Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 3.7

81 19 38
By monochrome_shana404

Rencana penyergapan tetap dijalankan setelah mereka berunding untuk tidak melaporkan segala runtutan kejadian terlebih dahulu kepada pihak kepolisian. Leona merasa ini memang keputusan yang tepat, sebab cukup sulit mengerahkan tenaga pemerintah demi mengejar spekulasi dalam memecahkan masalah.

Lagi, agaknya tidak perlulah divisi kemiliteran melibatkan mereka kepada sesuatu yang sama sekali lemah hubungannya dengan kasus yang mereka hadapi. Cukup sudah mereka menyelidiki para korban penculikan saat ini, jadi bukan masalah besar jika Leona hanya memberikan laporan seadanya untuk menyibukkan perhatian mereka.

Akan lebih baik jika mereka tidak tahu Kirika membuat rencana agar ia sengaja terculik.

Sesuai rencana, mereka akan melakukan penyergapan pada malam hari; tepat ketika setiap sudut gang sepi dan tiada seorang pun yang melintasi kawasan klinik psikiatri. Untuk berjaga-jaga, sejumlah agen kini menyamar sebagai orang mencurigakan. Lalu ... ini memang agak konyol, tetapi mereka juga menyediakan peran penyelamat yang akan mengantarkan masyarakat pulang.

Betapa pun itulah pentingnya segala hal untuk berjaga-jaga.

Kelompok dibagi dua. Saat ini, kelompok yang dipimpin oleh Emily dan Vanessa mulai bergerak mengepung gedung klinik psikiatri yang gelap gulita, pula utuh tertutup rapat.

Sama sekali tak mereka dapati tanda-tanda ada yang menetap di dalam sana.

"Sebaiknya kita mulai tanpa suara." Emily menyarankan. "Sebab barangkali mereka tahu dan sedang bersembunyi sambil menahan napas."

"Setuju, tetapi saya pikir kita tidak perlu menggunakan hitungan. Anda tahu, Komandan Harrison, kita membutuhkan sedikit waktu untuk membuka kunci pintu ketimbang mendobraknya langsung."

Ya, betapa pun kita harus tetap berhati-hati.

Beralih kepada Vanessa yang memimpin kelompok bagian belakang gedung. Disertai dua orang yang mengekori untuk menjaganya, Vanessa melangkah maju ke pintu.

Sejenak empunya manik ceri tersebut sekadar terpaku sembari mengangkat tangan pelan-pelan. Hampir itu sukses membuat salah satu yang mengawalnya bertanya, tetapi agaknya memang tidak perlu tepat setelah ia mendapati tulang-tulang jari Vanessa mencuat keluar.

Seharusnya dia tidak perlu terkejut mengingat saat ini ia bekerja di bawah naungan Alford. Kemampuan yang dimiliki Vanessa tak lain dan tak bukan pastilah bermuasal dari divisi biogenik. Namun, tetap saja ia menahan napas selagi menyaksikan Vanessa membobol pintu dengan tulang-tulangnya yang menajam.

"Tenanglah." Seolah mampu merasakan aura ngeri dari infanteri, Vanessa akhirnya berceletuk kala menyibukkan diri dengan gagang pintu. "Saya juga melakukan ini di bar milik Komandan Harrison ketika hendak bertemu dengannya."

Maksudnya kau hendak mencuri?!

Harus infanteri itu telan bulat-bulat pekikan hatinya sebab pintu berbunyi singkat, lantas terpangah lebar-lebar tepat Vanessa mendorongnya. Netra senada ceri tanpa gentar menyapu seisi gedung senyap, lantas masuk tanpa suara.

Segera ia disusul para infanteri, lantas ia bertitah, "Periksa semua ruangan, usahakan untuk meminimalisir suara atau tindakan yang mengundang curiga masyarakat. Tiga prajurit, mohon ikuti saya."

