Sekali Merdeka Tetap Merdeka

By farvidkar

1M 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 29

21.3K 2.5K 96
By farvidkar

DALILA

            "Hola sayang-sayangkuuu," kataku menyapa Merdeka dan Bara yang duduk berdua dengan penuh suka cita di kantin. Tetapi rupanya salah satu dari mereka tidak menanggapi sapaanku dengan suka cita juga. Sepertinya Merdeka hanya ingin mendengar kata 'sayangku' satu saja. Dengan wajah penuh cengengesan aku menyelip mengambil posisi duduk di antara mereka berdua.

            "Kayaknya lagi bahagia banget," kata Bara. Dia tahu saja kalau mood-ku lagi bagus.

            "Buletin sekolah udah siap cetak. Kerjaku udah kelarrrrrr," jelasku penuh semangat. Berbagi berita baik saja hatiku makin plong.

            "Deka, lo ngerti maksudnya kan?" tanya Bara pada Merdeka. Badanku harus mundur sedikit ke belakang agar tidak menghalangi pandangan Bara yang berusaha melihat ke arah Merdeka.

            Merdeka mengangguk. "Artinya dia minta diajak jalan lagi karena udah nggak sibuk."

            "Bukan ituuuuu." Sanggahanku diabaikan begitu saja.

            Sambil menunggu makananku datang aku mengalihkan pembicaraan untuk membahas tentang ujian tengah semester yang tidak lama lagi. Aku meminta Bara untuk mengajariku beberapa tenses dan juga rumus-rumus dari pelajaran yang lain. Tidak hanya aku saja rupanya, Merdeka juga ingin ikut belajar bersama—dia minta diajari Bara juga.

            "Lo lebih pintar dari gue, ngapain minta diaajarin segala?" tanya Bara. Aku ikut menatap orang yang ditanya. Merdeka membuang muka, wajahnya berubah malu.

            Aku mendekati Bara kemudian berbisik padanya dengan suara sedikit keras agar dapat didengar oleh Merdeka. "Soalnya, ada aku." Bara manggut-manggut mengerti. Dia sebenarnya paham, hanya saja dia ingin membantuku membuat Merdeka malu.

            "Baru-baru ini di kelas kalian siapa yang peringkat satu?" tanyaku. Aku tahu mereka berdua siswa berbakat.

            "Aku dong," kata Bara bangga.

            "Lho? Tapi kamu bilang Merdeka lebih pintar dari kamu?" tanyaku kurang paham.

            "Aku kan juara satu karena nyontek jawaban dia."

            Kalau seperti itu aku tidak heran. Bara seperti burung elang yang bebas kesana kemari. Tapi aku tahu dia memang pintar, hanya saja pecicilan dan tidak bisa diam. Tanpa bantuan Merdeka setidaknya Bara bisa dapat peringkat dua atau tiga. Aku tahu kemampuan Bara karena sesekali Bara membantuku mengerjakan pelajaran eksak juga.

            "Kapan mulai belajarnya?" tanyaku pada mereka berdua.

            "Malam ini aku free," kata Bara. Aku juga free. Merdeka juga mengatakan kalau dia free. Kami sepakat akan belajar bersama malam ini.

            "Jam 7 aku udah di rumah Bara," kata Merdeka.

            Kenapa Merdeka selalu pergi ke rumah Bara. Kami juga selalu bertemu di rumah Bara. Padahal sebelumnya aku sudah memberi kode padanya bahwa rumahku terbuka lebar untuknya. Tetapi dia tidak paham apa yang ku maksud. Merdeka pernah bilang kalau otaknya encer—masa dia tidak kunjung paham juga lampu hijau dariku. Aku curiga dia masih malu-malu untuk bertamu ke rumahku. Aku tahu kami memang bertemu untuk belajar bersama. Tetapi kenapa juga harus di rumah Bara, padahal niat awalnya dia ikut karena ada aku.

            "Merdeka," aku memanggil namanya penuh penekanan. Dia menoleh ke arahku.

            "Sebenarnya kamu itu mau ngapelin aku atau ngapelin Bara?"

...

            Merdeka membuatku yakin kalau dia belum pernah berpacaran. Merdeka masuk ke rumahku seperti masuk ke ruang guru—sopan sekali. Mau duduk saja minta izin dulu. Sementara Bara sudah dengan santainya menyalakan TV.

            "Santai aja, orangtuaku masih di Canberra," kataku menyuruh agar Merdeka bisa santai seperti Bara tapi tidak perlu juga meniru tingkah Bara yang sudah tiduran di atas sofa.

