EPIPHANY

Galing kay NurAzizah504

12.3K 1.2K 185

Rania berada di ambang kebingungan. Antara memilih Elang atau 'dia' yang sebelumnya pernah ada di hatinya. Hu... Higit pa

Prolog
1. Sore Yang Menyeramkan
2. Telepon Darinya
3. Jealous
4. Perihal Hujan
5. Tanyanya, "Kenapa?"
6. Dia Punyaku
7. Hujan di Malam Hari
8. Terima Kasih
9. I Need You
10. Cemburunya Rania
11. Ada Apa dengan Elang?
12. Lagi-lagi Dia
13. Tentang Kita
14. Pingsan
15. Maaf Untuk Semua Luka
16. Tidak Ada Sentuhan
17. Sekilas Bayangan
18. Menjauh
19. Siapa Dia?
20. Dia Yang Tampak Sama
21. Kebingungan Yang Berbeda
22. Tentang Nama
23. Sesuatu Yang Aneh
24. Deal!
25. Keyakinan
26. Janji, Rania!
27. Tentang Luka
28. Lorong Belakang Gudang
29. Apa yang Terjadi?
30. Jangan Benci Aku
31. Bertamu
32. Romantis (?)
33. Pertama Kalinya
34. Sorry
35. Kedatangannya
36. Tangan Elang
37. Dia Yang Akan Datang
38. Tertangkap
39. Yang Patah Pagi Hari
40. Nasihat Mama
41. Kejutan Malam Hari
42. Upah Dari Rania
43. Si Tangan Penghancur
44. Tentang Rasa Sayang
45. Pulang dan Kekacauan
46. Pergi Untuk Kembali
47. Pilihan Opsi Kedua
48. Mendadak Ragu
49. Rasa Yang Dilupakan
50. Hilangnya Sebuah Senyuman
51. Sebenarnya Hancur
53. Bentuk Kepedulian
54. Janji di Malam Hari
55. Bukan Karena Sayang
56. Terungkapnya Fakta
57. Kimbab Dari Rania
58. Tentang Kita Berdua
59. Perasaan Yang Tak Lagi Sama
60. Pesan Tak Terbaca
61. Pergi dan Hilang
Epilog

52. Amarah Terbesar Elang

159 16 0
Galing kay NurAzizah504

"Wah," takjub Rania sembari memperhatikan ruang yang menjadi apartemen milik Vernon. "Luas banget. Ini Abang tinggalnya sendiri doang?"

Vernon yang baru saja selesai teleponan dengan seseorang tampak tersenyum. Dia mendekati Rania, berdiri di belakangnya. "Iya."

"Kenapa gak ajak adik Abang sekalian biar ada temennya? Ini juga Rania liat kamar apartemennya ada dua."

"Gak mau dia. Katanya lebih nyaman tinggal di rumah bareng papa." Masih dengan binar-binar cerah pada manik obsidian miliknya, Vernon kemudian memegangi kedua bahu Rania dan mendorongnya pelan ke arah sofa berwarna abu-abu gelap. "Duduk. Abang mau buatin kamu minum dulu."

"Eh, gak usah. Kalo haus nanti Rania bisa ambil sendiri."

Butuh sedikit paksaan agar Vernon bisa memastikan bahwa bokong Rania telah melekat sempurna pada sofa. Hanya setelah mendengar ucapan si gadis, dia menarik kembali sudut bibir ke atas. Tangannya sekilas menarik ujung hidung Rania, berujar, "Bagus. Kalo nurut gini, 'kan, enak. Bentar, ya."

Rania menghela napas seraya menggelengkan kepala. Ternyata berdebat dengan Vernon sama sekali tak ada gunanya. Sembari menunggu laki-laki itu membuatkannya minuman, maka Rania lantas meliarkan kedua maniknya untuk menjelajahi setiap detail apartemen Vernon. Menurut Rania ruangan ini besar, tapi dia tidak tahu berapa meter luas pastinya. Ada dua kamar yang saling berdampingan, ruang tamu yang menjadi posisinya sekarang, lalu sebuah dapur yang bisa langsung dilihatnya karena tidak dibubuhi sekat.

