Sekali Merdeka Tetap Merdeka

By farvidkar

994K 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 17

21.5K 2.9K 179
By farvidkar

DALILA

            Meski bukan anak nakal yang biasanya jalan bersama gengnya keluyuran, tawuran, main kartu, atau apalah itu yang biasa ada di sinetron. Tapi ternyata anak baik-baik yang suka main basket juga bisa biru-biru. Saat bermain tadi aku memang memperhatikan Merdeka. Dengan jelas kulihat saat si badan besar itu menyikut perut Merdeka—kasar sekali. Aku yang notabene hanya penonton rasanya ingin mengomel-ngomel pada si badan besar itu. Tapi Merdeka menangani dengan kalem sekali, padahal aku menunggu Merdeka mengajak berantem atau apa gitu pada si badan besar. Sampai saatnya Merdeka akan melakukan shoot, aku sadar raut wajahnya berubah. Pikirku pasti ada yang salah dengannya. Benar saja, saat dia istirahat untung saja kubuka bajunya.

            Dulu pahaku pernah tidak sengaja nabrak ujung meja, rasanya sangat sakit. Awalnya aku biarkan saja walaupun sangat sakit, tapi saat tiba di rumah ternyata sudah biru—biru sekali dan lama sembuhnya.

            "Makasih," kata pria itu. Dia berkata pada Panji tetapi malah menatap ke arahku.

            "Sama-sama," jawab Panji. Bersamaan dengan itu Merdeka tertawa. Aku tidak tahu kenapa dia tertawa tetapi aku juga ikutan tertawa. Aku pikir dia memang berterima kasih padaku. Mungkin.

            Aku kembali menonton pertandingan dengan serius. Merdeka dijaga ketat, hal itu membuatku ingin merasa kasihan padanya yang lagi sakit tapi tidak jadi karena Merdeka terlihat keren. Karena Merdeka tidak menunjukkan keagresifannya tim lawan malah berganti sibuk pada Bara. Nah di saat mereka lengah, Merdeka melakukan tembakan jarak jauh. Lumayan menambah banyak angka.

"Hebat," kata Michiko yang sudah duduk di sampingku—tadi dia sempat menghilang entah pergi kemana. "Tapi lebih hebat lagi kalau Bara yang nge-shoot," lanjutnya tidak berpindah ke lain hati.

Selama sisa permainan telingaku di penuhi oleh sorak-sorak dukungan untuk tim basket sekolah kami dan khusus telinga kananku adalah sorakan untuk Bara dari Michiko. Hingga akhirnya pertandingan berakhir. Tepuk tangan Michiko yang paling meriah—katanya untuk kemenangan tim basket sekolah kami.

            "Selamat. Tadi kamu lumayan keren," pujiku pada Bara yang menghampiri kami. Bara memberi kode padaku atas kehadiran Michiko.

            "Selamat yaaa," kata Michiko malu-malu.

            "Oh ... I—Iya," Bara berubah kikuk.

            Aku akan pulang dengan Bara. Michiko sudah pamit pulang duluan, begitu juga Rusli yang tadi datang bersamaku. Foto-foto yang dibidik Rusli tadi bagus-bagus, angle-nya pas, aku sukaaaaaaaaaaa. Aku juga sempat minta untuk difoto—akan kujadikan foto profil.

            "Aku tunggu di sini ya," kataku pada Bara. Dia berganti pakaian dan berkumpul sebentar dengan tim basket di ruangan mereka. Aku tidak mau ikut, pasti mereka buka baju di sana.

            Aku duduk di halaman depan, dekat gerbang. Pak Pardi juga masih berjaga. Sambil menunggu Bara aku membaca komik di sebuah platform. Inilah salah satu penyebab pulsaku habis, aku membeli koin untuk baca komik yang berbayar. Meski begitu aku puas karena telah menghilangkan kebosanan dengan melihat tokoh pria yang digambar sangat tampan meskipun karakternya sebagai bad boy sekolah. Ouhhhh! Orang ganteng mah bebas mau diapain saja tetap bikin meleleh.

            Aku terhanyut dalam komik yang kubaca. Jadi ceritanya si perempuan ingin pulang sekolah, tetapi si tampan preman sekolah itu mencegatnya. Bahkan menghalangi jalannya dengan kaki. Si tampan preman sekolah itu bertanya, "mau kemana?". Si perempuan gemetaran, dia berkata mau pulang lalu bergegas kabur. Tetapi si tampan preman sekolah segera menahannya. Awwww! Adegan favorit yang membuatku histeris. Si tampan preman sekolah menarik paksa perempuan itu naik ke motor—membawa perempuan itu entah ke mana. Pertanyaan "kita mau kemana?" dari perempuan itu diabaikan. Motor melaju cepat membelah jalanan hingga akhirnya berhenti di depan sebuah gedung teater. Si tampan preman sekolah turun dari motor kemudian berdiri di depan perempuan itu. Kyaaaaaaaaa! Si tampan preman sekolah membukakan helm perempuan itu kemudian bertanya, "kamu mau nonton apa?"

