Sekali Merdeka Tetap Merdeka

By farvidkar

994K 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 5

31.2K 3.2K 165
By farvidkar

DALILA

Aku suka sama dia? HALAH. Aku hanya berusaha ramah padanya. Aku mau menulis berita tentang tim basket. Merdeka salah satu tim basket. Aku ingin hubungan kami akur. Yep, hanya itu.

Kenapa selama ini aku yang nunjukin sisi excited? Well semuanya bermula pada Merdeka yang ketahuan nge-stalk Instagramku. Oh, ngapain dia mampir ke media sosialku? Niatnya apa? Kok dia ngehandari aku? Semuanya aku analisis dan dugaanku adalah dia suka padaku. Aku bukannya ge-er, tetapi anggap saja ini sebagai sikap percaya diri.

Lagi pula aku tidak berharap dia menyukaiku. Aku tidak suka pria yang cuek seperti itu. Aku suka pria romantis.

"Dalila awas!"

Sialan si Bara. Untung saja aku gesit menangkap bola itu. Kalau kena kepalaku bagaimana? Bakalan oleng ke belakang. Kalau kena wajah? Hidungku bakal keluar darah. Begitu Bara mendekat, bola itu langsung ke kembalikan padanya.

Kulirik melalui sudut mata, Merdeka sedang melihatku. Aku pun balas dengan terang-terangan menatap pria itu. Biasanya saat seorang gadis akan terkena bola, ada seorang pria yang akan menolong gadis itu. Merdeka yang duduk di sebelahku tidak bergerak sama sekali. Dia hanya menonton bola itu datang padaku. Tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Makanya kuanggap Merdeka bukan tipeku.

...

MERDEKA

"Istirahat 15 menit," kata coach Eli. Bersamaan dengan itu aku menghampiri coach Eli dan teman-teman yang lain. Bunda mengirimiku pesan untuk segera pulang. Bunda dan Ayah ada acara makan malam dengan orang kantor, sehingga aku yang akan menjaga Liora—lagi.

"Coach aku izin pulang duluan. Dapet telepon dari orang rumah suruh cepat pulang," kataku. Coach Eli memaklumi alasanku.

Kulihat Bara menghampiriku. Pria itu melemparkan bola basket padaku.

"Sudah mau pulang? Main satu set dulu gimana?" ajak Bara. Sebenarnya aku ingin ikut bermain, tetapi alasanku sudah jelas.

"Sorry. Liora udah nunggu."

Aku men-dribble bola basket itu dengan ritme 'satu ... dua ... satu ... dua'. Tanpa aba-aba aku mengoper bola itu ke Bara—tepat di wajahnya. Dia kaget dan langsung mengumpat kesal membuatku tertawa puas.

Aku segera menghampirinya kemudian sambil menepuk pundaknya aku berkata.

"Lain kali hati-hati."

Bara terlihat bingung. Aku pun segera berlalu meninggalkan dia yang meneriakiku.

"Kan lo yang ngelempar bola!" teriak Bara. Sambil berjalan cepat aku pura-pura tidak mendengar teriakannya.

...

Sepulang sekolah aku langsung berada di kamar, menonton anime di laptopku sambil menggendong Liora di pangkuanku.

"Baba," panggil Liora sambil berusaha berdiri. Mataku masih fokus melihat Luffy, tetapi tanganku memegangi Liora. Gadis kecil itu menarik bajuku saat dia berusaha menegakkan kakinya.

"Baba!" Liora terlihat begitu bahagia saat berhasil berdiri. Tetapi masih harus kupegangi karena dia berdiri di atas kasur.

"Babababa!" ucapnya.

"Apa?" tanyaku tidak begitu paham meski sudah berusaha untuk mencoba mengerti.

"Babaaaa," Liora tertawa saat kasur yang diinjakinya bergoyang.

Aku mencium gadis kecil itu saking gemasnya. Meski yang dikatakannya hanya 'babababa' tetap saja terdengar imut dan aku senang jika dia terus berbicara meski mengganggu tontonanku. Sekali lagi aku menciumnya dengan gemas.

"Baba!!" bersamaan dengan kata 'baba' itu terdengar pula bunyi 'plakk'.

Bukan aku yang menampar, tetapi akulah yang ditampar. Tangan kecil Liora menampar mataku. Dilihat dari wajahnya dia tidak terlihat marah. Aku juga tidak bisa marah karena Liora sangat menggemaskan. Mana tega aku memarahi si bungsu.

"Kenapa mukul aku?" tanyaku meski tahu jawabannya adalah 'baba'.

"Baba." Mungkin dia minta maaf?

"Iya, aku maafin," jawabku berlapang dada.

