiko dibanding apa yang terjadi dengan Karen. Ia menikah dengan pria yang tidak dikenalinya, bertaruh dalam pernikahan, jatuh cinta, dan kini pergi dalam kondisi hamil meninggalkan James karena masalah mereka.

"Dia lebih kuat daripada yang kalian fikirkan" Rossie seperti mengetahui apa yang ada dalam benak Karen dan Vannesha.

"Aku bersamanya sejak kami masih sama-sama kuliah. Dia tahu apa yang dia lakukan. Aku berani bertaruh, pada akhirnya James yang akan bertekuk lutut padanya" Rossie menjelaskan lagi dengan mudahnya. Entah apa yang membedakan Rossie dengan perempuan lainnya. Setiap masalah jadi begitu mudah jika keluar dari mulutnya.

"Aku juga berani menjamin soal itu. Hanya saja, Mom sedikit marah besar dan sempat berfikir akan bertindak sendiri kepada Kak James mengingat dia masih membawa masa lalunya sampai saat ini" Vannesha mendesah malas.

Dia tampak melirik sekilas sekumpulan pria yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk. Tampak disana Joddy dan Nick masih berbicara dengan beberapa orang tamu yang diduga adalah partner atau kolega kerjanya. Roger tentu saja menjadi salah satu diantara sekumpulan pria itu juga.

"Aku fikir kamu akan datang bersama Kenneth" perkataan Vannesha membuat Karen tersadar bahwa pria yang dimaksud tersebut sejak tadi tak terlihat batang hidungnya.

Padahal jika diingat-ingat dia tidak pernah absen untuk menghadiri acara sahabat dekatnya sekalipun acara itu tidak terlalu disukainya.

"Kami tidak bersama hari ini" Karen menjawab singkat.

Vannesha tersenyum, "sepertinya bukan hanya aku yang saat ini memiliki masalah dengan pria dalam hidupku"

"Sekalipun kalian sudah menikah, masalah dengan pria-pria itu akan selalu muncul" Rossie mengemukakan pendapatnya.

"Kalian bertengkar ?" Vannesha bertanya dengan polos.

Usianya memang lebih muda sekitar tiga atau empat tahun dari Karen dan Rossie, jadi wajar saja jika ia menanyakan hal itu dengan nada kekanakan dan terlihat lebih banyak berfikir atau meminta pendapat Rossie.

"Mereka lebih parah daripada bertengkar" Rossie menjawab sambil tersenyum geli.

"Jika aku kalah dalam perdebatan, biasanya aku akan mendiamkan Joddy berhari-hari. Menunggu saja sampai dia meminta maaf padaku" Vannesha menceritakan kisahnya sambil tersenyum.

Oh seandainya kisah dengan Kenneth dapat semudah itu, keluhan kecil dari bathin Karen keluar juga.

"Yeah seandainya aku tidak menghadapi pria sedingin Kenneth mungkin aku bisa melakukannya" Karen menjawab dengan nada datar.

Tidak perlu waktu lama, pria berumur panjang yang dibicarakan itu muncul. Ia berjalan menuju sekumpulan teman-temannya dan menatap meja yang ditempati Karen sambil tersenyum.

Karen dapat melihat ia melambaikan tangannya hanya untuk menjawab sapaan Rossie yang juga melambaikan tangannya dari kejauhan. Selebihnya pria itu melewatinya dengan datar dan bahkan tidak menatapnya sama sekali.

Karen merasa keberadaannya benar-benar seperti tidak ada. Tidak dianggap lebih tepatnya. Apa yang dilakukan pria itu sekarang ? Bukankah seharusnya Karen yang lebih marah atas semua yang telah terjadi.

"Dia mengabaikanmu ?" Vannesha bertanya ketika melihat Kenneth melenggang begitu saja melewati meja mereka setelah melemparkan senyumnya pada Rossie.

