Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18.3K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 2.11 [2/2]

78 20 58
By monochrome_shana404

Kirika mengerti jalur roller coaster ini. Terowongan bawah tanah merupakan lintasan menegangkan terakhir sebelum mereka berbelok ke pemberhentian. Dia melangkah ke sana dan menunggu di bawah tepat di salah satu sisi. Setidaknya ia tidak akan menghalangi jalan keluar nantinya.

Akira tahu. Tentu ia tidak segera menemui Madam. Di tingkatan tangga ketiga, ia melompat ke sisi berlawanan. Sukses ia mendarat tanpa suara lantas Akira bergegas mencari sesuatu untuk diberikan kepada Kirika. Sebuah ucapan terima kasih sebab telah rela menunggu, begitu menurutnya.

Tapi karena terlalu mendadak, sulit bagi si android memutuskan benda macam apa yang harus ia berikan. Tentu ia hanya sekadar mengingat satu hal yang identik dengan sang Madam.

Mawar, tentu saja.

Mendapatkan sesuatu yang menurutnya bagus, Akira berlari kecil kembali ke tangga.

Di samping tangga, ia mendapati Kirika yang tengah menunggu, agak menengadah. Pastilah maniknya tengah mencari Akira. Namun, si android malah muncul dari balik punggungnya.

"Terima kasih sudah menunggu, Madam." Sukses suaranya membuat empunya manik delima itu tersentak. Waktunya sangat tepat. Tepat ia berbalik, Akira sudah lebih dulu menyodorkan sebuah pin dengan kepala bunga mawar merah. "Hadiah."

Bunga mawar tersebut dibuat dengan aluminium. Barangkali anti karat. Bagian kelopaknya diberikan permata merah. Juga terdapat rantai yang menggantung sebab ujungnya terkait di peniti. Sederhana, tetapi terlihat cantik.

Kirika mendengkus, mau tak mau menerimanya. Namun, saat mengamati pin lebih seksama, ia tersenyum samar.

"Merah lagi," katanya sembari melempar pandangan ke Akira. "Kalau aku bertanya, apakah jawabannya masih sama?"

"Ya. Anda selalu cocok dengan warna keberanian itu. Saya tidak akan mengubah pendapat saya."

Selagi Akira berujar, Kirika mulai mengenakan pin tersebut di sebelah kanan kardigannya. Tentunya itu berhasil mengundang senyum lebar di wajah si android. "Sempurna."

Selanjutnya Akira mengajak Kirika bermain tembak hadiah dan lempar gelang. Banyak mainan dan boneka lucu di tenda-tenda yang berjajar rapi. Pengunjungnya tak sedikit, lagi-lagi membuat mereka harus menunggu.

"Apa Anda menginginkan sesuatu?" tanya Akira selagi menunggu pemain tengah menembak beberapa kali. Lensanya menangkap boneka penguin makaroni. "Penguinnya lucu, ya. Sangat mirip dengan Anda."

Mendengarnya Kirika justru mengernyit. "Kenapa?"

"Sama-sama senang meluncur, hanya saja dia berseluncur dengan perut."

Dengkusan lawan bicaranya meletus tepat ia berpaling. Terkekeh Kirika sampai pipinya memerah.

Sungguh, itu merupakan reaksi yang tak terduga dari sang Madam.

"Jadi kau mau menjadikannya target untukku, begitu?"

"Kalau Anda tidak keberatan," jawab Akira mantap.

Begitu mereka mendapatkan giliran, Akira hanya membutuhkan tiga tembakan untuk menjatuhkan boneka penguinnya. Kirika memeluk boneka itu sepanjang jalan.

Merasa keberuntungannya sedang bagus, Akira bahkan menyeret sang Madam ke game center yang tersedia di dalam gedung. Banyak sekali permainan tangkap boneka menggunakan mesin cakar.

Sekarang hanya berharap Akira tidak meretasnya dan membawa pulang isi dari belasan mesin tersebut.

Beruntung ia hanya ingin mengambil beberapa dan mencoba sesekali. Setidaknya ia bisa membawa pulang beberapa boneka kecil untuk Aoi dan saudara-saudaranya. Mimik si android tampak berbunga-bunga kala ia menyimpan boneka-boneka itu satu per satu.

