Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18.3K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 3.2.5

82 22 54
By monochrome_shana404

Di balik pohon rimbun, Kirika benar-benar aman di antara terik yang membakar kulit. Meskipun ia tahu, sesungguhnya ia tak perlu khawatir sebab mendung mulai tampak semakin jelas, mungkin di sinilah tempat persembunyian yang bagus untuk mengeringkan rambut yang sudah ia bersihkan dari telur busuk.

Taman tak lagi seindah ketika musim semi. Tidak banyak bunga-bunga, konon lagi bunga sakura. Mereka sudah utuh rontok lebih dulu, bahkan jauh lebih lama sebelum musim panas datang.

Pada akhirnya Kirika melewatkan kegiatan hanami* untuk kesekian kali. Tapi dia memang tak pernah menghabiskan waktu untuk melakukan hal tersebut, kecuali jika Aronia dan Hardy masih hidup. Mereka selalu mengajaknya piknik di taman setiap pertengahan musim semi. Atau biasanya akan selalu ada acara televisi mengundang dan membayarnya melakukan kegiatan tak penting seperti itu.

Kirika mengembuskan asap rokok, membiarkan mereka mengepul di udara seolah itu mampu membuang pikiran mengenai hal-hal yang tak mungkin terjadi saat ini. Kini yang terjepit di antara dua jarinya merupakan rokok kedua yang sudah habis separuh. Sempat ia melirik kepada puntung pertama yang tersembunyi di lipatan saputangan.

Sesungguhnya dia benar-benar beruntung mengingat di sini merupakan tempat persembunyian yang aman. Hanya saja Kirika harus tetap berwaspada kalau-kalau akan ada yang menumpang lewat entah dari mana, lantas mengadu agar Kirika—sekali lagi dalam hari ini—dijatuhi denda karena telah melanggar larangan merokok.

Namun, entah mengingat ia banyak uang dan merasa enteng saja mengatasi denda itu, dia terus mengembuskan asap; tampak enggan waswas. Setiap kali ia melakukannya, ia selalu memandangi tiap lekukan-lekukan di antara asap yang tercipta tepat sebelum utuh melenyap ditelan udara.

Sepertinya ia lebih menikmati masa-masa seperti ini, ketimbang harus terus-terusan memandang layar ponsel atau monitor. Sudah cukup baginya membaca rumor yang beredar di blog dan beberapa media sosial, baik mengenai dirinya atau Alford Corp. sendiri.

Beredar bermacam teori dari para saksi, bahwa manusia yang membabi buta tanpa perasaan di taman bermain kala itu merupakan salah satu android yang diciptakan oleh Alford Corp., sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara. Mereka juga berpendapat, Kirika tak lagi percaya dengan manusia, lantas lebih memilih menjadikan sebuah android sebagai asisten sekaligus pengawalnya.

Cetusan pertama kurang masuk akal. Jika demikian, mengapa harus Kirika yang dijadikan sasaran? Tak sedikit di antara para penikmat teori konspirasi ini membelanya, lagi mulai berpendapat bahwa itu merupakan seorang alien atau makhluk super yang entah dari mana asalnya. Mulailah mereka membicarakan berapa banyak gaji yang diterima Akira dan mengapa ia ingin direkrut menjadi asisten Kirika.

Sementara itu, terselip beberapa komentar mereka yang enggan menanggapi lebih lanjut. Kebanyakan mereka yang seperti ini lebih memilih menutup mata, sebab bukti konkrit sama sekali tidak ada.

Sesungguhnya, Kirika sama sekali tak tersinggung, lagi tidaklah ia perlu repot-repot mengkhawatirkan gosip. Malah, ia sedikit terhibur setelah membaca semuanya. Meskipun ia tahu, rumor-rumor semacam ini juga berpotensi menjatuhkannya.

Tapi, apa pedulinya? Dia harus tetap berjalan meskipun orang-orang akan berpaling darinya.

Dia tak punya pilihan.

Setetes air menitik, perlahan kawanannya ikut menyusul mengalihkan pikiran Kirika yang kalut. Sedikit tergesa ia mengisap rokok hingga benar-benar kandas; nyaris mencapai puntung. Seusai memastikan rokoknya tertekuk di atas saputangan kala mengembuskan kepulan asap yang tersisa, lantas ia melepas jas sembari bangkit dengan sepasang sepatu yang sengaja ia lepas.

Tetes demi tetes air hujan menghujamnya selagi ia berdiam diri di halaman yang lebih lapang.

Sementara manik delimanya memilih tak berkedip; berharap dalam hati hujan buatan menyiraminya sedikit lebih lama.

~*~*~*~*~

Kala maniknya terpejam, terlintas beragam kenangan di dalam kepala Aleah. Entah yang paling manis, atau sekadar yang paling mudah diingat.