Mereka berpencar dengan cepat. Setiap derap langkah seolah nyaris serentak, pula memenuhi lorong kerap mengembangkan rasa awas terhadap sekitar.

Bagian Emily baru saja masuk, ia menitahkan perintah yang sama. Namun, ia membawa jumlah pasukan lebih banyak menuju toilet wanita. Rekaman yang tersimpan lagi terkirim ke Vanessa berhenti di depan cermin—hal yang membuat mereka yakin Kirika masih berada di sana.

Hanya saja, mereka tak lagi menemukan gambaran petunjuk secara harfiah dari rekaman tersebut.

Yah, bahkan Vanessa tak bisa menyalahkan memori yang terpasang di lensa kontak berkapasitas kecil. Namun, ia masih berharap jika saja ia bisa menemukan bangkai tempat lensa kontak, maka semuanya akan mudah.

Selain alat pelacak, di tempat lensa kontak tersebut juga terdapat perekam suara yang langsung terhubung kepada Vanessa. Ketika mengetahui tempat lensa kontak diaktifkan dan sekadar mengirimkan suara benturan keras, dia menyimpulkan bahwa Kirika sengaja menjatuhkannya ke lantai untuk meninggalkan pelacak.

Kembali kepada spekulasi bahwa tempat lensa kontak yang telah dihancurkan pihak musuh, Vanessa memerintahkan pasukan untuk memeriksa setiap bilik toilet. Sembari demikian, telinganya samar-samar mendengar laporan lantai dua dan semua ruangan aman dari para infanteri lain.

Sayang, mereka tak menemukan bangkai tempat lensa kontak tersebut di mana pun. Sekarang cara untuk mencari jalan lain tak lain dan tak bukan hanya satu.

"Tutup seluruh pintu ruangan di klinik ini. Kita akan ledakkan lantainya."

"Tapi itu akan—"

"Kita tidak punya banyak waktu, Komandan Harrison," tukas Vanessa. "Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan Madam."

Risikonya besar, Vanessa tahu itu. Suara ledakan akan mengundang rasa penasaran masyarakat. Setelahnya pastilah seluruh pihak pers akan gencar menyuguhkan berita hangat mengenai hal ini.

Betapa pun Vanessa paham, bahwa di bawah sana terdapat sebuah ruangan yang menyembunyikan sesuatu. Dia tidak tahu pasti apa itu, tetapi tetap saja ia masih berpegang teguh terhadap keyakinannya ... Kirika pasti berada di sana.

Bukan hanya karena tak memiliki waktu banyak, tetapi jika boleh jujur Vanessa tak ingin repot-repot memeriksa pintu menuju ruang rahasia.

Jadi mereka menuruti Vanessa tanpa banyak bicara. Mereka menempatkan sejumlah bom di titik-titik depan bilik dan tengah toilet. Semuanya keluar tepat waktu mulai berhitung mundur.

Di luar dugaan, suaranya tidak semengerikan yang mereka bayangkan. Pun, orang-orang pasti menduga itu tak lebih dari letupan dari orang yang sedang belajar memasak di luar sana. Mereka lagi-lagi beruntung sebab terselamatkan ruang-ruang konseling kedap suara.

Lantas bagaimana dengan dentuman singkat yang terjun ke bawah? Entahlah, tetapi setidaknya Vanessa benar mengenai ruang rahasia di klinik psikiatri ini.

Tepat mereka kembali masuk ke toilet, sejumlah keramik pecah-pecah memperlihatkan semen lantai. Namun, tidak pada keramik yang di ujung toilet.

Vanessa bergerak, disusul Emily dan beberapa infanteri lain. Dia segera dihadapkan oleh lubang yang memperlihatkan tangga menuju ke bawah tanah. Jika diteliti lebih jauh, sama sekali tiada penerangan sepanjang lorongnya. Vanessa berasumsi di sana pun minim akan pencahayaan, maka sebelum mulai turun, ia menyalakan senter kecil yang tertempel di dada kanannya.

