EPIPHANY

By NurAzizah504

12.3K 1.2K 185

Rania berada di ambang kebingungan. Antara memilih Elang atau 'dia' yang sebelumnya pernah ada di hatinya. Hu... More

Prolog
1. Sore Yang Menyeramkan
2. Telepon Darinya
3. Jealous
4. Perihal Hujan
5. Tanyanya, "Kenapa?"
6. Dia Punyaku
7. Hujan di Malam Hari
8. Terima Kasih
9. I Need You
10. Cemburunya Rania
11. Ada Apa dengan Elang?
12. Lagi-lagi Dia
13. Tentang Kita
14. Pingsan
15. Maaf Untuk Semua Luka
16. Tidak Ada Sentuhan
17. Sekilas Bayangan
18. Menjauh
19. Siapa Dia?
20. Dia Yang Tampak Sama
21. Kebingungan Yang Berbeda
22. Tentang Nama
23. Sesuatu Yang Aneh
24. Deal!
25. Keyakinan
26. Janji, Rania!
27. Tentang Luka
28. Lorong Belakang Gudang
29. Apa yang Terjadi?
30. Jangan Benci Aku
31. Bertamu
32. Romantis (?)
33. Pertama Kalinya
34. Sorry
35. Kedatangannya
36. Tangan Elang
37. Dia Yang Akan Datang
38. Tertangkap
39. Yang Patah Pagi Hari
40. Nasihat Mama
41. Kejutan Malam Hari
42. Upah Dari Rania
43. Si Tangan Penghancur
44. Tentang Rasa Sayang
46. Pergi Untuk Kembali
47. Pilihan Opsi Kedua
48. Mendadak Ragu
49. Rasa Yang Dilupakan
50. Hilangnya Sebuah Senyuman
51. Sebenarnya Hancur
52. Amarah Terbesar Elang
53. Bentuk Kepedulian
54. Janji di Malam Hari
55. Bukan Karena Sayang
56. Terungkapnya Fakta
57. Kimbab Dari Rania
58. Tentang Kita Berdua
59. Perasaan Yang Tak Lagi Sama
60. Pesan Tak Terbaca
61. Pergi dan Hilang
Epilog

45. Pulang dan Kekacauan

128 18 0
By NurAzizah504

Hari ini Rania mencoba mencari sensasi baru untuk hatinya. Usai diporak-porandakan semalam, kini Rania ingin menatanya kembali dengan rapi. Rania akan membuang apa yang sepatutnya dibuang. Menempatkan cerita masa lalu di tumpukan yang jarang disentuh, dan meletakkan perasaan sayang yang besar di tempat teratas. Hingga sampai detik ini, Rania bersyukur lega. Semua masih baik-baik saja.

Tengah asyik memfokuskan mata pada layar ponsel yang menyala, Rania dikagetkan dengan pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka. Dari luar, Rania bisa melihat kemunculan sosok Luna. "Rania, kamu Bunda tinggal sebentar gapapa, ya? Bunda mau meeting dulu. Tapi kalau kamu bosan, kamu boleh pulang duluan, kok."

Rania tersengih dan menganggukkan kepala. "Nanti kalo Rania pulang, Rania bakalan kabari Bunda."

Tanpa membalas lagi, Luna langsung menghilang dari jangkauan mata. Terlihat jelas bahwa wanita itu sedang sibuk sekali. Maka Rania memutuskan untuk tidak langsung pergi. Dia masih ingin bersantai di ruangan kerja Bunda.

Pagi tadi Rania merengek kepada Luna untuk dibolehkan menemaninya pergi ke butik. Namun, Luna melarang dengan mengatakan bahwa duduk seharian di butik hanya akan membuatnya bosan. Apalagi hari ini dia memiliki banyak jadwal penting dengan kliennya.

"Gapapa, Bun. Rania sendirian di ruang kerja Bunda juga bisa, kok," ucapnya waktu itu. Setelah melewati beberapa perdebatan kecil lainnya, alhasil Rania diberikan izin.

Namun, ini sungguh di luar dugaan. Belum dua jam Luna meninggalkannya, Rania telah kesepian. Dia menghela napas, lalu meregangkan tulang-tulang. Mungkin dengan membeli minuman di kafe sebelah akan membunuh semua rasa jenuhnya.

