A Riddle Upon Us

Autorstwa aritanda

2.7M 170K 21.5K

Sabrina, cewek cuek yang tiba-tiba sebangku dengan cowok yang gayanya sok. Semua cewek memuja cowok itu sebag... Więcej

Introducing
One - Bad Luck
Two
Three
Four - Sportday
Five - His Point of View
Six - His Other Side
Seven
Eight - Both Point of View
Nine - Meeting Him
Ten
Twelve
Thirteen - Newcomer
Fourteen - Meeting Her
Fifteen - Weird Sentiments
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty - Friend By Chance
Twenty One
Twenty Two
Twenty Three - Realizing
Twenty Four
Twenty Five - This Won't Be Good
Bonus Chapter
Twenty Six - Nonsense
Twenty Seven
Twenty Eight
Twenty Nine
Thirty
Thirty One
Thirty Two
Thirty Three - Good Bye
Then
Epilogue
Authors' Note

Eleven - Is it Over?

70.5K 4.4K 37
Autorstwa aritanda

Ini sudah memasuki minggu-minggu akhir tahun pelajaran. Dan seperti yang sudah diumumkan, besok adalah pekan UAS.

Ujian Akhir Semester.

Sebenarnya UAS tidak seburuk kedengarannya. Di samping belajar lebih keras, tidur lebih malam, dan pusing bertambah, ada hal-hal yang seharusnya disyukuri.

Yang pertama, UAS berarti pulang lebih cepat. Walau itu tidak berarti waktu tidur bertambah.

Yang kedua, jika pulang lebih cepat, semakin kecil peluangku untuk bertemu dengan makhluk itu. UAS sudah cukup membuat pening dan wajah makhluk itu yang mengesalkan hanya akan memperparahnya.

And last but not least, sebentar lagi naik kelas. Dan kalian tahu apa yang menyenangkan dari itu? Itu berarti aku tidak akan satu tempat duduk, satu partner, dan semoga saja tidak satu kelas dengan Angga.

Aku meraih jadwal ujian dan meneliti satu-persatu pelajaran di tiap harinya. Hm, hari Senin Matematika dan Agama. Besoknya Fisika dan Kimia, mantap.

"Oi," aku menoleh ke kiri dan mendapati Angga yang memanggilku.

"Lo ruang berapa?" Tanyanya. Aku menatap kartu ujian milikku yang baru dibagikan tadi. Ruang  empat belas.

"Empat belas. Lo?" Angga melirik sekilas kartu miliknya. "Lima belas."

Lega? Hmm, iya. Seharusnya.

"Lo mau balik?" Tanyaku refleks, melihat dia sudah beranjak dari kursi dengan tas di bahunya.

"Mau bareng?" Tanyanya.

Aku menggeleng sebentar lalu merogoh isi tas untuk mengambil sebuah bingkisan.

"Tuh, dari nyokap buat nyokap lo." Ucapku.

Angga menatap tidak senang dengan bingkisan floral pink itu.

"Cepetan ambil elah." Ucapku sambil menyodorkan bingkisan itu. Kalau tidak, lama-lama bunga di kertas kadonya bisa layu ditatap Angga. Haha.

"Hm, bilangin makasih. Dan lain kali kertasnya jangan yang girlish kayak gini, gue malu bawanya."

Hm, kata-katanya hanya memasuki kuping kananku, lalu keluar dari kuping kiri. Toh, tidak penting ini.

Omong-omong, gawatnya, semenjak ayah pulang, keadaan makin mengesalkan. Itu cuma berlaku untuk topik mengenai Angga, sih. Dan aku khawatir karena belakangan ini, kalau ayah-ibu mulai membahas-bahas Angga, jantungku jadi lebih giat memompa darah. Lalu entah kenapa bibirku serasa terpaksa ditarik untuk mengulum senyum.

Serius, itu menyiksa. Dan tentunya menggelikan.

Ternyata Angga bisa membawa dampak buruk terhadap kesehatan.

Dan omong-omong soal bingkisan tadi, aku curiga mengenai ibuku yang menitipkannya untuk ibunya Angga. Rumah kita kan tidak jauh. Sama sekali.

Oh, dan belakangan ini aku menolak tawaran Angga untuk pulang bareng.

Bukan karena kadar ngeselinnya bertambah--walau itu salah satu faktornya juga--tapi karena aku tidak mau di ceng-cengin sama ibu karena pulang bareng.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku baru keluar dari kelas.

Maksudnya sih biar nggak bareng Angga. Tapi ternyata di luar ramainya kebangetan. Anak-anak pada mondar-mandir nyariin guru buat nanya materi UAS. Kebanyakan juga fotocopy latihan-latihan soal gitu.

