EPIPHANY

By NurAzizah504

12.3K 1.2K 185

Rania berada di ambang kebingungan. Antara memilih Elang atau 'dia' yang sebelumnya pernah ada di hatinya. Hu... More

Prolog
1. Sore Yang Menyeramkan
2. Telepon Darinya
3. Jealous
4. Perihal Hujan
5. Tanyanya, "Kenapa?"
6. Dia Punyaku
7. Hujan di Malam Hari
8. Terima Kasih
9. I Need You
10. Cemburunya Rania
11. Ada Apa dengan Elang?
12. Lagi-lagi Dia
13. Tentang Kita
14. Pingsan
15. Maaf Untuk Semua Luka
16. Tidak Ada Sentuhan
17. Sekilas Bayangan
18. Menjauh
19. Siapa Dia?
20. Dia Yang Tampak Sama
21. Kebingungan Yang Berbeda
22. Tentang Nama
23. Sesuatu Yang Aneh
24. Deal!
25. Keyakinan
26. Janji, Rania!
27. Tentang Luka
28. Lorong Belakang Gudang
29. Apa yang Terjadi?
30. Jangan Benci Aku
31. Bertamu
32. Romantis (?)
33. Pertama Kalinya
34. Sorry
35. Kedatangannya
36. Tangan Elang
37. Dia Yang Akan Datang
38. Tertangkap
39. Yang Patah Pagi Hari
40. Nasihat Mama
41. Kejutan Malam Hari
42. Upah Dari Rania
43. Si Tangan Penghancur
44. Tentang Rasa Sayang
45. Pulang dan Kekacauan
46. Pergi Untuk Kembali
47. Pilihan Opsi Kedua
49. Rasa Yang Dilupakan
50. Hilangnya Sebuah Senyuman
51. Sebenarnya Hancur
52. Amarah Terbesar Elang
53. Bentuk Kepedulian
54. Janji di Malam Hari
55. Bukan Karena Sayang
56. Terungkapnya Fakta
57. Kimbab Dari Rania
58. Tentang Kita Berdua
59. Perasaan Yang Tak Lagi Sama
60. Pesan Tak Terbaca
61. Pergi dan Hilang
Epilog

48. Mendadak Ragu

133 11 0
By NurAzizah504

Benar kata orang, hujan bukan hanya mengundang petir dan gemuntur untuk datang. Tapi hujan juga membuat perut terasa lapar. Sama halnya seperti malam ini. Saat hujan tengah deras-derasnya dan jam telah melewati waktu tengah malam, Elang memutuskan untuk keluar kamar dan menuju ke dapur--tempat di mana perut keroncongannya dapat terisi.

"Eh, Bang!" Elang terkesiap sewaktu menemukan Vernon juga berada di tempat yang sama. "Kok di sini?" Elang terus berjalan hingga akhirnya tiba tepat di sebelah Vernon, lalu menyandarkan diri di pantri.

"Laper. Lagi kepengen makan mi instan."

"Oh, sama berarti. Gue ke sini juga mau nyari makanan. Sekalian buatin buat gue juga, ya." Sambil memamerkan deretan gigi-giginya, Elang berkedip-kedip lucu. Untuk pertama kalinya, Elang ingin merasakan bagaimana rasanya mempunyai abang. Baiknya, siasat Elang tidak berakhir sia-sia. Vernon dengan mudahnya tersenyum dan menganggukkan kepala. Lantas juga menyuruh Elang untuk menunggu saja di meja makan.

Jadi gini rasanya punya abang. Asiiik, bisa gue manfaatin, nih, kalo gini terus ceritanya.

Sebagai adik penurut dan baik budi, Elang kontan melangkah ke arah meja makan sambil melenggangkan kedua tangan dengan santai. Wajahnya pun terlihat semringah. Tepat ketika bokongnya mendarat sempurna pada salah satu kursi di sana, Elang tampak mengeluarkan ponsel dari saku celana. Untuk kemudian digunakan agar membunuh rasa bosan yang kerap datang saat ia sedang menunggu.

Kilatan petir menyambar terang di luar sana. Deru angin bertiup kencang, menggoyangkan pepohonan, menggugurkan ranting-ranting rapuh hingga berjatuhan satu per satu ke tanah yang basah. Bagi Elang, ini adalah salah satu malam yang kelam dan sedikit mengganggu perasaannya. Pasalnya, sejak tadi sore pesan yang ia kirimkan kepada Rania hanya tertera centang satu abu-abu yang tidak kunjung membiru.

