Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

19K 3.2K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 2.12

104 21 63
By monochrome_shana404

"Kupikir Eleonor benar-benar berbaik hati membiarkan mereka menikmati waktu bersama."

Persis seorang pemuda tengah bersantai di sebuah kafe itu akhirnya berujar. Dia hanya sendirian, bersama secangkir teh yang kemudian ia angkat tinggi-tinggi sejajar kepada pemandangan yang tengah ia terawangi.

Kala tersenyum, manik yang bersembunyi di balik lensa kontak hitam itu mendelik. "Kupikir akhirnya akan menyenangkan. Terima kasih atas pertunjukannya yang luar biasa, sayangku."

Begitu ia menyesap teh, orang-orang berbondong-bondong keluar dari kafe, tertarik dengan kericuhan yang terjadi di luar sana. Tapi tidak dengan dirinya. Dia lebih memilih keluar dari belakang tepat setelah meletakkan uang di atas meja, lantas menyenandungkan sebuah lagu klasik yang berputar di dalam kepalanya.

~*~*~*~*~

Sengatan di dalam kepala Akira belum juga berhenti. Dia benar-benar buta. Berusaha mengakses kameranya sama sekali tak membuahkan hasil.

"Aki ... ra ...."

Walaupun samar, ia mampu mendengar suara Kirika. Terdengar seperti nyaris kehabisan napas.

... Aku mencekik Madam?

Dia bisa mendeteksi kedua tangan berjemari lentik itu mencengkeram tangan kanan yang tengah mengangkat lehernya tinggi-tinggi. Terus sang Madam memberontak selagi suara riuh mulai mengganggu pendengarannya.

"Madam ...." Akira sedikit tersentak mengetahui ia masih bisa bersuara. "Saya tidak bisa mengendalikan diri."

"Ah ... tentu saja. Aku mengambil alih kendalimu."

Itu bukan suara Madam. "Profesor Radiovalenka ...."

Kirika tersentak, tetapi sedikit pun ia tidak mengendurkan cengkeramnya pada tangan Akira.

Di dalam dirinya, Akira melawan. Meski sulit mengakses kamera, setidaknya ia masih bisa beralih mengembalikan fungsi anggota tubuhnya. Dalam waktu singkat, ia berhasil mengambil alih kembali kendali tangannya. Lantas melemparkan Kirika dengan asal.

"Madam, lari!" Dia kemudian memekik tepat sebelum sengatan di kepalanya kembali menyakiti dirinya.

Sementara Kirika yang terduduk masih terpaku kepada Akira yang mengeluarkan kedua bilah pedangnya. Sontak ia mengedarkan pandangan ke sumber pekikan kerumunan yang tak begitu jauh dari mereka.

"Keras kepala sekali ... sepertinya aku tidak memiliki pilihan, ya, Akira?" Eleonor kembali bersuara kala Akira menggerakkan bilah pedangnya secara paksa ke leher. "Aktifkan mode manual."

Seketika Akira menegang, berdiri membatu di tempat.

"Akses kamera diizinkan, aktifkan mode bertarung penuh; emosi netral." Saat itu Akira mengedip. Lensa sebiru langit utuh tergantikan dengan warna darah. Pastilah Eleonor akan tersenyum puas jika melihatnya demikian nun jauh di sana.

Sejenak, suara si profesor yang terus terngiang di kepalanya yang kosong menjeda. Dia masih berdiam, tak acuh meski lensanya menangkap Kirika yang sedang memandang nanar.

Pada akhirnya, suara Eleonor memberikannya sebuah ultimatum.

"Hancurkan Kirika Alford."

Kepala Akira menoleh kaku kepada target.

"Dimengerti. Mengunci target : Kirika Alford."

Begitu roketnya muncul mengoyak kemejanya, ia melesat sembari menghunus bilah pedangnya yang satu. Pekikan orang-orang terdengar kala ia sampai dan mengarahkan bilah pedang ke jantung Kirika.

Beruntung ia lebih cepat menghindar. Lekas ia bangkit tanpa menunggu Akira mencabut pedangnya yang tertancap ke batu trotoar. Kirika mengambil jarak, melepas sepatu untuk mendapatkan sebuah pisau yang tersimpan di dalam hak.

Seseorang di tengah kerumunan baru saja hendak merekam. Tapi seketika ponselnya mati. Itu tidak terjadi hanya pada dirinya. Orang-orang di sekitar juga mengeluhkan hal yang sama.