Setelah berhasil keluar dari desakan kakak-kakak kelas yang menuhin koridor, akhirnya sampai juga di lapangan.

"Eh, Sab!" Panggil seseorang.

Aku menoleh ke belakang. Dan si ketua kelas, Gary, terlihat terengah-engah.

"Itu ... lo nggak mau minta latihan soal buat UAS besok?" Tanyanya.

Aku hanya mengangkat bahuku asal.

"Ada di bendahara lagi di fotocopy. Lo tungguin bentar yah. Katanya banyak yang keluar dari situ."

"Oh ya, satu lagi, punyanya Angga sekalian dikasih. Rumah kalian kan deket." Jelasnya panjang lebar.

Oh iya, aku lupa memberi tahu, info tentang aku dan Angga satu komplek itu sudah menjadi pengetahuan umum di kelasku. Entah dari mana mereka tahu. Mungkin karena sering terlihat pulang bareng? Tapi kan nggak sering juga. Entahlah.

Dan sekarang aku masih mencerna kata-katanya.

Nganterin ke Angga? Ke rumah Angga?

Hell no.

Perasaan baru juga menghindar pulang bareng Angga. Sial.

"Enggak ah, lo aja sana." Balasku.

"Sab, cuma lo yang rumahnya deket." Balas Gary dengan muka memohon.

"Fans-nya kan banyak yang mau." Balasku.

"Makanya, cuma lo doang yang bukan fans-nya Angga. Emang lo mau gue masukin ke list fans-nya Angga?"

No, thank you.

"Eh, ini nih fotokopiannya. Gue balik dulu, ya. Tolong bagiin ke yang lain." Sasha, sang bendahara, langsung pergi dengan temannya setelah menyodorkan kertas itu.

Kalau dipikir-pikir kasihan juga si Gary.

"Hft, nih. Punya lo sama Angga. Gue duluan ya, mau nyari yang lain."

Lalu Gary meninggalkanku dengan dua buah kertas fotokopian.

Nyusahin.

***

"Sab, bangun Sab! Udah sore, nih."

Aku membuka mataku perlahan, lalu melirik jam di dinding.

17.00

Ah!

Aku terduduk di ranjang. Seakan ada yang terlewat, aku memutar kembali ingatanku.

Tadi siang aku pulang, lalu ke kamarku.

Hmm ....

Oh iya, seharusnya aku ke rumah Angga.

Tapi rasa capek memaksaku untuk mampir ke rumah dulu. Lagian waktu itu masih jam satu-an. Rencananya kan mau istirahat sampai Setengah empat, abis itu baru ke rumahnya Angga.

Tapi nyatanya ketiduran, dan baru bangun sekarang. Jam lima sore.

"Ini apaan, Sab?" Aku menoleh ke arah nakas dimana ibu sedang membolak-balik kertas fotokopian yang tadi.

"Latihan soal buat UAS." Jawabku.

"Hmm, kok ada dua?" Tanyanya lagi.

"Iya. Yang satu buat Angga--eh."

Aku menepuk jidatku. Seharusnya bagian yang itu kusimpan saja. Elah. Lagian, biasanya ibuku tidak memerhatikan hal detail begitu.

Kulihat ibu cuma mengangguk-angguk dengan senyum aneh di wajahnya. Ergh, kutebak pasti ada yang sedang direncanakannya.

"Besok aja ngasihnya Sab, bareng ibu. Sekalian mau ketemu sama ibunya Angga."

Firasat buruk.

***

Ting Tong!

Ibu menekan tombol bel rumah Angga. Tidak lama, terdengar suara pagar dibuka.

"Eh, jeng, kok dateng nggak bilang-bilang?" Lalu ibunya Angga menuntun kami ke depan pintu rumahnya. Dan ia membuka pintu lebih lebar yang berarti memersilahkan kami masuk.

"Sab, Angganya ada di atas. Ke sana aja, gih." Ucap ibunya Angga. Seakan-akan kalau aku datang pasti mencari Angga.

Aku--terpaksa--memasang senyum. "Nggak usah tante. Aku di sini aja."

"Sabrina bukannya mau ngasihin kertas latihan buat Angga?" Tanya ibu.

ERGH. Ibu merusak rencanaku. Padahal tadinya aku mau meninggalkan kertasnya di meja tamu.

"Wah, baik banget Sabrina. Ngga! Angga! Turun, sini!" Ada jeda beberapa lama namun tidak ada tanda-tanda kedatangan orang.

