EPIPHANY

By NurAzizah504

12.3K 1.2K 185

Rania berada di ambang kebingungan. Antara memilih Elang atau 'dia' yang sebelumnya pernah ada di hatinya. Hu... More

Prolog
1. Sore Yang Menyeramkan
2. Telepon Darinya
3. Jealous
4. Perihal Hujan
5. Tanyanya, "Kenapa?"
6. Dia Punyaku
7. Hujan di Malam Hari
8. Terima Kasih
9. I Need You
10. Cemburunya Rania
11. Ada Apa dengan Elang?
12. Lagi-lagi Dia
13. Tentang Kita
14. Pingsan
15. Maaf Untuk Semua Luka
16. Tidak Ada Sentuhan
17. Sekilas Bayangan
18. Menjauh
19. Siapa Dia?
20. Dia Yang Tampak Sama
21. Kebingungan Yang Berbeda
22. Tentang Nama
23. Sesuatu Yang Aneh
24. Deal!
25. Keyakinan
26. Janji, Rania!
27. Tentang Luka
28. Lorong Belakang Gudang
29. Apa yang Terjadi?
30. Jangan Benci Aku
31. Bertamu
32. Romantis (?)
33. Pertama Kalinya
34. Sorry
35. Kedatangannya
36. Tangan Elang
37. Dia Yang Akan Datang
38. Tertangkap
39. Yang Patah Pagi Hari
40. Nasihat Mama
41. Kejutan Malam Hari
42. Upah Dari Rania
43. Si Tangan Penghancur
44. Tentang Rasa Sayang
45. Pulang dan Kekacauan
46. Pergi Untuk Kembali
47. Pilihan Opsi Kedua
48. Mendadak Ragu
49. Rasa Yang Dilupakan
51. Sebenarnya Hancur
52. Amarah Terbesar Elang
53. Bentuk Kepedulian
54. Janji di Malam Hari
55. Bukan Karena Sayang
56. Terungkapnya Fakta
57. Kimbab Dari Rania
58. Tentang Kita Berdua
59. Perasaan Yang Tak Lagi Sama
60. Pesan Tak Terbaca
61. Pergi dan Hilang
Epilog

50. Hilangnya Sebuah Senyuman

138 17 4
By NurAzizah504

Tepat setelah bel istirahat pertama berbunyi, sinar matahari pelan-pelan mulai redup karena tertutupi awan. Rania mendongak, menatap dengan mata nyaris memicing ke arah gumpalan awan hitam yang sudah merata di atas langit sana. Sebentar lagi akan turun hujan, Rania menebak seperti itu.

Angin bertiup menyapu permukaan kulit, membuatnya tanpa sadar ikut memejamkan mata. Tubuh yang dipenuhi oleh keringat itu akhirnya memutuskan untuk tetap duduk di atas bebatuan kecil, bersandar pada pohon ketapang.

Dari tempatnya, telinga Rania sayup-sayup masih dapat mendengarkan seruan Kayla yang tak berhenti memanggil namanya. Bisa ditebak, pasti si gadis berkacamata itu masih berada di tengah-tengah lapangan, mengajak Rania untuk bermain basket bersama. Namun, keengganannyalah yang membuat Rania terus menetap di sini, tak ingin beranjak barang selangkah pun.

Tak lama kemudian--masih dengan kedua netra yang masih tertutup rapat--Rania mendadak merasakan sesuatu menyentuh sepatunya. Bukan main kagetnya Rania sewaktu membuka mata. Tepat diujung kakinya yang dijulurkan, Rania menemukan Elang. Laki-laki itu tampak berlutut, sementara tangannya bergerak lincah mengikat kembali tali sepatu Rania yang terlepas.

"Tali sepatu itu harus terus dijaga. Kalo keinjek, bisa-bisa lo bakalan jatuh." Selesai dengan urusannya, Elang pun bangkit dan berjalan sebentar. Sebelum akhirnya ikut mendudukkan diri di samping Rania. Namun, kali ini Elang tidak datang sendirian. Dia membawa sebuah gitar, memangkunya dengan senyuman lebar. Seolah paham akan kernyitan yang tercipta di dahi Rania, Elang pun langsung menjelaskan tanpa perlu ditanya. "Abis jam pelajaran seni tadi. Jadinya gue pinjem bentar ini si Fiko."

Elang terlihat mulai memetik dawainya beberapa kali. Menciptakan irama-irama rancu yang sialnya masih enak didengar telinga. Rania memang tidak paham betul tentang alat musik yang satu ini. Namun, tidak perlu berpikir dua kali untuknya mengatakan bahwa permainan gitar Elang sudah lebih baik dari sebelumnya.