"Tetap siaga." Emily memperingati setiap pasukan tepat sebelum mengekori Vanessa. "Kita tidak tahu apakah mereka memasang ranjau atau bom waktu. Barangkali juga keamanan justru diperketat di bawah sana."

Sementara beberapa di antara pasukan di luar toilet mulai mengosongkan gedung untuk berjaga, mereka mulai menuruni tangga lebih cepat. Senter sekadar menerangi pandangan jarak pendek, maka mereka pula menggunakan senter dari senjata api yang mereka bawa.

Sampailah Vanessa lebih dulu, lantas empunya manik ceri tersebut segera dipertemukan dengan sejumlah peralatan yang tak jauh berbeda dengan yang dimiliki laboratorium biogenik. Tanpa ragu tangannya mencomot sebuah suntikan lalu memeriksa beberapa tabung reaksi yang masih tersusun di raknya. Agaknya jarang digunakan, sebab Vanessa mendapati debu di dalamnya.

"Periksa seisi tempat. Jangan sampai ada yang tertinggal. Waspadalah terhadap sekitar."

Begitu Vanessa menitah, pasukan segera berpencar bersama pasangan mitra masing-masing. Emily melangkah menghampiri Vanessa yang telah berjongkok di tengah-tengah tabung seukuran pilar. Gadis itu memungut sebuah benda berkerlip ketika disinari lampu.

Tempat lensa kontak milik Kirika.

"Sepertinya mereka tahu kita datang."

"Lalu mereka benar-benar meninggalkan tempat ini tanpa meninggalkan sedikit pun jejak," imbuh Vanessa. "Sialan."

Hampir-hampir Emily terkesiap terang-terangan mendengarnya. Namun, betapa paham Vanessa tatapan yang dilontarkan Emily ke punggungnya.

"Saya harap Anda tidak mengadukan satu kata barusan kepada Madam, Komandan Emily," kata Vanessa lalu berdeham dengan wajah merah padam. Pun, ia masih sanggup mengalihkan pembicaraan meski gelagapan. "P-pokoknya ... jika asumsi kita mengenai penculik ini benar, kita pasti akan menemukan barang bukti di sini.

"Lalu ... Madam ...." Demikian ia berdiri tegap sembari menatap lurus komandan wanita di hadapannya. Namun, wajahnya mulai tampak muram. "Sementara waktu, barangkali terpaksa kita harus kesampingkan keberadaannya. Untuk sekarang, kita akan berfokus pada masalah penculikan."

~*~*~*~*~

Erangannya menggema untuk kesekian kalinya, lantas tersampaikan ke telinga Kenji. Tak perlu agaknya ia menghitung berapa kali Kirika mengeluarkan suara, toh ia tetap menikmati semua itu dengan seringai samar.

Sekali lagi ia mengerling kepada sosok di bawah sana. Ya, manik kemerahannya tak lagi menemukan wanita yang senantiasa berdiri tegak bersama wajah datar dan wibawanya. Kini ia rapuh, tak berdaya. Lagi-lagi, tentu saja, penuh luka.

Beberapa bagian pakaiannya telah compang-camping akibat cambukan, memperlihatkan memar dan bekas sabetan. Rambut mawar keemasan tersebut lepek karena air. Dadanya terus kembang kempis sebab sulit bernapas dengan ikat pinggang yang masih setia mencekik leher. Konon iris delima tersebut tak lagi sanggup menyalang, tetapi tetap saja ia tak pernah menuturkan tatapan yang menyampaikan arti meminta belas kasih.

Kesadarannya masih memancar di mata Kirika, kedua lensa Akira bisa memandangnya dengan jelas. Dia menaikkan dagu tepat melihat Kirika tersenyum samar.

Lagi.

"Aku menunggumu menanyakan sesuatu sebelum dikembalikan ke dasar kolam ini. Atau mungkin kau berminat ... menaikkan tingkat kesulitannya?" Wanita itu kembali memancingnya. "Mungkin tuanmu punya ide seperti menjadikanku bahan tontonan dan mempermalukan di depan publik dengan cara seperti ini?"