Sebagai contoh kenangan, ia membayangkan dirinya yang sedang menggandeng Kirika. Pada saat itu keponakannya masih berumur empat tahun. Mereka mengenakan jas hujan serta sepatu bot anti air. Bersama-sama mereka melewati hujan, pun sengaja melompat ke genangan air di bak pasir. Kirika menyenangi melihat percikan air yang ia pijak, tawanya mengundang kesenangan yang meledak-ledak di hati Aleah.

Namun, sayangnya kenangan itu harus buyar dari kepalanya secepat angin panas menerpa dedaunan di luar sana.

Ya, meskipun bersantai, Aleah tidak akan pernah tenang jika mendapati Silvis terus-terusan melempar pandangan kalut keluar jendela. Iris keemasannya tertuju kepada punggung suaminya yang sekali lagi terkulai lemas seusai ia membuang napas panjang-panjang.

Sepertinya tidak perlu lagi menerka-nerka apa yang sedang ia pikirkan. Sebab sesungguhnya, Aleah juga sedang memikirkan orang yang sama. Dia sendiri paham. Bagi Silvis, merupakan hal yang menyebalkan tidak berhasil membawa Kirika pulang, konon lagi dalam situasi seperti ini.

Akan tetapi, justru Aleah memaklumi segala keputusan Kirika. Betapa ia mengerti apa yang sedang dilakukan keponakannya.

Dia tahu, Kirika bukan orang yang senang menghambur-hamburkan uang kalau hal itu memang diperlukan guna menghibur diri atau apalah. Keponakannya juga tak begitu menyukai pergi ke luar negeri jika tidak punya urusan. Meskipun mampu mengonsumsi minuman berkadar alkohol di bawah empat puluh persen, Aleah juga tahu Kirika bukan tipe peminum.

Kirika sudah dewasa, baik secara fisik maupun pikiran. Jadi, mungkin ia tidak perlu khawatir sebagaimana Silvis sedang bersikap resah hingga detik ini.

Berakhir wanita empunya rambut senada kunyit itu menghampiri Silvis. Tanpa meminta izin, ia memeluk suaminya dari belakang. Dia tahu Silvis tak akan pernah menolak. Malah, Aleah mendapatkan kecupan mesra tepat di salah satu punggung tangannya.

Ketahuilah, sentuhan Aleah sudah seperti sihir penenang bagi Silvis. Isi kepala yang hampir meledak karena hati memendam cemas setidaknya sedikit mereda.

"Dia hanya membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikiran. Kadang-kadang ia butuh melakukan hal yang sedikit kekanakan untuk itu." Aleah memecah hening. "Jangan khawatir, dia pasti akan cepat pulang kalau sudah puas bermain hujan."

Ibu jari Silvis berhenti mengusap punggung tangan Aleah selagi netra birunya jatuh kepada kulit sang istri yang bersih. Genggamannya mengencang, tetapi tak bermaksud menyakiti.

Demikian Silvis mengangkat pandangan kepada hujan yang menyisakan rintik-rintik. Seusai meletuskan dengkusan untuk kesekian kalinya, ia pun mulai menyuarakan tanggapannya.

"Aku tahu."

Hanya itu?

Ya, hanya itu.

Namun, sedikit pun Aleah tidak marah. Kepalanya sekadar meneleng penuh sabar, pertanda ia sedang memancing lawan bicaranya agar mau menuangkan segala keluh kesah.

"Aku hanya tidak menyangka perkara ini akan sampai begitu jauh, Aleah." Kembali ibu jarinya mengusap perlahan punggung tangan sang istri. "Kupikir ... kita terlambat—"

"Lebih baik terlambat daripada tidak berusaha sama sekali," tukas Aleah secepatnya. Begitu lembut suaranya seolah nyaris teredam di balik punggung Silvis. "Kita hadapi bersama-sama, ya?"

Aleah sudah berpindah ke sampingnya. Pada akhirnya manik biru laut tersebut menemukan paras cantik yang sedang mengumbar tersenyum lembut.

Silvis membiarkan kepala Aleah bersandar di lengannya. Sebagai balasan, ia merangkul bahu sang istri selagi keduanya memilih menikmati pemandangan halaman samping bersama-sama.

Sayang sekali, kegiatan kecil yang menghangatkan hati ini harus terhenti sebab bel rumah menginterupsi.

Semula keduanya saling pandang. Silvis melempar pandangan penuh tanya. Sesungguhnya Aleah juga melontarkan tatapan serupa. Namun, setidaknya Aleah lebih cepat melontarkan binar sebagai sebab telah mendapatkan jawaban lebih cepat ketimbang pemilik iris biru laut di hadapannya.

"Aku akan mengambil handuk."

Pun ... begitu cepat pula ia meninggalkan Silvis.

Ketahuilah, bukan keinginan Silvis menyambut orang yang menunggu di depan pintu itu. Tapi mau tak mau ia harus bergegas meski bel tak lagi berbunyi. Dia tahu, tidak akan ada orang yang iseng memanjat pagar tinggi dan sekadar membunyikan bel pintu depan untuk iseng.

