Long Way Home

By cloudiens

9.9K 1.1K 377

"I wanna get lose and drive forever with you." *** Erlangga Jevander adalah penghuni yang kehilangan rumahnya... More

Let's meet them
01 - Don't (Love Me)
02 - Feeling Fades
03 - Hate to See Your Heart Break
04 - Stay Close, Don't Go
05 - Naked
06 - Don't Watch Me Cry
07 - Thru These Tears
09 - I Like You
10 - I'm Serious
11 - Leave Your Lover
12 - Falling for You
13 - Trying My Best
14 - Eyes Locked, Hands Locked
15 - Fools
16 - Popo
17 - What Am I To You
18 - Cliché
19 - Heart Out
20 - Love Me Like That (END)
Extra Chapter - Cry Baby

08 - How Can I Say?

315 51 34
By cloudiens


I hate me now
I hate myself for being like this
For feeling so comfortable
When I'm away from you
Hate me now
I wish you would figure it out
Don't show me a smile
With those endlessly clear eyes

How Can I Say - Day6

❇❇❇

Alden

Selama dua puluh satu tahun gue hidup, hanya ada dua hal yang gue sesali sampai detik ini. Pertama, gue menyesal karena bersikap terlalu lemah di hadapan bokap gue. Gue menyesal karena terlalu mengikuti apa yang dia perintahkan pada gue. Gue menyesal karena gak bisa bawa nyokap gue jauh dari dia dan berujung membuat beliau terus merasa tersiksa ssndirian di rumah yang sepi juga menyakitkan itu.
Dan kedua, gue menyesal karena meminta Gladys untuk jadi cewek gue.

Iya, gue menyesali hal itu sampai saat ini.

Karena mungkin kalau aja gue gak memintanya untuk jadi cewek gue saat itu, dia gak mungkin ngerasain sakit dan kecewa bertubi-tubi kayak gini.

Pasti banyak dari kalian yang mikir-atau bahkan emang ini yang ada di kepala kalian semua- kalau gue gak sayang sama Gladys. Mungkin keliatannya begitu, dan dia juga pasti berpikir begitu. Tapi sayangnya itu semua gak bener. Gue emang brengsek, tapi gak sebajingan itu buat ngajak seseorang menjalin hubungan tanpa ada perasaan apa-apa.

Gue sayang sama dia, meskipun rasanya gak sebanding dengan yang dia punya untuk gue.

Selama ini gue mencoba buat bersikap seolah-olah mencampakkannya, seolah-olah gue gak mempedulikannya, dan seolah-olah gue gak pernah punya perasaan apa-apa sama dia, karena gue punya alasan.

Gue mau dia pergi. Gue mau dia membenci gue. Gue mau dia mengakhiri hubungan ini.

Karena gue gak bisa ada di sampingnya terus-terusan lagi. Gue gak bisa biarin dia bertahan di hubungan yang cuma bikin dia sakit kayak gini. Namun, gue sendiri juga gak sanggup buat mengakhirinya. Gue belum sesiap itu buat kehilangannya.

"Besok sore kamu temenin Kania fitting baju, jam 4 harus sudah sampai sana."

Dan juga... Gue merasa kalau perasaan gue sekarang terbagi dua. Gue gak pernah memprediksikan ini bakalan terjadi, walaupun gue sering main sama banyak cewek sekalipun, gue gak pernah naruh perasaan apa-apa sama mereka semua. Tapi baru-baru ini... Selama kurang lebih tiga bulan ke belakang, gue merasa ada yang aneh sama perasaan gue sendiri.

"Aku harus ke Jakarta malem ini," kata gue tanpa melihat sosok pria paruh baya yang gak pernah gue duga bakal menyusul gue ke Bandung-meskipun katanya dia ada urusan penting di sini, padahal gue tau dia ke sini buat menyusul gue sekaligus mengunjungi istri keduanya.

"Ada urusan apa? Bimbinganmu 'kan belum selesai?"

"Jadwal bimbingan selanjutnya hari Selasa, masih ada waktu 3 hari buat ke Jakarta sebentar."

"Buat ketemu pacarmu?"

Gue gak pernah suka cara bicara bokap gue saat membicarakan Gladys. Dia secara terang-terangan menunjukkan ekspresi meremehkan saat ngomongin pacar anaknya sendiri.

"Pertunangan kamu sama Kania itu bulan depan Alden, sampai kapan kamu mau mertahanin hubunganmu sama perempuan gak jelas itu?"

Tanpa sadar tangan gue mengepal. Ini bukan pertama kalinya dia ngejelek-jelekin Gladys, dan gue masih gak bisa berbuat apa-apa saat cewek gue sendiri dijatuhin kayak gitu.

"Meskipun kalian dijodohkan, coba bersikap seolah-olah kamu calon tunangan yang baik terhadap Kania. Bagaimanapun juga kalian sudah sama-sama sejak kecil."

"Karena kita berdua udah berteman baik sejak kecil, rasanya aneh menjalin suatu hubungan yang gak ada perasaan apa-apa di dalamnya."