Rossie yang melihat hal itu menjawab dengan cepat. Ia cukup bisa melihat situasi bahwa Karen masih nampak termenung setelah apa yang terjadi.

"Mereka akan membaik kembali nanti, Kenneth mungkin hanya ingin menyelesaikan urusan sapa-menyapa dengan cepat kepada beberapa partner bisnisnya"

Mendengar itu Karen hanya dapat tersenyum dengan hambar, "dia memang selalu mengabaikanku"

Vannesha terdiam, sadar jika pertanyaannya bukanlah hal yang nyaman untuk dibicarakan saat ini. Rossie juga tidak bisa mengatakan apapun lagi untuk memperbaiki suasana yang jelas-jelas sudah terjadi di depan mata.

"Sekalipun dia melihatku, dia memang tidak akan pernah memperhatikanku. Semua hal yang berkaitan denganku bukan sesuatu yang cukup penting juga untuk dilihat atau didengarkan"

"Jangan merasa tidak enak padaku karena hal tadi" Karen menatap Vannesha dan Rossie dengan tersenyum.

Rossie dapat melihat, bahwa meski Karen mengupayakan sebuah tampilan yang kuat, hati perempuan itu terlihat sangat rapuh dan hancur saat ini.

"Wajar jika Kenneth memperlakukanku seperti itu"

"Aku mengatakan akan menikah dalam waktu dekat"

Perkataan terakhir Karen membuat mata Rossie dan Vannesha membelalak seketika. Bingung, kaget, dan tidak percaya seolah menjadi satu. Rossie yang meskipun sudah mengetahuinya tidak percaya jika Karen akan tetap menjalankan rencananya tersebut.

"Kamu serius ?" Vannesha nampak mempertanyakan perkataan Karen sebelumnya.

"Ya, aku sudah memikirkannya. Mungkin dua bulan lagi setelah aku kembali dari tugas di Kalimantan" Karen menegaskan kembali jawabannya.

"Maksudku, dengan siapa kamu akan menikah ?" Vannesha bertanya lagi dengan nada parahnya.

"Seseorang yang sudah cukup lama menungguku. Mungkin ini jawaban yang terbaik untuk semuanya" Karen menjawab.

"Kamu yakin akan melakukannya dengan Andreas ?" Rossie yang sejak tadi diam akhirnya bertanya.

"Dia pilihan terbaik yang aku milikku"

Rossie sedikit menyandarkan tubuhnya di kursi. Perempuan itu tampak shock mendengar rencana Karen dan sangat tidak menyangka. Vannesha yang sejak tadi nampak penasaran pun kini hanya seperti berdebat dengan fikirannya sendiri. Ia cukup tahu bagaimana perjalanan kisah Kenneth dan Karen meski mereka tidak terlalu dekat.

"Jangan bersikap dan menatapku seperti itu" suara Karen nampak menginterupsi sambil tersenyum.

"Kalian seperti orang yang kebingungan dan mengkhawatirkanku. Seolah aku akan berperang dan kalah" Karen berkata lagi.

"Aku memang mengkhawatirkanmu Karen, terlepas aku memiliki ikatan darah dengan Kenneth, kamu adalah sahabat dekatku. Aku tak ingin kamu salah mengambil langkah" Rossie berbicara dengan penuh penekanan.

"Kamu mencintai Andreas itu ?" Vannesha seolah menuntut dalam pertanyaannya.

"Belum"

"Apa kamu akan mencintainya ?" Pertanyaan yang ditakutkan itu akhirnya muncul juga. Hal sama yang pernah ditanyakan oleh Rossie kepada Karen dan juga hal yang sama yang berulang kali selalu berputar di dalam kepalanya.

"Entahlah"

"Itu bukan sebuah jawaban" Vannesha berucap pelan.