"Baba!" Liora menarik jambangku. Kalau ini sih sakitnya bukan main!

Aku menekan tombol pause di laptopku. Akan kulanjutkan lagi setelah jambangku dilepas olehnya.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Isabella yang tahu aku sudah pulang langsung berlarian menghampiriku. Tapi dia berhenti di ujung kasur sambil menatapku dan liora bergantian.

"Mesra banget, sih." Entah ini ungkapan bahagianya atas kekompakan adik kakak atau sindiran karena aku sudah tidak memanjakan dia lagi. "Dari luar pintu aku kira ada apa, jangan bikin yang denger jadi mengada-ada deh Bang," lanjutnya kembali berkomentar.

"Dia narik jambang aku dari segi mananya yang mesra," dengkusku. "Sini bantu lepasin tangan Liora dulu," pintaku pada Isabella.

Isabella pun membantu memisahkan Liora dariku. Kemudian menggantikan jambang dengan ponselku di genggaman Liora. Setelah itu Isabella beralih memijit pundakku, kemudian berpindah memijit kepalaku, lalu menggenggam telapak tanganku. Pasti ada maunya.

"Bang Deka, mana suratku," tanya Isabella dengan nada semanis mungkin.

"Nggak ada," balasku tidak kalah manis.

"Serius?" Aku mengangguk. Kulihat Isabella jadi patah semangat.

"Jangan dulu percaya kalau belum ketemu langsung. Bisa jadi yang ngirim itu orang nggak bener," kataku mengingatkan. Aku saja tidak tahu siapa yang selama ini mengirim surat untuk adikku. Dugaanku pengirimnya adalah teman sekelasku.

"Abang nggak pernah jatuh cinta, makanya nggak tahu perasaan dikirimin surat cinta kayak gimana. Susah jelasin sama orang yang nggak pernah jatuh cinta model Abang."

Dia duluan falling in love, padahal aku yang duluan lahir.

"Aku kan cuma ingetin doang. Teman-teman kelasku juga nggak semuanya waras. Kalau memang salah satu dari mereka pengirimnya, terus cuma main-main aja sama kamu kan aku juga yang—pokoknya paham kan apa kata Abang?"

Isabella mengangguk patuh. "Tapi kalau ada surat buat aku jangan dihalang-halangi, ya," pintanya. Aku menyanggupi hal itu. "Bang Deka juga mulai sekarang coba cari pacar, supaya kalau ... kalau ya kalauuuu misalkan aku dapet pacar duluan, Bang Deka nggak punya alasan nggak mau dilangkahi," lanjutnya.

Isabella satu-satunya yang selalu mengajakku deep talk di rumah kami. Walaupun aku lebih tua dirinya, tetapi masalah percintaan dia lebih mudah paham hal itu. Dia sering memberi masukan dan saran tentang percintaan padaku yang katanya terlihat lebih miris dipandingkan ponselku.

...

DALILA

Aku ngebut, bukan menggunakan kendaraan beroda, aku ngebut menggunakan kedua kakiku. Dua menit lagi tidak akan terlambat. Aku tidak ingin selamanya dicap sebagai tukang terlambat oleh Pak Pardi. Gerbang sekolah semakin terlihat. Aku mempercepat langkah kakiku. Ku lihat ada seseorang yang berdiri di tembok dekat gerbang sekolah. Padahal sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup, bukannya cepat-cepat malah sandaran di tembok.

"Santai banget si Merdeka," gumamku.

Pak Pardi melihatku berlari, aku melambaikan tanganku. Semoga saja hari ini dia sedikit mau berbaik hati. Saat sudah sangat dekat dengan gerbang sekolah, Merdeka ikutan berjalan mendekati gerbang. Pria itu berjalan masuk duluan, tepat di depanku.

"Tumben nggak terlambat," kata pria itu.

"Oho ... sekarang udah bisa bicara lebih dari satu kata ya," godaku. Dia mengabaikanku. Pria itu berjalan lebih cepat menciptakan jarak antara kita berdua.

Aku mengikuti langkah panjang pria itu. Ada bunyi tak tak tak langkah kaki di tangga. Kakinya sangat panjang, jika Merdeka dua langkah, aku baru satu langkah. Kalau main lompat karet pasti aku kalah telak. Tiba-tiba dia berhenti kemudian menatapku.

"Kamu ngikutin aku?" tanya Merdeka. What? Aku mendengkus.

"Kelas kita searah," jawabku sesuai fakta.

"Oh."

Cuma 'Oh'? setelah itu dia kembali berjalan. Aku juga tidak akan bengong di tangga. Ada dua kali bunyi tak tak hingga tidak terdengar lagi. Untuk kedua kalinya Merdeka berhenti dan menatapku.