"Alden!"

"Aku gak pernah punya perasaan apa-apa sama Kania dan dia pun sebaliknya."

Bohong. Gue punya, meskipun gue berusaha buat mengelaknya berkali-kali. Tapi Kania gak pernah punya perasaan itu buat gue, karena gue tau siapa yang masih mendominasi isi hatinya saat ini.

Gardana Raiden, sepupu gue, sahabat baiknya Gladys.

Tanpa ngucapin apa-apa lagi gue langsung keluar dari unit apartemen gue. Mengenderai mobil gue menelusuri jalanan Bandung yang sepi karena sekarang udah jam sebelas malam. Gue bawa mobil persis kayak orang kesetanan. Gue bahkan gak segan-segan menekan klakson berkali-kali saat ada kendaraan yang berjalan lambat di depan gue.
Cuma butuh waktu kurang dari dua jam akhirnya gue sampai di basement apartemen seseorang. Seseorang yang dua mingguan ini gak gue temui. Seseorang yang mungkin aja udah kecewa banget sama gue sekarang.

Gue memencet bel saat udah berdiri tepat di depan unitnya. Satu kali gak ada jawaban, kedua dan ketiga pun sama. Rasanya gak mungkin dia gak denger suara bel. Sekalipun dia lagi tidur, dia bakalan kebangun kalau denger suara yang mengganggu tidurnya.

Apa dia lagi gak ada di apartemen? Tapi kemana dia semalem ini?

Gak lama pintu kebuka, tapi bukan sosok cewek yang gue mau temuin yang berdiri di hadapan gue saat ini.

"Eh lo, Bang," meskipun cara bicaranya selalu ramah, gue tau kalau Sion gak pernah menyukai gue.

"Gladys tidur?"

"Ahhh, dia lagi pergi dari sore belum balik. Emang dia gak ada ngabarin lo?"

Rasanya gak mungkin Sion gak tau kalau udah dua minggu ini gue dan Gladys lost contact. Gladys selalu nyeritain apa aja sama adiknya, bahkan hal-hal kecil sekalipun.

"Enggak. Pergi sama siapa emang dia?"

Dia gak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik, seolah-olah dia lagi berpikir. Kening gue berkerut, tiba-tiba aja perasaan gue gak enak.

Dan terbukti, gak lama dari itu gue mendengar suara langkah kaki diiringi suara tawa dari dua orang yang berbeda. Dan gue sangat mengenali suara keduanya.

Suara tawa itu hilang saat mereka udah berdiri gak jauh dari posisi gue saat ini. Ada keterkejutan dari muka mereka berdua, tapi si cowok dengan cepat mengendalikan ekspresinya, lain halnya dengan cewek yang berdiri di sampingnya.

"Alden..."

Gue gak pernah suka dia memanggil nama gue dengan nada ketakutan kayak gitu. Walaupun gue tau sikap gue yang bikin dia ngerasa takut setiap kali berhadapan sama gue.

Tanpa suara, gue berjalan menghampirinya. Dengan perasaan yang udah gak jelas gimana lagi bentuknya, kesel, marah, kecewa, semuanya campur aduk. Tapi gue tau semua kekesalan berserta antek-anteknya yang gue rasain sekarang gak sebanding sama apa yang Gladys rasain.

"Bener-bener gak tau malu lo ya?" gue menatap sinis cowok yang sekarang megang tangan cewek gue yang kayaknya gak akan dia lepas dalam waktu singkat.

"Alden!"

"Segitu gak lakunya lo sampe gangguin cewek gue?"

Bugh

"Elang!"

"Masih berani-beraninya lo nyebut dia sebagai cewek lo?!"

Gue menyentuh ujung bibir gue yang terasa perih dan ternyata ngeluarin darah. Gue tertawa sarkastik, tahun berlalu dan Erlangga Jevander masih jadi orang yang sama, emosional.

"Terus kalau bukan cewek gue, cewek siapa? Cewek lo?" tanya gue dengan tatapan sengit.

"Kalo iya emang kenapa?"

"Bangsat!" gue gak bisa nahan emosi gue lagi, gue menarik kerah kemejanya dan dia juga ngelakuin hal yang sama.

"KALIAN TUH APA-APAAN SIH?!"

Baik gue ataupun si brengsek di depan gue sekarang menoleh ke sumber suara. Ini pertama kalinya gue ngedenger Gladys teriak dengan suara sekenceng itu. Ditambah lagi suaranya bergetar, dan ada air mata yang udah mengalir di pipinya.

Tanpa ngucapin apa-apa lagi dia langsung masuk ke dalem unitnya. Meninggalkan gue dan Elang yang masih saling tarik-tarikan kerah baju satu sama lain. Dengan kasar dia mendorong gue sampai gue terhuyung ke belakang. Dia langsung berlari menuju pintu masuk unit Gladys, tapi Sion udah keburu menutup pintunya. Gue lupa kalau adiknya itu masih berdiri di sana. Haha, makin benci aja dia sama gue.
Gue bersandar pada dinding koridor yang dingin. Mengacak-acak rambut gue frustasi kemudian menghela napas panjang. Mungkin setelah ini Gladys gak akan mau ketemu gue lagi. Gue cukup tau diri dan cukup sadar sebanyak apa kesalahan yang udah gue buat.