Lelah menahan rasa yang sangat merepotkan, Elang akhirnya membenamkan dahi pada meja kaca di hadapannya. Dia ingin istirahat barang sejenak. Jujur, mengkhawatirkan Rania sama juga dengan membiarkan tatanan hatinya berantakan.

"Ngantuk, Lang?"

"Eh!" Elang mendongak kaget, lantas menggeleng pelan setelahnya. Dilihatnya Vernon yang cekatan menata dua mangkuk mi soto lengkap dengan dua gelas air putih di atas meja. Kemudian, laki-laki yang mengenakan kaus putih berlengan pendek itu mengambil tempat di sebelahnya. Dia tersenyum, lalu mempersilakan Elang untuk menikmati mangkuk mi yang menjadi bagiannya.

Dinginnya malam ini seolah menembus kulit dan menusuk tulang. Hujan pun sepertinya tidak kunjung menemukan kata reda. Dan waktu yang tadinya merangkak, kini seakan berjalan dengan sangat cepat. Namun, dua bersaudara itu tampaknya mengabaikan ketiga hal tersebut.

Bagi Elang sendiri, tidak ada dingin yang benar-benar membuatnya beku selain ketika dirinya tidak mendapatkan secuil kabar dari gadisnya. Rania adalah bagian terpenting dalam hidupnya dan Elang sadar akan hal itu. Maka lagi-lagi, Elang melongok ke arah ponsel yang tergeletak manis di atas meja. Sontak Elang meluruhkan kedua bahu, helaan napasnya terdengar berat. Sekali lagi, Rania berhasil membuat Elang tenggelam dalam rasa khawatirnya.

"Kenapa, sih, Lang? Dari tadi kaya orang cemas aja." Si paling tua akhirnya memutuskan untuk bertanya. Memang selepas mereka malam malam bersama papa, Vernon terus-terusan menemukan Elang yang setiap menit mengecek ponsel. Bahkan saat ketiganya berkumpul di ruang tengah--menikmati siaran pertandingan bola di televisi--Elang juga terlihat sama gusarnya.

"Doi gak bales chat dari sore," Elang menjawab kegusarannya yang tak lagi mampu untuk ia pendam, "padahal tau banget dia kalo gue gak suka dibuat khawatir. Astaga ...."

Vernon tertawa kecil kala melihat tingkah adiknya yang meremas-remas rambut dengan mata menatap ke arah layar ponsel.

"Awas aja besok di sekolah. Gue marahin dia sampe mulut gue berbusa."

"Anak orang, kok, dimarahin, sih? Gak baik tau," tutur Vernon. Dia terlihat meniup-niup mi hingga membuat kepulan asap menjauh darinya. Baru setelah itu, kumpalan mi tersebut disuapkan ke dalam mulut.

Elang merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Dia mencoba menetraliris gejolak amarah di hatinya dengan cara memejamkan mata kuat-kuat. Usai dirasa tenang, perlahan-lahan Elang mengembuskan napas. "Elo jadi pindah ke apartemen, Bang?"

Vernon mengangguk. "Kalo bukan besok, lusa mungkin."

"Ck, kenapa gak tinggal di sini aja, sih, Bang?"

Vernon tidak jadi menyuapkan satu sendok kuah soto ke dalam mulutnya. Untuk pertanyaan yang satu ini, ia merasa perlu menjelaskan lebih dalam lagi. "Gue pengen mandiri, Lang. Malu kalo harus bergantung sama papa. Dulu aja waktu masih ada mama, gue gak inget kalian. Sekarang pas gue udah gak punya apa-apa, gue baru tau diri buat pulang."

Elang bergeming, tidak tahu harus membalas apa. Setelah sekian lama ia tercenung sendirian, barulah ia menelan ludah dan bertanya, "Jadi ... ini juga yang jadi alasan kenapa lo lebih milih kerja ketimbang lanjut kuliah?"

"Iya. Biar gue punya uang, atau seenggaknya gue bisa biayain diri gue sendiri." Vernon menghela napas berat. Gurat mukanya berubah keruh dan matanya mulai tampak kabur oleh dorongan air yang memaksa untuk turun. Namun, laki-laki itu berusaha untuk tetap tegar. Cengkraman pada sendoklah yang memperlihatkan dengan jelas bagaimana kuatnya dia dalam menahan air mata. "Pulang ke sini aja gue udah malu banget, Lang. Apalagi waktu papa ngasih gue motor sama apartemen secara cuma-cuma, mau gue taruh di mana muka ini?"