"Ngapain nempel-nempel?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng cepat. Aku tidak nempel-nempel. Aku hanya berusaha mengejar langkah kakinya. Aku penasaran apakah bisa mengejar langkahnya yang super panjang itu atau tidak. Kepalaku mengadah ke atas. Kita berdua hanya beda satu tangga sehingga jarak antara kita berdua terasa dekat sekali.

"Aku nggak nempel-nempel," kataku.

Dia menunjukku dengan jari telunjuknya. Seolah-olah memberitahukan kalau jarak kita berdua terlalu dekat.

"Okay ... okay.. kamu yang punya tangga. Aku ngalah," kataku. Aku mundur turun satu langkah ke bawah. Kurang ajar sekali pria itu. Bahkan setelah aku mundur satu langkah tanpa babibu dia melanjutkan perjalanannya.

...

MERDEKA

"Ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Bara begitu aku baru masuk ke dalam kelas. Aku memilih mengabaikan pria itu.

Kulihat Bara keluar dari kelas. Sepertinya dia berbicara dengan Dalila di luar. Suaranya masih terdengar dari dalam kelas.

"Permisi, permisi," kata Bara. Kali ini dia mengajak gadis itu masuk ke dalam. Tidak tahu apa yang akan dilakukan Bara, pikiranku mulai kacau. Jangan-jangan dia tahu penyebab aku senyum-senyum sendiri begitu memasuki kelas.

Jangan menduga aku benar-benar jatuh cinta pada gadis itu. Aku tersenyum karena ada hal yang lucu. Dia bilang aku yang punya tangga. Selera humornya sama denganku. Apalagi saat dia mundur satu langkah, padahal aku tidak ada niat seperti itu. Aku hanya ingin menjahilinya saja. Bayangkan saat kau berada di tangga ada orang yang berjalan tepat di belakangmu terlalu dekat, rasanya seperti ingin mendorongmu atau menyuruhmu berjalan lebih cepat.

"Aku nggak ngikutin kamu sampai ke sini lho ya. Bara yang paksa aku masuk ke dalam kelas kalian," kata gadis itu buru-buru padaku.

"Aku nggak nanya."

"Aku cuma mau ngasih tau aja," dia tidak mau kalah debat. Yasudah aku yang mengalah dan memilih diam.

Bara duduk tepat di sebelahku. Pria itu terlihat mengobrak-abrik isi tasnya mencari sesuatu.

"Aku juga nggak bawa," kata Bara. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

"Yah. Gimana dong," kata Dalila bingung.

"Pinjamin Dalila buku cetak Biologi dong," kata Bara. Dalila hanya diam menatapku. Matanya memberitahukan kalau dia sedang berharap padaku. Mata pelajaran Biologi ada di jam terakhir, jadi aku tidak membutuhkan buku itu sekarang.

Aku memberikan buku cetak itu padanya.

"Terima kasih. Nanti aku balikin," kata gadis itu kemudian berlalu pergi.

"Dia nggak suka sama lo," kata Bara tepat ketika Dalila sudah menghilang.

"Iya tahu."

"Dia nggak punya pacar," satu lagi informasi dari Bara yang sangat bermanfaat.

"Iya."

Bara bersemangat sekali untuk menjodohkanku dengan Dalila setelah adegan memalukan di lapangan basket. Teman-teman tim basket juga sering menggodaku jika Dalila datang ke sana. Sebenarnya aku hanya sedikit penasaran saja tentang gadis itu, tidak lebih. Tetapi jika orang sekitar berusaha mendekatkanku dengan gadis itu, rasa penasaran yang sedikit itu kian bertambah.

"Kalau tiba-tiba lo suka sama dia bilang aja ke gue. Dalila itu tetangga gue."

Hah? Aku tidak tahu. Sudah beberapa kali aku mengunjungi rumah Bara tetapi tidak pernah tahu kalau mereka adalah tetangga.

"Serius?" tanyaku—keceplosan.

"Kenapa? Pulang sekolah mau main ke rumah gue?"

Continue Reading

You'll Also Like

363K 22.8K 28
Kisah mengenai dua orang yang tidak saling mengenal satu sama lain tetapi dipertemukan oleh takdir. Kisah mengenai dia yang tidak pernah mengenal cin...
62.2K 5.4K 52
#HUJAN.SERIES.4 "Where have you been all this time?" "Nowhere. Not your bussiness by the way." "Air, please?" "No! Berhenti panggil gue dengan nama...
681K 9K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
92.5K 15.7K 47
[Masuk dalam reading list @WattpadRomanceID dengan kategori Cerita Bangku Kampus-Maret 2021] Ada dua hal yang dibenci Oktan; mimpi dan gadis itu. Ia...