"Hampir!" Malah Kenji yang berseru. "Tapi terima kasih atas masukannya. Mungkin kita bisa melakukannya selama kau masih bisa bertahan."

Selagi Kirika memperlebar senyum, pandangan Akira kembali kepadanya.

"Anda mendengarnya."

"Ya. Dia tampak sangat bersemangat," tukas Kirika. "... Dan tampaknya semangatmu ikut bertambah untuk melanjutkan tugasmu."

"Begitu juga dengan Anda yang cepat-cepat ingin dilayangkan nyawanya. Sebab saya paham Anda tidak akan menjawab pertanyaan saya setelah ini."

"Tepat sekali."

Lalu dengan satu kedipan, katrol mengulurkan tali atas kendali di dalam kepalanya. Akira menurunkan kursi secepat kilat, tanpa aba-aba hingga sama sekali tiada kesempatan bagi Kirika untuk mengambil napas.

Buih serta gelembung naik sementara Kirika dibiarkan tenggelam. Sekujur luka kian terasa perih, meski hanya sekejap tetap terasa menyiksa. Butuh waktu bagi kedua kelopak mata itu terbuka, lantas memberanikan diri memandang gelap selagi indera pendengarannya mendengar aliran air di sekitar.

Dia berada di sini dengan hitungan yang sama; dua puluh hitungan. Dalam hati Kirika mulai menghitung sembari menahan napas.

Satu, dua ....

Terus hingga angka belasan. Tak peduli dadanya mulai meronta meminta oksigen.

... Lima belas, enam belas ....

Takut melatah, maka ia mulai kembali memejamkan mata erat-erat. Lalu ....

Dua puluh.

Seluruh buih telah menghilang, tetapi sama sekali pertanda ia hendak ditarik naik. Sekitarnya dingin, tetapi sensasi hangat konon mulai menjalar menuju ubun-ubun. Itu membuatnya panik, pula ia segera mengerti bahwa Akira menambah durasi hukumannya.

Atau mungkin ia mulai berniat mengakhiri semuanya dengan cara ini?

Bahkan sekadar memikirkannya, Kirika terbelalak sempurna. Seisi dada memaksa, mendorongnya menarik napas. Baik mulut dan lubang hidung tak mendapatkan udara yang mereka mau, lantas Kirika harus merasakan sakitnya air menorobos masuk ke dalam tubuhnya.

Konon pandangan memburam dan nyaris gelap, Kirika mendapati dirinya disambut udara. Seluruh air mulai rontok dari tubuhnya pertanda ia kembali menggantung di atas kolam. Maka kesempatan ini ia ambil untuk memasok napas sebanyak mungkin. Meskipun memang tidak menutup kemungkinan baginya untuk terbatuk dan gemetar tak terkendali. Konon trauma mulai menghinggapi sekujur tubuhnya.

Namun ... betapa pun akal sehatnya masih tetap tinggal di dalam kepala.

Itulah yang membuat Kirika sempat menyunggingkan senyuman dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Ya, tepat di sela-sela napas yang terengah, ia masih sempat melakukan itu.

Untuk kesekian kalinya, tentu saja.

"Saya bisa saja memenggal kepala Anda sekarang juga." Kini, persis telinga Kirika akhirnya menangkap suara jernih Akira, pandangannya kian jelas mendapati bahwa si android kembali menghampirinya dengan tongkat cambuk besi. "Hanya saja ... itu bukan hal yang diinginkan Tuan. Sebab saya menerima perintah untuk menarik ulur hidup mati Anda.

"Bagi mesin, perintah tetaplah perintah, dan semuanya harus berjalan sebagaimana semestinya." Satu libasan melayang bersama patah kata si android. Erangan menggaung, pula bekas cambukan tersebut sukses melukiskan tanda kemerahan yang menyisakan pedih. "Kami diciptakan untuk membantu dan melayani manusia yang telah menjadi tuan kami; menuruti mereka adalah bentuk kesetiaan. Begitulah kami diciptakan, benar begitu?"