Dia kemudian mengajak Kirika bermain tembak-tembakan. Tema yang dibawakan permainan tersebut adalah zombie. Entah kenapa kali ini ia enggan menolak, jadi mereka bermain berdua sampai karakter yang dipilih Kirika kehabisan darah.

"Kupikir ini lebih sulit daripada benar-benar turun ke lapangan." Begitu ia berpendapat.

Kemudian bersama-sama mereka bermain lempar bola basket. Akira sendiri tidak menyangka bola pertama yang ia lemparkan memantul keras ke pembatas sehingga menghantam wajahnya. Lagi, itu membuat Kirika tertawa. Tetap saja ia lekas memastikan si android baik-baik saja.

"Aku tidak menyangka kau bisa menjadi sangat-sangat bodoh," ujar Kirika. Tangannya bahkan menangkup wajah Akira meski masih mengumbar senyum menahan tawa. "Sungguhan tidak apa-apa? Wajahmu sedikit memerah."

Se-sepertinya bukan memerah karena itu .... Kepala Akira bersuara di dalam.

Tapi setelahnya Akira mengangguk dan berpaling. "M-mari kita lanjutkan permainannya."

Sementara seorang petugas berhambur mengambil bola. Mereka serentak meminta maaf, terutama Akira mengingat itu bermuasal dari ringnya.

Meski sempat teralihkan, Akira tetap mendapatkan skor tertinggi setelah Kirika. Mungkin karena ia terlalu bersemangat, atau selalu berhati-hati dalam membidik ring. Barangkali juga disebabkan keduanya.

Menjelang petang, mereka keluar dari game center. Matahari tidak lagi menyengat seperti sebelumnya, dan agaknya akan menjadi kesempatan yang bagus untuk menaiki bianglala. Memang pilihan yang tepat, jika dilihat Kirika yang tidak pernah senang dengan permainan yang membuat pusing kepala.

"Tempat ini ternyata tidak berubah banyak, seingatku." Kirika membuka percakapan tepat mereka hendak memasuki bianglala. Akira membukakan pintu untuknya, membiarkan ia masuk lebih dulu selagi mereka berbincang.

"Ah, jadi, Anda pernah ke sini?"

"Sekali, bersama Aoi." Kirika berpaling ke pemandangan yang belum tampak jelas. "Di musim panas juga."

Akira menggumam mengerti sebagai tanggapan. Sebenarnya ia sedikit iri. Pastilah Kirika menuruti semua ajakan Aoi ke semua permainan yang ia mau.

Perjalanan satu putaran bianglala sepertinya akan sangat panjang. Bianglala berputar perlahan membuang-buang waktu. Begitu sabar Kirika menunggu hingga mereka dapat melihat matahari yang tengah turun kala mereka berusaha untuk naik.

Keduanya masih bungkam memandang lembayung menghiasi kota yang terlihat bagai miniatur. Kirika bergerak memangku dagu. Sulit menerka apakah ia mulai bosan atau bahkan tertarik dengan pemandangannya.

"Apa hari ini menyenangkan bagimu?"

Namun, justru ia melontarkan tanya.

Sama sekali Akira tak mendapati minat dari Kirika untuk menatapnya sekarang. Tapi senyum samar yang diumbar sang Madam cukup membuatnya yakin bahwa ia tidak sekadar ingin tahu.

"Semuanya seperti ingatan yang berkilauan. Saya akan menyimpannya sampai memori saya menua."

Jawaban itu sukses membuat Kirika mendengkus. Dia menyembunyikan bibirnya dengan telapak tangan.

Serupa seperti waktu itu. Diam-diam tersenyum samar di tempatnya. Pun, ada baiknya cahaya lembayung menerpa wajah Kirika. Dengan begitu, rona di wajahnya saat ini nyaris tak terlihat oleh Akira.

"Artinya, Tuan Yoshitaka berhasil menciptakan taman bermainnya." Kirika mengembalikan topiknya.

"Maaf?"

"Setiap pemilik taman bermain berharap orang-orang bahagia ketika mengunjungi taman bermainnya." Tampak samar, tetapi Akira yakin sekali Kirika sedang bertatap sendu keluar kaca. "Merasa tidak mampu membahagiakan seisi dunia, maka membangun taman bermain pun sudah cukup. Kira-kira begitu."

