Sekali Merdeka Tetap Merdeka

By farvidkar

995K 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 15

23.4K 2.8K 203
By farvidkar

DALILA

Aku tidak tahu siapa yang lebih di antara aku dan Merdeka. Yang jelas aku mempertanyakan kegugupannya. Aku semakin yakin dia gugup duduk di sampingku karena dia suka padaku. Kalau bukan itu? mungkin saja dia kesambet setan penghuni bioskop ini. Semakin kupikirkan semakin pipiku nge-blush.

"Beberapa hari ini kamu ngehindari aku. Kenapa?"

Mau jawaban jujur? Karena kamu buat aku nggak nyaman. Jelas-jelas kamu ngasih aku kode, jadinya aku malu. Kalau liatin kamu lama-lama bawaannya aku jadi pengen bilang 'wahhhhh'. Aku bisa berubah jadi cendol kering kalau setiap hari ketemu kamu!

"Karena kamu naksir aku." Yaampunnnnnnnnnn! Mulutku keceplosan. Pasti dia bakalan mikir aku ini sangat narsis.

"Tahu dari mana?" tanyanya dengan tenang.

"Nebak doang," jawabku asal.

"Oh."

Cuma 'Oh' katanya?!

Akhirnya Bara datang juga. Padahal tadi katanya hanya pergi pipis, tapi pipisnya lama sekali—mungkin mengeluarkan 4,5 liter yang setara dengan satu galon air minum. Tapi aku tidak jadi marah karena berkat kehadiran Bara, aku dan Merdeka sama-sama hening. Namun yang menjengkelkan Merdeka tidak mau kembali ke tempatnya, sehingga dia tetap duduk di sampingku.

Sampai akhirnya kami nongkrong di kafe, aku makan kue dan minum thai tea, sementara mereka memilih makanan yang lain. Di saat Bara dan Merdeka membicara game, aku bengong. Di saat Bara dan aku membicarakan abangnya Bara, Merdeka ikut nyambung. Sementara aku dan Merdeka sama sekali tidak berbicara. Bahkan saat kami pulang.

Merdeka baru saja turun dari mobil setelah kami mengantarnya pulang. Aku hanya tersenyum singkat setelah itu mobil Bara kembali melaju. Akhirnya dia pergi juga.

"Ngapain aja sama Merdeka?" tanya Bara sembari terkekeh. Aku tahu dia sedang menggodaku.

"Garing banget tau nggak? Merdeka sampe pindah tempat duduk ngajak aku bicara. Ini jantung mau copot waktu dia nanya kalau aku sengaja ngehindari dia," curhatku. Bara tidak membantu sama sekali, dia hanya tertawa dan tertawa. Terlihat sangat puas.

"Kamu juga jadi perempuan peka dikit. Dia udah ngasih kamu kode, tapi kamunya malah kabur. Kasian dia, kayak game over duluan sebelum tekan tombol start," kata Bara menasehatiku. Aku juga maunya diam di tempat menghadapi Merdeka. Tapi tidak bisa karena kakiku bergerak cepat untuk kabur entah ke mana. Gimana dong? masa kakiku perlu diikat.

Akhirnya kami tiba. Mobil Bara terparkir sempurna di garasinya. Aku turun dari mobil sebelum dikunci dari luar olehnya. Sebelum balik ke rumah, Bara menahanku sebentar.

"Kasian, kamu kayak pengen nangis karna nggak bisa beli ini."

OMG! Dia terbaik di antara yang terbaik. Kalau disuruh pilih mengadopsi seorang kakak, aku akan mengadopsi Bara. Aku menerima hadiah darinya yaitu sas merah yang kuinginkan. Ternyata waktu menghilang lama dia sengaja pergi membelikan ini untukku kemudian menyembunyikannya di mobil. So sweet.

"Aku sayang kamu pake banget," kataku berusaha untuk tulus.

"Jangan jatuh cinta sama aku," katanya penuh penekanan. Aku terkekeh geli karena kenarsisannya. Tanpa diperingatkan pun aku tidak akan suka padanya karena aku suka yang punya jiwa tenang. Satu-satunya yang mendekati tipeku ini adalah teman sebangkunya. Tapi orangnya krik krik banget.

"Dipakai buat second date kalian, ya."

Kalian? Aku dan Merdeka. Berarti yang tadi dihitung sebagai first date dong. Baru saja aku mau buka suara, tetapi Bara kembali berkata.

"Hadiah ulang tahun kamu nanti dikurangi 799 ribu, okay?"

...

MERDEKA

Di ruang ganti pakaian tim basket jadi ramai, yang jarang datang pun datang. Aku yang baru masuk segera berganti pakaian. Aku membawa dua kaos latihan untuk berjaga-jaga. Tapi sebenanrnya aku lupa baju mana yang kotor, jadi kubawa saja dua-duanya.