Bahkan rasanya mungkin aja... Secepatnya dia bakal mengakhiri hubungan ini.

Entah karena dia udah terlalu lelah bertahan, atau karena dia udah menemukan sosok baru yang memperlakukannnya jauh lebih baik dari gue.

Malam itu, tepat jam satu dini hari, gue terduduk di koridor dingin apartemennya, dengan ucapan selamat ulang tahun yang gak pernah gue suarakan.

Happy birthday, Dys. Happy birthday, love.

❇❇❇


Gladys

Mimpi buruk. Kejadian semalam bener-bener bagaikan mimpi buruk yang selama ini gue takut-takuti.

Ini emang bukan pertama kalinya Alden muncul secara tiba-tiba saat gue lagi sama Elang, bukan pertama kalinya juga gue mendengar mereka saling melempar kalimat ketus satu sama lain di depan gue. Namun, ini pertama kalinya setelah dua minggu dia hilang dari pandangan gue-meskipun kita pernah ketemu malam itu- pertama kalinya gue melihat sosoknya dengan perasaan gue untuknya yang udah abu-abu.

Mati-matian gue ngeyakinin diri gue sendiri kalau gue bisa ngelakuin ini, gue bisa mengakhiri hubungan gue dan dia dalam satu kali pertemuan. Tapi keyakinan dan keberanian gue menguap begitu aja waktu melihat sosoknya benar-benar berdiri di hadapan gue.

Hari ini gue memutuskan buat bolos ngampus. Kepala gue sakit karena nangis semalaman. Gue mengabaikan berbagai pesan atau telepon yang masuk ke ponsel gue sejak semalam. Entah siapa pengirimnya, gue gak mau diganggu dulu.

"Kak?"

Kepala gue menyembul dari balik selimut, dan mendapati sosok adik gue yang udah rapih dengan kemeja dan celana jeansnya berdiri di ambang pintu kamar.

"Gue udah beliin bubur, lo mau makan sekarang gak?"

"Nanti aja," jawab gue dengan suara serak.

Gue menarik selimut sampai ke batas leher gue. Udaranya mendadak dingin banget, padahal sinar matahari masuk lewat ventilasi jendela.

"Badan lo panas banget, Kak. Gue anter ke dokter ya?"

Emang iya ya?

Gue memegang dahi dan leher gue sendiri dan ternyata bener panas. Pantes aja tenggorokan gue rasanya sakit banget. Gue pikir karena gue nangis sesenggukkan semalam.

"Gak usah. Bawain gue panadol aja, nanti ditidurin juga sembuh."

"Gue anterin ke dokter aja ayok," Sion sekarang udah duduk di pinggir kasur. Matanya sedikit merah, pasti dia gak tidur juga semalam.

"Gak usah. Udah sana lo jalan nanti telat. Katanya pagi ini lo ada kuis?" gue mendorong pelan bahunya. Dia menatap gue dengan tatapan sendu kemudian bangkit tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Tapi di ambang pintu, langkahnya terhenti dan kembali menoleh ke arah gue, "Cowok lo di depan, kayaknya dia gak pulang dari semalem."

Gue yang mendengar itu langsung bangkit dari posisi tidur gue. Gue mencoba untuk mengumpulkan konsentrasi penuh, dan mencoba untuk mencerna kalimat yang barusan diucapin adik gue.

"Cowok gue?"

"Iya, Alden."

Alden? Alden ada di sini pagi-pagi begini? Gue melihat arloji yang menempel di dinding, masih jam tujuh pagi, bahkan dia aja gak pernah bisa-atau mungkin gak mau- nganterin gue ngampus jam segini. Dan sekarang dia ada di apartemen gue? Dan apa tadi Sion bilang? Dia gak pulang dari semalem?

"Gue suruh nemuin lo di kamar dia gak mau. Kalau lo gak mau ketemu dia gue bisa nyuruh dia pulang, Kak."

Rasanya gue masih gak percaya sama apa yang terjadi sekarang. Gue menghela napas panjang, menyandarkan tubuh gue pada sandaran tempat tidur. Otak gue masih terus bekerja memikirkan apa yang harus gue lakuin setelah ini.

"Kak?"

"Gak apa-apa biarin aja. Nanti gue samperin, gue mau ganti baju dulu."

Atau tepatnya gue mau mikir dulu. Gue mau nyusun kata-kata apa yang bakal gue ucapin saat berhadapan dengannya nanti. Dan yang paling utama... Gue mau nyiapin mental dulu buat mendengar omongan-omongan ketusnya yang selalu bikin gue sakit hati.