Tanpa terasa mereka telah sampai ke puncak. Tapi, bianglala masih memilih berputar sabar. Sementara Akira masih diam, persis seperti merenung; antara menunggu atau tidak tahu memberikan respon yang tepat.

"Ayahku pernah berkata, 'Akan lebih baik jika dunia seperti taman bermain.' Kupikir aku setuju ... sebab tidak akan ada yang perlu memikul masalah berat, juga tidak perlu ada perihal yang menyakitkan dan membuatmu bersusah hati. Lagi, tidak harus kehilangan mereka yang kita cintai begitu cepat.

"Tidakkah menurutmu itu menyenangkan?"

Bayangan pemandangan yang terpantul di manik delima itu tampak kian intens.

Sepanjang sisa perjalanan di bianglala berakhir dengan canggung. Masih Akira berkutat di dalam dirinya, bertanya-tanya haruskah ia menjawab pertanyaan Kirika atau tidak sama sekali. Tapi pada akhirnya, ia memilih menggantungkan pertanyaan itu di dalam kepala.

Sementara Akira mengabaikan pesan dari nomor Eleonor, keduanya mulai turun dari bilik bianglala dan melangkah keluar dari taman bermain.

Hampir saja mentari utuh tenggelam, sementara langit violet kini telah berhias bintang-bintang. Meski demikian, taman bermain masih saja ramai pengunjung. Konon lagi lampu-lampu penuh warna menghiasi wahananya mulai dinyalakan.

Pasalnya mereka tak langsung pergi ke tempat parkir. Akira menerka-nerka Kirika sedang ingin menghirup udara malam sebelum pulang, jadi ia memutuskan mengekor saja.

Sementara ia merenungi setiap ucapan sang Madam yang telah ia rekam di dalam kepala. Demikian ia mengamati gemerlap bintang, jalannya semakin lambat dan hati-hati.

Maka ia beralih kepada Kirika yang tak lama berhenti dan berbalik. Persis ia berdiri di bawah lampu jalan. Di lensa Akira, dia sangat cantik ketika disorot seperti itu. Rambut yang tidak ia sukai berkilauan diterpa cahaya.

"Ada apa?" Akhirnya Kirika memecah hening.

"Saya hanya berpikir ... sepertinya saya hanya memerhatikan apa yang saya rasakan hari ini, tetapi tidak dengan Madam, jadi ...."

"Tentu saja aku senang. Berada di sini seperti kembali muda."

"Ah, padahal Anda baru seperempat baya."

Kirika terkekeh sembari mendekat kepada pembatas, mulai mengamati laut yang mengantarkan bau asinnya. Akira memberanikan diri melangkah ke sampingnya.

Sedikit pun tidak ada hal yang menarik di sini. Jembatan di seberang hanya memperlihatkan para pejalan kaki yang juga menikmati pemandangan dari sana.

"Jika ingin mengatakan sesuatu, katakanlah di sini. Aku akan mendengarkannya," celetuk Kirika seusai angin berhenti bertiup. "Akan sangat sulit bagiku berinteraksi denganmu lagi persis seperti ini jika agendaku padat. Pun, aku akan melupakan gerak-gerik keinginanmu untuk mengatakan sesuatu yang telah kau susun di dalam kepala kalengmu."

Kali ini Akira yang terkekeh. Dengan canggung ia mengusap bagian belakang kepalanya, semakin terlihat salah tingkah. "Anda benar-benar psikolog yang hebat."

"Kuharap kau tidak menyalahkan Aoi karena tidak pandai berbohong."

Selagi Akira menghabiskan gelaknya, Kirika mengulas senyum tipis kepada cahaya lampu yang terefleksi oleh gelombang laut. Tampaknya ia benar-benar menunggu.

Akira tidak memiliki pilihan lain. Sulit untuk membicarakannya sekarang. Atau barangkali ia tidak siap mengeluarkannya.

Sekarang ia hanya bisa berharap perasaan Kirika tidak berubah secepat kilat setelah ia berbicara.

"Saya menyimpan banyak data di dalam memori saya. Segala hal yang terekam selalu saya kirimkan kepada Profesor Tsukino agar ia bisa menyimpannya kalau-kalau saya membutuhkan tubuh baru." Sembari menerawang jauh, Akira menarik kedua sudut bibirnya. "Jika sedang memikirkan sesuatu rekamannya akan selalu terdengar berulang-ulang di dalam kepala saya.