Tak berselang lama, laki-laki yang mengenakan kaus putih berlengan pendek itu terlihat mendekatinya. Ia memegang sebuah nampan berisi dua cangkir kopi susu hangat lengkap dengan sebuah stoples kue kering yang terlihat lezat.

"Baru pindah. Jadi Abang cuma punya ini," ujar Vernon sambil meletakkan benda bawaannya di atas meja.

"Gapapa, kok, Bang. Besok-besok kalo mau belanja, Abang ajak Rania aja." Vernon mengangguk singkat, kemudian mempersilakan Rania untuk menikmati minuman sekaligus makanannya. Sementara dirinya pamit ke kamar mandi.

Lantas tangan Rania bergerak untuk membuka penutup stoples kaca, mengeluarkan sepotong kukis berbentuk bundar untuk kemudian dicelupkan ke dalam kopi susu hangatnya. Kue kering berbahan dasar tepung yang dipanggang itu terasa begitu lebur dalam mulutnya. Rasa manis yang ditimbulkan, membuat mulutnya enggan untuk berhenti mengunyah.

Namun, detik berikutnya Rania seperti teringat satu hal. Dia buru-buru menegakkan punggung, mencari tas kecil berwarna navy yang ikut dibawa bersamanya tadi. Saat benda itu ditemukan, Rania langsung mengeluarkan ponselnya. Tangannya bergerak lincah di atas layar, membuka apklikasi WhatsApp hanya untuk menghela napas lelah setelahnya.

Tak ada pesan dari Elang.

"Elang, aku khawatir," sepasang netra hitam Rania terpaut sempurna pada layar ponsel yang masih menyala, "kamu baik-baik aja, 'kan?"

Tepat setelah kalimat penuh kekhawatiran ia ucapkan, tiba-tiba saja suara akses pintu apartemen Vernon berbunyi, menandakan seseorang dari luar sana sedang berusaha masuk ke tempatnya.

Pasti itu adiknya Bang Vernon.

Dengan perasaan resah sekaligus gugup, Rania menatap ke arah pintu apartemen dan pintu kamar Vernon secara bergantian. Dia sama sekali tidak menemukan kemunculan Vernon untuk menyambut kedatangan adiknya. Rania berdecak, kenapa laki-laki itu lama sekali di kamar mandi?

Akhirnya dengan perasaan yang dipaksa untuk tenang, Rania berinisiatif biar dia saja yang menyambutnya. Alhasil Rania pun bangkit dari duduknya. Berusaha menarik kedua sudut bibir ke atas hingga membentuk sebuah senyuman indah yang dirasa paling sempurna. Dia pun melangkah satu-satu dan memutuskan berhenti sewaktu jaraknya dengan pintu hanya tersisa dua meter saja. Kedua manik Rania menyorot tenang ke arah handle yang bergerak pelan sebelum akhirnya pintu terbuka lebar.

Hanya demi manik obsidian yang saling bertemu dalam satu waktu, Rania merasakan kalau detakan jantungnya mulai menggila di dalam sana. Kedua tangannya sontak meremas angin, berusaha untuk tetap berdiri tegak walau sesuatu di depan sana membuat lemas kedua tungkainya seketika.

"Ah, akhirnya lo dateng juga." Itu suara Vernon, mendekati Rania dan berdiri tepat di sebelahnya. "Itu adik Abang, Ran. Namanya Elang Angkasa."

Refleks Rania menoleh ke samping, mendapati Vernon yang tersenyum begitu lebar hingga menampakkan deretan atas giginya. "Dan Elang, ini Rania. Pacar yang gue ceritain kemarin malam."