Di atasnya gumpalan awan hitam terlihat semakin banyak. Membuatnya mendapati bahwa hamparan langit terlihat lebih suram dari biasanya. Hawa dingin mulai terasa di area sekitarnya. Angin pun mulai berembus secara tidak beraturan. Seolah benda itu mempunyai tangan tak terlihat yang diperintahkan untuk memeluk Rania, maka saat ini semua bulu tangan gadis itu berdiri tegang. Rania menarik uluran kaki hingga kedua lutut terlihat menyentuh dada.

"Tadi di kelas, gue orang nomor 2 setelah Fiki yang mendapatkan nilai praktek terbanyak memainkan alat musik. Gue seneng banget, sumpah! Ini pertama kalinya gue dapet nilai banyak. Biasanya nol mulu." Elang menoleh, lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas hingga membentuk seulas senyuman paling lebar yang ia punya. Namun, begitu ia mendapati Rania yang hanya balas tersenyum tipis, tanpa diminta pun lengkungan bibir Elang perlahan-lahan tampak hilang dengan sendirinya. "Masih belum mau ngomong? Semalaman gue kasih waktu ke lo masa belum baik-baik, sih, moodnya? Heran gue."

Air muka Elang berubah suram. Serupa sama seperti penampakan langit di atas sana. Beberapa siswi yang berlalu lalang di sekitar mereka terlihat sesekali mencuri pandang ke arah Elang, dan Rania tahu itu. Rania tidaklah bodoh untuk langsung mengatakan bahwa Elang termasuk salah satu laki-laki yang dikagumi di sekolah ini. Terlepas dari sikap cuek dan mudah marahnya, Elang tetaplah akan dilihat sebagai siswa tampan yang hobi bermain bola voli.

"Kak Elang kalo lagi ngeservis bola itu ber-damage sekali astaga."

"Aku suka waktu Kak Elang nyugar rambut. Keren parah!"


Jika sedang menunggui Elang latihan, Rania kerap mendengarkan pujian seperti itu dari beberapa mulut adik kelasnya. Yah, Elang memang terlihat sehebat dan setampan itu di mata mereka.

"Gue mau nyanyi. Lo kudu denger, ya?" pinta Elang yang membuat Rania tak perlu berpikir dua kali untuk langsung menganggukkan kepala.

Lantas, raut wajah Elang mulai berubah serius. Manik obsidiannya tak lagi berkeliaran pada paras Rania. Kini sepenuhnya menunduk, mengarah pada gitar yang sedang dipangkunya. Jari-jari tangan kiri Elang tampak menekan senar tertentu, sedangkan jemari tangan kanan mulai memetik dawai. Irama yang indah pun kian terdengar di telinga Rania. Sekarang dia tak lagi memejamkan mata seperti saat Elang belum menghampirinya. Tapi detik ini, Rania menyorotkan seluruh atensinya hanya untuk memandangi wajah serius Elang.

Satu per satu bagian muka Elang diamati olehnya. Pada alisnya yang berbulu lebat, hidungnya yang runcing, mata yang tidak terlalu besar, juga kedua belah bibir yang melengkung sempurna. Ah, Elang akan dan selalu saja terlihat tampan untuknya. Ditambah pula dengan wajah yang telah sepenuhnya bersih dari luka-luka perkelahian yang sering ia lakukan.

Puas menatap paras tampan tanpa diketahui pemiliknya, sekarang Rania tertarik untuk menekuri jari-jari tangan Elang yang terlihat begitu lentik dan lembut saat sedang bermain. Rania menarik kedua bibir ke atas, tersenyum getir. Bagaimana bisa setelah setahun menjalin hubungan dengannya, Rania belum juga sepenuhnya mempercayakan hatinya untuk diserahkan kepada Elang? Dalam bait-bait lagu yang tengah Elang lantunkan, Rania berusaha untuk mencari kekurangan laki-laki itu. Namun, nihil sekali. Elang tidak ada kurang baginya. Kehadiran sosok sepertinya sudah lebih cukup untuk mengobati luka lama yang sempat Vernon ciptakan ketika lelaki itu pergi darinya.

Kau boleh acuhkan diriku
Dan anggap ku tak ada
Tapi takkan merubah perasaanku
Kepadamu

Elang memejamkan mata, sadar bahwa lagu ini sangat cocok untuk menggambarkan seluruh perasaannya.