"Seperti pertanyaan Anda di bianglala." Sejenak Akira menumpu kedua lengannya di atas pembatas. "Pertanyaan Anda menciptakan pertanyaan di dalam kepala saya. Semuanya berhubungan dengan tujuan saya sejak bertemu dengan Anda."

Kirika belum tertarik untuk merespon. Berakhir dengan hati-hati Akira meneruskan, "Madam itu ... kuat sekali. Selalu menyimpan luka sendirian. Meski Anda tidak pernah tampak bermuram durja, kini Anda jarang sekali tersenyum.

"Apakah saya bisa mengembalikan senyum Anda? Saya berandai-andai saya bisa mewujudkannya." Kemilau bintang bercermin di lensa biru kala empunya menengadah. Kemudian suaranya sedikit merendah. "Meskipun saya harus menjadi seseorang yang sangat berarti di masa lalu Anda, tidak masalah. Itu akan sepadan sekiranya mampu mengembalikan senyum Anda."

Patahan kata itu sukses membuat jantung Kirika mencelos. Maniknya beralih kepada Akira, mati-matian menahan binar-binar yang menyerupai pecahan kaca yang mencair. Binaran yang mempercantik mata empunya.

Sayangnya kecantikan tersebut sedang menelan sayatan di dalam hati.

Akhirnya ia menghindar dari lensa biru itu. Alih-alih terisak, ia terkekeh sembari kembali menerawang ke laut yang tak lagi terlihat dasarnya. Sementara Akira tak mengerti dengan perubahan hati sang Madam.

"Sulit memungkirinya, tetapi kau memang mirip dengan Akira Kurihara. Dari paras, bahkan beberapa kepribadian." Dia menoleh kepada Akira kala mengumbar senyum. Tetap saja, ia lupa menghilangkan sendu di matanya. "Tapi, kau tidak bisa menggantikannya."

Suara yang berangsur parau itu sukses membuat lawan bicaranya membatu.

"Aku tidak pernah memintamu menjadi Akira Kurihara yang itu. Bahkan sejak kau masih dalam perancangan ...." Kirika menggeleng. "Aku tak pernah memintanya."

Pandangan delima itu utuh lurus kepada lawan bicaranya yang lupa berkedip.

Kirika memilih bergerak. Tanpa ragu ia menghadap Akira, menangkup wajah si android yang hangat.

"Jangan pernah menjadi orang lain." Sendu suaranya berujar, tetapi ia sanggup mengukir senyum samarnya. "Wujudkan harapan itu dengan caramu, mengerti?"

Butuh waktu yang lama mendapatkan satu anggukan sebagai respon dari pertanyaan tersebut. Sementara jantung imitasinya mulai berdebar tak karuan. Bahkan terus begitu meski Kirika perlahan menurunkan tangan dan berbalik.

Hendaknya sang Madam melangkah, Akira menarik lengannya hingga ia berbalik. Dia mendekatkan Kirika, tanpa aba-aba mengecupnya.

Sekali pun tiada keraguan. Dia berharap ini bukan ilusi dari dalam programnya.

Kecupan itu berlangsung lama. Akira sama sekali tak berkeinginan melumat bibir Kirika, tetapi kecupannya justru terasa sedikit keras kepala. Dia terus mendorong diri dan menahan pergerakan empunya manik delima yang berkali-kali melawan. Tapi pada akhirnya ia mengalah, bahkan membiarkan ciuman Akira melembut.

Rasanya tempat yang sepi ini seperti milik berdua. Itu yang Akira rasakan ketika melepas ciumannya.

Begitu Akira mengendurkan pertahanan, Kirika mendorongnya; lantas melangkah mundur. Tapi justru Akira menggenggam lengannya agar ia tidak pergi terlalu jauh.

"Apa yang kau—"

"Jadilah kekasih saya."

Tentu saja kalimat itu membuat Kirika tertegun. Kontan ia membuka mulut dan bersuara. Namun, sayang Akira menyelanya lebih cepat.

"Izinkan saya selalu berada di samping Anda, Madam. Saya ingin menghabiskan waktu bersama Anda lebih lama. Saya ingin mengisi memori saya dengan data-data kenangan kita." Harapannya benar-benar diujarkan begitu lirih. "Izinkan saya ... melakukan semuanya sebagai AK-25."