Sion mengangguk kemudian pergi meninggalkan kamar gue. Untuk kedua kalinya gue menghela napas panjang, menepuk-nepuk dada gue untuk menenangkan degup jantung gue yang udah gak beraturan.

Gue melangkah menuju meja rias untuk melihat penampilan gue. Ohh... No... Rambut gue persis kayak rambut singa. Hidung merah, mata sembab. Udah gak ada bagus-bagusnya banget. Gue meraih handuk kecil dari rak handuk kemudian melangkah memasuki kamar mandi buat cuci muka dan gosok gigi.

Membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit, gue akhirnya memberanikan diri untuk keluar kamar. Dan benar, ada Alden di sana. Dia duduk di atas sofa dengan setelan yang masih sama kayak semalam. Rambutnya acak-acakan, kemejanya kusut dan keluar-keluaran dari dalam celana, dan matanya terpejam... Semakin membuktikan kalau dia benar-benar gak pulang dari semalam.

Gue menggelengkan kepala gue, mencoba untuk menyadarkan diri gue sendiri supaya gak goyah lagi kali ini. Apapun yang mau dia katakan sama gue, gue akan mendengarkannya baik-baik, dan kalau perkataannya menyakiti gue lagi kali ini, gue akan membalas.

"Alden," panggil gue pada akhirnya karena dia kelihatannya belum mau membuka matanya.

Begitu mendengar suara gue memanggilnya, matanya terbuka dan gue bisa liat kedua matanya merah seolah-olah dia belum tidur. Dia membenarkan posisi duduknya, ekspresinya tetap datar seperti biasanya. Gue berjalan menghampirinya dan duduk di hadapannya.

"You looks not good today."

"I though that's not the point of our morning conversation. Langsung aja, kamu mau ngapain ke sini?"

Dia tertawa, dan gue gak ngerti apa yang pantes ditertawakan dari perkataan gue.

"Apa dateng ke apartemen kamu aku harus punya tujuan sekarang?"

"No, but i'm so curious right now. Because you've never done this before. Kamu gak pernah nyamperin aku sepagi ini, kamu gak pernah mau ngelakuin itu."

"Two weeks passed and you had changed a lot."

"Aku pikir juga begitu."

Waw, gue gak pernah menyangka kalau gue akan seberani ini. Bukan cuma Alden yang terkejut, gue pun sama. Gue gak pernah menyangka kalau seorang Gladysa Tasanee bisa bicara seketus ini di hadapan Alden Seandra Bastara.

"Is that fun? Spending your day with him?"

Gue terdiam. Gue tau banget siapa yang dia maksud.

"Kamu bahkan gak pernah kontak aku selama dua minggu ini."

"Terus apa itu artinya kamu bisa bebas jalan sama cowok lain bahkan sampe tengah malem begitu?"

Gue meremas ujung hoodie yang gue kenakan. Ingatan tentangnya yang meluk Kania di pesta pernikahannya Rosela minggu lalu tiba-tiba terlintas di kepala gue. Dan mengingat itu rasanya ada sesuatu yang bergejolak di dada gue. Gue gak bisa mendeskripsikan gimana detailnya. Apa gue lagi marah? Apa gue cuma sekedar kesel?

"Yes it's my fault. But doesn't mean-"

"Kania," nama itu lolos begitu aja dari mulut gue. Dia terkejut, begitupun gue yang gak menyangka bakal ngeluarin apa yang menganggu pikiran gue akhir-akhir ini.

"Why her? Why my best friend?"

"Gladys, kamu-"

"Aku liat, Den. Aku tau semuanya."

Melihat reaksinya sekarang kayaknya dia gak menyadari kehadiran gue di pesta pernikahannya Rosela minggu lalu. Dia gak tau kalau gue ada di sana, jadi saksi bisu gimana eratnya mereka bergenggaman tangan, gimana lembutnya Alden merangkul pundaknya.

"If you didn't love me anymore, you could end this. I wouldn't stop you.."

Gue bener-bener gak mengenal diri gue yang sekarang. Gue gak tau siapa yang merasuki gue sampe bisa sebegini beraninya ngucapin kalimat yang bisa jadi bumerang buat diri gue sendiri. Bisa aja Alden menyetujui ucapan gue dan bener-bener mengakhiri hubungan gue dan dia yang udah makin gak jelas ini. Namun, gue harap ucapan gue bukan lagi sebuah bumerang, tapi adalah sesuatu yang mengantarkan gue pada suatu hal baik. Yang gak akan gue seesali di masa depan.

Gue harap keputusan gue ini tepat. Dan gue gak akan dirundung rasa menyesal dj kemudian hari.

"Dys, what the shit you're talking about?"

"Aku capek, Den, mau istirahat. Kamu bisa pulang sekarang."

Gue langsung bangkit dari duduk gue dan melangkah menuju kamar. Setelah mengunci pintu, gue menyenderkan badan gue pada daun pintu dan menghela napas panjang. Gak ada air mata kali ini. Gue mengucapkannya dengan lugas seolah gak ada rasa takut sama sekali yang menghinggapi benak gue.