Oh, Tuhan! Katakan kalau ini hanyalah mimpi. Katakan bahwa ini hanyalah imajinasi yang disebabkan oleh pikiran Rania yang terus memikirkan Elang. Katakan jika ini bukanlah kenyataan.

"Ayo, salaman. Masa udah ketemu cuma diem-dieman aja."

Tidak! Rania tidak ingin hal itu terjadi! Rasa-rasanya dia hendak berlari secepat yang dia bisa agar bisa segera menghilang dari jeratan tatapan dingin laki-laki di depan sana. Dia ingin lenyap, hancur seperti debu. Namun, seyakin apa pun hati Rania berdoa, nyatanya dia masih berdiri di tempat yang sama. Kakinya seolah terbelenggu oleh rasa ketakutan yang menggebu.

Rania tidak tahu entah seperti apa ekspresi wajahnya sekarang. Dia kacau--teramat sangat kacau. Terlebih lagi saat Elang mendekat dan berdiri tepat di depannya. Elang memberinya tatapan yang begitu datar, membuat Rania kapayahan walau hanya sekadar untuk menarik napas. Saat Rania berpikir bahwa Elang akan mengatakan jika mereka sudah saling mengenal--bahkan sempat berpacaran--maka Rania salah besar. Tangan Elang terulur ke arahnya. Dengan wajah datar yang minim ekspresi, Elang berkata dengan lancar dan tenang. "Elang Angkasa. Adik kandungnya Bang Vernon."

Rania mendongak, bersusah payah untuk balas menatap Elang tepat di mata. Seketika kedua manik Rania terasa panas. Pandangannya berubah buram, membuat wajah Elang tampak tak jelas di matanya. Dan di samping itu semua, Rania tetap berusaha untuk mengangkat tangan, balas menggenggam tangan Elang dengan berani. "Rania Roosevelt."

Detik itulah Rania sadar satu hal. Tentang tatapan Elang yang semakin dingin, tentang genggaman tangannya yang semakin erat.

* * *

"Selama aku gak nemuin alasan buat ninggalin kamu, maka selama itu juga aku akan terus mencintaimu, Lang."

"Kalo gitu, maka selamanya gue akan buat lo kesulitan mencari alasan itu. Biar lo bisa terus sama gue."

Rasa-rasanya Elang ingin menertawakan kebodohannya sekarang juga. Kenapa pula dirinya bisa sepercaya diri itu dengan menganggap bahwa Rania tidak akan pernah menemukan alasan untuk meninggalkannya? Nyatanya tak lama setelah itu, gadis manis yang mengucapkan deretan kalimat indah penuh cinta yang seketika membuat Elang melayang, pada akhirnya juga pergi darinya. Sekarang Elang tahu dan sadar, tentang kebahagiaan yang Rania sebutkan itu ada bukan pada dirinya. Elang akhirnya dikalahkan oleh kenyataan, dipaksa mundur sewaktu dirinya berusaha untuk berjuang. Saat dia tahu satu hal baru yang sangat mengejutkan, membuatnya ingin mati berdiri beberapa menit yang lalu. Laki-laki yang kemarin siang Rania sebutkan--yang katanya mampu memberikan kebahagiaan yang lebih besar dari yang ia berikan--adalah saudara kandungnya sendiri.

Detik ini Elang berada dalam fase mengabaikan segala rasa sakit. Elang ingin melupakan, menganggap bahwa gadis yang duduk di antara dirinya dan Vernon itu hanyalah pacar dari saudaranya. Namun, untuk seseorang yang masih melekat di hatinya, bukanlah hal itu akan terasa sangat sulit untuk ia lakukan?

Film action yang tayang saat ini di televisi akan terasa semakin menegangkan. Sejak tadi Elang berusaha memasang wajah serius, datar, dan penuh ketenangan. Seolah gadis yang sedikit bersinggungan paha dengannya ini bukanlah siapa-siapa.