Kuyakin pasti suatu saat
Semua kan terjadi
Kau kan mencintaiku
Dan tak akan pernah melepasku

Dia tahu--sangat tahu malah. Lebih dari setahun mereka memadu kasih, tak sekali pun Elang menemukan sayang yang sebenarnya di mata Rania. Walaupun gadis itu menangis ketika mengatakannya--tepat pada sela-sela air mata--Elang pasti akan mendapati secuil keraguan di sana. Namun, detik ini bolehkah ia berharap? Elang ingin sekali memanjatkan doa, tapi dia malu untuk mengatakannya. Bersama kata per kata yang terucap dari bibirnya dan diiringi oleh untaian irama, Elang berharap untuk sekali saja, Rania memberikan rasa sayang yang sempurna kepada dirinya. Dia ingin Rania mencintainya untuk kemudian merasa takut jika dilepaskan olehnya.

Katakanlah Elang egois. Dia tidak akan membantah karena itu adalah kebenarannya. Nyatanya Elang memang ingin menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pemilik dari hati gadisnya. Dia ingin dianggap penting oleh gadisnya. Dia ingin menjadi bagian dari setiap tawa dan bahagia gadisnya.

Ah, Elang sebucin itu sekarang.

Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmu
Selalu bersedia bahagiakanmu
Apapun terjadi
Kujanjikan aku ada

Mata Elang dan Rania lagi-lagi bertembung pada detik yang sama. Gadis itu menatapnya tanpa kedip. Begitu pun dengan Elang yang juga melakukan hal yang sama. Namun, detik berikutnya jantung Elang dibuat berdebar karena ulah Rania yang tiba-tiba memutuskan kontak mata dengannya. Hati Elang seperti diremas oleh tangan tak kasat mata. Apakah sumpah yang barusan ia ucapkan terlalu hina untuk Rania?

Kau boleh jauhi diriku
Namun kupercaya
Kau kan mencintaiku
Dan tak akan pernah melepasku

Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmu
S'lalu bersedia bahagiakanmu
Apapun terjadi
Kujanjikan aku ada

Elang mengembuskan napas berat sekaligus lelah dalam waktu yang sama. Bait-bait lirik berirama itu telah selesai ia nyanyikan. Ini tak seburuk yang ia kira. Awalnya dia berpikir kalau Rania akan menertawakan suara serak miliknya. Namun, ternyata kenyataan yang ada malah berbanding terbalik. Rania hanya diam, tidak bereaksi apa-apa sampai gitar yang dipangkunya dipindahkan ke samping.

"Gimana? Bagus gak?" Tapi Elang tetap bertanya. Dia penasaran akan jawaban Rania.

"Bagus," jawab Rania tidak bersemangat.

"Bagusan lagunya atau bagusan muka serius gue?"

"Bagusan kamu."

Mendengarnya membuat Elang menarik kepala seraya tersenyum lebar. Kemudian, dia ikut-ikutan bersandar pada pohon ketapang seperti yang Rania lakukan. Dia menoleh, mendapati si gadis yang tengah memungut daun kering untuk kemudian dirobek-robek kecil. "Gak ke kantin?"

"Gak laper."

"Abis ini praktek olahraganya masih lanjut?"

"Masih."

Kening Elang berkerut dalam, sekilas menatap lebih lekat ekspresi datar Rania. "Tapi barusan gue liat Pak Wira udah keluar tuh."

"Katanya ntar dia balik lagi."

Elang paham dan akhirnya memutuskan untuk diam. Sejenak matanya menekuri sobekan daun kering yang berserakan tak jelas di dekatnya. Mungkin kalau bisa diumpamakan, begitulah bentuk hati dan perasaan Elang. Dia hancur--sangat hancur.

"Ran, masih belum mau ngomong?" Sebenarnya Elang telah berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Serius. Tapi siapapun akan tahu itu, kalau Elang bukanlah laki-laki yang pandai bersabar.

Namun, kenyataan bahwa Rania yang sontak membeku--bahkan menghentikan gerakan jari yang awalnya asyik menyobeki dedaunan--membuatnya lagi-lagi harus menelan kepahitan yang sama. Elang mendongak, mengusap-usap wajah dengan kasar sekaligus mengeluarkan erangan tertahan dari mulutnya.

"Sebenarnya lo kenapa, sih?" Saat itu--detik di mana batas kesabaran Elang telah mencapai puncaknya--dia akhirnya mulai menatap kesal ke arah Rania. Mata dengan manik sehitam arang itu tampak frustasi sewaktu menemukan gadis di sebelahnya lagi-lagi hanya diam saja dengan menundukkan kepala. Elang tidak ingat lagi entah sudah kali keberapa ia menyerang Rania dengan pertanyaan yang sama. Kenapa Rania mendiamkannya lebih dari dua hari? Kenapa Rania bersikap cuek kepadanya?

Memang, Rania tak pernah jauh dari jangkauannya. Gadis itu masih ada bersamanya. Masih juga berangkat ke kantin dengannya. Namun, walaupun raga Rania masih dapat ditemukan oleh netra kelamnya, entah kenapa jiwa Rania terasa begitu jauh.