Akira melakukannya. Begitu Kirika menduga dalam hati, setelah menyadari listrik dari beberapa tempat juga ikut padam. Merasa ia benar-benar dijadikan satu-satunya target, maka Kirika memutuskan untuk berlari menjauhi kerumunan.

Namun, tentu kecepatannya kalah jika dibandingkan roket milik Akira. Si android mendarat tepat di hadapannya, membuat Kirika mau tak mau melawan dengan pisau kecil yang ia punya. Pisau kecil tersebut sedikit lebih tebal, agaknya masih ampuh untuk beradu melawan bilah pedang Akira.

Hanya saja, Kirika tak memiliki tenaga lebih untuk mendorong bilah Akira lebih jauh. Pasalnya, pedang itu semakin dekat ke arah lehernya. Memaksakan diri pun tidak membuahkan hasil yang lebih.

"Kembalilah, bodoh!" Kirika memaki, merasakan tangannya telah gemetar tak tahan. Pada akhirnya ia merelakan bagian atas dadanya tergores, kemudian memberikan tendangan samping ke kepala Akira.

Kamera Akira sedikit terguncang, ia sempat membatu dengan posisi membungkuk. Kesempatan ini Kirika ambil, lantas memilih melarikan diri menjauhinya.

Dia tak lagi peduli ke mana ia harus pergi. Sekelilingnya temaram. Tidak ada waktu untuk memedulikan darah yang merembes di baju terusan putih yang ia kenakan. Dia terus berlari sekencang mungkin, tak peduli berapa pasang mata tertuju padanya, konon lagi bermacam-macam ekspresi dari mereka.

Kirika tidak akan berbalik, dia tidak akan menoleh ke mana pun. Dia tidak ingin meresapi sakit yang mulai terasa di telapak kakinya yang entah berasal dari bekas pijakan batu-batu tajam, atau kaca yang belum sempat terbuang ke bak sampah.

Mendengar suara tapak langkah terdengar lebih dekat, Kirika segera merunduk dan berbalik. Lagi, dia menghindar tepat waktu sebelum bernasib sama seperti tiang rambu yang telah terbelah dua. Dengan sigap ia memungut tiang tersebut, menjadikannya sebagai senjata sementara.

Tapi kali ini Akira tidak menggunakan bilah pedangnya. Segera ia mengarahkan telunjuk yang telah terbuka ke kepala Kirika. Saat peluru tertembak, Kirika mengelak dan mendorongnya dengan tiang rambu sekuat tenaga. Sayang, sebelum utuh punggungnya menabrak tembok, Akira lebih dulu mengaktifkan roket dan melesat ke posisi lebih tinggi.

Kelima jari Akira dari tangan kanan telah terbuka ujung-ujungnya. Sekali lagi ia mengarahkannya kepada Kirika selagi kamera mulai membidik dengan cermat. Cepat-cepat Kirika menurunkan tiang rambu, kali ini menjadikan gambar rambu sebagai tameng.

Satu tembakan berhasil lolos melukai lengan kanannya. Tanpa menunggu Akira selesai, ia mengerahkan kekuatan melemparkan tiang kepadanya yang langsung ditebas.

Kembali Akira melesat kepada Kirika yang tak sempat mengelak. Dia terbanting, kepalanya terbentur keras. Lekas Akira mengambil kesempatan mengunci pergerakan kala Kirika meringis melawan nyeri. Baru ia mengangkat bilah pedang tinggi-tinggi, menargetkan jantung Kirika tanpa ragu.

Hendaknya Kirika berpasrah diri dengan memejamkan mata erat-erat sembari berpaling, tetapi ia urungkan niat itu kala mendengar suara jeritan seseorang. Muasalnya dari pria asing yang kemudian melompat ke Akira. Tapi ia tampak benar-benar sedang berusaha menghentikan pergerakan Akira.

"Hentikan perbuatanmu!" teriak pria asing tersebut. "Madam Kirika, cepatlah pergi! Saya-"

Belum selesai ia berujar, secepat kilat kepalanya terputus. Orang-orang di sekitar memekik, di antaranya mulai menjauh selagi leher si pria asing memancurkan darah. Pun jasadnya menghantam tanah, membiarkan cairan merah itu menggenang.

Tidak hanya Akira, Kirika kini ikut berlumur darah. Dia sudah terlepas dari Akira, tetapi tak lagi memiliki kuasa untuk bergerak lagi.

