Sekali Merdeka Tetap Merdeka

بواسطة farvidkar

995K 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... المزيد

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 7

27.6K 3K 207
بواسطة farvidkar

DALILA

"Kenapa lebih banyak fotonya Merdeka?!"

Michiko merajuk di ruang ekstrakurikuler kami. Aku hanya diam, lari dari masalah ini. Kubiarkan saja Rusli yang menjadi tumbal, toh dia yang jadi tukang foto.

Aku pun ikutan melirik hasil jepretan Rusli yang tengah kami filter di komputer. Foto tim basket tengah menerima pengarahan coach Eli, mereka sedang melakukan pemanasan dipimpin oleh tetanggaku, Merdeka dan Bara sedang melakukan toss, dan beberapa foto individu.

Foto saat sedang latihan saja sangat bagus, ganteng-ganteng sih makanya enak dilihat, tidak kebayang saat pertandingan nanti. Sepertinya aku harus—HARUS menonton dari dekat.

"Simpan semuanya untuk dokumentasi," kataku pada Rusli. Beberapa foto sudah kupilih, sisanya tidak boleh dibuang. Siapa tahu akan dibutuhkan.

"Yang ini kirim ke WhatsApp-ku ya," pinta Michiko yang membuatku bergidik ngeri. Michiko menunjuk foto super jeleknya Bara. Aku bosan setiap hari melihat dia di kompleks kami.

Setelah rapat singkat di jam istirahat akhirnya aku sudah boleh balik ke kelas. Sedih, aku melewatkan jam makan siang. Saat aku sedang berjalan di tangga, aku mendengar bunyi 'tak tak ... tak tak ...' bunyi sepatu di tangga. Rasanya seperti ada seseorang yang mendorongku agar lebih cepat melangkah. Aku mempercepat langkah kakiku di tangga hingga akhirnya aku tiba di depan kelasnya Bara. Aku hanya ingin memberitahu dia perihal foto yang diambil kemarin. Aku juga mau bilang ke Bara kalau Michiko meminta fotonya untuk dikirim ke WhatsApp.

Kulihat Bara sedang duduk di mejanya, segera aku masuk melewati pintu kelas mereka tapi jantungku mencelos kaget. Lantai kelasnya sangat licin! Jantungku oh jantungku, batinku sembari mengelus pelan dada. Tahukan gimana rasanya hampir kepeleset? Jantung kalian seperti akan jatuh hanya sepersekian detik, setelah itu ada rasa lega karena tidak jadi jatuh.

Huft.

Aku tidak sampai jatuh di lantai, aku juga tidak sedang digendong oleh seorang pangeran seperti di film-film. Kedua kakiku masih napak di tehel, hanya saja ada seseorang yang memegangi lengan kain seragamku.

Merdeka. Jadi dia yang dari tadi berada di belakangku, nempel-nempel, membuatku tidak nyaman sampai harus melangkah super cepat dan panjang. Tetapi, thanks.

"Sama-sama," katanya.

Oh no! no! noooooooo!!!! Aku menyuarakan isi pikiranku. Dia melewatiku begitu saja. Aku pun mengikutinya, kali ini melangkah lebih hati-hati. Heran, lantai mereka licin sekali. Sepertinya ada yang baru saja menumpahkan air di sana.

Aku menghampiri Bara yang bergabung dengan Kevin. Mereka sedang mabar alias main bareng salah satu game online tembak tembakan di smartphone. Aku juga bermain game itu, hanya saja tidak ku teruskan. Aku berhenti bermain game itu sebelum orang-oranganku yang di sana mendapatkan celananya.

"Baraaaaa," aku mengganggu kegiatannya. Dia marah, dia menyuruhku untuk segera balik ke kelasku. Tapi aku belum menyerah. "Nanti malam temenin aku belanja dong. Foto kamu yang kemarin gantengggg bangettt," harus dipuji dulu agar dia mau menganggukkan kepalanya.

Bara pun menganggukkan kepalanya. Bagooss.

Sebelum balik ada yang ingin ku bilang padanya. Aku hampir lupa akan hal ini. "Oh iya, Michiko minta Rusli buat kirim foto kamu lewat japri," kataku. Bara langsung tertembak. Dia tewas di game itu.

"Ih jangan! Nanti kalau aku dipelet bagaimana?" kata Bara mulai khawatir.

"Nggak mungkin. Bapaknya Michiko-kan ustad."

...

Aku bersiap-siap di depan kaca. Cermin kamarku tidak pernah berbohong. Kalau badanku gemukan, tentu akan terlihat gemuk. Kalau leherku kekurusan, tentu akan terlihat seperti orang kurang gizi. Syukurlah sekarang berat badanku pas—tidak kurang tidak lebih sehingga pakaian yang kubeli sejak lama masih bisa dipakai.

"Wow ... masih muat," gumamku begitu memakai celana lama.

Aku sengaja berputar-putar di depan cermin memperhatikan atasan yang kugunakan. Kuangkat lengan kananku di depan cermin.