Lensa Akira memburam. Dia tidak mengerti apa yang salah. Sementara di saat bersamaan, ia merasakan pipinya basah dan hangat.

Benar-benar ia tidak mampu mendeteksi kesalahan yang terjadi saat ini.

Kirika masih membatu. Namun, di sisi lain, otot-ototnya yang menegang karena sedari tadi memberontak, justru telah mengendur kala mendapati air mata yang jatuh dari pelupuk mata Akira. Suatu hal yang tidak biasa melihat seorang pria—meskipun ia merupakan android—menangis.

Tapi, Kirika mengerti dari mana air mata itu bermuasal.

Akira takut akan penolakan.

Tangan Kirika terangkat mengusap pipi si android. Akira sendiri tidak menolak perbuatannya meski ia merasa malu.

"Maafkan kelancangan saya." Bahkan ia tak berani memandang wajah Kirika sekarang. "Kejadian ini benar-benar memalukan."

Lagi, Kirika tersenyum samar bersama dengkusannya yang meletus singkat.

"Aku tidak pernah merasakan kesalahan setiap orang dalam mengekspresikan diri," kata Kirika. Tangannya sudah beralih ke pipi Akira yang lain. "Kuakui ciumanmu sangat lancang."

Demikian Akira memejamkan mata erat-erat setelah mengetahui Kirika melipat kedua tangan di depan dada. Sungguh, ia terlihat seperti bocah yang tak siap dimarahi.

"Tapi, baiklah. Ayo kita membuat kenangan lebih banyak bersama-sama."

Eh?

Sekali lagi, Akira termangu. Lekas ia membuka lensa, memastikan ini bukan ilusi yang diciptakan di dalam program ketika ia termenung-untuk kesekian kalinya.

Namun, ini nyata, dan merupakan kenangan baru yang begitu manis baginya.

Kirika terkekeh dan berpaling. Sebisanya ia menyembunyikan rona di pipinya. Maka ia memilih berbalik, lantas berlalu dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik punggung.

"Apa yang kau tunggu? Kau harus mengantarkanku pulang sebelum Paman naik pitam, ingat?"

Telinganya terlihat memerah. Gemas sekali Akira melihatnya.

Segera ia berlari kecil mengekori Kirika. Sementara kepalanya mulai sibuk membuka pesan yang sedari tadi ia diamkan.

Satu nomor asing menarik perhatiannya. Dia mengenal nomor itu. Sekali kedip, pesan terbuka.

Bukalah, programnya akan langsung terinstalasi tanpa harus menunggu lama.

"Seperti yang diharapkan kepala laboratorium robotika," gumam Akira.

Langkahnya sedikit melambat. Tentu masih setia mengekor Kirika meski ia sedang sibuk di dalam kepalanya. Ternyata Eleonor benar-benar jujur mengenai instalasinya.

Namun, seketika Akira berpaku. Sengatan listrik di kepalanya begitu mengganggu sampai ia meringis.

Dia melemparkan pandangan kepada punggung Kirika yang kian menjauh, pula perlahan memudar. Tak lagi ia dengar suara desir angin, atau setiap langkah dari sepatu sang Madam.

Namun, Akira yakin ia sempat mendengar suara seseorang mengerang persis di hadapannya. Pun, ia yakin tengah mengangkat sesuatu, hanya saja terlalu takut dirinya untuk berasumsi. Sayang, ia tidak dapat memastikan.

Semuanya sudah utuh menggelap.

Wah, apa yang akan terjadi, ya?

Ahem. Kayaknya saya gak berbakat buat ngomong kayak gitu wwwwwwww. Tenang saja, act satu ini akan tamat akhir Desember! Nantikan, ya.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

174K 14K 10
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
337K 13.4K 9
TAMAT May contain mature scenes Ray awalnya memiliki segalanya, namun ia kembali jatuh dan bahkan kehilangan semua yang pernah ia punya. Impian, ka...
156K 9.5K 13
"There was only me, before. There was only me so I never even knew what does lonely means. But then you came around with your own way, built a bridge...
138K 10.3K 37
PENGUMUMAN BUAT PEMBACA Untuk US Series 1. Games of Love (Aryan Mahavindra/Delta Mahadewa)sebagai pimpinan Divisi Delta SUDAH DIBUKUKAN 2. Eternal Lo...