Pandangannya kabur, maniknya sama sekali enggan berkedip dari delik ngeri. Terus ia berpaku tatap kepada Akira yang mulai bangkit perlahan. Di situ ia menggeleng menyadarkan diri.

Kirika mengulurkan tangan kiri. Penutup arlojinya terbuka, menjadi pembidik.

Hanya satu peluru ....

Satu kesempatan mendorong Kirika bersungguh-sungguh dalam membidik di tengah remang. Mendapati Akira semakin dekat barangkali akan mempermudahnya.

Sekali hentakan yang ia buat, ternyata sukses memancing Akira mengelakkan kepala. Segera Kirika benar-benar menembak ke sasarannya.

Salah sebuah kamera.

Peluru melesat cepat, utuh menusuk lensa Akira yang kemudian pecah. Gangguan yang ia dapatkan dari salah satu penglihatan sejenak membuat Akira membatu di tempat.

Tapi itu tak berlangsung lama. Sebab kali ini ia tidak akan membiarkan Kirika lari lagi.

Roketnya kembali aktif, membantunya melesat untuk mendapatkan leher Kirika. Tidak sekadar mencekik dan mengangkatnya, Akira bahkan membawanya melayang.

Kirika mengamati mimik datar si android di kala ia memberontak. Nanar tatapannya, melemahkan seluruh tenaga yang hendak melepaskan diri.

Persis sama seperti pertemuan pertama ....

Demikian Kirika mengulurkan tangannya, berusaha meraih wajah Akira dengan gerakan patah-patah. Seiring napas yang hampir habis, pemandangannya mulai memudar.

Setidaknya kilatan biru di lensa merah itu mengembalikan secercah harapan di hatinya.

"Madam ...."

Kirika memaksakan matanya terbuka ketika mendengar suara yang berujar lirih itu dengan kesadaran dan tenaga yang masih tersisa. Tapi tak lama ia mendapatkan Akira menggeleng keras, utuh tanpa sedikit pun keraguan di dalam dirinya melemparkan Kirika begitu kasar ke sebuah gedung kaca.

Bersama kesadaran yang tersisa dari napas yang telah ia dapatkan kembali, Kirika ingat ia menghantam kaca hingga pecah berkeping-keping. Saat itu, samar-samar terdengar suara pekikan orang di sekitarnya tepat ia mendarat di meja. Tekanan yang diberikan terlampau besar sehingga meja ikut terpatah, sukses mengantarkan Kirika ambruk ke lantai.

Entah kesekian kali Kirika kembali menerima remuk di bagian punggung. Hebatnya, ia masih berusaha menggerakkan anggota tubuhnya.

Baru ia dengar roket yang berdesing keras, seketika suaranya menghilang begitu saja ketika sepasang kaki berbalut sepatu kets mendarat di hadapannya.

Dia mendapatkan Akira yang samar-samar melangkah mendekat.

Akan tetapi, setelah menjejakkan tiga langkah, si android berhenti dan merentangkan kedua tangan. Seketika gerakan itu mengundang manik delima terbelalak sempurna.

"Tidak ... Akira," lirih Kirika sekuat tenaga. Keringat mulai ia rasakan membasahi sekujur tubuhnya selagi ia memaksakan kehendak meraih Akira.

Tanpa aba-aba, tanpa siapa pun yang meminta di sekitar sini, dua rudal melesat ke arah yang berlawanan. Pun, meledak begitu saja menghantam saklar yang kemudian mengobarkan api begitu cepat.

Tidak satu atau dua, barangkali terdapat puluhan korban. Kirika tidak tahu. Namun, memikirkannya saja sudah berhasil mendatangkan tatapan nanar di matanya.

Begitu lama Akira memandang lurus kepadanya. Agaknya ia tidak lagi berminat untuk menyerang. Jadi ia langsung berbalik tanpa berkata apa-apa.

Lagi, langkah Akira terhenti setelah menapak cukup jauh. Kali ini bukan karena kepalanya menerima perintah.

Dia menoleh kepada sumber penghambatnya. Kirika, dengan jejak darah hasil seretan dirinya tengah mencengkeram kaki Akira keras-keras.

Akira tanpa ragu menghunus bilah pedangnya.