            Aku tidak mempersilakan anak laki-laki masuk ke kamarku. Ada banyak benda terlarang di sana—pakaian dalam salah satunya. Keranjang kotorku juga belum dipindahkan. Aku takut mereka dapat melihat kacamata melar itu. Kulihat Merdeka dan Bara mulai mengacak-acak ruang keluargaku. Ruangan ini lebih luas dan nyaman ketimbang kamarku. Volume TV sengaja ku kecilkan karena niat utama kami adalah untuk belajar.

            Bi Nunung datang membawa tiga gelas jus mangga, kemudian berlalu pergi. "Jangan ditumpahin ya," kataku menyalurkan apa yang ingin Bi Nunung sampaikan pada Bara.

            "Kalau untuk Merdeka ditumpahin aja nggak apa-apa pesan Bi Nunung," kataku kali ini pada Merdeka. Bi Nunung baru hari ini ku kenalkan pada Merdeka. Bi Nunung bilang Bara ganteng, tapi gantengan Merdeka. Ternyata aku dan Bi Nunung sehati.

            "Mulai belajar aja ya," ajakku menggiring mereka untuk buka buku.

            Merdeka mengajarkanku matematika, fisika, kimia, dan bahasa Inggris. Otaknya tidak langsung diperas habis, karena aku hanya bertanya pada bagian-bagian yang tidak kumengerti saja. Seperti materi tentang matriks. Kenapa kurungnya harus kotak bukan bulat. Integral, kenapa harus f(x), apa yang spesial dari dua abjad yang mirip nama girlband Korea. Aku tidak begitu payah untuk eksak, aku hanya payah di bahasa Inggris. Pertanyaan-pertanyaan absurdku tadi? hanya untuk membuat Merdeka terus berbicara panjang lebar. Suaranya itu terdengar lucu, seperti guru yang sedang mengomel karena muridnya tidak kunjung mengerti.

            "Sampe sini paham?" tanya Merdeka penuh penekanan. Dia sedang berusaha sabar padaku.

            "Dia paham kok, cuma lagi nyari perhatian lo aja," timbrung Bara. Kuberikan poin 100 untuk Bara. Merdeka tidak marah, dia malah menahan senyumnya. Di antara semua bentuk senyuman Merdeka, aku paling suka melihat dia menahan senyum. Lebih imut menurutku, padahal wajahnya tidak baby face. Bagaimana yaa cara menjelaskannya, dia itu punya wajah maskulin, mau bilang ganteng sih memang ganteng, tetapi lebih enak dibilang manis. Kalau diam saja dia terlihat macho, kalau menahan senyum dia terlihat cute, kalau lagi menaikkan sudut bibir dia sangat sexy, kalau dia tersenyum lebar ambyar sudah diriku. Sekarang aku berusaha menahan diri agar tidak mengabadikan wajah itu, dia pasti suka jika aku juga menunjukkan usahaku untuk lebih dekat dengannya.

            Tiba-tiba Bi Nunung datang membawa sepiring kentang goreng.

            "Mas Merdeka udah punya pacar?" tanya Bi Nunung. Merdeka menggeleng.

            "Udah 5 tahun Bibi jadi janda," aku Bi Nunung mempromosikan dirinya. Aku mengelus-elus dadaku sesak walaupun Bi Nunung tidak sungguh-sungguh. Bi Nunung itu keibuan, tetapi terkadang jika aku membawa cowok cakep seperti Bara ke rumah, Bi Nunung suka mengisengi tamuku. Sepertinya Bi Nunung kesepian karena selama ini hanya berdua saja denganku di rumah.

            "Sudah 5 tahun aku nggak punya pacar," kataku meng-copy-paste ucapan Bi Nunung tadi yang sebelumnya sudah ku modifikasi. Jujur aku juga tidak mau kalah dari Bi Nunung.

            Bara juga tidak mau ketinggalan. "Kalau aku terakhir kali pacaran sama tali pusar."

            Hancur sudah rencana kami untuk belajar. Pertama, karena percakapan seputar tidak punya pasangan terus berlanjut. Kedua, Bi Nunung meracuni kami dengan snack pengganti makan malam. Ketiga, Bara membawa playstation-nya ke rumahku. Keempat, Merdeka menang telak di ronde pertama sehingga dia dan Bara bermain satu putaran lagi. Kelima, mood-ku untuk belajar tiba-tiba hilang karena aku juga ikutan ditantang bermain. Keenam, tidak terasa sudah hampir jam 9 malam sehingga mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

            "Hati-hati di jalan," kataku begitu Merdeka masuk ke dalam mobil jemputannya.

            Setelah mengantar Merdeka di halaman depan, Bara ikutan pamit pulang. "Hati-hati melangkah," kataku. Dia mengangguk. Walau hanya perlu 36 langkah untuk sampai ke pintu rumahnya, tetap harus hati-hati. Ada kerikil, semut, ranjau, bekicot, dan lain-lain yang tidak boleh diinjak.

...

