Dengan tubuh setengah basah, Elang akhirnya berhasil mencapai pondok. Laki-laki itu tersenyum lebar saat menemukan gurat aneh yang Rania tampilkan. Haha, apakah membawa gitar adalah sesuatu yang patut dibingungkan seperti ini?
Lagi, Elang memainkan senar asal hingga Rania sadar dan cepat-cepat menutup mulut yang sempat terbuka. "Ini gitar punya siapa?" Akhirnya, pertanyaan itu muncul juga. "Kamu gak ambil punya orang, 'kan?"
"Sejak kapan orang ganteng kaya gue doyan mencuri, hah?" sungut Elang tak terima. Kemudian, Elang menyamankan cara duduknya dengan melipat kaki secara bersilangan. Seperti kebanyakan gitaris lainnya, Elang pun memeluk gitar yang diletakkan di pangkuan, lalu memposisikan jari tangan di depan senar.
"Lo cuma perlu diam, dengar, dan jangan banyak komen. Biar malam ini pacar lo melakukan tugasnya dengan baik."
Rania mengerutkan kening, spontan bertanya, "Tugas apa?"
"Ya nyenengin lo lah. Apa lagi?"
Rania tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Elang benar-benar lihai memetik senar gitar hingga menimbulkan irama. Tepat saat Elang mulai mengeluarkan suara untuk bernyanyi, rasa-rasanya Rania ingin berteriak saja. Semua ini bagaikan mimpi. Berjalan dengan semestinya tanpa harus ia kendalikan sama sekali. Di dalam pondok pinggir pantai, dengan tongkol jagung sebagai saksinya, Rania kini mendapatkan semua yang ia inginkan. Elang menjelma menjadi laki-laki romantis menurut definisi Rania.
Entah sejak kapan Elang belajar gitar, Rania tak tahu. Tapi yang jelas, Rania bisa melihat kegigihan dari caranya bermain. Walaupun suara Elang tak sebagus Fiki, tapi Rania sangat yakin bahwa Elang telah berusaha mati-matian hanya demi mempelajarinya.
Bersama deru ombak, Elang tetap mengalunkan lagu yang bahkan membuat Rania lupa bagaimana caranya bernapas. Sepertinya katanya, Rania hanya diam, mendengarkan tanpa banyak komentar. Walaupun diminta, Rania juga telah kehabisan kata-kata.
"Jadi gini rasanya orang dingin bersikap romantis? Jangankan gue, es di kutub pun pasti bakalan meleleh."
Lagu ditutup setelah petikan senar yang terakhir. Sebagai pemanis, Elang tersenyum seraya mendongakkan kepala. Karena semenjak tadi, tatapannya sama sekali tidak mengarah ke arah Rania.
"Sejak kapan, Lang?" Suara Rania bergetar di sela-sela hujan yang mulai reda. Hawa dingin yang menusuk, membuat Rania mengusap-usap telapak tangan hingga hangat, lalu menempelkan pada kedua sisi tubuhnya.
Yang ditanya tak lekas menjawab. Elang lebih dulu membuka jaket dan menyampirkan pada tubuh Rania. Usai memastikan bahwa dingin tak lagi mengusik gadisnya, barulah Elang menjawab, "Dua minggu yang lalu."
"Belajar sama Fiki?" Dan ia mendapat anggukan sebagai jawaban.
Ah, sekarang Rania paham kenapa akhir-akhir ini Elang dan Fiki sering kali menghabiskan waktu berdua. Ternyata 'sibuk' mereka bukanlah karena game atau semacamnya. Melainkan Fiki tengah mengajari Elang cara untuk bermain gitar.
Namun, jawaban Elang masihlah belum cukup untuk mengurangi rasa penasaran Rania. Dia kembali bertanya, "Tapi kenapa, Lang?"
"Lo gak suka?"
Mengetahui bahwa pertanyaannya sedikit menyinggung perasaan Elang dan bisa saja menimbulkan kesalahpahaman, Rania cepat-cepat menggeleng hingga kuncir rambutnya bergoyang. "Aku suka, Lang. Suka banget malah. Cuma ... aku heran aja. Karna setauku kamu itu gak suka kalau disuruh belajar main gitar. Kamu sendiri, 'kan, yang bilang gitu?"