Ya, benar. Memangnya siapa yang rela terkena sengatan listrik yang telah diatur di pembatas-pembatas tinggi di sana? Sudah tersengat listrik, masuk berita dengan judul yang memalukan sekeluarga pula.

Benar-benar tidak ada bunyi bel kedua walau Silvis benar-benar sampai di depan pintu; satu hal yang membuat ia yakin, yang berada di balik sana adalah keponakannya sendiri. Entah bagaimana seketika ia kekesalannya kembali bertamu, mengingat utusannya tidak membutuhkan banyak tenaga untuk membawa Kirika pulang. Pasti benar dugaannya bahwa mereka hanya sekadar menunggu lebih lama, sampai Kirika sungguhan mau pulang setelah berpuas diri menikmati waktu kesendiriannya.

Tak membutuhkan waktu lama untuk membuka pintu. Lantas, tampaklah sosok yang ditunggu-tunggu itu berdiri di hadapan Silvis bersama pandangan yang tertuju ke lantai.

Kirika tak terlihat sekuyup yang ia bayangkan, tetapi rambutnya terlihat sedikit lepek. Sisa-sisa bulir air hujan masih tertinggal di kulit, sedikitnya ada yang masih sempat menetes dari ujung lengan jas. Dia juga bertelanjang kaki. Barangkali lupa membawa keluar sepatunya, Silvis menduganya demikian.

Amarah dan seluruh perasaan yang hendak Silvis lontarkan lekas teredam seusai ia mendapati Kirika yang basah. Justru kini batin Silvis diliputi rasa penasaran bagaimana keponakannya ini begitu menikmati hujan buatan di sana. Dia tidak terlihat bahagia, atau bahkan murung.

Sungguh, seolah tiada yang benar-benar terjadi di taman.

Tidak ada basa-basi, tetapi sebuah tindakan mengejutkan terjadi.

Silvis menarik Kirika ke dalam pelukannya ... lengkap dengan embusan napas panjang.

Kirika tidak tahu apakah itu bentuk keluhan, atau justru kelegaan. Sulit bagi Kirika untuk menolak pelukannya, konon lagi mendorong pamannya agar menjauh. Namun, alih-alih membalas pelukan, ia memilih tertegun; takut membuat punggung Silvis ikut basah.

Tiada sepatah kata yang terlontar dari mulut Silvis. Sama sekali. Akan tetapi, sepertinya menunggu sikap tubuh Kirika terkulai kedengaran lebih baik ketimbang harus membuang-buang tenaga untuk menceramahinya.

Sulit memungkiri hal ini berkali-kali. Tapi seharusnya ia sudah menghafal ini sejak lama; bahwa Kirika tidak akan mendengarkan apa pun dari siapa saja jika pikirannya sedang kalut.

Hingga Aleah muncul dan sengaja memperlambat langkah dari ruang pakaian, Kirika lebih dulu memecah hening dengan suara yang teramat halus.

"Aku pulang."

Seketika Silvis terenyuh. Kernyitan yang semakin dalam di keningnya sudah cukup menjadi bukti. Namun, seolah itu merasa tak cukup, badannya bergerak mempererat pelukan.

"Yah ...." Setidaknya ia sanggup seutuhnya menyambut Kirika dengan tuturan lembut, "Selamat datang, Kirika."

Hanami : Sebuah tradisi dari Jepang, yang mana warganya menikmati keindahan bunga yang sedang bermekaran (biasanya di musim semi).

Halo~. Permulaan yang indah dan fluffy, ya. Suka? Bagus~, dengan begitu semua orang bahagia.

Entahlah, menulis ini lebih cringe dari yang saya kira. Tapi ... saya pikir bagian ini tidak buruk juga, soalnya setelah dibaca kembali rasanya hangat.

Saya tidak tahu apa pendapat para pembaca. Silakan komentar di sini~.

Omong-omong saya tidak tahu kapan akan mempublikasikan chapter terbaru setelah ini, tetapi tunggulah saja seperti masa-masa dahulu saya sering meninggalkan karya— *ditabok*

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

21.9K 1.5K 16
[Wattys 2018 Winner: The Originals] Lima tahun berlalu tanpa adanya kabar dari Arata, membuat Ayumi sadar, bahwa ia kembali merasakan apa yang mereka...
6.6K 2.7K 35
Kita sama-sama hidup di dalam dunia hitam, tidak ada yang namanya kebenaran. Bahkan yang terlihat benar pun bisa dimanipulasi dengan begitu mudahnya...
174K 14K 10
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
77.2K 6.7K 100
Tokyo Noir Familia salah satu keluarga Mafia di kota TokyoVerse.Dipimpin oleh Rion Kenzo yang dipanggil dengan Papi dan Caine Chana yang selalu dipan...