"Mungkin aku yang termuda diantara kalian. Usia dan cara berfikirku memang tidak matang. Tapi aku tahu, menikah itu artinya kamu akan menghabiskan seluruh hidupmu bersama dengan seseorang. Dengan janji di hadapan Tuhan"

"Kakakku pernah melakukannya tanpa perasaan apapun. Terlepas saat ini dia sudah mencintai Kak Anne, tapi aku tahu saat mereka tidak saling mencintai, mereka berdua jauh dari kata bahagia. Itu hanya akan membuat kalian saling menyakiti pada akhirnya"

Vannesha berkata dengan tegasnya. Dia tahu mengatakan pendapat dan kebenaran yang diketahuinya adalah sesuatu yang penting saat ini.

"Aku terdengar seperti orang yang egois saat ini" Ucap Karen pelan.

"Kamu tidak egois Karen, tapi aku melihatmu sedang putus asa" Rossie menyahut.

Karen terdiam. Entah harus kalimat apa lagi yang bisa keluar dari mulutnya. Dia sadar bahwa apa yang dikatakan oleh Rossie dan Vannesha adalah sepenuhnya benar.

"Kamu sudah bertemu Andreas ?" Rossie bertanya pelan. Berusaha membuat Karen nyaman dengan pertanyaannya.

"Tidak, belum maksudku, entahlah" kebingungan jelas tergambar dari wajah Karen saat ini. Ia jelas tidak bisa menyembunyikan itu dari orang-orang terdekatnya.

"Kamu belum yakin Karen dengan keputusanmu" Ucap Rossie.

"Aku belum tahu harus meyakini apa untuk saat ini" Karen akhirnya menjawab dengan pasrah. Karena memang tidak tahu lagi apa yang bisa diupayakannya saat ini untuk memperbaiki keadaan.

"Aku akan mengambilkan kalian makanan, jangan kemana-mana" Vannesha akhirnya beranjak dari duduknya dan pergi menuju buffet makanan.

Karen mengecek ponselnya yang sejak tadi bergetar dan melihat beberapa kali panggilan tak terjawab dari Andreas. Pria itu juga mengirimkan sebuah pesan singkat kepadanya.

"Sedang sibuk ? Kabari aku jika sudah lebih santai, aku akan menelfonmu nanti. Aku punya beberapa buku menarik mengenai profesi kebangganmu"

Karen tersenyum singkat membaca pesan tersebut. Pria itu selalu tahu apa yang menjadi kesukaannya.

Mengetikkan sebuah pesan balasan, Karen mengirimkannya dengan cepat.

"Koleksi bukumu tidak terlalu banyak dibanding yang pernah aku milikku. Aku ragu sekarang ini kamu bisa menarik perhatianku"

Hal-hal sederhana dari Andreas selalu bisa membuatnya tertawa. Entah mengapa dia selalu hadir di saat-saat paling tepat untuk Karen. Meski Karen merasa betapa ini akan saling menyakiti mereka pada akhirnya.

"Andreas ?" Rossie bertanya setelah melihat Karen memasukkan kembali ponselnya ke dalam pouch kecil miliknya.

Vannesha sudah kembali dan bergabung bersama mereka lagi saat ini. Tentu dengan beberapa makanan yang dibawanya.

"Dari raut wajahmu aku bisa melihatnya, tak perlu kamu jawab" Vannesha berkomentar cepat.

"Dia menawarkan koleksi bukunya padaku" Karen menjelaskan sambil meminum minuman di depannya.

"Roger mengabariku di luar hujan deras" Rossie mengatakan info yang diketahuinya sambil memegang ponselnya. Tampaknya sedang berkomunikasi dengan suaminya yang hingga kini belum juga menghampiri mereka.

"Aku sudah menduganya sejak tadi" Vannesha menarik nafasnya lelah.

Karen tak mempersiapkan dirinya jika hujan turun dengan deras di luar. Meski mobilnya di parkir di basemant tapi berjalan menuju kesana dengan gaun semacam ini tentu akan menjadi aneh sekali jika sedang hujan.