"Angga! Aduh, maaf ya, Angga emang lemot, dan agak males juga. ANGGA!" Seru ibunya Angga lagi.

"Ah, nggak apa-apa, jeng. Sabrina juga sering gitu. Sering males kalau dipanggilin." Ucap ibu.

Aku hanya memasang senyum atas perkataan ibuku. Aku juga turut berduka untuk ibunya Angga. Apa suaranya nggak abis tuh buat manggilin makhluk--eh, anak satu itu?

"Ya." Suara yang familiar di telingaku pun terdengar. Di barengi seretan langkah kaki.

"... oh."

Begitu reaksinya.

Aku menahan senyum. Lebih tepatnya, menahan tawa.

Bagaimana tidak? Kelihatan banget tuh anak baru bangun.

"Tuh, Sabrina mau ngasih latihan soal." Ucap ibunya Angga.

Tsk, susunan kalimatnya nggak enak banget. Padahal aku kan dipaksa buat ngasih tuh barang.

Hft, tibalah saat yang paling tidak ditunggu-tunggu.

"Nih." Aku memberikan kertas tersebut tanpa menatapnya, begitupun dia.

Setelah itu dia tetap berdiri di situ dan tidak ada diantara kami yang berbicara.

"Minggu depan UAS, kan?" Tanya ibunya Angga tiba-tiba. Aku dan Angga mengangguk berbarengan.

"Oh, tante denger kamu lemah di Fisika ya? Minta ajarin Angga aja." Lanjutnya.

Aku baru saja mau mengelak jika saja tidak didahului oleh ibuku. "Wah, ide bagus, tuh. Sana Sab. Kapan lagi kamu diajarin sama yang expert?"

Nah ini, pasti ini rencana ibuku yang disembunyikan.

Dan kenapa ibuku setuju-setuju saja aku masuk ke kamar anak Angga?

"Nggak usah malu-malu-lah." Ibunya Angga mendorongku ke arah tangga.

"Kamu tunggu di kamar Angga aja." Ia mengulum senyum padaku.

"Kamu. Ambilin minum dulu sana buat ibunya Sabrina. Sama buat Sabrina juga." Ucap ibunya Angga ke Angga dengan tatapan tak bisa dibantah.

Sadar kalau menolak cuma membuang tenaga, aku pun menghela napas lalu terpaksa naik ke atas. Tepatnya ke kamar Angga. Wow, Ellysa bisa nangis darah kalau tahu ini.

Kamar Angga berwarna biru. Ada rak yang isinya figur pesawat dan mobil. Hmm, secara keseluruhan kamarnya Angga lumayan rapi untuk ukuran anak cowok. Oke, itu tidak penting.

Aku pun duduk di lantai yang dilapisi karpet. Sekitar sepuluh menit kemudian, Angga datang dengan dua gelas minum. Dia tidak menutup kembali pintu kamarnya.

"Nih." Ujarnya setelah duduk juga. 

"..."

"Btw, thanks. Walau ngasihnya ngaret." Katanya setelah hening yang menghabiskan menit. Lalu senyum miring tercetak di wajahnya ketika menatapku.

Dan secara aneh, jantungku memompa darah lebih giat dari biasanya. Sekali lagi, bibirku serasa ditarik membentuk senyum. Tapi aku memaksa tetap berwajah stoic.

"Lo mau gue ajarin?" Tanyanya akhirnya.

Aku menatapnya dengan aneh. "Enggaklah." Jawabku jujur--terlalu jujur.

Entah kenapa, mungkin mataku yang salah, tapi tadi Angga memperlihatkan wajah sedikit kecewa, walau hanya sebentar. Omonganku semenyakitkan itukah?

"Gue juga nggak mau ngajarin lo kok. Percuma ngajarin orang kayak lo, nggak akan ngerti." Balasnya.

Ehem. Secara tidak sengaja itu menghancurkan harga diriku.

"Cuma menang OSN aja bukan berarti nilai UAS Fisika lo bakal bagus." Ucapku.

"Lo ngerendahin gue, gitu?" Balasnya.

ITU LO.

Mau sih ngomong kayak gitu. Tapi akhirnya aku mencoba untuk mencari kata yang lebih menyebalkan lagi.

"Nggak ngerendahin kok. Cuma ngomong doang. Kalo ngerasa, ya udah." Ucapku.

"Nilai fisika lo kemaren aja mepet KKM." Balasnya.

"Itu gara-gara rangkuman lo." Oke, yang itu dusta. Justru gara-gara rangkumannya dia aku jadi tidak remed.