"Hm .... " Bola mata Elang berputar, menatap ke atas. Tepatnya ke daun-daun rumbia yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menghalau mereka dari hujan yang sedang menimpa. "Kalo gue bilang ini karna gue takut kehilangan lo, percaya gak?"
"Eh?" Rania mengernyit bingung. Gimana-gimana?
Elang tersenyum. Perlahan tangannya terulur untuk menaikkan dagu Rania agar mulutnya yang terbuka lekas tertutup. Dilihatnya gadis itu salah tingkah, dan Elang hanya menertawakannya. "Gue takut lo bakalan pergi karna gue gak bisa jadi cowo romantis."
"Karna itu?" Rania menatap tidak percaya. "Kenapa kamu harus kepikiran begitu, sih, Lang? Sumpah aku enggak permasalahin itu sama sekali. Mau kamu bisa main gitar atau gak, ya, gapapa." Rania diam sejenak untuk menarik napas. Pada saat menundukkan kepala, Rania tidak sengaja menatap jari tangan Elang yang masih berada di senar gitar. Dengan berani Rania menyentuh tangan kiri Elang hanya untuk melihat kembali luka-luka kecil yang memanjang pada keempat jari tangannya. Matanya berubah sembab, menahan hujan yang kapan saja bisa menetes dari sana. "Dan ini ... " suara Rania terdengar parau, "ini bukan karna kejepit pintu, 'kan? Ini pasti gara-gara kamu belajar main gitar. Makanya jari tangan kamu jadi luka-luka kaya gini."
Elang hanya diam dan ikut memperhatikan jari tangannya. Benar saja. Luka ini tampak mengerikan. Bahkan sakitnya saja masih terasa saat Rania menggenggamnya. Tapi demi melihat Rania tersenyum dan bangga karena memiliki pacar yang jago bermain gitar, semua rasa sakit itu seolah sirna--meluap entah ke mana. "Santai aja, sih. Udah gak sakit juga." Elang berusaha untuk menenangkan. Tapi nyatanya, si gadis malah menangis karenanya.
"Aku jahat, ya, Lang? Harusnya malam itu aku gak ngomong begitu ke kamu. Harusnya kamu gak perlu maksain diri buat begini. Harusnya--" Ucapan Rania terputus, Elang menariknya hingga terjatuh ke dalam pelukan laki-laki itu. Dekapannya erat dan hangat. Membuat angin malam kalah hanya karena kedua tangan kekar Elang melingkari tubuhnya.
"Harusnya lo bangga sama gue. Perasaan tadi gue juga enggak nyanyiin lo lagu Keramat, deh. Kenapa pula kudu nangis, huh?"
Rania merengek kesal, lalu mencubit dada Elang yang hanya dilapisi oleh kaus hitam.
"Udah-udah, gausah nangis lagi. Bikin gue puyeng aja lo." Elang meleraikan pelukannya dan menatap Rania tepat di mata. Detik berikutnya, Elang tiba-tiba menyodorkan tangan dan berkata, "Gue minta upah."
"Upah? Upah apaan?" tanya Rania sambil mengusap bekas air mata di pipinya.
"Upah buat semua ini lah. Masa iya lo gak ada niatan buat bales semua kebaikan gue. Jarang-jarang, lho, seorang Elang Angkasa mau berjuang sekeras ini."
Rania berdecak. Siap menyambut uluran tangan Elang hanya untuk didorong kembali hingga mengenai dadanya. "Siapa suruh jadi bucin, Sayang?"
* * *
Hujan telah reda dari beberapa menit yang lalu. Namun, jejak airnya masih terlihat jelas pada jalanan di sekitarnya. Hawa dingin masih terasa, dan jaket Elang masih sangat menghangatkannya. Sesekali angin malam berembus kencang. Menggoyangkan ranting-ranting, menggugurkan dedaunan. Bunyi jangkrik dan katak pun tak luput dari pendengaran. Mereka seolah bersuka cita dengan apa yang baru saja dirasa.