Hujan mulai reda, meninggalkan sisa rintik satu dua yang jatuh mengenai genting. Elang merasakan kedua matanya mulai panas dan sembab. Bukan karena kuah soto yang dibuat pedas, melainkan karena melihat sisi rapuhnya Vernon untuk kali pertama. Kendati mengeluarkan suara, menelan ludah saja terasa sangat susah. Dada Elang terasa berat dan penuh. Tinggal menunggu waktu untuk ia ikut menangis seperti yang Vernon lakukan saat ini.

Akhirnya, Elang sadar satu hal. Sesak yang paling menyakitkan bukan karena Rania tidak mengabarinya hingga detik ini. Tapi, sesak yang sesungguhnya lebih dari itu semua. Saat kita menyadari bahwa selama ini kita melupakan rumah dan orang-orang baik yang masih setia berada di sekitar kita.

Malam ini tidak berakhir dengan indah. Mi kuah soto dibiarkan dingin tanpa sempat dihabiskan. Bersama isak tangis yang menggantikan derai hujan.

* * *

Tepat di posisinya saat ini, Rania meluruskan pandangan ke arah lapangan. Di bawah sana, dia melihat dua kelas berbeda yang tengah bersiap-siap untuk melakukan pertandingan voli. Di antara keramaian tersebut, Rania hanya menemukan beberapa orang yang dikenalnya, tapi tidak dengan Elang. Kening Rania otomatis berkerut dalam. Matanya menyapu seluruh lapangan. Tapi nihil, Elang tetap tidak ditemukan.

Saat dia hendak menajamkan indra penglihatan untuk menelisik lebih tajam satu per satu wajah di bawah sana, Rania dibuat terkesiap oleh sebuah tangan yang tiba-tiba menutup kedua mata indahnya. "Eh!"

"Ngeliatin apa, hah!? Raka, ya?"

Akhirnya, Rania mengetahui sosok yang baru saja menutup sepasang matanya. Tangan itu perlahan diturunkan setelah Rania benar-benar telah memutar seluruh badan, menghadap penuh ke arah Elang. Rania menipiskan bibir, lalu mendelikkan mata dengan tajam. "Enak aja nuduh orang sembarangan. Aku itu lagi nyari kamu karena gak ada di sana."

Elang berkacak pinggang, lalu menatap Rania dengan menelengkan kepala ke arah kanan. "Gini aja lo cari. Semalam kenapa ilang gak ada kabar?"

Kehabisan kata untuk menjawab pertanyaan Elang, Rania memutuskan untuk berpaling muka sambil menggigit bibir bawahnya. Ia hanya bisa mendengar decakan kesal dari mulut Elang. Hingga akhirnya, sesuatu yang berisik terasa menyentuh tangannya.

"Ambil."

Rania menatap sebuah kantung plastik dan wajah Elang secara bergantian. Glabelanya berkerut bingung. Dan sebelum ia sempat bertanya, Elang telah lebih dulu berinisiatif untuk menjelaskan. "Gue beliin lo cokelat."

"Cokelat?" Rania mengulang satu dari enpat kata yang Elang ucapkam.

"Iya. Walaupun gue gak tau kenapa, tapi gue sadar kalo akhir-akhir ini lo keliatan lagi gak mood. Mungkin itu salah satu alasan kenapa lo gak bales chat gue semalam."

Rania menelan ludah dengan susah payah. Entah kenapa, ruang bebas di sekitarnya terasa semakin sempit hanya karena Elang yang terlihat enggan mengalihkan atensi dari wajahnya. Kedua tangan Rania tampak saling meremas, sebuah kebiasaan yang kerap ia lakukan saat ia sedang gugup. Percayalah, disebabkan sebuah tepukan kecil di puncak kepala, Rania tahu betul bahwa saat ini jantungnya telah berdetak semakin liar.

"Tapi lo kudu tau, gue kasi ini ke lo enggak dengan percuma, ya."

"Eh, jadi ini harus bayar, Lang?"

Tak disangka dengan gerak santainya Elang menganggukkan kepala. Dia lalu perlahan mundur, tapi maniknya masih terus menempel pada mata Rania. "Cukup senyum dan bertingkah kaya biasa lagi. Soalnya kalo lo diem, elo itu malah ngerepotin perasaan gue."

