Kendaraan itu melaju dengan kecepatan normal di atas jalanan beraspal. Perjalanan sejauh 3 km ditempuh olehnya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut masing-masing. Debu-debu jalanan, asap knalpot, serta deretan penjual kaki lima, menjadi saksi atas diamnya Elang serta Rania. Keduanya sibuk oleh pikiran masing-masing. Bahkan peluh-peluh keringat tak lagi dihapus. Dibiarkan begitu saja, hingga belaian angin membuatnya mengering.
Perjalanan sejauh 3 km yang ditempuh dalam diam itu akhirnya selesai. Kendaraan roda dua yang tadinya melaju di atas jalanan beraspal kini berhenti tepat di depan rumah berpagar hitam. Rania turun, lalu melepaskan helm dan mengangsurkan ke arah Elang. "Makasih, Lang," ucap Rania sambil melihat laki-laki itu yang meletakkan benda pemberiannya di depan dasbor.
"Bentar," tukas Elang tiba-tiba. Tampaklah Elang yang juga ikut melepaskan helm full face favoritnya. Dia turun untuk kemudian menjulang tinggi di sebelah motornya. "Sini dulu." Elang menarik lengan kanan Rania agar gadis itu bisa lebih dekat ke arahnya.
Belum pun kerutan di dahi Rania berkurang, Elang kembali lagi meraih pipinya. Manik laki-laki itu menelisik jauh, meneliti lebih detail pada garis-garis merah yang terlihat samar pada pipinya. "Sialan, si kutu badak," Elang mengumpat dengan wajah memerah karena marah, "bisa-bisanya dia buat kasar sama lo."
"Udah, Lang," balas Rania memilih bersikap tenang. Dia meraih tangan Elang yang masih berada di pipi, menurunkannya. Rania tahu bahwa Elang tengah mengkhawatirkan keadaannya.
"Kalian ngomongin apaan, sih, sampe Raka bisa begitu? Terakhir gue liat dia bener-bener gila, ya, pas tau kalau Tania meninggal."
"Ih, mulutnya," desis Rania tak suka.
"Kan bener kalau dia gila. Emang stres tuh orang," sungut Elang masih pada topik pikirannya.
Karena lelah, Rania akhirnya memilih untuk mengalah. Alhasil dia pun menceritakan awal kejadian hingga berakhir dengan Raka yang menampar pipinya. "Gitu, Lang. Aku ... gak salah, 'kan?" Rania bertanya ragu. Jemari yang masih digenggam Elang perlahan basah oleh keringat dinginnya.
Terlihat laki-laki di depannya menyunggingkan senyum paling lebar yang ia punya. Wajahnya merekah, amarah yang sempat muncul beberapa saat lalu perlahan menguap ke udara. Elang lantas menepuk-nepuk puncak kepala Rania tiga kali. Bangga sekaligus takjub akan keberanian Rania. "Lo gak salah," aku Elang dengan wajah paling santai, "gue bangga malahan. Akhirnya lo bisa tegas juga sama dia."
Ah, syukurlah. Rania mengusap dada. Akhirnya ia bisa menghela napas lega. Kalau boleh jujur, Rania masih takut sampai sekarang. Dia masih bisa mengingat dengan jelas wajah tersangar Raka. Dirinya seperti baru saja melihat sisi gelap yang laki-laki itu punya. Namun, saat Elang menggenggam tangannya, saat laki-laki ini tersenyum lebar hingga menampakkan garis melengkung pada pipinya, serta saat dia menepuk puncak kepalanya, Rania pun tahu. Bahwa ketakutan yang ia punya sungguh tidak berarti apa-apa.
"Makasih, Lang." Begitu ucapnya tiba-tiba. Kata itu terlintas serta terlontar begitu saja di tengah rasa bahagianya.
"Hah, buat apa?" bingung Elang tak paham.
"Karena udah mau selalu ada buat aku," jawab Rania lancar tanpa hambatan.