            "Hah?" Aku kembali me-scroll ponselku ke atas. Ternyata buka itu yang dikatakan si tampan preman sekolah. Lalu suara barusan dari mana?

            "Mau nonton apa, hm?" Merdeka menunjukkan ponselnya. Aku perlu mempertajam penglihatanku karena layar ponsel pria itu banyak yang retak.

            "Kamu ngajak aku nonton?" tanyaku memastikan. Tiba-tiba aku ingin minta maaf padanya yang sepertinya menganggapku menyebalkan. Wajah Merdeka sampai merah untuk menjawab pertanyaanku.

            "Sesuai rencana kita kemarin," jawab Merdeka.

            Berarti dia mengajakku kencan?! BERDUA? Sekarang malahan aku yang berubah merah, bukan karena marah. Aku malu. Ini kali pertama Merdeka mengajakku kencan. Aku jadi ingin menghindari dia, bukannya aku menolak tetapi aku belum siap untuk terus dag dig dug meskipun aku sudah menyiapkan baju ganti, tapi gilaran sekarang ... hati dan isi kepalaku tidak selaras.

Aku pengen tapi malu!

            "Tunggu Bara dulu," alasanku. Aku ingin pergi kencan, tetapi ajak Bara juga.

            "Dia udah pulang."

            "Kapan?"

            "Barusan," katanya. Aku menatap jalanan luar. Tidak ada Bara, bahkan aku sudah menunggu dari tadi di sini tapi tidak melihat Bara yang mengendap-endap.

            "Nggak ada tuh," kataku tidak percaya.

            "Dia udah pulang naik mobil coach Eli," jelas Merdeka. Kini aku tidak curiga lagi pada mobil silver yang tadi tidak mau menurunkan kaca. Padahal aku sudah siap-siap mau melambaikan tangan pada penumpang di mobil itu. Pasti mereka sudah menyusun rencana.

            "Terus kenapa kamu nggak pulang bareng mereka?" tanyaku belum siap mendengar jawabannya.

            "Kan mau nonton sama kamu."

            Nggak tahannnnn. Aku menutup wajah menggunakan kedua telapak tanganku. Berusaha tidak berteriak kegirangan. Aku juga tidak mau menunjukkan wajahku yang sumringah ini padanya. Aku tidak jatuh cinta padanya, tetapi jika dibilang seperti itu tentu tidak ada yang tidak gembira. Tapi sepertinya aku tidak bisa nonton dengannya hari ini.

            "Merdeka, kayaknya kamu nggak bisa nonton sama aku," kataku serius.

            "Kenapa?" tanyanya dengan raut—kecewa?

            Aku meninju perutnya pelan. Dia langsung meringis kesakitan.

"Aku nggak mau jadi saksi di pengadilan kalau tiba-tiba kamu nggak bernapas pas lagi nonton bareng aku di bioskop."

...

MERDEKA

            Harusnya kami duduk di kursi dalam teater bioskop, bukannya di kursi besi rumah sakit. Aku hanya akan memeriksakan diri, Dalila memaksa akan langsung pulang jika aku tidak mau memeriksakan diri ke dokter.

            "Kira-kira kamu boleh makan permen nggak, ya?" kata gadis itu. Dia ragu ingin memberikanku permen yang juga sedang dia makan. Aku langsung mengambil permen yang ada di tangannya.

Makan permen nggak akan bikin memar aku jadi berubah warna.

            "Nggak boleh," kata gadis itu merebut lagi permen yang ada di tanganku. Dia memasukkan semua permennya ke dalam tas.

            "Ganti pisang aja, ya?" tawar gadis itu.

            Aku kurang suka pisang, kalau disuruh pilih buah apa yang ku sukai aku lebih suka buah yang sebangsa dengan jambu, entah jambu batok atau jambu air. Sepertinya dulu Bunda mengidam jambu saat aku di perutnya.

            "Deka, udah diperiksa sama dokter?" Panjang umur. Bunda datang begitu aku memikirkannya. Bunda tidak datang sendiri, Ayah juga datang. Sepertinya Bunda singgah dulu ke tempatnya Ayah.

            Dalila menatapku bingung. Sebelumnya aku sudah mengabari Bunda bahwa aku ke rumah sakit. Bunda juga berkata akan menyusulku. Aku belum memberitahu Dalila, dia terlihat canggung begitu melihat kedua orangtuaku datang.

            "Masih antri," kataku.

            "Coba sini Ayah lihat," kata Ayah, dia memeriksa memar di perutku. "Kenapa bisa begini?" tanyanya.

Aku pun menjelaskan kronologinya pada Ayah dan Bunda. Bagaimana saat aku bermain, Mario berusaha merebut bola dan aku kena sikutnya. Tidak lama setelah itu mulai terasa sangat nyeri, saat ku cek ternyata sudah membiru.

            "Mario itu yang mana? Bunda kenal nggak? Dia main basket kok kasar banget," kata Bunda. Sepertinya Bunda ingin memarahi Mario. Aku terkekeh geli membayangkan bundaku marah-marah pada anak orang. Dia jarang marah, kerjanya hanya mengomel saja setelah itu lupa.