Jika sedang mengunjungi butiknya bunda, maka wajib bagi Rania untuk mampir ke Aluna's Café. Ini adalah sebuah gerai kopi sederhana yang diapit oleh banyak bangunan tinggi di sekitarnya. Tempat ini memiliki konsep yang begitu klasik dan tidak berlebihan. Mereka menjual berbagai aneka minuman kopi lengkap dengan beberapa jenis kue dan makanan ringan lainnya. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, Rania tidak bisa mencegah mulutnya untuk berdecak kagum berulang kali. Bau kopi dari mesin grinder , musik yang mengalun merdu dari pengeras suara di sudut ruangan, membuat Rania betah berlama-lama di sana.

Cahaya matahari menembus dinding kaca dan menyinari ubin tempatnya menginjakkan kaki. Sepagi ini Aluna's Café masihlah sepi. Rania langsung menuju ke seorang barista dan menyebutkan pesanannya. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya segelas kafelate telah tersaji di depannya.

Rania mengambilnya setelah meletakkan uang di atas meja. Dia mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke butik sang bunda.

Sambil berjalan keluar kafe, tanpa sadar Rania bersenandung pelan. Dengan segelas kafelate di tangan, maka Rania akan mengatakan bahwa ini bukanlah pagi yang membosankan. Dia hanya perlu bersabar hingga Luna mempunyai waktu sebentar, lalu mengajaknya pergi makan di luar. Saat ia tengah larutnya berpikir nama-nama restoran yang ingin dikunjungi bersama bunda, Rania mendengar derap kaki berlarian dari arah belakang.

Awalnya Rania berencana untuk mengabaikan saja. Toh, mempercepat langkah agar bisa bersantai di ruang kerja bunda jelas lebih menyenangkan daripada harus mengurusi hidup orang. Namun tidak jika pemilik derap langkah itu berteriak dan memanggil namanya.

Otomatis kedua kaki Rania berhenti melangkah. Dia berbalik untuk mencari tahu siapakah yang berkepentingan dengannya sepagi ini sehingga harus mengejar dan berteriak memanggilnya. Namun, saat tubuhnya belum sempurna berputar dan matanya belum jelas melihat akan sosok di depannya, perasaannya berguncang hanya karena orang tersebut langsung mendekap tubuhnya.

Rania berteriak meminta dilepaskan. Dia memukul punggung pemuda itu berulang kali sekuat yang ia bisa. "Hei, jangan peluk orang sembarangan, dong! Lo siapa, sih?! Astaga ... lepasin gue!"

"Ini Abang, Rania."

Hati Rania seakan berhenti berdetak setelah mendengar sosok itu berbicara. Walaupun agak parau dan dalam, tapi Rania masih dapat mengenalinya dengan baik. Ini adalah suara favorit Rania sejak dulu dan mungkin masih bertahan sampai sekarang. Suara yang menenangkan dan tak pernah bosan untuk ia dengar.

"Abang pulang."

Suara itu berhasil membuat tubuh Rania berubah kaku seperti patung. Bahkan gelas kopi yang sejak tadi erat ia pegang, kini perlahan lepas dari genggaman. Jatuh mengenaskan ke jalanan hingga menimbulkan sedikit percikan yang langsung mengenai ujung kakinya. Pelan tapi pasti. Kedua matanya terasa panas dalam seperkian detik. Bibirnya bergetar tak henti, mendadak lupa bagaimana caranya untuk berbicara.

"Abang rindu kamu, Rania."

Semua mata tanpa sadar telah memandangi mereka. Dengan posisi berpelukan yang terbilang intim di depan toko orang tentu akan sangat menarik perhatian. Lantas, tangan yang sejak tadi menggantung tanpa melakukan apa-apa, kini digunakan Rania untuk mendorong pemuda tersebut menjauh darinya.

Saat ini Rania benar-benar bisa melihat sosok yang baru saja memeluknya. Kedua tangannya bergetar, membekap mulut secara spontan. Dia membisu beberapa detik lamanya. Hanya binar matalah yang berbicara tentang seberapa besar rasa terkejutnya saat ini.

"Gak mungkin Bang Vernon hidup lagi."

* * *

Apa pun yang terjadi
Ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
Cause everything's gonna be okay

"Jadi sekarang udah demen main gitar lo, Bro?"

Elang menghentikan gerakan jemarinya hanya untuk menatap kaleng minuman soda yang diletakkan Fiki tepat di sebelahnya. Dengan embun-embun dingin yang memenuhi luaran kaleng, menjadikan minuman itu terlihat sangat menggiurkan untuk ditelan.

