Sekali Merdeka Tetap Merdeka

By farvidkar

1M 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 19

22.9K 2.6K 123
By farvidkar

DALILA

Speachless. Yang tidak diundang datang tiba-tiba. Aku jadi kasihan pada Ibra. Dia terlihat seperti orang yang bersalah saat ini. Lagi pula aku cukup heran pada Merdeka, datang-datang langsung banyak tanya. Rasanya seperti diinterogasi.

"Di sebelah mana tempatnya?" tanya Merdeka. Sepertinya dia ingin mengetahui letak rumah makan yang dimaksud Ibra. Padahal tadi Ibra sudah mengirim share location padanya.

"Kan tadi Ibra udah ngirim maps-nya. Coba cek ponsel kamu," kataku geregetan. Merdeka membuat driver taksi kami menunggu. Aku tidak enak pada Bapak itu.

"Ribet," jawab Merdeka. Aku jadi geregetan sendiri lihat kelakuannya. Merdeka itu seperti sedang mengulur-ngulur waktu.

Di tengah kekesalanku Bara datang menolong. Dia selalu datang tepat waktu bagaikan pahlawan yang tidak datang kesiangan.

"Bara, ajarin Merdeka baca maps gih," kataku kemudian melambaikan tangan pada mereka berdua. Aku dan Ibra segera naik ke dalam mobil dan meninggalkan mereka.

Mobil berjalan. Aku menatap kaca spion, melihat Merdeka yang masih menatap mobil ini bergerak. Tiba-tiba suara Ibra membuyarkan lamunanku.

"Deka kayaknya marah," kata Ibra. Aku menggeleng.

"Nggak tuh. Nada bicaranya nggak ada yang melengking," kataku.

"Dia marah ke aku, wajahnya nggak nyantai," kata Ibra meringis. Aku mengingat kembali wajah Merdeka tadi. Wajahnya memang seperti itu dari dulu. Melihat wajah meyakinkan Ibra membuatku percaya jika Merdeka memang marah.

Ohooo tidakkkk! Aku jadi banyak berharap kalau Merdeka cemburu pada Ibra!

Kini aku sangat yakin, tapi malu mengakuinya. Aku takut kalau Merdeka tidak menaruh perasaan padaku setelah aku mendeklarasikan kecemburuannya itu. Aku yang bakalan malu. Aku butuh pengakuan dari orang lain, mungkin Ibra bisa memperkuat keyakinanku.

"Ibra, menurut kamu si Merdeka suka sama aku?" Hanya ada aku, Ibra, pak driver, dan Tuhan yang mendengar pembicaraan ini. Tidak masalah untuk bertanya pada Ibra, ketimbang menanyakan hal ini pada Bara yang terlalu sering bermain.

"Kayaknya sih iya," jawab Ibra. Aku lebih yakin jika bertanya pada laki-laki. Mereka lebih meyakinkan, karena Ibra dan Merdeka sama-sama lelaki, mereka lebih paham seperti apa jika laki-laki suka pada seorang perempuan, apakah mereka cemburu, dan lain-lain. Jawaban Ibra membuatku semakin yakin.

...

Aku makan sampai kenyang. Ibra tidak tanggung-tanggung mentraktirku. Lain kali aku mau kena tendang lagi—asalkan tidak sakit. Tapi bohong. Mana ada yang mau kena tendang kepalanya demi ditraktir makan.

"Mau nambah?" tawar Ibra. Perutku tidak bisa melar lagi. Aku menolak tawaran itu dengan sebuah kata terima kasih.

Tempat makan kami memang nyaman, ramai pula, aku jadi penasaran apakah Merdeka akan menyusul kami kemari. Tadi Merdeka banyak bertanya pada Ibra, bahkan sudah dikirim lokasinya. Sejak awal aku tiba di sini mataku mencari lihat siapa saja yang baru masuk ke dalam restoran, apakah Merdeka akan datang. Tetapi hingga piringku bersih dia tidak kunjung datang. Rupanya Merdeka tidak seperti cowok di drama-drama yang tiba-tiba muncul di hadapanku.

"Aku pikir kalian udah pacaran, ternyata masih pdkt." Pdkt katanya? Aku malu karena Ibra membahas tentang hubunganku dan Merdeka. Tapi dibilang pdkt juga agak gimana yaa ... aku dan Merdeka Masih jauh dari tahap pdkt. Kita berdua masih sangat canggung dan cara dia mengajakku jalan juga sedikit aneh. Mungki akan kuanggap saja pra-pdkt. Bahkan rencana kita berdua untuk nonton di bioskop juga batal, aku malah menemaninya ke rumah sakit.

