Sekali Merdeka Tetap Merdeka

By farvidkar

1M 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 27

21.1K 2.5K 225
By farvidkar

DALILA

Hiks.

Aku tidak menangis. Aku hanya sedih karena sedang dikejar deadline. Karena sebentar lagi akan memasuki ujian tengah semester penerbitan buletin sekolah dipercepat. Semuanya sudah rampung, tetapi setelah bahan berita kami sodorkan pada guru Pembina, kami mendapat beberapa koreksi. Ingin ku bawa pulang saja ke rumah, tetapi akhir-akhir ini sering mendapatkan banyak PR. Aku tidak ingin fokusku di rumah terbagi-bagi. Sehingga kami kerja lembur di ruang ekskul. Seperti biasa, Rusli yang akan membelikan kami makanan di kantin. Tentu saja pakai uang kami masing-masing, dia sudah terlalu baik mau mengurusi isi perut kami.

"Udah makan? Kalau belum kita bagi dua aja," tawarku pada Rusli. Batagor yang dia beli ukuran jumbo. Aku tidak akan bisa menghabiskan ini.

Dengan senang hati Rusli mau. Tanganku bergerak cepat di atas laptop, mataku sesekali bergantian menatap laptop dan piring mika batagorku. Rusli membantuku memberi saran apakah kata-katanya sudah pas, apakah letak fotonya sudah pas, dan masih banyak lagi. Lebih baik meminta saran orang lain, karena kalau hanya mengandalkan diri sendiri hanya akan mengikuti selera sendiri saja. Belum tentu menurut orang lain sudah bagus.

"Kak, fotonya ditukar aja, biar foto ini yang jadi foto utama," saran Rusli, dia menyarankan foto full tim beserta coach Eli.

Aku menggeleng, "No. Merdeka nggak kelihatan jelas di situ."

Rusli diam saja tidak berkomentar lagi, sepertinya dia sudah sadar. Jika Michiko pilih Bara, aku punya Merdeka. Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada telepon dari Bara.

"Hhmm," sapaku malas.

"Di mana?" Bukan suaranya Bara, ini suaranya Merdeka. Sekali lagi aku memastikan nama yang ada di layar ponselku. Benar, ini nomornya Bara—bukan dari Sekali Merdeka Tetap Merdeka.

"Ini Merdeka bukan sih?" tanyaku pura-pura memastikan.

"Iya," jawab Merdeka. Aku jadi bingung kenapa dia pinjam ponselnya Bara untuk telepon aku. Padahal kalau dia yang telepon akan langsung ku angkat setelah dering pertama.

"Kenapa nelpon pakai ponselnya Bara?" tanyaku.

"Habis pulsa."

Astagaaaaaa. Rumahnya sama besar dengan rumah kerajaan di drama kolosal, dulu dia juga sempat tawarin aku uang untuk beli kuota, tapi dia sendiri tidak punya pulsa.

"Mau aku transferin pulsa?" tawarku yang sebenarnya ingin menggodanya.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku," kata Merdeka mengalihkan pembicaraan.

"Aku di ruang ekskul. Lagi sibuk. Nggak bisa makan bareng kalian. Jangan nyiapin kursi buat aku," jawabku. Dia pasti lagi menungguku di kantin—bersama Bara tentunya.

Merdeka kembali bertanya. Kali ini pertanyaannya berhasil membuatku tersenyum tidak jelas. "Tapi kamu udah makan? Kalau belum nanti aku bawain makanan ke sana."

Merdeka yang berkata seperti itu, tetapi aku melemparkan senyum pada Rusli. Raut wajah Rusli bergidik ngeri setelah bertatapan denganku. Rusli pasti mengira aku sedang tidak waras.

Merdeka mulai menunjukkan taringnya. Kalau seperti ini aku makin suka padanya.

Kalau dia lihat wajahku yang sekarang kira-kira dia bakal mikir apa, ya? Pasti dia mikir aku ini sangat sangat sangaaaaatt suka padanya.

Tapi aku sedikit heran, sejak kapan Merdeka jadi seperti ini? Seperti bertanya apakah aku sudah makan atau belum? Bahkan sampai menawari untuk membawakanku makanan segala. Aneh.

"Siapa yang ajarin kamu jadi perhatian kayak gini?" selidikku.

"Ayah, Isabella, Bara, coach Eli—hhm sama Google."

...