"Gak demen-demen banget. Lagi suka aja," jawab Elang sekenanya yang pada akhirnya malah membuat Fiki berdecak kasar.

"Sama aja, botak."

Elang tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang bersih tanpa cela. Saat ini dirinya sedang berada di rumah Fiki, tepatnya di dalam kamar laki-laki itu. Sejak petang hingga langit telah sempurna berubah warna menjadi gelap, tidak ada tanda-tanda bahwa Elang akan segera pulang dari sana. Hal itu sukses membuat Fiki melipat dahi. Bukannya Elang jarang main ke rumah. Hanya saja kali ini Fiki seperti menemukan sesuatu yang berbeda. Terlalu mengganjal dan sulit ia temukan apa jawabannya.

"Lo kenapa, sih, Lang?"

"Hm?" Elang menatap Fiki ditambah pula dengan mengangkat tinggi kedua alisnya. Tanda bahwa Elang sama sekali tidak memahami akan maksud dari pertanyaan Fiki.

Terdengar helaan napas kasar dari mulut si yang bertanya. Tangan Fiki bergerak mengambil salah satu pulpen yang berada di atas meja belajarnya, lalu memainkannya dengan gerakan memutar. "Gue liat muka lo dari tadi ditekuk mulu. Lagi ada masalah?" Fiki menunjukkan perhatiannya. Sebagai orang yang paling dekat dengan Elang dari kelas 1 SMA, wajar bagi Fiki untuk bertanya. Mudah saja baginya untuk mengetahui gelagat Elang yang tidak baik-baik saja. Namun, jika untuk menebak masalah apa yang sedang Elang pendam, Fiki mengaku kalah.

"Enggak," jawab Elang singkat.

Tapi Fiki tahu bahwa itu adalah satu kebohongan Elang. Dia paham betul tentang kebiasaan Elang yang suka memendam masalahnya sendirian. "Ck, gue kenal lo bukan sehari dua hari. Hampir tiga tahun malah. Ngaku gak? Lo lagi ada masalah, 'kan? Masalah sama siapa, sih? Rania? Iya? Seenggaknya kalau lo enggak mau cerita, lo akui aja, deh."

Elang terperangah hanya demi mendengar Fiki bertanya tanpa henti. Lantas dia mengedipkan mata, menelan ludah yang pada akhirnya kembali memetik sinar gitar hingga menciptakan nada-nada acak yang ia suka.

Sedangkan sosok yang duduk di atas kursi kayu di sudut ruangan tampak berdecak sebal. Ia merotasikan bola matanya, mendelik tajam. "Kan," Fiki melipat kedua tangan di depan dada, sepenuhnya mengarahkan atensi pada Elang yang bersila di atas kasurnya, "kebiasaan lo kalo ditanya pasti diem. Segitu sulitnya lo buat jawab, 'Iya, Ki. Gue lagi gak baik-baik aja. Gue lagi ada masalah'." Sejenak Fiki kembali diam, berusaha untuk mengatur deru napas yang menggebu. Karena marah, Fiki melupakan bahwa ia perlu mengendalikan diri.

"Gue ini temen lo, Lang. Gue gak mau, ya, digunain gue pas lo lagi seneng doang. Saat lo lagi susah gini gue juga pengen slalu ada buat lo."

"Geli, Ki," ucap Elang mencoba untuk melucu.

"Bodo amat!" tukas Fiki marah.

Sama seperti sahabatnya yang sedang tidak ingin bercanda, Elang pun sebenarnya ingin bercerita. Namun, dirinya terlalu susah untuk terbuka. Dari kecil Elang terbiasa memendam apa yang ia rasa. Dia berpikir bahwa diam akan mampu membuat semuanya menjadi baik-baik saja. Namun, Elang keliru. Dia lupa masih banyak orang baik yang menyayanginya. Dan salah satu kesalahan terbesarnya, dia lupa bahwa Fiki terlalu pandai memahami hanya dengan melihat gelagatnya yang berbeda.

