Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 2.10.5

87 20 75
By monochrome_shana404

Sayup-sayup terdengar suara Aoi dari televisi yang memperlihatkan sosoknya tengah berbincang dengan seorang pembicara. Senyum merekah jelas di wajah senior kala mendengarkan si profesor muda bertutur dengan hati-hati.

Hampir saja memasuki libur musim panas, Alford Corporation kembali mengharumkan nama negara. Mereka sukses menjalankan rencana. Sekarang robot mereka telah tersedia melayani pengunjung di salah satu museum Tokyo.

Perusahaan di tempat Eleonor bekerja kembali naik daun di seluruh kabar berita. Tentu saja, dalam bentuk apapun. Namun, sayangnya Eleonor tidak dapat menghadiri undangan wawancara sebab mendapat berita penting yang harus diurus di Chelyabinsk. Beruntung mereka mampu menyelesaikan segalanya tepat waktu, jadi Eleonor tidak pergi melepas tanggung jawab begitu saja.

Sempat ia berbincang dengan koleganya sebelum pergi menuju boarding pass-yang entah bagaimana kebetulan berada di sana. Agaknya mereka bercerita cukup panjang sehingga Eleonor tidak mampu mengingatnya.

Hal yang pasti, dia sudah berada di kampung halaman, setidaknya sekarang sudah beristirahat di kamar lama, mengingat sekujur tubuhnya terasa sakit setelah meminum kopi di sebuah kafe bandara.

Ya, memang seharusnya begitu.

Tapi saat utuh membuka mata, bukan pemandangan dan suasana rumah yang ia dapatkan. Empunya manik kebiruan lantas membelalak sempurna, utuh kesadarannya dipaksa terkumpul dengan segera.

Seluruh otot Eleonor seketika tersadar. Dia saat ini tak berada di atas tempat tidur yang hangat.

Di hadapannya, langit-langit sedikit menyilaukan sebab lampu langsung mengarah padanya. Tempat ini tak sedingin Chelyabinsk, tetapi berhasil membuat Eleonor menggigil karena ia hanya mengenakan baju yang lumayan tipis. Tak seluruh bagian ruangan diberi penerangan, percuma menyapu seluruh pemandangan. Dia sama sekali tak tahu apakah pemilik tempat hanya sekadar berhemat atau menyukai gelap.

"Aku sudah mendapatkan apa yang kau mau, Jackal. Pulanglah." Sebuah suara sukses mengundangnya menoleh ke samping. Jantungnya terlonjak, hampir melompat dari tempat kala ia mendapati pria muda yang tersenyum padanya; sedang berbincang dengan seseorang lewat telepon.

Manik kemerahannya berakhir beralih kala ia mendengar suara lawan bicara. Eleonor tidak yakin mengenai apa yang tengah mereka bincangkan, tetapi justru itulah yang membuat ia semakin bersikap waswas. Dia tak bisa melakukan apa-apa sekarang selain memandang Kenji dengan sikap waspada. Seluruh tubuhnya diikat kuat-kuat di ranjang tempat ia berbaring.

"Tentu. Sesuai janjiku, aku akan membuatnya mudah ketika kau sampai ... ya, aku akan menanti." Terdengar jelas Kenji mengukir senyum seolah berbangga diri atas bahasa Rusianya yang terdengar fasih. "Terima kasih. Sampai nanti."

Demikian si pria muda menutup telepon, beralihlah ia pada Eleonor dengan segera. Tanpa ragu ia memasang senyum manis yang ia punya, seperti sedang menyambut kedatangan kelinci putih yang lucu di depan rumahnya.

"Maaf mengabaikanmu sebentar. Ada sedikit perundingan yang harus kumenangkan dengan sahabat lamaku," ujar Kenji berbasa-basi. Kali ini agaknya sadar bahwa Eleonor memahami bahasa Jepang dengan baik. "Selamat datang di Yokohama, Profesor Radiovalenka. Senang kau benar-benar mendengar rekamanku dan langsung bergegas ke Chelyabinsk."

Rekamannya? Eleonor mengulang dalam hati. Manik kebiruannya spontan terpejam erat-erat. Sebisa mungkin Eleonor mengendalikan diri dan mengingat-ngingat apa yang sebenarnya terjadi, sebab ... insting dari dalam diri si profesor merasa sekarang bukan merupakan hal yang tepat untuk memberontak.

Acara peresmian robot-robot pembantu yang diciptakan Alford Corporation akhirnya tiba. Semua orang-orang yang terlibat dalam pembuatan turut serta memeriahkan acara. Tepuk tangan, kilatan kamera digital, wartawan yang sibuk mewawancarai orang-orang penting hadir, sama sekali tak memberikan mereka kesempatan bagi mereka untuk beristirahat barang sebentar.

Eleonor baru saja hendak menepi. Suara ponselnya kebetulan sengaja ia buat nyaring kali ini, persis berdering kala ia menginjak lima langkah dari kerumunan. Tidak ada salahnya. Itu merupakan cara terbaik untuk melarikan diri dari wawancara yang penuh sesak.

Mendapati teks yang menampilkan pemilik nomor 'Ayah' dalam alfabet Rusia. Sungguh bukan perihal biasa, sang ayah menelpon di saat ia bekerja. Tanpa ragu Eleonor mengangkat telepon tersebut, semakin memilih untuk menjorok ke sudut yang lebih lenggang.

Tak begitu banyak yang Eleonor ingat setelahnya. Namun, hal yang pasti ia ingat adalah patahan kata sang ayah yang berujar seperti, "Ayah hanya terjatuh, tak masalah ... jangan khawatirkan Ayah. Ayah akan melihat beritamu dari Chelyabinsk."