Dia juga sudah tidak terlalu berminat berlama-lama di acara ini. Bertemu dengan Vannesha dan Rossie yang mengundangnya rasanya sudah lebih dari cukup ketimbang harus berbasa-basi dengan orang baru yang tidak dikenalnya dan memulai pertemanan singkat dengan mereka.

"Aku perlu ke toilet, lanjutkan saja makan kalian" Karen beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan mereka.

Meski sekilas perlu melewati kursi dimana Kenneth duduk bersama dengan teman-temannya, Karen lebih baik bersikap tak peduli.

Masuk ke dalam area toilet wanita, Karen memandangi wajahnya di cermin. Ia dapat melihat pantulan dirinya sendiri saat ini. Tampak lelah dan yeah sedikit kantung hitam jelas ada di bawah kelopak matanya jika saja make up tidak menutupinya hari ini.

Menarik nafas lelah, Karen mencuci kedua tangannya dan mengambil selembar tissu untuk mengeringkannya.

Meski Andreas mengirimi pesan singkat yang bisa membuatnya tersenyum, mengapa hatinya begitu bodoh untuk tetap memikirkan Kenneth dengan segala sikap dinginnya itu ?

Karen hanya bisa menatap dirinya dan mengatakan dia perlu kuat untuk melalui ini. Tidak ada lagi tangis, tidak ada lagi air mata yang perlu keluar dari matanya. Karen perlu menyanyangi dirinya sendiri untuk saat ini.

Mengambil ponselnya, Karen mengetikkan sebuah pesan singkat pada Rossie dan Vannesha yang mengatakan bahwa ia akan meninggalkan acara lebih awal. Jarak antara toilet dengan basemant hanya dihubungkan sebuah lift yang terletak tidak terlalu jauh.

Keluar dari toilet, Karen melangkahkan kakinya menuju lift dengan segera. Ia sudah terlalu lelah berdiri dan berjalan menggunakan sepatu dengan hak tinggi miliknya.

Suara lift terbuka dan Karen hanya tinggal menyusuri lorong yang menghubungkan area basemant dengan parkiran mobil miliknya.

Belum sempat mendekati pintu keluar, tampak beberapa orang berkerumun dengan ramai disana dan beberapa petugas keamanan nampak sibuk mengatur lalu lintas di area parkiran. Seperti tengah terjadi sesuatu yang membuat keadaan menjadi sangat ramai.

"Ada apa pak ?" Karen bertanya kepada salah seorang petugas kebersihan yang sejak tadi juga nampak berdiri disana.

"Hujan deras diluar mengakibatkan sebagian jalanan terendam banjir Bu, beberapa mobil kesulitan untuk akses keluar dan terjadi kemacetan yang sangat parah" petugas kebersihan itu menjelaskan dengan cukup jelas.

Karen nampak khawatir dan membayangkan keadaan diluar sana dengan mobilnya yang masih terperangkap di area parkir.

"Mobil saya masih berada di area parkir pak, apa benar-benar tidak bisa dikeluarkan ?"

"Kemacetannya sudah berlangsung hampir 45 menit. Rasanya tidak memungkinkan Bu untuk keluar dengan mobil di parkiran. Beberapa orang menggunakan alternatif taksi dari lobby hotel" Bapak tersebut memberikan alternatif lain yang mungkin bisa dilakukan Karen.

Setelah mengucapkan terima kasih mau tidak mau Karen menaiki lagi lift untuk menuju ke lobby hotel. Namun keadaan juga ternyata tidak jauh lebih baik. Beberapa orang nampak masih berdiri disana dan menunggu beberapa taksi pesanan mereka.

Karen hanya bisa pasrah dan akhirnya termangu di depan lobby hotel seperti kebanyakan orang. Hujan seperti belum menunjukkan tanda-tanda akan reda dengan cepat. Justru kini angin juga bertiup dengan kencang. Menyisakan dingin yang menembus kulit untuk Karen dengan gaun berbahan suteranya.