"Coba jelasin dari mana kamu lihat hubungan aku dan Merdeka udah sampe tahap pdkt? Soalnya jujur aja, ekspektasi itu jauuuh bangetttt," kataku. Entah mengapa aku jadi mulai dekat dengan Ibra. Dia enak diajak curhat. Apalagi potongannya juga sama seperti Merdeka. Dia kalem, tidak terlalu banyak bicara, tidak heboh, pokoknya golongan anak manis.

"Kamu ingat waktu Deka nendang bola ke kepala aku? Aku takut banget walau dia bilang nggak sengaja," ungkap Ibra meringis.

Aku ingin tertawa. Saat itu aku juga ketakutan. Merdeka bilang tidak sengaja, tapi wajahnya bengis banget. Apalagi kata orang-orang yang ada di sana Merdeka memang saat itu sengaja minjam bola untuk nendang ke Ibra.

"Dia bilang nggak sengaja tapi aku tahu dia pasti sengaja," kata Ibra lagi. Sekarang dia menatapku seolah ini semua adalah salahku. Berarti Ibra juga meyakini kalau Merdeka menyukaiku. Banyak yang sependapat, tetapi aku tidak yakin jika Merdeka tidak kunjung bergerak. Dia tipe cowok silent, bergerak dengan halus, tinggal tunggu saja hingga kami lulus sebentar lagi. Siapa tahu tiba-tiba aku sudah berpacaran dengan orang lain karena dia terlalu lamban.

"Ngomong-ngomong ... kamu ngajak aku makan bukan karena ada maksud lain kan?" selidikku. Ibra terlihat bingung dengan tatapanku yang menyelidik. "Kamu nggak naksir aku?" pertanyaanku ini langsung mendapat penolakan mentah-mentah darinya. Bagus deh.

"Mau bantu aku gak?" kataku langsung to the point.

...

MERDEKA

"Tenang, bentar lagi juga dia pulang."

Aku mengabaikan perkataan Bara. Aku tidak menunggu Dalila, aku hanya penasaran kenapa jendelanya tidak kunjung dibuka. Padahal siang ini cuacanya panas sekali, walaupun di kamar Bara menggunakan AC tetap saja panasnya menusuk. Aku lebih suka udara langsung dari angin yang berhembus. Aku menutup kembali jendela kamar Bara.

"Makan dulu," kata Bara menyodorkan kue yang dibeli orangtuanya. Ada beberapa kue yang merupakan kue khas Manado. Ada panada, cucur, dan nasi jaha. Di antara ketiga kue itu yang ku suku adalah cucur. Rasanya manis gula merah, tetapi yang paling enak bagian ujung luarannya yang kering. Dulu aku pernah makan kue ini di rumahnya Bara, aku jadi ketagihan.

Sambil makan kami bermain game, aku menggunakan laptop sedangkan Bara menggunakan PC nya. Aku jadi lupa niat awalku ke sini untuk apa, yang jelas aku jadi lupa waktu karena bermain game. Nanggung sekali jika kalian berada di ujung tanduk kemudian mati. Aku masih penasaran kenapa saat itu aku menyisakan satu bar nyawa. Sehingga aku ingin membalaskan kekalahanku. Kami terus bermain hingga hari sudah gelap.

Ponselku berbunyi. Ada telepon dari Bunda.

"Kenapa belum pulang?" tanya Bunda begitu panggilan teleponnya kujawab.

"Lagi main di rumah Bara," jawabku.

"Bukan main ke rumahnya Dalila?" Batin seorang Ibu memang paling dahsyat. Aku heran apakah bundaku itu mengirim mata-mata.

"Bukan," jawabku kalem.

"Rumahnya Dalila di mana?" Heran, kenapa Bunda malah tanya rumah gadis itu.

"Di samping rumahnya Bara."

Bunda tiba-tiba heboh. Aku juga bisa mendengar suara adik pertamaku si Isabella yang berteriak histeris. Semenjak pertemuan orangtuaku dengan Dalila di rumah sakit, Isabella sering menggodaku. Dia bertanya Dalila itu yang mana? Kelas berapa? Apakah Isabella mengenalnya. Pasti orangtuaku yang menceritakan hal ini pada Isabella.

"Pantesan nggak pulang rumah," celetuk Bunda. Aku tidak mau membantah. Biarkan saja. "Yaudah pulangnya jangan malam-malam ya," lanjutnya.

"Bang Deka semangat!!!!" teriak seseorang di telepon yang kutahu itu suara Isabella. Tak lama setelah itu panggilan telepon ditutup.

"Tadi suaranya Isabella?" tanya Bara. Aku mengangguk.