Tidak ada yang tampak berbicara di antara mereka bertiga. Semua sibuk memperhatikan layar televisi dalam diam. Namun, walaupun telah berusaha untuk abai, pertahanan Elang tetap berhasil diruntuhkan. Diam-diam dia melirik ke arah Rania yang terlihat gugup dan ketakutan. Bahkan tanpa sadar gadis itu terus-terusan menggigit bibir bawahnya hingga merah. Ingin sekali Elang bicara, 'Jangan digigit terus. Ntar bibir lo bisa luka'. Tapi Elang sadar, sekarang dia bukanlah siapa-siapanya Rania.

Detik berikutnya ponsel Vernon yang diletakkan di atas meja terlihat bergetar. Yang syukurnya sedikit meretakkan keheningan yang sempat terbangun di antara mereka. Tangan laki-laki itu terulur, mengambil benda sejuta umat untuk kemudian ditempelkan ke telinga. Dia terdengar berbicara sepatah dua kata dengan sosok yang meneleponnya. Hingga saat panggilan tersebut diakhiri, Vernon menatap ke arah Elang dan Rania. Lantas berkata, "Abang turun dulu, mau anterin barangnya temen. Kebetulan dia juga lagi di bawah." Kemudian Vernon menatap Elang dan berujar lagi, "Temenin Rania dulu, ya, Lang? Ajakin dia ngobrol. Gue liat dari tadi kalian diem-diem aja."

Elang mengangguk singkat untuk mengiyakan. Jika gurat wajahnya masih terlihat tenang, maka tidak untuk gadis di sebelahnya. Sejak Vernon mengatakan bahwa dia hendak turun, suhu tubuh Rania mendadak naik. Membuat wajahnya memerah seperti udang rebus. Dan pada Vernon bangkit untuk kemudian benar-benar meninggalkannya berdua saja dengan Elang, jemari tangan Rania mendadak bergetar dalam waktu yang cukup lama.

"Elang." Alhasil suara parau yang lirih itu akhirnya terdengar. Masih dengan tatapan mengarah ke bawah, Rania mencoba untuk berkata, "Maaf."

Namun, tidak ada sahutan sama sekali walaupun waktu telah berselang hingga semenit lamanya. Laki-laki di sampingnya ini seolah berubah seperti patung tak bernyawa. Selain dada yang tampak naik turun, pergerakan kecil Elang lainnya hanyalah mengedipkan mata.

Rania semakin menundukkan kepala, menekuri jemari kaki yang ditekuk karena saking gugupnya. Sepasang netra cantik yang dipayungi bulu-bulu lentik itu tampak digenangi oleh air mata. Hanya tinggal butuh satu kedipan untuk akhirnya air itu menetesi pangkuannya.

"Aku minta maaf, Elang. Serius. Aku gak tau kalo kamu itu adiknya Bang Vernon. Aku--"

"Emang kenapa kalo lo tau gue adiknya dia? Lo bakalan tetap mutusin gue juga, 'kan?"

Refleks Rania menelan ludah yang terasa keras seperti batu sehingga membuat tenggorokannya seolah terluka. "Maaf, Elang. Tapi emang ini jalannya. Aku gak mau kalo nanti kamu terluka lebih dalam lagi."

Elang terkekeh, menertawakan ucapan Rania yang terdengar lucu di telinganya. Sejenak ia membiarkan televisi menyala tanpa seorang pun yang menontonnya. Karena detik ini, Elang sepenuhnya mengarahkan atensi hanya kepada Rania. Dia memperhatikan Rania yang tidak berani untuk mengangkat kepala. Elang tahu, gadis itu sungguh merasa bersalah terhadap dirinya. "Gini aja gue udah terluka parah, Ran. Lo aja yang gak tau," tukas Elang dengan tatapan nyalang lagi beringas.