Singkatnya, Rania mulai berubah.

"Ck, jawab, Rania. Sekali aja. Ini pasti gara-gara gue punya salah sama lo, 'kan? Tapi apa? Gue gak tau letak kesalahan gue di mana kalo lo gak kasi tau." Elang mengerang kesal untuk kali kedua. Kalau dibolehkan, rasanya ingin sekali dia berteriak sekencang-kencangnya. Namun, dia bisa apa saat bukan jawaban yang ia temukan, melainkan pekikan Kayla yang terdengar? Gadis yang menjadi sahabat Rania itu tampak frustasi karena gagal memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Terakhir, Elang menyerah. Ia kembali menyandarkan punggung ke pohon ketapang, berusaha untuk mengenyahkan segala prasangka buruk yang kerap terlintas saat ia memejamkan mata.

Ada sesak yang tak bisa Elang jelaskan bagaimana dan di mana letak pastinya. Sejauh ini, Elang sering merasa kehilangan dan kesepian sewaktu Rania mengabaikannya.

Tidak! Elang tak bisa begini.

Usai menggeser tubuh agar lebih dekat dengan Rania hingga bahu mereka saling bersentuhan, Elang lagi-lagi membuka suara. Katanya, "Kalau lo tetap gak mau ngomong, gue juga gak bakalan mau beliin lo mi pangsit lagi."

"Elang ...." Rania akhirnya mau mengeluarkan suara lirih yang terdengar begitu lemah. Rania juga tahu dan sadar bahwa seharusnya ia tak boleh bersikap seperti ini. Bukankah dirinya sudah dewasa? Harusnya setiap masalah yang terjadi, Rania bisa mengatasinya. Rania hanya butuh bicara, menjelaskan secara pelan-pelan kepada Elang, lalu meyakinkan laki-laki itu akan keputusannya.

Semalam Rania juga sempat bertanya tentang perihal ini kepada bunda. Dan wanita itu lantas memberikan jawaban yang sungguh di luar dugaannya.

"Pilihlah keputusan yang kamu anggap benar, Sayang. Setidaknya untuk hari ke depan, kamu gak akan pernah menyesalinya."

"Huh, diancam gitu baru mau ngomong," dengkus Elang sambil memicingkan mata.

Di sini, Rania tidak berhak untuk balas mengatai Elang. Bahkan di saat ia memutuskan untuk bicara itu bukanlah semata-mata karena mi pangsit Mbak Imas yang sangat disukainya. Rania hanya ingin menyelesaikan semuanya. Membereskan tiap lilitan masalah yang meremukkan hati dari hari ke hari. Juga melepaskan semua ikatan yang membelenggu diri.

"Kamu pernah bilang, 'kan, kalo hidup ini singkat? Jadi selagi kita mampu, maka kita harus mencari kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Dan setelah aku mencarinya, akhirnya aku menemukan seseorang yang benar-benar pantas buat aku bahagia."

Pohon ketapang ini adalah saksinya. Saat di mana Elang mengulum senyum dan merona begitu saja usai mendengar kalimat dari gadis yang duduk di sebelahnya. Ada satu titik di dada Elang yang berubah hangat. Perasaannya lantas berangsur tenang. "Oh, ternyata ini penyebab lo diemin gue lebih dari dua hari?" Elang menyugar rambutnya ke belakang dengan gerak lambat. Menggunakan gaya pasti, laki-laki itu terdengar melanjutkan kembali ucapannya. "Gue tau, pasti selama dua hari ini lo lagi mikir tentang kalimat ini, 'kan?"

Tidak. Bukan itu.

Jika dibolehkan, Rania ingin menggeleng detik ini juga. Namun, rasa-rasanya ia tak kuasa untuk mematahkan hati Elang yang jelas-jelas masih menjadi pacarnya. Rania tak mampu mematikan lilin yang baru saja Elang nyalakan untuk menerangi gelapnya. Rania juga tak sanggup menghilangkan senyum Elang yang jelas-jelas telah merambat hingga ke sudut matanya.

Dan di balik itu semua, Rania juga tidak ingin terus-terusan memberi Elang harapan. Laki-laki itu pantas bahagia tanpa harus dibaluti dengan kepura-puraan. Maka dari itu, Rania berkata, "Maaf, Elang. Orang yang aku maksud itu ... bukan kamu."

Katakan, adakah yang lebih mengejutkan Elang selain dari jawaban Rania barusan?

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 179 6
Xavella merupakan seorang gadis yang sama sekali tidak mengetahui latar belakang dari dirinya. Ia sama sekali tidak tahu apa pun tentang keluarga te...
6.7M 285K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1.4M 99.5K 44
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
4M 312K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...