"Gue selalu ada buat lo karena lo cewek gue, cebol. Gue jagain lo kaya tadi, rela berantem sampe tulang gue rasanya mau patah itu karena gue sayang sama lo. Mana rela gue liat lo ditampar-tampar sama dia. Paham?" Rania mengangguk cepat. Penjelasan Elang telah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa laki-laki yang mempunyai mulut agak 'kasar' ini memang sungguh telah menyayanginya. Elang merelakan separuh kesehatannya hanya untuk menjaga dirinya agar selalu baik-baik saja.
"Oh iya, menurut lo tadi gue berantemnya gimana? Keren banget, 'kan? Udah mirip hero di film-film gak, sih?" tanya Elang beruntun. Dia berubah semangat dalam seperkian detik saat mengingat kembali kejadian baku hantam di lorong sekolah tadi. Membuat Elang kembali berbinar walau cahaya matahari telah melelehkan keringat pada pelipisnya.
Namun, seolah takdir memang ingin mematahkan hati Elang banyak kali. Semangatnya hilang, bahunya luruh bersamaan. Hanya karena gelengan singkat dari gadis di depannya. Katanya, "Gak tau, aku gak liat. Soalnya pas kamu berantem aku tadi nangis sambil tutup muka."
Ah, sial!
* * *
Suara piring yang bersentuhan langsung dengan meja terdengar halus. Menampilkan beberapa potongan apel yang Rania suguhkan tepat di depan Luna. "Makan, Bun," ujarnya mempersilakan. Lantas setelahnya, ia pun mengambil tempat di sebelah Luna, memangku bantal sofa berwarna kuning cerah.
Ruang tamu yang juga dijadikan sebagai tempat bersantai ibu dan anak itu tampak rapi. Rania selalu rajin membersihkannya. Sofa berwarna biru muda berhadapan langsung dengan meja kaca bundar dengan piring berisi apel di atasnya. Sementara beberapa langkah ke depan, sebuah televisi tipis menyala, menampilkan seorang aktor yang memainkan perannya dalam film tersebut.
"Tumben makan apel?" Luna mengambil satu, mengunyahnya dengan mata yang mengerling sekilas ke arah Rania.
"Laper, Bun," jawab Rania menyengir kuda.
"Bukannya udah makan ya tadi?"
Rania mengangguk dua kali. "Tapi tetap aja masih laper."
"Sekolah kamu gimana?" Luna kembali bertanya. Kali ini tatapannya benar-benar jatuh kepada putri semata wayangnya.
"Gak gimana-gimana, Bun. Masih sama kaya kemarin-kemarin." Dengan cepat, potongan apel dalam piring itu telah kandas. Rania mengembuskan napas panjang, mengelus perutnya yang bulat karena kekenyangan. "Butik Bunda juga gimana? Udah lama Rania gak main ke sana."
"Alhamdulillah. Akhir-akhir ini banyak yang pesen baju di butik. Penghasilannya bertambah dua kali lipat, Ran," jelas Luna semringah. Terlihat jelas bahwa kabar ini begitu membuatnya bahagia. Rania sungguh bersyukur. Karena dengan hal, dia akhirnya bisa menerima kabar baik bahwa Luna telah jauh dari kata kesedihan.
"Syukurlah, Bun. Seneng Rania dengernya," balas Rania seraya mengulas senyuman manis dari bibirnya.
"Eh, tadi pas belanja bulanan Bunda ketemu sama Elang di sana." Luna mengalihkan topik pembicaraan. Seperti remaja yang hendak curhat, wanita berkepala empat itu kontan mengarahkan kedua lututnya ke arah Rania.
"Eh, iyakah?" tanya Rania kaget.
"Iya," angguk Luna sambil menepuk paha Rania sekilas, "anaknya baik banget. Dia bantuin dorong troli Bunda, temenin Bunda sampe selesai belanja. Tadinya dia juga mau nganterin Bunda pulang, tapi Bunda larang. Takut ngerepotin calon mantu, 'kan?"
"Ish, Bunda," rengek Rania tak suka, "trus dia tanyain Rania, gak?"