Gue gak tau Alden masih ada di sana atau enggak. Dia gak mencoba untuk menghentikan gue, bahkan manggil nama gue aja enggak. Dia juga gak mencoba untuk membantah atau menjelaskan perkara hubungannya dan Kania. Dan dengan begitu gue menganggap kalau keputusan gue ini benar.

Gue melangkah mendekati tempat tidur dan meraih ponsel gue yang dari semalem gak gue buka sama sekali. Ada 15 miss called dari Elang, dan 10 chat dari orang yang sama.

Gue hendak membuka room chatnya, tapi tiba-tiba aja ada panggilan masuk dan pelakunya adalah orang yang juga mau gue hubungin sekarang. Tanpa membuang waktu gue langsung menjawabnya.

"Halo?"

Medengar suara beratnya di seberang sana, gue merasa ada perasaan tenang yang gue sendiri juga gak paham tenang atas apa.

"Dys, lo di sana?"

"Iya."

"Gue kesana ya. Tadi Sion ngabarin kalau lo gak ngampus hari ini."

Emang dasar Sion tukang ngadu.

"Gak usah. 'Kan nanti sore kita mau ke Bandung. Lo ke sini nanti sore aja."

Gue sama dia emang punya rencana ke Bandung hari ini karena kakak perempuannya ngadain lamaran. Gue awalnya ragu untuk ikut, tapi dia terus membujuk gue dengan alibi kalau nyokapnnya pengen banget gue dateng. Malah katanya dia gak boleh dateng kalau gak sama gue.

"Lo gak usah ikut deh. Istirahat aja, lagi gak enak badan 'kan?"

"Ih apaan sih? Gue udah janji sama nyokap lo bakal dateng. Lagian gue cuma kena flu doang kok, minum obat juga sembuh."

"Dia juga ngerti kalo gue bilang lo lagi sakit, Dys. Udah gue kesana sekarang, siap-siap kita ke dokter sekarang."

"Elang gak usah-"

Tut... Tut... Tut...

Gue berdecak begitu panggilan diputuskan secara sepihak. Kebiasaan, emang suka seenaknya aja anaknya. Padahal katanya dia mau ngerjain skripsi pagi ini sampai nanti siang, sebelum sorenya kita berangkat ke Bandung. Tapi liat aja sekarang anaknya malah kelayapan.

Dengan langkah ogah-ogahan, gue melangkah mendekati lemari pakaian buat ngambil celana yang lebih layak buat dipake keluar karena sekarang gue cuma pake celana tidur yang udah belel.

Cuma butuh waktu sepuluh menit gue udah bisa denger suara bel intercome gue dibunyikan secara brutal. Kalau bunyinya gak ada adab begitu, jelas gue tau siapa pelakunya.

"Tar duluuuu, sabaaaar!" pekik gue sambil berjalan menuju pintu utama.

Begitu pintu dibuka, gue bisa ngeliat sosoknya yang cuma mengenakan hoodie hitam kebanggaannya dan celana pendek selutut. Rambutnya yang mulai memanjang dibiarin acak-acakan, matanya juga sedikit merah pertanda dia kurang tidur.

Kenapa demen banget nyiksa diri sendiri sih?

"Ayok, udah ready 'kan?"

"Gak usah ke dokter deh, Lang. Gue minum panadol aja juga udah sembuh kok," gue masih bersikeras buat menolak ke dokter. Bukan apa-apa, gue emang gak suka aja dateng ke dokter atau ke rumah sakit. Baunya itu loh bikin kepala gue pusing. Gue juga punya kenangan buruk di tempat-tempat kayak gitu.

"Suara lo bindeng gitu, ngaca coba deh hidung lo merah kayak badut."

Gue berdecak kemudian menendang kakinya, "Kurang ajar!"

Seperti biasa, dia cuma meresponnya dengan tawaan. Gue pun akhirnya menuruti perintahnya dengan setengah hati. Iya setengah hati, soalnya gue masih gak niat buat ke dokter.

Kita cuma perlu waktu setengah jam berada di klinik yang letaknya gak begitu jauh dari apartemen gue. Dokternya pun bilang kalau gue cuma kena flu dan kurang tidur aja, makanya suhu tubuh gue sedikit naik karena imun gue lagi gak stabil.
Sekarang kita berdua lagi di dalam mobil. Gue gak tau dia mau bawa gue kemana, yang jelas dari tadi gue udah ngedumel karena gue belum mandi dan baru sikat gigi sama cuci muka doang. Kalau sampe dia ngajak gue ke tempat-tempat aneh gue cubit tangannya sampe biru.

"Mau kemana sih, Lang?" tanya gue untuk yang kesekian kalinya.

"Lo udah nanya ini lima kali, Dys."

"Ya lagian gak dijawab?!" balas gue dengan sedikit keki. Siapa yang gak kesel coba kalau kita udah ngajuin pertanyaan berkali-kali tapi gak dapet-dapet jawaban?