Kembali ia menggerakkan tangan kanannya, menghajar Kirika tanpa ampun. Suara cambukan serta erangan terus menggema, memuaskan hati Kenji yang masih menikmati di lantai atas.

Sungguh, pekikan wanita itu benar-benar hasil menyunggingkan senyum lebarnya. Lewat sela-sela pembatas, ia kini ia dapati sekian banyak bercak merah di tepi-tepi kolam.

Benar dugaannya bahwa itu berasal dari tongkat pencambuk yang Akira kibas keras-keras hingga tiada darah yang menetes di sana.

Kira-kira sudah berapa cambukan yang diterimanya? Berapa kali ia diceburkan ke dalam air? Entahlah, tetapi apa artinya memikirkan semua itu sekarang?

Pun, sang penghukum akhirnya diam di hadapan pendosa, sekadar memandanginya yang sedang gemetar menahan sakit; melawan dingin yang menggigit.

"Menyerahlah, Nona Alford. Dengan begitu saya pun bisa berhenti." Pandangan kedua lensa berbeda warna tersebut beralih kepada tongkat cambuk yang sedang ia usap. "Tidak hanya menarik ulur hidup Anda, tetapi saya juga diberikan perintah untuk mengampuni Anda. Tidakkah Anda mendengar bahwa Tuan menitahkan semuanya terang-terangan di depan Anda?

"Kita melalui semua ini tanpa Anda tahu apakah di sana siang sudah berganti malam, benar? Lagi, saya pikir tidak sulit membuka mulut dan membeberkan segala hal yang Anda simpan rapat-rapat ... rahasia Anda, rencana Anda, lalu tentu saja mengenai Ayame Sano. Kami sekadar ingin tahu mengenainya, seperti di mana Anda menyembunyikannya ... atau yang terburuk di mana Anda menguburkan mayatnya. Bukan hal yang sulit, bukan?"

Hanya sekejap, tetapi Akira mendapati tatapan Kirika yang melontar kosong; hal yang membuat dirinya yakin bahwa wanita ini berada di ambang batasnya. Namun, segala harapan itu harus seutuhnya sirna.

Kirika kembali tersenyum samar di kala maniknya bertemu dengan sepasang lensa androidnya.

"Sebelumnya ... kau menjelaskan perihal kesetiaan padaku, bukan? Jika kau memiliki standar soal kesetiaan, maka begitu juga aku. Inilah bentuk kesetiaanku, Akira Kurihara," ucapnya. "Aku bersedia membawa mati seluruh rahasia kami dan terus menutup mulutku rapat-rapat sampai kematianku tiba."

Suara derik kursi yang begitu samar dari atas sukses membuat Akira menengadah. Kenji telah berdiri dari bangkunya, memerhatikan si android dari sana seolah tengah menitah tanpa suara.

Dia benar-benar meninggalkan ruang bawah tanah ini, sedikit pun tak ia tinggalkan sepatah kata. Demikian Kenji berlalu tanpa memedulikan lagi suara Kirika atau apa yang akan Akira lakukan selanjutnya.

"Kini nyawa Anda dilemparkan kepada saya, Nona Alford."

Artinya Kenji telah menyampaikan pesan sebelum dia pergi.

"Agaknya penderitaan Anda berakhir lebih cepat dari dugaan saya," imbuh Akira kemudian. "Seperti yang Anda sadari, Anda tidak memiliki waktu banyak, sedangkan saya tidak berkeinginan untuk membuang waktu. Apa Anda memiliki kata-kata terakhir sebelum saya mengakhiri hidup Anda?"

Teramat banyak yang hendak ia sampaikan, tentu saja.