"Ih ketekku keliatan." Aku kurang nyaman dengan atasan yang jika angkat tangan, maka akan terlihat jelas ketiak kita. Aku tidak mau terlihat seperti Bara saat bermain basket.

Aku kembali mengganti atasan sembari menunggu panggilan Bara. Hari ini aku tidak ikut ke lapangan basket, beberapa berita tentang sesi latihan mereka sudah kurampung. Foto juga sudah ada. Menjelang pertandingan aku akan kembali ke lapangan.

You are well come, you are well come

Itu nada dering ponselku. Baru saja ku ganti karena nada deringku yang dulu adalah nada dering bawaan ponsel yang sering membuatku terkecoh. Ketika ada bunyi yang sama, buru-buru ku rogoh kantongku untuk mencari ponselku tapi pas kulihat ternyata yang bunyi ponsel orang lain.

"Hola," jawabku.

"Ayo buruan, abang udah menunggu di garasi," kata Bara pakai abang-abangan segala. Padahal kami lahir di tahun yang sama.

"Siap Bang!" kataku bersemangat.

Aku segera pergi ke rumahnya di sebelah rumahku. Biasanya memang jika aku ingin belanja, Bara yang akan mengantarku. Orangtuaku kerja di luar negeri, Bi Nunung tidak bisa nyetir mobil, sebagai gantinya Bara menjadi driver panggilan kami—tetapi dia lebih memilih untuk memakai mobilnya saja. Baru setahun ini dia melakukan hal itu, biasanya aku dan Bi Nunung naik taksi. Karena Bara lahir di awal tahun, jadi dia sudah mendapatkan surat izin mengemudi duluan. Lagi pula juga aku belum mahir menyetir mobil.

"Yuhu ... spada ... dubidubidam," salamku begitu tiba di garasi rumah Bara.

"Tunggu bentar, Bara lagi ambil dompetnya."

Lho? Merdeka juga ikut?

...

MERDEKA

"Kelar latihan mau nongkrong cari makanan nggak?"

"Yah, gue sudah janji mau nganter Dalila belanja."

"Kalau gitu gue ikut deh. Gabut banget di rumah."

"Nggak disuruh jagain Liora?"

"Nggak."

Begitulah cerita singkatnya aku bisa berada di mobil ini. Bara yang menyetir, aku duduk di sebelahnya, sementara Dalila duduk di belakang. Setelah sedikit bercerita ternyata Dalila hanya tinggal berdua dengan pembantunya yang namanya ada 'ung-ung-nya'.

"Lumayan bisa irit ongkos taksi," kata Dalila sambil memijit bahu Bara. Sepertinya mereka memang teman dekat. Aku tidak cemburu, hanya sedikit risih melihat kedekatan mereka.

"Merdeka, rumahmu di mana? Dekat dari sini?"

"Nggak terlalu jauh," hanya perlu satu kali naik mikrolet, turun di pos satpam, jalan kaki sekitar 400 meter. Lebih baik bawa kendaraan pribadi karena angkutan umum seperti mikrolet dilarang masuk.

"Udah berapa kali main ke rumahnya Bara?"

"Lumayan sih, udah beberapa kali," jawabku. Aku lupa tepatnya berapa kali.

"Kok aku nggak pernah lihat kamu, ya? Padahal jendela kamarku sama jendela kamarnya Bara deket banget. Kita sering saling lempar bom atom kalau lagi marahan."

Bom atom? Kuyakin yang Dalila maksud paling hanya batu atau kerikil. Tapi—sedekat itu kah mereka? Berarti bangun tidur, makan, selonjoran, tidur lagi, semuanya bisa saling melihat. Untung saja Bara tidak pervert.

"Kalian saling kenal sejak lahir?" tanyaku. Aku ingin tahu seberapa lama mereka saling kenal.

"Hampir tiga tahun nggak sih?" tanya gadis itu pada Bara.

"Kira-kira begitu," jawab Baru yang fokus menyetir.

"Bara baru pindah ke rumah itu pas dia baru masuk SMA," jelas Dalila.

Setahuku ayahnya Bara seorang perwira Angkatan Laut, sering berpindah tugas. Ibunya Bara selalu mengikuti suaminya berpindah dinas. Kakaknya Bara juga mengikuti jejak karir orangtuanya. Kalau Bara sampai sekarang aku tidak tahu cita-citanya apa. Rumahnya Bara yang sekarang sudah lama mereka beli, hanya saja dibiarkan kosong. Setelah ayahnya Bara pindah ke sini, barulah mereka menempati rumah ini. Jadi besar kemungkinan Bara dan Dalila memang tidak kenal lama seperti yang kubayangkan sebelumnya.

"Tumben lo banyak nanya," sungut Bara. Aku hanya diam tak mau menanggapi.

...