MERDEKA

"Sekarang pulsaku yang habis," sindir yang punya ponsel. Aku hampir lupa kalau ini ponselnya Bara. Setelah selesai teleponan dengan Dalila ku kembalikan ponsel ini pria itu. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih padanya.

"Biar aku yang bayar," kataku mendahalui dia. Karena Bara sudah mau meminjamkan ponselnya, makanannya biar aku yang bayar saja. Simbiosis mutualisme.

Sebelum kembali ke kelas aku berkata pada Bara untuk melewati ruang ekskul dulu. Dia manut saja, sepertinya dia tahu apa maksud tersembunyiku. Sepertinya tanpa sadar aku menunjukkan ketertarikanku pada gadis itu tanpa disembunyikan lagi. Aku jadi lebih sering berterus terang.

"Dalila!" Bara memanggil gadis itu untuk keluar. Dalila langsung menghampiriku, bukan menghampiri Bara.

"Hai," sapaku. Dia juga melambaikan tangannya padaku. Dari dalam ruangan ku lihat ada seseorang yang menatap kami penuh minat, temannya Dalila yang suka histeris saat menonton kami bertanding basket. Siapa ya namanya—waktu itu Dalila pernah bilang padaku. Hachiko? Yang jelas namanya mirip nama guguk di film Jepang.

Bara memberi kode padaku dan Dalila, katanya dia mau balik ke kelas duluan. Kami mengangguk.

"Lagi sibuk, ya?" tanyaku.

"Iya." Dalila tersenyum tipis-tipis. Aku tahu dia ingin tersenyum lebar padaku tapi sengaja ditahan.

"Aku ganggu?" tanyaku lagi. Dia menggeleng sambil tersenyum malu. Dia malu karena teman-temannya kini melihat ke arah kami. Tidak hanya si Hachiko saja, tetapi semuanya. Aku melemparkan senyum kaku pada mereka, kompak, semuanya langsung pura-pura sibuk.

"Sudah aman," kataku. Dalila melihat ke arah teman-temannya yang sudah tidak lagi melihat ke arah kami.

"Nanti kamu pulang jam berapa? Kita pulang sama-sama," kataku.

"Mungkin sekitar jam 5."

"Oke. Nanti aku jemput," kataku. Saat hendak aku ingin balik lagi ke kelas. Dalila tidak kunjung masuk ke dalam ruang ekskulnya, dia bilang tunggu hingga aku menjauh baru dia masuk ke dalam. Aku juga tidak mau pergi sebelum dia masuk ke ruang ekskulnya duluan.

"Kamu duluan," kataku.

Dalila menggeleng. "Kamu yang duluan pergi."

Tidak ada yang mau mengalah. Terpaksa ku putar kepala gadis itu hingga dia balik kanan. Kemudian ku dorong pelan hingga dia masuk ke dalam ruang ekskul. Setelah itu ku tutup pintu ruangan mereka. Biarkan saja mereka di dalam sesak napas karena pengap. Aku segera kabur. Tetapi aku balik lagi untuk membuka pintu itu—membiarkannya terbuka setengah. Lupa. Soalnya di dalam ruangan itu masih ada Dalila.

...

DALILA

Mereka semua bertanya-tanya padaku, apakah aku sedang dekat dengan Merdeka. Mereka juga berkata kalau sering melihat interaksiku dengan Merdeka. Pertama, orang-orang mengira aku berpacaran dengan Bara, tetapi aku membantah hal itu. Hanya karena aku sering pulang bersama-sama dengan Bara, belum tentu kami berpacaran. Kami hanya tetanggaan. Nah kalau yang satu ini aku tidak membantah, akan kujawab dengan jujur. Aku bilang pada mereka yang bertanya kalau aku memang sedang dekat dengan Merdeka karena Merdeka sahabatnya Bara, aku juga sering bertemu dengannya saat menyusun berita tentang tim basket. Kalau masalah pdkt aku tidak berkoar-koar tentang itu. Kurasa itu masalah pribadi.

Setelah pulang sekolah aku langsung sibuk di ruang ekskul. Kami rapat dan mendapat arahan lagi. Tetapi sudah ada titik temu masalah. Tinggal beberapa bagian saja yang mendapat koreksi. Kemungkinan besar akan rampung minggu ini dan akan segera dicetak.

Michiko mendekatiku, gadis itu menyodorkan laptopnya. "Aku nggak suka foto ini. Wajahnya Bara nggak kelihatan jelas," komentarnya. Aku malah sengaja pasang foto yang itu karena Merdeka terlihat jelas. Dari ujung kaki sampai ujung kepala kelihatan jelas, gayanya juga sangat macho, yang jelas fotonya enak dipandang.