Senyum yang mengembang di wajah wanita yang dianggap pendosa itu mengandung banyak arti, setidaknya begitulah Akira menyimpulkan lewat kedua lensanya. Barangkali tersirat sesal sekaligus sisa-sisa kesombongannya, mungkin juga terlihat kebahagiaan sekaligus keping-keping kesedihan dari sana.

Akira bisa menerawang ke manik kemerahan itu, tetapi ... ia tak mengerti; ia tak mampu membaca apa yang tengah dirasa empunya.

Riak air berdesir, sama sekali tak mengusik keduanya. Akira setia menunggu si pendosa untuk merangkai kata-kata, demikian Jackal dan Eleonor yang masih menontoni di tempatnya masing-masing.

"Tentu ... aku memiliki satu hingga dua patah kata untuk disampaikan." Ternyata tak membutuhkan waktu lama untuk menunggu. "Aku menujukan pesanku untukmu dan tuanmu. Katakanlah ... ini satu-satunya rahasia yang bisa kubeberkan kepada kalian."

"Akhirnya Anda mau membuka mulut. Namun, saya penasaran. Apakah ini permohonan agar saya bisa memberi Anda pengampunan?"

"Aku sama sekali tak membutuhkan pengampunan darimu. Pun, aku tidak akan pernah memohon di bawah kaki musuh-musuhku."

"Sebagaimana Kirika Alford bersikap, tentu saja," tukas Akira sembari berbalik. "Silakan lanjutkan, saya akan mendengarkan."

Agaknya Akira harus kembali sabar menunggu untuk Kirika bersuara. Sebab kini ia sedang melawan pening hingga seutuh pemandangan yang terpampang di hadapannya tak enak dipandang. Semua seolah bergetar, pun secara perlahan berbayang.

Kirika tak lagi merasakan perih atau sakit atas segala lukanya. Tubuhnya mati rasa. Barangkali akibat cambukan yang memberikan tanda lebih banyak, konon pula seolah dilayangkan sepenuh tenaga.

"Sial, aku tidak sudi untuk mati di sini." Bahkan sulit mengendalikan suaranya. Gumaman barusan sempat terdengar oleh Akira yang kemudian menoleh dengan seringai tipis.

"Sudah takdir, seperti yang Anda katakan kepada Profesor sebelumnya," balasnya.

Suaranya lagi-lagi memaksakan Kirika untuk mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya. Meski hanya dengan sedikit energi yang tersisa, setidaknya kini ia bisa mengutarakan segalanya.

"Aku baru menyadarinya bahwa kita tidak lagi berada di tempat yang sama. Tampaknya kalian pun telah berpikir ini merupakan kuburan yang bagus untukku, benar begitu?" ujarnya. "Tapi kupikir terlalu cepat jika kau berpikir demikian."

"Apa yang Anda maksudkan?"

"Hidup atau mati ... aku akan tetap keluar dari sini." Lagi, Kirika tersenyum bersama tatapan kosong yang mengarah kepada wajah Akira. "Sebab aku memilikimu, Akira."

Demikian ia merasakan detak jantungnya melemah, pandangan Kirika kian memburam ... pula menggelap. Tubuhnya terasa lebih ringan tepat ia menutup mata. Tentu, segala kejadian ini mengingatkannya kepada masa lalu ....

Pun, semuanya bahkan terasa sama tepat indera pendengarannya samar-samar menangkap suara ledakan.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!!

Continue Reading

You'll Also Like

26.4K 1.4K 40
Cie kepo, kalo kepo ayo mampir sini follow dulu syenkk LAPAK BROTHERSHIP NOT BL❌❌❌ ( FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!!! ) ( JANGAN LUPA UNTUK TINGGALKAN...
102K 14.4K 46
[Reading List September 2023 - WattpadRomanceID as Dangerous Love Category] #1 on Mitologi - 29/01/24 #1 on War - 28/01/24 #1 on Yunani - 19/12/23 #1...
1.9K 406 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...
42.1K 5.9K 21
"We all have that one person who really f us over." ©2018