"Cempreng banget," komentar Bara. Aku tidak membantah, itu fakta.

Kami lanjut bermain game. Kemudian berganti membaca komik. Kata Bara beberapa komik yang ada di kamar adalah punya Dalila. Selera komik gadis itu sedikit aneh, dia suka membaca boys love, ada pula beberapa yang dipinjamkan pada Bara bertuliskan dewasa 21+. Rata-rata komik romance yang dipinjamkan, aku tidak tahu apakah Bara yang minta atau gadis itu dengan senang hati menyarankan Bara membaca ini.

"Lo suka baca ginian?" tanyaku menunjukkan sebuah komik boys love. Jujur ini jauh dari seleraku. Tetapi pecinta komik dan manga seperti ini memang banyak. Aku sering mendapati anak-anak perempuan menyukai genre seperti ini, komentar mereka bisa berjibun.

"Dipaksa sama Dalila. Katanya cuma mau mengingatkan kalau jumlah manusia di bumi ada 7,7 miliar jiwa dan dia turut simpati pada perempuan yang tidak punya kekasih karena saat ini yang tampan lebih menyukai yang tampan juga," jelas Bara.

Karena penasaran aku membaca beberapa lembar komik itu. Aku menghargai privasi seksualitas manusia. Tidak masalah kalian mau suka sesama jenis atau tidak, hati kalian ya kalian yang atur, bukan aku. Ngurusin hati sendiri saja sudah ribet, gimana mau ngurusin hati orang lain. Lagi pula kita sama-sama numpang hidup di dunia ini, jadi masing-masing saling mengatur hidup sendiri dengan membuat cerita hidupnya masing-masing. Sedangkan urusan melanggar norma keyakinan aku tidak mau banyak membahasnya, terlalu sensitif, tetapi kita semua tahu hal itu ada konsekuensinya di akhirat—entahlah aku tidak tahu apakah masih bisa dinegosiasikan dengan Atid atau tidak. Yang penting para lelaki di komik itu jangan mengincarku, walau aku tampan tetapi aku sudah punya orang yang kusukai.

Tiba-tiba Bara keluar ke balkonnya. Dia sibuk dengan seseorang di telepon.

"Buruan keluar," kata Bara pada orang yang ada di seberang telepon.

"Apaan sih, baru kelar mandi tauuu." Aku mendengar suara yang familiar.

Aku langsung keluar mengikuti Bara. Ku lihat Dalila dengan wajah kesalnya. Gadis itu memakai pakaian tidur, di kepalanya ada handuk yang melingkar. Pada wajahnya ada beberapa krim yang ditotol tidak beraturan.

"Ada yang nungguin dari tadi." Bara sialan. Kenapa pula dia bicara sambil menatapku seperti itu.

"Aku kira kamu mau nyusul ke restoran," kata gadis itu sambil mengusap-usap krim di wajahnya hingga merata.

"Nggak," jawabku. Aku tidak tahu mau berkata apa lagi. Aku sadar tadi aku bertindak seperti orang yang cemburu. Aku tidak mau kalau dia sampai berpikir aku sedang cemburu pada Ibra. Kepalanya bisa membesar, aku khawatir kepalanya akan bisa menggeser kerak bumi.

"Cuma penasaran aja tempatnya di mana. Rencananya mau ajak adik aku makan di situ," kataku. Dia manggut-manggut mengerti.

Krik ... krik ... krik ...

Aku tidak punya topik untuk dibahas. Dalila juga sibuk meratakan krim di wajahnya, sepertinya dia menunggu aku yang membuka topik duluan.

"Nggak ada lagi yang mau dibicarain? Aku balik ke kamar ya." Gadis itu betulan balik kanan.

"Dalila!" panggilku. Dia berhenti di tempat dan menatapku lagi. Ku lihat kali ini Bara yang melangkah masuk ke kamarnya. Membiarkan aku dan Dalila berdua.

"Bagaimana ... tadi acara makannya sama Ibra?"

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 243K 39
(SUDAH TERBIT, BISA DI BELI DI SELURUH TOKO BUKU DI INDONESIA) Tinder, satu dari sekian banyak dating aplikasi yang mempertemukan banyak orang. Dan...
27.4K 3.1K 34
Katanya aku perempuan secantik matahari terbit, nyatanya aku tidak seperti itu. Alih-alih matahari, mungkin aku lebih mirip seperti bulan. Batuan gel...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 71.8K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
133K 12.5K 30
Shaun itu gak bisa bilang "R" dengan benar, alias cadel. Shaun si anak kesayangan papa Siv karena dia adalah anak bontot, anak sulung, anak tengah, A...