Diam-diam Elang menyunggingkan senyum kecil di bibirnya yang tipis. Kemudian dia menurunkan gitar yang berada dalam pangkuan untuk diletakkan di sampingnya. "Bukan masalah besar. Gue lagi kacau aja sebenarnya." Elang akhirnya mau bercerita di saat Fiki mulai sibuk dengan ponselnya. Walaupun Fiki sudah tampak seperti enggan untuk mendengarnya, tapi Elang tahu bahwa sahabatnya yang satu itu diam-diam mendengar suaranya.

"Rania ... " Elang terdiam lama, seolah ragu untuk lanjut berbicara. Dan dari arah depannya, Fiki terlihat semakin penasaran saja. Tanpa sadar dirinya telah menyimpan ponsel dan mengarahkan tubuh sepenuhnya menghadap Elang. Hingga pada detik ke sepuluh, saat Elang benar-benar telah mempertimbangkan keputusannya, ia pun kembali membuka suara. "Dia emang keliatan kaya cewe biasa aja. Polos, gampang marah, ribet, dan nyebelin. Tapi lo tau, Ki, Rania tidak sesederhana yang lo liat. Dia adalah gadis yang penuh tanda tanya."

"Maksudnya, Lang? Gue gak ngerti, sumpah," tutur Fiki serius sekaligus bingung.

"Beberapa hari yang lalu, gue pernah mergokin dia yang lagi diam-diam liatin foto cowo yang gue gak tau itu siapa. Pas gue tanya, dia cuma jawab kalo itu adalah temennya di sekolah yang lama. Sebulan yang lalu waktu pertama kali gue ajak dia ke pantai, dia bawa bunga banyak banget. Dia hanyutin tuh semua bunga ke laut lepas. Pas gue tanya kenapa, dia cuma jawab kalo itu adalah salah satu kebiasaannya."

"Dan akhir-akhir ini, Ki, gue sering banget dihantui sama mimpi aneh. Gue sering mimpiin dia sama cowo lain, entah itu pelukan ataupun jalan. Anehnya, tiap gue cerita ke dia, gue slalu liat raut wajahnya yang kontan berbeda. Dia kaya orang ketakutan."

Elang menghela napas. Nyatanya memutuskan untuk membuka diri dengan menceritakan semua kekacauannya tidaklah semudah yang ia pikirkan selama ini. Elang harus beberapa kali menggepalkan tangan saat tiba-tiba dihadang emosi yang berlebih. Dia pun harus banyak bersabar saat degup jantung tidak bisa diajak kompromi. Bahkan ia harus merelakan jika pada saat bercerita, hatinya kembali terasa perih.

"Dan malam tadi adalah punca di mana semua kekacauan ini gue rasa. Gue lagi-lagi mimpiin dia. Waktu itu kita lagi duduk berdua di bawah pohon ketapang yang tumbuh di pinggir lapangan sekolah. Di sana ... akhirnya kata putus terucap dari bibirnya."

Kedua mata Fiki tampak bulat seperti bola yang hendak loncat keluar dari tempatnya. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak mampu untuk mengucapkan kata-kata. Di sini Fiki seperti ikut hadir dalam kekacauan yang Elang rasa. Seolah dia juga sedang merasakannya.

"Itulah kenapa gue bilang kalo Rania adalah gadis yang penuh tanda tanya. Dia tidak seterbuka yang lo kira. Saat gue iseng nanyain dia tentang teman-temannya di sekolah lama, Rania selalu mencari cara untuk akhirnya menolak bercerita. Gue gak masalah tentang itu. Toh, gue suka sama dia juga enggak liat tentang masa lalunya." Elang diam sejenak. Mengambil napas banyak-banyak sebelum akhirnya berkata, "Dan Fiki, gue mau tanya satu hal sama lo malam ini."

"Apa, Lang?" balas Fiki tidak sabaran. Ayolah! Dia ingin Elang segera bertanya, bukan malah diam seperti patung yang tak bernyawa.

"Boleh gak gue beranggapan bahwa Rania tidak mencintai gue sebesar gue mencintainya?"

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

629 51 49
[ TAMAT ] Hai Sekarang kalian lagi ada di Butiran Air Mata Yang Akhirnya Berharga Seperti Berlian. •••••••••• Fabumi. "Tetapi sama kamu, aku gak bisa...
503K 18.9K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
16.6M 1.9M 87
SUDAH TERBIT VERSI NOVEL. Bisa didapatkan di toko buku dan marketplace fav kamu seperti shopee, tokped, webstore MIZAN. "Dia cewek gue." Atlanta Nath...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 24.3K 10
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...