"Pakai yang ini aja," Bara menahan tanganku. Dia menunjuk baju yang satunya. Aku menatapnya heran.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Dalila suka yang ini," katanya sangat yakin.

Bara melihatku seolah-olah aku akan percaya padanya. Aku mendengkus tidak peduli, jadi aku memakai baju yang kupilih dari awal. Dia masih terus meyakinkanku, kuabaikan saja dia dan memilih berkumpul dengan yang lain. Tidak lama coach Eli menghampiri kami di ruang ganti. Selain di lapangan, kami juga sering diberi arahan di ruang tim basket ini. Tempat kami menyimpan sepatu cadangan dan lainnya agar tidak hilang.

Hari ini adalah H-1. Tidak akan latihan keras, cukup memanaskan diri saja. Tenaga akan kami simpan untuk besok. Kami diingatkan kembali oleh coach Eli untuk mengingat strategi dan posisi.

"Paham?" tanya coach Eli.

"Paham!" teriak kami kompak. Kami pun di suruh jalan-jalan kecil di lapangan. Kami diingatkan untuk tidak latihan keras. Satu persatu dari kami meninggalkan ruangan ganti. Aku berhenti di depan pintu sementara menunggu mereka semua keluar. Ada sesuatu yang kulupakan.

Setelah urusanku dengan barang yang kulupan selesai, aku segera menyusul teman-temanku di lapangan. Kulihat tidak ada yang lari sesuai arahan coach Eli tadi. Mereka hanya jalan kaki sambil membawa bola. Coach Eli mengawasi agar tidak ada yang banyak gerak, apalagi lari-larian di lapangan. Di samping coach Eli ada gadis itu—Dalila. Akhirnya dia muncul di lapangan.

"Deka," panggil Bara dari arah belakang. Dia mengalungkan tangannya di bahuku, mengajakku keliling lapangan bersama. "Mantap," kata Bara lagi. Dia memberikan jempol sambil menunjuk kaos yang tadi kuganti lagi. Aku ganti kaos bukan karena terpengaruh oleh perkataan Bara. Aku lupa kalau udara sore ini panas, lebih baik pakai kaos tanpa lengan.

Hari ini hanya latihan ringan. Kulihat Dalila kini tidak sendirian, dia membawa temannya si tukang potret, aku lupa namanya. Gadis itu menunjuk ke beberapa arah, menyuruh temannya itu membidik ke arah itu.

"Ngapain lo nyisir-nyisir rambut?" tanya Bara, aku menggeleng.

Latihan selesai, tidak perlu lama-lama karena kami memang disuruh cepat pulang, tidak boleh begadang, hati-hati di jalan jangan sampai kaki lecet. Seketika kupikir coach Eli lebih bawel dibandingkan pacar. Seketika pula aku sadar ternyata aku tidak punya pacar.

"Mau pulang bareng nggak?" ajak Bara pada Dalila. Gadis itu mengangguk.

"Lo juga mau pulang bareng?" ajak Bara padaku. Aku juga mengangguk.

Kami pergi bersama-sama ke halte busway. Beruntung tidak perlu menunggu lama karena busway biru yang akan kami naiki berhenti di saat yang tepat. Kami bertiga tidak kebagian tempat duduk mengingat sekarang sudah jam pulang kantor. Bahkan kami harus sedikit desak-desakan.

"Gue denger besok Mario ikut," ucap Bara. Aku dan Bara berbincang tentang pertandingan besok. Mario anak dari tim lawan yang akan ikut bertanding besok. Kami mengingat dia karena tahun lalu dia berhasil membuat kakiku digips selama dua minggu. Gara-gara ulah dia yang suka bermain kasar, hampir saja kita semua di lapangan adu tonjok. Tetapi kami berhasil meredam kemarahan dengan sebuah kemenangan.

Kulirik Dalila yang berdiri di tengah antara aku dan Bara sedang memejamkan matanya. Aku tidak yakin kalau Dalila tertidur, yang jelas dia berdiri dengan tangan kiri yang memegang tiang sambil mendengarkan lagu melalui earphone.

Kriiittttt.

Busway mengerem mendadak karena tiba-tiba ada sebuah motor yang memotong jalan. Tanganku bergerak refleks menahan Dalila. Orang-orang yang ada di dalam busway mulai penasaran kenapa busway ini tak kunjung jalan. Mereka mencari lihat apa yang terjadi di luar sana lewat jendela, tidak denganku dan Dalila yang sama-sama saling menatap. Tidak ada satu dari kami yang angkat bicara.

"Kamu narik baju aku," kataku mengingatkan dia akhirnya setelah memutar otak. Tangannya sedari tadi menarik ujung kaosku. Sepertinya tadi dia refleks takut tersungkur ke bawah.

"Kamu juga narik ransel aku," katanya. Akupun melepaskan ujung ranselnya yang kupakai untuk menahannya tadi saat busway mengerem mendadak.