            "Namanya juga anak laki-laki. Biarin aja. Lagi pula mereka lagi pertandingan, sikut-sikutan mah sudah biasa. Yang penting kamu bales kan?" kata Ayah yang kujawab dengan anggukan. Aku berkata pada Ayah kalau tim basket sekolahku menang lagi. Aku juga memberitahunya kalau aku tidak langsung memberikan bogem mentah pada Mario.

            "Bagus. Kalau berantem pakai ini," Ayah menunjuk kepalanya. "Bukan ini," lanjutnya yang kali ini menunjuk kepalan tangannya.

            Dan aku hampir lupa mengenalkan seseorang. Aku melirik Dalila yang ternyata sudah berpindah duduk ke pojokan. Astaga.

            "Ini teman aku, Dalila. Dia nemenin aku ke rumah sakit," kataku memperkenalkan gadis itu. Wajah Bunda berubah girang begitu aku mengenalkan anak perempuan. Bunda menyuruh Dalila untuk bergabung dengan kami.

            "Pacarnya Deka?" tanya Bunda pada gadis itu. Aku dan Dalila sama-sama melotot kaget. Tadi kan sudah aku katakan pada Bunda kalau dia temanku, bukan pacarku. Kalau dibantu aminin tidak akan kutolak.

            "Saya Dalila, temannya Deka," kata Dalila malu-malu mengenalkan dirinya. Bukan cuma Dalila yang malu-malu, aku juga ikutan malu. Baru kali ini aku mengenalkan teman perempuanku. Yang mereka kenal hanya Bara dan beberapa anak tim basket saja. Semuanya laki-laki. Bunda sering bertanya padaku apakah aku punya pacar, dia sempat curiga yang tidak-tidak karena aku tidak punya teman perempuan. Kulihat Bunda bernafas lega begitu aku mengenalkan Dalila padanya.

            Ayah menatapku sejenak. Seolah kami bisa saling berbicara lewat batin.

            "Dia yang waktu itu kan?" mungkin seperti itu pertanyaan Ayah.

            Dalila sepertinya juga mengingat ayahku. Dalila menatapku sejenak, aku mengangguk.

            "Yang waktu itu ketemu di depan gerbang sekolah kan? Saya kakaknya Deka," canda ayahku.

            "Ah ... iya Bang," ucap Dalila lugu. Aku tak bisa menahan tawa.

Polos sekali! Masa dia percaya begitu saja?

Ayahku bisa menipu hanya dengan baju berkerah dan celana jinnya. Bahkan sepatunya saja sepatu yang biasa ayah pakai untuk mengunjungi tempat proyek. Dia sering melakukan kunjungan mendadak. Gayanya seperti anak muda, banyak yang terkecoh dan tak percaya dia akan segera punya empat anak.

            Tiba-tiba Bunda meninju lengan ayah pelan. Bunda menatap Ayah sinis.

            "Kalau kamu kakaknya Deka, suamiku siapa?"

            Pecah sudah tawaku. Aku pun menjelaskan pada Dalila kalau yang mengaku sebagai kakakku barusan adalah ayahku. Gadis itu sangat kaget. Lagi pula ayahku juga jahil.

            "Mereka betulan orangtua kamu?" bisik Dalila berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Aku mengangguk.

            "Emangnya kenapa?" tanyaku penasaran.

            "Mereka lebih asik dari kamu."

            Tiba-tiba namaku dipanggil oleh perawat. Aku meninggalkan Dalila pada orangtuaku. Aku penasaran pertanyaan apa saja yang akan ditanyai mereka padanya. Yang jelas tidak akan separah pertanyaan pihak orangtua perempuan pada teman laki-laki anaknya.

            Tidak selama yang aku pikirkan. Hanya ditanya keluhannya apa dan aku akan melakukan foto. Aku segera keluar dari ruangan untuk berpindah ke ruang ct scan. Kulihat kedua orangtuaku mengerumuni Dalila. Kira-kira apa yang mereka bicarakan? Aku menghampiri mereka.

            "Oh, jadi kalian udah pernah ke bioskop sama-sama? Padahal Deka itu anak rumahan. Kalau dia sampe kayak gitu berarti ada maksud lain." Aku mendengar suara Bunda. Rupanya Bunda sedang berusaha mempromosikan diriku.

Thanks Bunda.

**sekilas info: Kencan Kilat akan segera terbit di Bhuana Sastra. Pantengin IG @farvidkar @BhuanaSastra @BIPGramedia untuk info lebih lanjut ^^~

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 130K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
956K 113K 54
Namanya Dewangkara Maheswara. Namun, seluruh anak buahnya sepakat mengganti namanya menjadi Dewa Angkara Murka. Selain tukang murka, dia juga suka be...
363K 22.8K 28
Kisah mengenai dua orang yang tidak saling mengenal satu sama lain tetapi dipertemukan oleh takdir. Kisah mengenai dia yang tidak pernah mengenal cin...
1.4M 123K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...