MERDEKA

            Ceklek. Begitu kubuka pintu kamarku, sudah ada Isabella dan Liora di sana.

            "Baba!" sapa Liora senang melihatku pulang rumah.

            "Baba!" tiruku.

            "Habis pacaran Bang?" tanya Isabella. Kini dia melempar senyum mesumnya.

            "Hhmm," gumamku mengiakan.

            Sepertinya Isabella tidak menyukai responku—atau kemajuan cintaku? Dia berbaring di kasurku dengan kaki dihentak-hentakkan merajuk campur frustasi. Tanganku refleks menahan Liora yang ikutan goyang-goyang naik-turun mengikuti gerakan kasur.

            "Aku yang ngasih masukan, kenapa malah hubungan Bang Deka yang lebih maju!" keluh Isabella. Rupanya Isabella cemburu karena kisah cintanya stuck di laci mejaku saja. Tidak ada perkembangan sama sekali.

            "Makanya jangan pacaran sama kertas," saranku menasehatinya. "Cari tuh yang jelas." Jari telunjuk yang menunjuk diriku. "Kelihatan kan?" lanjutku.

            Isabella tambah merajuk. Dengan tangan yang menopang kepalanya, dia memperhatikanku lekat-lekat. Aku jadi risih karena mau ganti baju.

            "Bang Deka beneran udah pacaran sama—"

            "Hhmm," potongku mengiakan pertanyaannya yang belum kelar.

            "Wow! Habis nge-date ke mana?" Isabella makin penasaran tentang hidupku yang berjalan lancar.

            "Rumah Dali—"

            Belum selesai aku menyebut nama gadis itu, Isabella sudah heboh duluan. "Wow!! Astagaaaaaa ... hebat banget abangku ini!"

            "Ngapain aja di sana? Hhm?" adikku makin penasaran, dari tidur-tiduran di kasurku mengubah posisi menjadi duduk manis dengan kaki yang dilipat.

            "Belajar." Aku sudah jujur, tetapi Isabella terlihat tidak percaya. "Serius. Abang lagi pamer ini. Kayaknya dia suka sama cowok yang pinter deh. Sekalian aja Abang unjuk kebolehan," ujarku. Ada rasa bangga saat aku menjelaskan beberapa materi yang gadis itu kurang paham. Apalagi saat Bara berkata kalau Dalila hanya pura-pura tidak mengerti agar menarik perhatianku. Padahal dari awal aku sudah tertarik padanya—tetapi tidak ingin kuungkapkan padanya agar dia terus meminta tolong padaku untuk diajari lagi.

            "Hhmm ... boleh juga rencananya. Jadi kalian berdua belajar doang di sana?"

            Aku lupa menjelaskan satu lagi. "Bertiga. Bara juga ikut," tambahku.

            Isabella menepuk dahinya dengan wajah—frustasi.

            "Bukan kencan namanya kalau Bang Bara juga ikut. Lain kali berduaan aja Bang, jangan ajak Bang Bara. Lagi pula ngapain juga Bang Bara ikutan segala? Nggak peka banget liat abang tercintaku lagi berjuang."

            Kalau melihat Isabella yang sekarang, sepertinya dia sangat mendukungku bersama Dalila. Seketika aku jadi makin sayang padanya—apalagi jika sekarang dia balik ke kamarnya karena aku ingin ganti celana dalam.

            Aku memberi kode padanya untuk putar badan. Isabella yang paham langsung mengangguk, dia juga membawa Liora untuk tidak melihat ke arahku.

            "Nggak apa-apa juga Bara ikut. Soalnya dia yang buka jalan," kataku selagi memakai celana rumah.

            Isabella diam sejenak seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.

            "Tapi deg degannya kakak ipar nggak akan secepat kalau kalian berdua aja."

            Baiklah. Akan kucatat sebagai alasan untuk mengusir Bara nanti.

**sekilas info: Kencan Kilat akan segera terbit di Bhuana Sastra. Pantengin IG @farvidkar @BhuanaSastra @BIPGramedia untuk info lebih lanjut ^^~

Continue Reading

You'll Also Like

2M 28.3K 21
(21+) adegan ini mengandung unsur dewasa yang tidak tahan menahan bisa minggir atau cari pelampiasan Alena Atmadja (20 tahun) memiliki sifat centil...
24K 3.3K 36
Seseorang pernah berkata pada Luka, bahwa yang terpenting tentang mencintai adalah pengorbanannya. Tapi Luka kemudian jatuh cinta pada Tera, si ambis...
Dialektiva By cand

General Fiction

315K 56.6K 50
Ini cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dos...
724K 132K 49
Steven Darmawan, pelaku ekonomi. Seorang pria sukses yang terlihat ramah dan karismatik meski sebetulnya arogan, perfeksionis, egois, dan sering mera...