Seperti janji Elang kepada Luna yang akan memulangkan anak gadisnya sebelum jam sebelas malam, maka ia pun benar melakukannya. Mobil yang disopiri oleh Elang telah berhenti tepat di depan pagar rumah Rania dari dua menit yang lalu. Anehnya, tak satu pun dari mereka yang mau beranjak barang sejengkal pun. Keduanya hanya diam, larut dalam dunia masing-masing.
Alhasil, Rania mengalah. Embusan napas terdengar pelan sewaktu ia menoleh demi melihat sosok lelaki yang memegang kemudi di sebelahnya. "Aku masuk dulu, ya. Makasih untuk malam ini."
Lantas Elang menganggukkan kepala. "Langsung tidur. Jangan bergadang."
"Aku gak pernah bergadang, kok," sangkal Rania tak menunggu lama.
"Gue cuma ingetin lo, Rania, bukan nuduh," jelas Elang dengan menekankan kalimatnya.
"Oh ...," seru Rania yang langsung paham. Namun, walau dirinya telah pamit untuk pergi, tapi tubuhnya tetap ingin bertahan di sini. Tanpa sadar Rania memilin ujung jaket Elang yang masih terpasang pada tubuhnya. Terus berulang-ulang hingga ia lelah melakukannya.
Sementara di sampingnya, terlihat Elang yang santai memainkan gadget. Dia sama sekali tidak menyadari akan Rania yang tengah gusar menggigiti bibir bawahnya hingga merah. "Elang," panggil Rania yang langsung mendapat tatapan, "kamu gak pulang?"
"Tunggu lo masuk dulu, 'kan?"
Ah, iya! Rania menepuk dahinya. Merutuki akan kebodohannya yang melempar pertanyaan tak masuk akal itu. Kemudian dia memejamkan mata, mengembuskan napas. Usai melepaskan seatbelt yang mengikat perutnya, Rania berkata, "Yaudah aku masuk dulu. Kamu juga langsung pulang. Jangan kelayapan."
Tampak Elang menyengir lebar. "Niatnya, sih, mau nongki dulu di warung."
"Ck, pulang gak?" Rania kesal, ada nada mengancam dari cara ia bertanya, "kamu kebiasaan banget bergadang tau gak, sih? Udah kantung matanya item, kurusan lagi. Kaya gak ada hal lain aja yang disukain selain bergadang."
"Ada, kok."
"Apa? Game, 'kan?" tebak Rania secepat yang dia bisa.
"Ya kamulah."
Seketika Rania terdiam dan kehabisan kata-kata. Bukan main, hanya dua kata dari Elang, tapi mampu membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Lagi-lagi Rania mengomel dalam hati. Tentang dia yang mudah digombali, juga tentang Elang yang saat ini menyengir lebar sekali.
"Gue serius, Ran. Jangan kaya orang kesel gitu, ah, mukanya. Jadi gak enak diliat."
Alhasil, Rania merubah gurat wajahnya. Dia mencoba tersenyum semanis yang dia bisa. Mencoba berkata dengan suara lembut, "Habis dari sini langsung pulang, ya, Elang. Jangan buat aku khawatir. Soalnya khawatirin kamu itu gak enak banget rasanya."
"Iya, Rania, iya," jawab Elang setengah tertawa. Dia mengangkat tangan, mengacaukan tatanan rambut Rania dengan mengacaknya.
Terakhir, Rania pun memutuskan untuk mengangguk saja. Dia tahu, sekali Elang mengatakan 'iya', maka benar ia akan melakukannya. Lantas, Rania bergerak. Sekarang ia benar-benar akan masuk dam membiarkan Elang untuk pulang. Namun, saat kakinya hampir menginjak jalanan yang basah, Rania seketika memutar tubuhnya.
Elang mengernyit bingung. Belum sempat bertanya, tiba-tiba saja telapak tangan Rania bergerak menutup kedua matanya. Pandangan Elang berubah gelap detik itu juga. Hingga sesuatu yang kenyal dan lembab, mengenai pipi kirinya dalam seperkian detik.
Elang menegang dengan mulut terbuka. Waktu seakan berhenti berputar. Elang tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Karena malam itu, dia hanya bisa mengingat satu hal. Saat Rania berbisik hingga menggetarkan seluruh tubuhnya. "Itu upahnya, ya, Lang."
* * *