Asem bangettt. Karena kelar latihan aku tidak langsung mandi, hanya melap tubuhku dengan handuk basah, aku takut akan tercium bau dari tubuhku. Sebenarnya bukan hanya aku saja, ada Bara yang sama halnya denganku—kita berdua sama-sama bau kecut. Kata Bara handuk basah saja sudah cukup.

Awalnya gerah, tetapi setelah masuk ke supermarket yang dinginnya bukan main itu hilang sudah kegerahanku. Aku sengaja berjalan ke bagian sayur-sayuran, AC di sana lebih dingin dibandingkan AC di tempat camilan.

"Mau belanja juga? atau cuma mau lihat-lihat aja?" tanya Dalila. Gadis itu mendorong troli besar. Sepertinya dia mau belanja bulanan.

"Numpang dingin doang," kataku. Gadis itu malah tertawa.

Tiba-tiba Dalila menarik tanganku menuju sebuah AC floor standing yang berada dipojok.

"Di sini yang paling dingin," kata gadis itu kemudian pergi meninggalkanku. Benar juga katanya, aku seperti ikan asin yang sedang dibekukan.

"Ngapain di sini?" Astaganaga! aku tidak tahu kalau sedari tadi ada Bara yang juga berdiri di sini—tepat di sebelahku. Kenapa tadi aku tidak melihatnya, ya? Tidak mungkin dia invisible man.

Berdiri bersebelahan dengan Bara seperti ikan asin yang dibelah dua. Kami sama-sama bau asam. Kuputuskan untuk segera menjauh darinya. Aku pun mencari keberadaan Dalila. Ku lihat dari jauh, dia berada di deretan bumbu dapur.

"Nyari apa lagi?" tanyaku.

"Sisa serai, kunyit, sama daun salam."

Aku sering menemani Bunda dan Mbak Noor belanja. Tetapi tidak mudah bagiku untuk menghafal semua penduduk kulkas. Beberapa dari mereka sangat mirip. Aku pun mencoba membantu gadis itu.

"Kamu nyari ini?" tanyaku mengambil beberapa kunyit.

"Bukan. Ini namanya jahe. Mirip, ya?" gadis itu tertawa disela-sela perkataannya. Iya sih, bagian luarnya sama. Aku terkecoh dua kali.

"Tolong ambilin serai dong," kata gadis itu, dia baru saja mengambil daun salam yang menurutku lebih terlihat seperti daunnya pohon jeruk.

Aku berjalan sedikit ke ujung. Ada beberapa ikat daun yang panjang-panjang. Aku tidak hafal mana yang dimaksud. Tidak ada keterangan juga yang mana merupakan daun serai. Akhirnya aku membawa dua ikat daun yang berbeda.

"Mau ambil yang mana? Ini atau yang ini?" tanyaku. Di tangan kiri dan kananku ada dua ikat daun yang berbeda.

"Ini daun serai, kalau yang ini daun bawang," jelas gadis itu. Oho, aku belajar hal baru. Ternyata yang selama ini Bunda campurkan ke dalam telur dadar adalah daun bawang. Kukira daun pandan.

Dalila berjalan mengambil beberapa bungkus sayuran yang ditimbang. Aku langsung mengambil alih troli yang didorongnya itu.

"Biar aku aja," kata gadis itu tidak enak.

"Nggak apa-apa."

Jangan salah mengartikan sikapku ini. Aku memang selalu bersikap baik pada wanita. Biasanya juga aku yang mendorong troli saat menemani Bunda belanja. Sebagai anak pertama, laki-laki pula, aku diajarkan oleh Ayah untuk bersikap gentle. Tidak semua sikap gentle itu harus terlihat gagah, kuat, dan menggunakan otot. Attitude itu utama.

Lila menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Seperti heran, kagum, syok, dicampur jadi satu. Kalau hanya menerka dari tatapan saja aku tidak bisa membaca isi pikirannya.

"Kamu lagi nggak nyoba pdkt ke aku kan?" mata gadis itu menyipit, seolah-olah sedang menyelidikiku.

"Nggak."

"Tapi kamu kayak lagi nyoba deketin aku, tiba-tiba baik, sok perhatian mau bantuin segala," jelas gadis itu seperti sudah sangat berpengalaman.

"Tau dari mana? Emangnya ada yang pernah kayak gitu ke kamu?" aku balik bertanya.

"Oho, banyak lah!" Eh? Dia terlihat sangat bangga.

"Siapa aja? sebutin satu-satu," perintahku.

"Anwar, Ikram, Fais, Jaya, yang terakhir Yusak."

OK, noted. Aku catat nama mereka semua.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

607K 132K 64
Pelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam
764K 106K 54
Dear Future Ainara, Kalau kamu sampai membaca ini berarti posisiku sekarang sudah move on dari Mas Crush. Namun, jika kamu ketiban sial, bisa jadi st...
6.9M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
239K 20.5K 40
[COMPLETE] Selama dua tahun, Aruna selalu membenci bulan Februari. Karena di bulan itu diputuskan oleh Firo pacarnya yang saat itu begitu dia cintai...