"Hmm, kalo gitu, gini deh, kalo nilai UAS fisika gue di atas lo, lo harus ngakuin gue jago. Kalo nilai lo diatas gue, lo terserah mau apa." Ucapnya.

Apaan, deh. Nih anak kebangetan nanggepinnya. Lebay, pake nantangin segala.

Gue kan cuma pengen biar lo jangan ngerendahin, tapi gue nggak maksud nantangin juga.

Tapi kalau ditolak, dia malah tambah sombong. Walaupun aku sedikit pesimis bahwa aku akan menang since dia kan anak OSN, sampai tingkat nasional pula. Tapi seperti yang kukatakan, kalau ditolak dia malah makin sombong. Toh, kalau aku kalah, aku hanya perlu mengakui kalau dia jago, kan?

"Terus, gimana kalo gue di atas lo, gue bakal sebar nomor lo ke Ellysa?" Ha. Ancaman yang bagus.

Angga kelihatan sedikit ngeri. Pfft.

Aku menatapnya penuh kemenangan lalu aku turun dan bilang bahwa aku harus belajar Agama. Jadi ibu pun menyudahi merumpinya dan kita balik pulang.

Tapi pada akhirnya bukannya belajar Agama, aku malah membuka buku Fisika.

I got a battle with Physics.

***

Minggu-minggu UAS sudah selesai. Dan sekarang adalah minggu-minggu pengumuman nilai. Nilainya satu persatu bakal di pajang di mading tiap kelas. Dan tinggal nunggu nilai Matematika yang nggak keluar-keluar.

Masalah Fisika?

I win. Tapi kebenarannya adalah Angga yang menang, sih. Bingung, kan?

Jadi, nilai dia 70.

Kaget? Banget.

Senang? Banget.

Heran? Banget.

Tapi ternyata itu karena Angga menghitamkan LJK-nya nggak benar. Otomatis nggak ke-scan dan itu berarti nggak kehitung. Jadilah nilainya segitu.

Haha, pasti nyesek tuh. Katanya sih, dia lagi negosiasi sama guru Fisika gitu soalnya kan dia OSN Fisika, paling nggak bisa dapat tambahan nilai, mungkin?

Lalu tentunya dia menarik kembali tantangannya. Dan menyesal karena katanya nilai aslinya kalau ke scan itu 90-an which means dia menang karena nilaiku 88.

Kaget juga sih nilaiku segitu, bagiku itu sudah sangat bagus, karena banyak ternyata yang remedial, sekitar setengah lebih murid di kelas yang remedial.

Mungkin itu karena ambisi mengalahkan Angga.

Dan minggu depan ambil rapot. Terus liburan.

Berarti tidak ketemu makhluk itu lagi.

Harusnya senang. Karena nggak bakal bareng sama Angga lagi.

Entah karena apa, ngebayangin di kelas berikutnya agak ... hmm ... ya begitulah.

Walaupun kita masih satu komplek, tapi kalau tidak sekelas lagi itu membawa efek besar.

Enggak akan ada lagi yang nyebelin.

Yang sok cool.

Pede.

Enggak ada tas Adidas biru lagi. Dan aku perkirakan, nggak akan ada yang mengisi bangku di sebelahku.

Dan nggak akan ada lagi yang ngerjain tugas kalau partner-an sama teman sebangku.

Well, the best one is .... There'll be no annoying fans. Anymore.

Intinya bakal lebih bebas karena nggak ada teman sebangku yang nyebelin dan lebih tenteram.

Juga lebih sepi.

Aku menoleh ke kiri. Ke arah kursinya Angga yang tentunya hanya terdapat tasnya.

Jadi akankah ini berlanjut?

Atau berhenti di sini?

.

Bye.

Sucks chairmate.

-tbc-

A/N :

Stay tune buat kelanjutannya ya, itupun kalo ada haha

18.12.14

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

84.6K 6.9K 50
(Book #1 F.Y.M Universe) Kisah empat orang remaja dengan masalahnya masing-masing. Rean Kainand, laki-laki berkemampuan Hyperacusis yaitu kepekaan t...
ARIA Autorstwa uthe

Literatura Kobieca

14.6K 2.6K 12
ARIA ; nyanyian tunggal yang sendu dan dibawakan dengan penuh perasaaan, di iringi alat musik seperti opera dan oratoria. Elisheba Sonya Gailardia, p...
Lovakarta Autorstwa Ayii

Dla nastolatków

889K 95.1K 71
[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 dari 1000 hati menyatakan ketertarikan pa...
3.8M 272K 38
Disclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [1] : Taylor Hana Ander...