Jika hujan reda, keadaan belum tentu juga akan lebih baik, mengingat banjir dan Jakarta bukanlah masalah baru yang dapat ditangani dengan segera. Karen hanya sudah pasrah jika harus menunggu sampai larut malam atau bahkan sampai dia bisa kembali mengambil mobilnya.

"Ikut aku" sebuah tangan kini menggenggamnya dengan erat. Berusaha menarik Karen untuk mengikuti langkahnya. Kenneth.

Karen menatapnya dengan tatapan heran. Apa yang pria itu lakukan ? Menawarkan bantuan ? Kemana sikap dinginnya yang sejak awal dia tunjukkan ?

"Karen" suara Kenneth terdengar seperti geraman karena Karen hanya terpaku dalam diamnya.

"Kamu tidak akan bisa mengambil mobilmu, aku meninggalkan mobilku disini. Tommy membawakan mobil di area belakang hotel, menghindari kemacetan" Kenneth seperti menjelaskan dan wajahnya nampak serius.

Karen tidak bisa menerimanya. Jelas, perubahan suasana hati pria itu membuatnya bingung dan tidak bisa menerima dengan cepat.

"Aku tidak apa-apa, aku akan menunggu sampai mobilku siap" Karen melepaskan genggaman tangan Kenneth pada telapak tangannya. Meski ego menguasainya, jelas ada sesuatu yang hilang saat Karen melakukannya.

Kenneth berjalan mendekatinya dan menatapnya dalam diam.

"Kamu bisa meninggalkanku, aku tidak apa-apa, sungguh" Karen berusaha menjauh dan memalingkan dirinya dari hadapan Kenneth. Dia belum pernah berdiri sedekat itu dengan Kenneth dan hal itu membuatnya jadi merasa aneh.

Berusaha memfokuskan dirinya dengan bergabung kembali bersama kerumunan orang yang sedang menunggu nyatanya tidak membuat keadaan bertambah baik, sudah hampir dua puluh menit dan Karen mulai merasakan sebagian tangannya keriput, menahan dingin.

Tapi itu semua belum apa-apa jika dibandingkan dengan kekagetannya saat tangan besar Kenneth menarik tubuhnya. Pria itu melepas jasnya dan kini memakaikannya di tubuh Karen.

" Aku tidak ..."

"Kamu kedinginan" Kenneth berkata dengan cepat sambil tangannya mengancingkan jasnya tersebut di tubuh Karen agar tubuh perempuan itu dapat terbungkus dengan rapat.

"Ini akan sedikit berantakan" pria itu kini melepaskan dasi yang sejak tadi melingkar rapi di kerah kemejanya dan menjadikannya sebuah simpul untuk mengikat rambut Karen yang sejak awal dibiarkan tergerai.

Karen tak dapat mengatakan apapun melihat inisiatif pria itu sekarang.

"Pegang tanganku dan ikuti langkahku, jarak mobilku tidak terlalu jauh darisini" Kenneth mengatakannya sambil menggenggam erat tangan Karen yang kedinginan.

Mereka melangkah menerobos hujan tanpa perlindungan sedikitpun. Meski dingin, Karen merasa ada sesuatu yang hangat mengalir di dalam dadanya. Berharap moment ini tidak akan berlalu dengan cepat.

Yaa.. kali ini egonya lagi-lagi dikalahkan oleh perasaannya sendiri. Dia terlalu mencintai Kenneth.

Ending ? Masih jauh hehehe
Yuk tinggalkan pendapat kalian di kolom komentar, siapa tokoh favorit kalian sejauh ini ? Btw, untuk dua cerita yang sudah aku buat yaaa 💕

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 19.5K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.2M 60.8K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.7M 141K 30
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
6.5M 329K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...