Busway kembali melaju. Kami kembali diam. Aku memperhatikan kepala Dalila yang goyang kiri goyang kanan antara menikmati lagu atau karena busway yang bergerak. Hingga akhirnya busway berhenti kembali, aku berusaha berdiri tegak agar badanku ini tidak terjungkal. Beberapa orang turun, salah satunya yang duduk di hadapan kami.

Tanpa kupikirkan dulu tanganku bergerak cepat, menarik ransel gadis itu lagi untuk mengarahkannya duduk tepat di hadapanku—di kursi yang baru saja kosong.

"Makasih," katanya. Aku mengangguk. Bara menyikut lenganku, kemudian melemparkan senyum misteriusnya.

Pasti Bara berpikir macam-macam. Bukankah yang kulakukan barusan adalah hal wajar? Dalila perempuan, dia prioritas. Tidak mungkin aku menyuruh Bara yang duduk, mau taruh di mana mukanya Bara. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan.

"Mana tas kalian. Biar aku yang pegang," pinta Dalila. Bara langsung menyerahkan ranselnya. Gadis itu menatapku, melalui matanya dia berkata biar dia saja yang memegang ranselku.

"Nggak usah," kataku.

"Nggak apa-apa, berat loh. Kamu turunnya juga masih jauh," kata Dalila meyakinkan.

Masih ada lima pemberhentian lagi, barulah aku turun. Sedangkan mereka akan turun setelahku.

"Yaudah, karena kamu yang maksa." Aku menyerahkan ranselku padanya. Gadis itu menaruh ransel kami di pangkuannya. Dia memeluk ranselku agar tidak jatuh. Karena dia duduk tepat di depanku, aku dapat melihat dengan jelas. Ujung sepatu kami hampir bersentuhan. Tiba-tiba aku ingin mengerjainya. Sengaja ku tempelkan ujung sepatu kami. Dia tersadar. Gadis itu langsung memundurkan kakinya agar tidak kuinjak. Lagi. Kudekatkan ujung sepatu kami hingga kembali bersentuhan. Ini semua ku lakukan karena sedang gabut. Gadis itu tersadar, kakinya tidak bisa mundur lagi karena sudah tersudutkan. Karena dia tidak bergeming, sekalian saja kuinjak kakinya.

Dia melemparkan death glare padaku.

"Aaawww!" Kakiku diinjak. Sakit sekali. Dia pakai tenaga dalam, sedangkan yang kulakukan tadi menginjak kakinya dengan lembut. Kulihat Dalila tertawa puas. Aku taubat tidak mau lagi mengerjainya. Kami kembali diam. Tapi tidak berselang lama Dalila memasukkan earphone-nya ke dalam tas, gadis itu berganti memainkan ponselnya. Ponselku habis baterai, kalau masih menyala aku juga akan bermain ponsel menghilangkan rasa suntuk ini. Karena tidak tahu mau berbuat apa, aku mengajaknya berbicara.

"Besok mau nonton nggak?" tanyaku.

"Hah?" Dia bingung, kaget, dan berubah malu. Pertanyaanku kurang jelas.

"Bukan nonton di bioskop. Maksudku nonton pertandingan besok," jelasku. Kulihat telinganya memerah. Dia mengangguk tetapi tidak mau menatapku. Apa jangan-jangan dia ingin nonton di bioskop denganku lagi?

"Kalau kamu pengen nonton lagi nanti setelah pertandingan aku free," ujarku.

Yang barusan kulakukan bukan mengajaknya kencan. Aku hanya menawarkan diri untuk mengajaknya jalan-jalan saja. Kasian tadi dia sudah berharap. Lagi pula aku juga ingin menonton. Tidak ada teman yang bisa ku ajak, mumpung ada gadis itu jadi sekalian saja dia ku ajak.

Belum ada jawaban dari Dalila. Sepertinya dia syok karena tiba-tiba kuajak jalan. Aku jadi curiga kata-kata Isabella salah. Dalila menghindariku, salah tingkah, dan tidak bisa berkata-kata bukan karena cowok yang mengajaknya nonton ke bioskop jelek dan seperti kata Isabella—amit-amit metabolisme kucingggggg, tetapi karena dia juga menyukaiku.

Di tengah perdebatanku dan kata batinku, tiba-tiba suara Bara menginterupsi.

"Kalian kira bumi ini cuma milik kalian berdua?"


Continue Reading

You'll Also Like

7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
440K 36K 35
Narendra, N nya itu NEKAT meski ditolak Ara berkali-kali dan kena sembur tiap ngajak deket lagi. Mantan yg tiba-tiba datang saat duo admin lambe tura...
949K 94.6K 31
Ketika teman-temannya mulai gusar menjelang usia tiga puluhan, Rawi malah santai-santai dengan statusnya sebagai eligible bachelorette menjelang usia...
767K 106K 54
Dear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi st...