Selama hampir setengah jam perjalanan baik dia maupun gue gak ada yang membuka suara. Gue masih bete, dia juga keliatan gak berkeinginan buat ngejelasin apa-apa. Sampai akhirnya mobilnya terhenti di salah satu taman yang berada di kawasan Jakarta Selatan.
Dia turun dari mobil, sedangkan gue masih duduk anteng di passanger seat dengan kedua tangan dilipat di dada.

"Lo gak mau keluar?"

Pintu di samping gue udah dibuka, dan pelakunya gak lain adalah dia. Gue mendengus sebal sebelum akhirnya melepas seatbelt dan keluar.

"Mau ngapain sih, Lang? Gue 'kan belom mandiiiii," gue mengekor di belakangnya yang sekarang duduk di bangku panjang milik pedagang bubur ayam yang berada di taman tersebut.

"Gak ada yang tau, Dys. Pak, dua ya. Yang satu campur yang satunya lagi gak pake kacang."

Seolah gak peduli sama gue yang bete banget sekarang, dia malah dengan santai memesan dua porsi bubur. Hhhhh, rasanya pengen gue jambak.

"Sini duduk ah. Gak pegel apa lo berdiri mulu?" dengan raut tanpa dosa dia nepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya.

Gue memutar bola mata malas dan tetap diam di tempat.

"Aduuuh duuuh duuuh, Dys... Perut gue sakit banget!"

Halah, nyoba akting dia di depan gue.

"Dys, sumpah, tolongin dong...."

Eh tapi kok rintihannya kayak beneran sih? Mana sekarang dahinya keringetan.

"Lang? Lo gak apa-apa?"

"Sakit banget perut gue, Dys. Tolong ambilin obat mag gue bisa gak? Gue taro di bagasi."

"Hah? Kok lo nyimpen obat di bagasi sih?"

"Iyaaa, soalnya gue taro di dalem kotak P3K. Tolong dong, Dys ambiliiiin."

"Oke okeee, bentar!" tanpa membuang waktu lagi gue langsung berlari menuju mobil Elang yang diparkirkan gak begitu jauh dari gerobak bubur ayam. Dengan sekuat tenaga gue berusaha membuka bagasi mobilnya yang ternyata lebih keras dari dugaan gue. Dan begitu bagasi itu terbuka gue tercengang sampai mata gue melotot sempurna. Gue bahkan mengeluarkan pekikan kecil karena saking kagetnya sama apa yang gue liat.

Banyak balon, kertas craft warna-warni, dan conffeti. Ada boneka beruang besar di dalam sana, dan tepat di depannya ada donat aneka rasa dengan lilin yang tertancap di atasnya. Gue membaca tulisan yang tertera di sana, dan begitu menyadari kalau nama gue lah yang tertera di sana gue langsung menutup mulut gue.

"Happy birthday."

Jantung gue hampir copot waktu tiba-tiba aja suara yang begitu familiar terdengar tepat dari belakang gue. Oknum yang tadi pura-pura kesakitan sekarang udah berdiri di belakang gue sambil senyum-senyum.

"Kaget banget muka lo," dia ketawa-ketawa sambil ngacak-ngacak rambut gue.

Ya iya lah kaget! Siapa coba yang kalau diginiin gak kaget?!

Asli ya, gue aja lupa kalau sekarang hari ulang tahun gue. Saking padetnya jadwal gue akhir-akhir ini gue sampai gak memperhatiin tanggal, dan berujung lupa sama hari ulang tahun sendiri. Tapi bisa-bisanya dia inget... Ahh enggak, bisa-bisanya dia tau. Padahal seinget gue, gue gak pernah ngasih tau tanggal ulang tahun gue.

"Lang kok lo-"

"Tau?"

Gue mengangguk dengan ekspresi muka yang masih syok.

"Ada lah rahasia."

"Lang, tapi kenapa? Maksudnya... Lo kenapa ngasih gue ginian?"

"Ya karena lo lagi ulang tahun? Kenapa lagi?"

Gue mengembuskan napas kasar, menahan kekesalan di dada gue. Gak boleh marah-marah, Dys, masa abis disurprise-in lo marah-marah sih?

"Lo gak mau buka kotak kuningnya?"

"Hah? Kotak kuning?" tanya gue sambil mengedarkan pandangan meneliti tiap barang yang ada di bagasi.

"Itu di samping Teddy bear."

Ahh, kelihatan. Gue meraih kotak kuning berukuran sedang itu kemudian membuka isinya. Dan untuk kedua kalinya, mata dan mulut gue membulat sempurna melihat apa yang ada di dalam sana.

Kamera analog. Kamera analog yang udah dari lama gue pengen-pengenin!

Asli... Saking lemesnya gue sampe gak kuat berdiri lagi rasanya. Gue akhirnya memutusukan buat duduk di bagasi, di antara conffeti yang berteberan.

"Lang?!"

"Suka gak?"

Anjir, masih ditanya?