Rania tercenung hingga setelah Elang pergi dan menghilang dari arah pandangnya. Lantas, sepasang mata cantik yang dipayungi oleh bulu mata lentik itu tampak mengerjap beberapa kali. Alhasil Rania menyadari satu hal, tentang Elang yang baru saja memperlihatkan betapa ia perhatian kepada Rania. Ini adalah sebuah bentuk sayang yang selama ini Rania inginkan. Tapi sialnya, kenapa harus pada saat ini? Kenapa pada saat Rania berpikir bahwa sebentar lagi dia harus meninggalkan Elang agar bisa kembali lagi kepada Vernon?

* * *

Hampir lima menit berlalu, tapi yang Rania lakukan hanyalah mengaduk-aduk es kopinya tanpa henti. Kayla saja telah berhasil menandaskan lima potong gorengan. Karena tak ingin berlarut-larut dalam rasa penasaran, alhasil Rania mulai membuka suara. Dia lebih dulu memanggil nama Kayla, membuat atensi si gadis berkacamata berpusat hanya padanya. "Gue mau tau, sehancur apa, sih, Elang waktu dia tau kalo Tania itu selingkuh sama Raka?"

Kedua mata Kayla sontak terbuka lebar. Tempe yang awalnya masih dijepit oleh dua jarinya, seketika terjatuh hingga kembali mencium piring. "Lo udah tau ceritanya, Ran?"

"Udah. Elang sendiri yang cerita," jawab Rania masih bersikap tenang. Dia paham betul mengapa Kayla bisa seterkejut ini begitu mengetahui bahwa dirinya juga tahu tentang jalan kisah cinta Elang sebelumnya.

"Huh," Kayla mengembuskan napas kecil dari mulutnya, "kalo lo mau tau, itu adalah pertama kalinya gue liat Elang benar-benar jadi laki-laki yang lemah. Elang seketika berubah jadi sosok yang introvet, mogok keluar kelas, taunya cuma diem aja." Detik berikutnya, Kayla menatap Rania lekat-lekat. "Hingga pas lo datang dan Elang suka sama lo, gue dan Fiki udah berharap banyak kalian berdua bisa jadian. Kita juga berharap kalo lo bisa bahagiain dia lagi, Ran."

Kedua tangan Rania berubah dingin detik itu juga. Dia tidak tahu apakah ini topik yang pantas dibicarakan atau tidak. Tapi yang pasti Rania tahu satu hal, bahwa dia mendadak ragu akan pilihannya sendiri.

Dilihatnya Kayla mengulas sebuah senyum simpul di sudut bibir. Tangan gadis itu kembali bergerak untuk menjumput tempe yang sempat terlepas. "Tapi gue yakin banget kalo lo gak akan berulah seperti Tania. Lo itu orangnya setia. Gue percaya sama lo seratus persen."

Jantung Rania berdebar tidak karuan. Butuh waktu lima detik untuk ia berani balas tersenyum canggung dan mengangguk patah ke arah Kayla. Jika kalian ingin tahu, saat ini Rania hanya ingin berlari dan bersembunyi dari semua kenyataan yang ada. Tapi Rania lupa. Sekuat apa pun ia berlari, sejauh apa pun ia membawa diri, garis takdir pasti akan tetap membawanya kembali. Rania menghela napas lelah, pasrah. Perasaannya yang telah sempat ditata dengan baik dan rapi, kini mendadak kembali kacau karena kehadiran Vernon. Apalagi saat sosok yang semenjak tadi berputar dalam kepala, mendadak hadir tepat di sebelahnya. Rania berjengkit kaget, membuat Kayla tertawa karena melihatnya. Ditambah lagi dengan Kayla berpamitan setelahnya, meninggalkan ia dan Elang berdua di meja yang sama.

"Gue lagi mikir sesuatu, Ran," beri tahu Elang pada saat tatapan keduanya bertembung dalam detik yang sama.

"Mikir apa?"

"Mikir kesalahan gue yang buat lo keliatan risi dan gak mau natap gue lagi."

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

841K 56.9K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
4.4M 261K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
704K 55.3K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
76.3K 10.3K 42
[Follow dulu sebelum membaca] ⚠️Belum direvisi, mohon maaf jika terasa berantakan. Lazuardi Arnav Baswara, pria penuh luka dengan sejuta tawa. Bertah...