"Ya ditanya, dong."
"Bunda jawab apa?"
"Bunda jawab aja kalau kamu lagi tidur-tiduran di rumah. Gak mau diajak belanja. Males, 'kan, kamu bilang?"
"Astaghfirullah, Bunda." Kali ini Rania benar-benar memekik dengan suara tertahan. "Kenapa dijawab begitu? Rania males juga karena capek nyapu sama ngepel tadi."
"Kamunya gak bilang gitu mana Bunda tau. Tadi pas Bunda ajak, 'Nak, belanja, yuk', jawabnya, 'Enggak, ah, Bun. Males'. Gitu, 'kan?"
"Gitu ... tapi, kan--ahh." Rania mengerang frustasi. Bukan apa, hanya saja dia tidak suka jika esoknya Elang malah mengejeknya secara terang-terangan. Lantas, siapa yang harus ia salahkan di sini?
* * *
Pelajaran pertama untuk pagi ini hampir dibunyikan. Namun, saat ini Rania dan Kayla masih berada di toilet. Ah, ralat! Hanya Kayla, sedangkan Rania ada untuk menemaninya saja.
Rania berdiri di depan pintu yang Kayla masuki. Dari tadi dirinya tampak cemas, lalu mulai mengetuknya berkali-kali. "Kay, cepetan dikit, ya. Gue lupa kalau pelajaran pertama kita tuh Bu Meka," ucap Rania dengan menggigit jari telunjuknya dengan gusar.
"Lha, emang kenapa dengan Bu Meka?" tanya Kayla dari dalam sana. Suara gadis itu terdengar menggema.
"Ck, lo lupa kalau Bu Meka itu suka ngehukum muridnya yang terlambat masuk kelas? Dan gue gak mau dihukum. Paham?" ujar Rania tegas, tak ingin dibantah. Namun, bukannya segera bergegas, Kayla malah tertawa. Sial, gadis itu bahkan tak terpengaruh sama sekali.
"Santai aja, Ran. Kaya gak pernah dihukum aja." Kayla mencoba untuk bergurau. Namun, sayangnya itu tak lantas membuat Rania juga ikut tertawa. Yang ada, Rania malah semakin bersemangat untuk menggedor pintu dan mengancam akan meninggalkan Kayla jika gadis itu tak segera bergegas keluar dari sana.
"Gue hitung sampe tiga. Satu ... dua ... "
Pintu terbuka dan Kayla muncul tanpa mengenakan kacamata. "Iya iya, Rania. Sabar napa?" Gadis itu bersungut-sungut sambil meletakkan benda kesayangannya itu pada pangkal hidungnya.
Tak ingin meladeni Kayla semakin jauh, Rania pun lantas melangkah secepat mungkin. Tambahkan dengannya yang yang juga menyeret Kayla, memaksanya untuk ikut pergi. Membuat si gadis kacamata itu terseret seraya mengomel marah di belakang.
Lorong kelas terlihat sepi. Murid-murid yang awalnya berkeliaran di depan kelas, kini sudah tak terlihat lagi. Rania semakin panik. Berdoa semoga Bu Meka terlambat masuk ke dalam kelasnya. Langkahnya pun semakin cepat, hampir setengah berlari. Namun, mendadak itu semua dipaksa berhenti. Kayla tiba-tiba menahan pergerakannya yang otomatis juga ikut membuat Rania berhenti juga.
Ah, sial! Rania ingin mengumpati Kayla. Sewaktu dia menoleh, dirinya malah mendapati gadis berkacamata itu memandangi ke arah lorong belakang gudang. "Astaga, Kayla .... Kenapa lagi, hah?!" tanya Rania setengah memelas bercampur kesal.
"Syuuuut ... " Kayla meletakkan jari telunjuk pada bibir, "gue dengar suara Fiki dan Elang di sana," lanjutnya seraya menunjuk ke arah yang sejak tadi ia pandangi dengan sorot penuh penasaran. "Mereka ... kaya lagi berantem."
* * *