Suka lah! Suka banget malah. Tapi gue masih gak ngerti kenapa dia ngasih gue ini. Gue emang sempet sih iseng ngomong kalau gue pengen punya analog. Tapi itu murni karena iseng doang kok! Gak ada maksud ngode apa-apa.

Dia ikut duduk di samping gue. Gue yang masih syok gak bisa ngomong apa-apa selain diem sambil mandangin kamera yang ada di tangan gue.

"Kok muka lo kayak gak seneng gitu sih?"

"Hah? Ya kali? Seneng kok gue."

Seneng, tapi binguuuuung. Dan juga gue ngerasa.... Apa ya... Ini terlalu berlebihan? Maksud gue, dia gak perlu ngasih effort sejauh ini. Kita aja kenal belum terlalu lama, walaupun udah deket banget dan selalu kemana-mana bareng, tapi rasanya aneh aja. Kayak... Ini terlalu cepet? Dan gue ngerasa gue jadi ngerepotin dia.

"Ini 'kan mahal, Lang."

Walaupun analog sekarang harganya udah gak terlalu melambung kayak dulu, tetap aja merk yang di kasih punya harga yang gak bisa dibilang murah.

"Itu bekas kok. Gue baru pake sekali, tapi bosen karena gue gak begitu suka make analog. Mumpung masih bagus jadi gue kadoin buat lo aja."

"Ya tapi-"

"Gak usah terlalu dipikirin, Dys. Lagi ulang tahun masa banyak pikiran? Udah simpen, nanti aja pakenya, sekarang tiup lilin dulu," sekarang di tangannya udah ada box donat beraneka rasa yang tertancap lilin di atasnya. Setelah api menyala gue langsung make a wish dan meniup lilinnya.

"Mau makan yang mana?"

"Tiramisu."

Dia langsung nyodorin donat rasa tiramisu tepat di depan mulut gue, tapi yang namanya Elang gak mungkin gak rese anaknya. Donat itu malah masuk ke mulut dia bukan mulut gue.

"Nyebelin lo!" gue menyubit kencang pahanya sampai dia mengaduh kesakitan. Gue bangkit dari duduk sambil masih memegang box kuning yang bersisi kamera analog pemberiannya.

"Emang lo kayaknya bakat banget jadi ibu tiri, Dys, asli."

"Bodo amat. Ayok makan gue laper!" gue langsung meninggalkannya yang masih sibuk mengunyah donat dan melangkah menuju gerobak bubur ayam yang tadi kita kunjungi.

Tangan gue ditarik dari belakang dan pelakunya udah jelas si manusia nyebelin.

"Di situ ada suratnya, nanti bacanya di apart aja ya?"

"Emang kenapa kalau dibaca di sini?"

"JANGAN!"

Kening gue berkerut melihat reaksi berlebihannya. Gue jadi pengen godain dia. Akhirnya gue membuka tutup box itu lagi buat ngambil surat yang katanya ada di dalem, tapi tangan gue langsung dicengkram kuat sama dia.

"I told you. Jangan, Dys... Please...."

HAHAHAHA lucu banget mukanya.

Gue menutup kembali box itu. Kesian, anak orang panik banget kayaknya. Begitu ngeliat gue yang udah nutup rapat box itu, dia menghembus napas lega sambil ngusap-ngusap dadanya. Alay banget emang.

"Yok, makaaan!" dia merangkul pundak gue dan menggiring gue menuju bangku panjang yang ada di depan sana.

Gue bisa ngerasain ada sesuatu yang aneh di diri gue. Ada sesuatu yang berterbangan di perut gue, menggeltik di dalam sana sampai efeknya membuat pipi gue memanas.

Tunggu.... Ini gue... Blushing?!

Hahhhhh, yang bener aja?!

Gak, gak, gak! Ini gue masih demam pokoknya bukan blushing! Apalagi blushing gara-gara Elang.

Ya walaupun sejujurnya gue seneng. Seneng karena ulang tahun gue kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Seneng karena orang yang mengingat hari ulang tahun gue bertambah, meskipun itu mungkin perkara yang gak penting bagi sebagian orang.

Dan gue seneng... Karena hari ini, gue ngerayain ulang tahun gue sama dia. Sama Erlangga Jevander. Orang yang gak pernah gue duga sebelumnya bakal berlaku semanis ini sama orang yang baru dikenalnya beberapa bulan.

Perasaan gue makin lama makin aneh, makin gak bisa gue mengerti. Dan entah gimana bisa gue malah membiarkannya. Seolah-olah gue gak merasa terganggu dengan itu.

Dys, lo tuh kenapa sebenernya?

❇❇❇

Sesampainya di apartemen, gue langsung merebahkan tubuh gue di atas kasur. Boneka beruang raksasa yang dikasih Elang gue letakkan tepat di samping gue. Tiba-tiba aja gue kepikiran buat membaca suratnya yang tadi sempat tertunda karena dia terus melarang gue. Akhirnya gue memutuskan untuk mengubah posisi menjadi duduk dan meraih box kuning yang gue letakkan di atas nakas.