"Agaknya manusia merupakan ciptaan Tuhan yang teramat keras kepala." Akhirnya ia bersuara sembari membungkuk. Dia meraih tangan yang sedari tadi menahan kakinya, membalas cengkeram dengan cengkeram yang lebih keras. "Mereka tidak akan berhenti ... sampai mereka bisa menang."

Sebelum adrenalin Kirika terlonjak karena ledakan keras, dia lebih dulu dikejutkan oleh sensasi nyeri dari lengan. Pasalnya, Akira memelintir tangannya begitu perlahan, tetapi amat pasti mengantarkan rasa sakit hingga empunya bisa mendengarkan suara patah dari tulangnya sendiri.

Kirika terbelalak sembari mengerang hebat. Selagi kaca terpecah oleh sebab tak tahan dengan panasnya lidah api yang tercermin di bilah pedang Akira tengah mengayun, seketika ia merasakan kebas di lengan atasnya.

Manik delima itu mendelik perih, membiarkan air mata mulai menetes.

Akira benar-benar menebas lengan kirinya tepat sebelum ia pergi, membiarkan darah terus mengucur deras; pula menggenang penuh merembes ke baju. Akira tetap membawa lengan itu sampai di ambang pintu, tepat sebelum ia melesat tinggi bersama roketnya.

Sementara empunya lengan tak lagi kuasa menahan rasa sakit di tempat. Terlalu enggan jika ia harus berguling untuk meringkuk sambil menangisinya. Namun, sesungguhnya air mata sudah terlanjur banjir membuyarkan penglihatan, terus berdatangan dan bergabung dengan genangan darah.

Kirika pada akhirnya menemukan langit malam yang masih seindah tadi. Dia benar-benar melihat roket tersebut terbang menjauh, bergabung bersama bintang-bintang. Tak lagi ia berkeinginan peduli untuk melarikan diri dari api yang terus menyambar di sekelilingnya.

Energinya sudah utuh lenyap. Matanya terasa berat, berbeda dengan bobot tubuhnya yang kian ringan ia rasakan. Bahkan reruntuhan yang jatuh di sekitarnya, ia abaikan.

Manik delima itu utuh menutup mata, meninggalkan dunia nyata.

Bahkan Kirika tak sempat menengok seseorang tengah berjalan tenang mendekat ke arahnya. Pria muda berlensa kontak hitam memandang Kirika dengan kepala terteleng, berikut dengan seringai kecil terulas seusai ia mengeluarkan tangan kanan dari kantong.

"Agaknya mereka bekerja sedikit ekstra. Nona Alford yang malang." Demikian ia berjongkok dan menggendong Kirika, lantas menjauh tepat sebelum reruntuhan selanjutnya jatuh mengenai mereka.

Enggan rasanya langkah kaki tersebut berhati-hati kepada setiap reruntuhan yang hendak jatuh. Namun, toh mereka seolah tahu akan ada yang lewat, sehingga rentetan reruntuhan tersebut hanya akan jatuh tepat si pria muda melewatinya.

Sejenak ia berhenti. Seringainya yang khas kian melebar tepat ia memandangi si wanita yang berdarah-darah. Sementara riuh terdengar semakin marak dari luar.

"Tidakkah menurutmu pertunjukannya juga menyenangkan?" Pria muda kembali mengoceh tepat ia mulai tertarik mengusap wajah Kirika.

Agaknya ia ingin membuang waktu lebih lama di dalam gedung yang nyaris seutuhnya tertelan api. Ya, tak lebih sekadar untuk mengoceh kepada seseorang yang tidak akan sadar dalam waktu dekat.

Tapi ia memilih melanjutkan langkahnya. Agaknya, ia berubah pikiran mengingat panas mulai menyengat.

"Bertahanlah lagi, mengerti? Kita harus menyelesaikan permainannya."

Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 284 5
[Tamat dan pindah ke Dreame] ~~~ Setelah orangtuanya cerai, hubungan Sino dan ayahnya menjadi tidak baik. Hanya tersisa keheningan di rumah mewah mer...
556K 109K 38
b e i g e ㅡ p r o j e c t (3)
23.3K 2.1K 20
[Tamat] Seth menemukan bakat anggar Rae saat gadis itu mengalahkannya bermain Foil di Westcoustine Tea Party. Mereka berdua pun menjadi tak terpisahk...
7.8K 1.4K 31
[Reading List WIA Indonesia Periode #5] | Dark Fantasy | High Fantasy | Thriller | Adventure | Dalam gelapnya malam, seorang gadis terbangun dari mi...