"Please ganti," bujuk Michiko. Gadis itu berkata buletin sekolah ini bakal jadi kenangan terakhirnya bersama Bara. Karena tahun berikutnya kami sudah lulus. Bara dan semua anak kelas tiga juga tidak akan main basket lagi. Michiko masih membujukku habis-habisan. Aku pura-pura budek.

Setelah pergulatan di atas meja ruang ekskul, akhirnya tugasku sudah selesai. Finally aku bisa pulang lebih cepat. Berita yang sudah ku perbaiki sudah digabungkan dengan berita yang teman-temanku susun. Aku bersiap-siap untuk pulang. Sudah ada seseorang yang menungguku.

Benar saja, Merdeka sudah menungguku tidak jauh dari ruang ekskul. Dilihat dari samping, tubuhnya tinggi, berisi tapi tidak terlihat gemuk, pokoknya proporsional. Dia bersandar di dinding sambil memainkan ponselnya. Ranselnya ditaruh di lantai.

Apa dia nggak takut ranselnya kotor? Ahhh ... Abaikan.

Yang jelas saat ini dia terlihat seperti model. Aku berandai-andai, kalau aku pacaran dengannya apakah aku terlihat seperti kentang? Dia punya visualnya cowok Indonesia. Sementara aku? Setelah berkaca di layar ponsel, ku pikir aku lumayan manis.

Dia sadar keberadaanku. Aku segera menahan dia agar tidak bergerak. "Bentar dulu," kataku. Dia diam masih dengan posisinya yang tadi.

"Kenapa?" tanya Merdeka.

"Kamu ganteng."

Bahhhhhhhh! Kepalaku tadi sempat terbentur apa?!

Tapi aku mengutarakan pendapatku dengan sepenuh hati. Kalau ganteng akan ku bilang ganteng, kalau buluk tentu akan ku bilang sedikit di bawah rata-rata. Tidak ada yang jelek, hanya sedikit kurang beruntung saja saat pembagian wajah tempo lalu sebelum lahir.

Oho ... dia seneng?

Dibilang ganteng dia cuma nyengir. Kalau nyengir aku bisa makin gila. Aku bersyukur pada Tuhan karena mengizinkan masa-masa SMA ku begitu berwarna. Aku bersyukur ada cowok seperti Merdeka yang suka padaku.

Dia mengajakku untuk segera pulang. Katanya risih jika ditatap terus olehku. Aku menurut. Kita jalan berdampingan. Sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang baru pulang dari kegiatan ekstrakurikulernya. Salah satunya Merdeka yang juga baru selesai latihan basket. Katanya dia hanya menghabiskan waktunya saja di sana sambil menungguku pulang. Kode bangetttt.

Dari kejauhan aku melihat sesuatu. Familiar. Isabella bersama dengan beberapa anak lelaki yang wajahnya tidak jelas karena membelakangiku. Ternyata adiknya Merdeka populer juga—kukira yang Isabella akui lalu hanya kenarsisannya saja. Aku berjalan duluan mendahului Merdeka. Jika Isabella sedang ditembak, aku ingin menguping pembicaraan mereka. Langkahku terhenti seketika ketika melihat sesuatu yang tidak beres.

"Liatin apa sih?" tanya Merdeka. Entah matanya bermasalah atau tidak, aku saja bisa melihat dengan jelas siapa yang ada di sana dan apa yang terjadi di sana.

"Adik kamu nangis," kataku menunjuk ke arah Isabella yang berdiri tidak terlalu jauh.

Aku tidak punya kakak atau adik. Sepertinya inilah yang akan terjadi jika adikmu diganggu oleh seseorang. Baru kali ini aku melihat Merdeka menonjok seseorang.

Bukkkk.

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 177K 42
Kirana tuh cewek yang gengsinya setinggi langit, tapi hari Valentine tahun ini dia terpaksa ikutan ngirim coklat biar nggak jadi beban sahabat. Masal...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 72.5K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
1.8M 138K 51
"Kamu melepaskanku dan aku melupakanmu. Itu wajar." Mana berhak Nala menyebutnya 'mantan'? Kata Jess, bertemu mantan adalah salah satu hal tersulit y...
Dialektiva By cand

General Fiction

315K 56.6K 50
Ini cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dos...