Sekilas dia menemukan si gadis yang mulai bergetar bahunya. Suara isakan pun akhirnya terdengar jelas. Elang memaksa Rania untuk menatapnya. Dan pada saat gadis itu melakukannya, ada satu titik di dalam dada Elang yang terasa dicubit keras. Oleh tangan tak kasat mata, seluruh perasaan Elang berhasil diaduknya. Elang mengatupkan rahang sekaligus menggepalkan tangannya kuat-kuat. Dia menahan diri untuk tidak menyeka air mata Rania. Dia menahan diri untuk tidak mengusap bibir Rania, membersihkan darah yang timbul karena gadis itu terlalu kuat menggigitnya. "Kalo dari dulu aja gue tau bakalan gini akhirnya, gue bersumpah gak akan melangkah sedikit pun buat deketin lo, Ran." Kini suara Elang terdengar lebih rendah, penuh desisan tajam. Sementara tatapan matanya mulai terlihat memelas dan memprihatikan. Karena sejatinya Elang memang tengah lelah sekarang. Dia kacau.

"Kenapa lo terima gue di saat lo masih mencintai laki-laki lain? Lo gak tau aja seberapa besar gue berharap sama lo. Dan sekarang saat pacar sejatinya lo pulang, lo tinggalin gue dengan dalih lo gak bisa terusan-terusan jerat gue dalam kebohongan. KENAPA, HAH! HARUSNYA DARI DULU LO GAK USAH TERIMA GUE!" Tepat di akhir rentetan kalimat yang Elang ucapkan, suara laki-laki itu meninggi keras. Elang lupa akan pertahanan yang sempat dibangunnya. Dia menggila, mengeraskan suara, dan meluapkan semua amarahnya. Dada Elang naik turun dan tangannya terkepal kuat hingga memunculkan urat-urat lengannya.

Seharusnya Elang tahu kalau Rania tidak suka dibentak. Seharusnya dia pun tahu kalau gadis ini tak bisa lagi menumpahkan air mata karena saking takutnya. Dan karena ia tahu semuanya, Elang memilih untuk menutup mata. Sejenak, saat dia telah bisa menenangkan diri, Elang kembali berbicara. Untuk ini kalian perlu tahu, Elang belum habis dengan semua lukanya.

"Ibarat ada lubang kosong di hati lo, gue lo jadiin sebagai benda untuk menyumpalnya. Ibarat lo lagi luka dan gue itu adalah plesternya. Apa serendah itu cara lo liat gue, Rania?" Elang berdecih, mengunci si gadis dalam jeratan tatapannya. Hingga pada detik berikutnya--saat Elang sudah benar-benar lelah dan pasrah--dia pun memutuskan untuk pergi saja. Namun, sebelum pergerakan itu terjadi, gadis yang wajahnya telah dilumuri oleh air mata tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangan pada lehernya. Elang ditarik paksa oleh gadisnya, dipinta untuk tetap di sini. Sehingga saat Elang merasakan baju bagian depan basah oleh cucuran air mata, lalu disusul oleh tangisan yang menampar keras gendang telinganya, Elang sontak mengatupkan mata.

Kenapa gue bisa sesayang ini sama lo, Rania?

* * *

Hai, kamu. Nyesek gak pas baca part yang ini? Jujur saya yang nulis aja sakitnya minta ampun.

Salam,

dari saya yang lagi kepengen minum kopi

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

5.1K 506 31
[FOLLOW SEBELUM BACA] kisah dari putri prabu Siliwangi dan Ratu Subang larang dengan berbagai perjalanan nya kisah cinta,dendam,misteri hingga perper...
3.4M 181K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
17.9M 1.1M 53
BEBERAPA BAB DI UNPUBLISH SECARA ACAK🙏VERSI LENGKAP HANYA ADA DI BUKU, AVAILABLE ON GRAMEDIA DAN TBO COUPLE IN PRIVACY, STRANGERS IN PUBLIC! [ PART...
6.8K 1K 193
Bai Xizhu meninggal setelah hanya hidup selama tiga tahun di hari-hari terakhir. Sebelum kembali ke ujung dunia, saya tidak sengaja membuka ruang por...