Happy Birthday.
Cie nambah umur, makin tua deh lo sekarang hahaha.

Asli, gue gak tau mau ngomong apa, Dys. Gue gak pernah nulis surat ucapan selamat ulang tahun kayak gini. Ya karena ngapain? Udah bukan jamannya.

Tapi, Dys, gue mau nulis ini di hari ulang tahun lo. Chat bisa aja dihapus, tapi surat bisa disimpen kalau lo emang niat nyimpennya dan gak akan hilang.

Selamat ulang tahun, semoga di umur lo yang baru ini lo lebih bisa menghargai hidup lo sekaligus bisa lebih sayang sama diri lo sendiri. Bahagia atau enggaknya kita yang tau cuma diri kita sendiri, Dys. Gue gak bisa mengeklaim lo gak bahagia, begitu juga orang lain. Makanya gue mau bilang, apa yang buat lo bahagia cuma lo yang tau, karena lo yang rasain itu sendiri.

Semoga di umur lo yang makin dewasa ini, lo lebih tau apa arti bahagia buat diri lo sendiri. Lo lebih bisa misahin, mana yang bikin lo sedih mana yang bikin lo seneng. Karena dengan begitu lo akan lebih menghargai hidup lo.

Sakit hati wajar, karena kalau gak gitu kita gak akan tau caranya sembuh. Tapi ngebiarin diri kita terus nerima luka yang sama, itu salah. Nyiksa diri lo sendiri, itu salah. Ngebiarin orang lain nyakitin lo terus-terusan, itu juga salah.

Jadi, lo bisa 'kan tarik kesimpulannya dari 5 paragraf yang gue tulis? Bahagia. Gue cuma mau lo bahagia di umur lo yang sekarang. Sembuhin luka lama, dan biarin itu jadi bagian masa lalu.

Sekali lagi happy birthday, semoga abis ini lo gak bakal nyubit gue karena lo geli baca surat ini hahaha

Regrad, Elang.

Selesai membaca kalimat panjangnya yang dia tulis di kertas itu, gue merasa kamar gue kurang pasokan oksigen karena gue mendadak kesulitan bernapas. Gue bahkan gak sadar kalau sepanjang baca surat itu air mata gue sampe jatuh. Gue masih mencoba untuk mengumpulkan seluruh kesadaran gue, karena otak gue bener-bener mendadak blank, gue gak bisa mikir apa-apa.

Gue melipat surat itu dan menaruhnya ke dalam box seperti semula. Gue melangkah menuju balkon apartemen gue untuk menghirup udara segar. Gue bener-bener butuh waktu buat bernapas sekaligus menjernihkan pikiran.

Elang... Kenapa rasanya... Gue udah mengenal lo cukup lama?

Kenapa bisa lo sepeduli ini sama orang yang bahkan baru lo kenal dalam kurun waktu beberapa bulan?

Dan gue... Kenapa gue ngerasa kalau gue gak mau kehilangannya sekarang?

Kenapa tiba-tiba aja gue takut akan sebuah fakta kalau... Dia bisa aja pergi ninggalin gue. Gue takut ini cuma bertahan sementara. Ya walaupun gue tau gak ada yang berlaku selamanya di dunia ini, tapi gue gak bisa menghindari rasa takut itu.

Gue gak ngerti. Gue bener-bener gak ngerti sama diri gue sendiri. Setiap malem gue selalu nyoba untuk berdiskusi dengan diri gue sendiri, apa sebenenya yang gue rasain saat ini? Tapi gue gak pernah nemuin jawabannya. Gue gak bisa ngerti diri gue sendiri.

Atau mungkin jawaban itu dateng. Jawaban itu udah mengampiri gue. Cuma gue terlalu naif buat nerimanya. Gue terlalu ragu kalau jawaban itu bener, dan akhirnya gue memilih buat mengelaknya.

Iya, mungkin begitu. Dan gue gak tau kapan gue bakal terus mengelak itu.



❇❇❇

Jadi... Kalian tim siapa sekarang? Masih Gladys-Elang atau malah Gladys-Alden?

Selamat berakhir pekan, jangan lupa untuk voment!

- Dee

April, 18th 2020















Continue Reading

You'll Also Like

80.4K 9.1K 25
Ahn hye young harus mengurusi awal kandungannya seorang diri tanpa kekasihnya, ia tak pernah memaki hidupnya meski sesulit apapun. Meski banyak orang...
379 70 17
• f a n f i c t i o n • Eya dan Cross tidak saling kenal, namun mereka terpaksa menikah karena perjodohan yang telah diatur oleh orang tua mereka. Ba...
102K 765 6
Cerita cinta (18+) Cinta yang begitu terasa indah bagi Zara berubah menjadi kenyataan pahit yang hanya ia yang tahu bagaimana rasanya Ketika sang kek...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

83.1K 13.4K 39
hanya fiksi! baca aja kalo mau