Tapi mendengar suaranya yang seolah tak berdaya, siapa yang tega membiarkan pria paruh baya itu sendirian di rumah sakit? Memikirkan bagaimana ia sendiri tanpa siapa saja yang menemani-selain suster dan dokter-saja sudah membuat Eleonor senewen.

Nina, salah seorang koleganya yang masih muda itu menangkap kekhawatiran yang terpatri jelas di air mukanya. Ragu-ragu ia menghampiri Eleonor, tampak segan jika saja kehadirannya mengganggu.

"Aku tidak apa-apa." Eleonor bergumam tanpa diminta sekali pun menjawab pertanyaan Nina yang masih dikurung dalam hati. Maka ia menoleh kepada Nina sembari tersenyum. "Ayo kembali. Bisa-bisa mereka mencari kita."

Mereka kembali dan Nina percaya saja dengan sandiwara di dalam sudut bibir yang tertarik itu.

Namun, malamnya ia tetap tak tenang. Nina pasti menceritakan perihal ini kepada Aoi. Oleh karenanya, si profesor muda mendatanginya kala ia sedang di dalam kantor pribadi.

Singkatnya mereka berbicara. Ya, mereka benar-benar berbicara. Berakhir Eleonor tertolong Aoi yang mau membantu menuliskan surat izin sementara, agar Eleonor bisa melarikan diri menuju Chelyabinsk.

"Pergilah, Profesor. Beliau pasti benar-benar merindukan Anda. Saya pikir ini merupakan waktu yang tepat untuk kembali ke kampung halaman."

Tentu saja Eleonor setuju. Bahkan kolega mudanya membantu untuk mengemasi segala hal yang ia butuhkan.

Waktu berputar cepat. Ah, tidak. Tepatnya pikiran Eleonor mulai melompat kepada dirinya yang telah sampai di bandara, mengingat hal-hal lain tidak terlalu penting.

Dia benar-benar tak ingin membuang waktu. Sambil menyeret kopernya-tanpa sedikit pun memedulikan derik yang sesekali tercipta dari roda yang menjerit minta diperbaiki-Eleonor melintas ke bandara yang lenggang di kala itu.

Ingatan terakhir berhenti di kala seseorang memanggil namanya. Lagi-lagi Eleonor memaksakan diri melompat ke ingatan lain.

Namun, semuanya tampak buram.

Terpaksa ia mengesampingkan bagaimana rupa orang yang mengenalinya. Semaksimal mungkin otaknya bekerja untuk itu, tetapi semuanya sia-sia saja dan hanya akan membuat ia kelelahan karena berpikir.

"Jadi dia juga mengizinkanmu mendengarkan rekaman palsunya?"

Lantas suara Kenji membuyarkan segala kepingan ingatan yang baru terkumpul di dalam kepala si profesor. Sekilas ia mengingat seorang wanita mengangkat sebuah perekam suara. Cukup aneh memang, ada orang yang masih memiliki barang lama seperti itu di masa sekarang. Namun, Eleonor memilih untuk mengindahkannya.

Eleonor yakin, orang yang disebut dia oleh Kenji merupakan orang yang mengajaknya berbincang di kafe bandara. Seolah tertanam di dalam kepalanya, Eleonor persis mendengar suara yang keluar dari perekam suara tersebut.

"Ayah hanya terjatuh, tak masalah ... jangan khawatirkan Ayah. Ayah akan melihat beritamu dari Chelyabinsk."

Lantas senyum sekali lagi terpatri di wajah Kenji kala mendapati profesor tersebut mendelik nanar kepadanya. Betapa ia menikmati berbagai perasaan yang tersirat dari manik kebiruan Eleonor. Namun, utuh semua yang sempat tercermin di iris tersebut menghilang seusai empunya berpuas diri memejamkan mata erat-erat.

"Apa maumu?" geram Eleonor kemudian, menelan segala rasa tak senang sedang dipermainkan. Jika saja bisa, barangkali ia sudah menampar Kenji sekarang. Atau mungkin lebih dari tamparan.

Sesak membumbung di dalam paru-paru Eleonor, seakan ia benar-benar tak sudi menghirup udara di sekitar sini.

Kenji sekadar memandangnya selagi kedua punggung tangan mulai menopang dagu. "Hanya bermaksud menanyaimu tentang sesuatu."

Karena itu harus repot-repot menculikku seperti ini? Yang benar saja. Sayang Eleonor tak mampu mengeluarkan protes itu langsung di depan muka lawan bicaranya. Tapi memang bukanlah sebuah kemungkinan Eleonor rela duduk satu meja, bertatap muka sembari menikmati teh di kafe bersama Kenji.

Mengamati Eleonor yang diam saja, Kenji menghirup napas sebanyak yang ia inginkan; hampir terdengar riang. Dirinya menyetujui kesepakatan sepihak bahwa Eleonor akan menjawab apa saja yang ia tanyakan.

"Benar-benar tidak menyukai basa-basi, ya? Para pengajar memang tak pernah senang membuang waktu, karena itu mereka sama sekali kurang menyenangkan," komentar Kenji. Tapi Eleonor tampak mengindahkan ucapannya, maka ia memilih untuk menyibukkan diri dengan tablet yang baru ia sambar dari atas nakas. "Omong-omong ... apa kau mengetahui sesuatu mengenai Akira Kurihara?"

Kali ini Eleonor menarik napas panjang. "Hanya seorang asisten Madam. Tidak ada hal yang istimewa selain kesempurnaan parasnya. Apa yang ingin kau ketahui darinya?"

Mata kemerahan itu seolah ikut tersenyum selagi ia menggeser-geser dokumen yang baru ia buka di tablet.

"Jangan bilang kau menyukai pria." Eleonor berpaling menahan geli. Pancingan yang ia umpankan kepada Kenji justru sukses membuat si pria muda terkekeh kecil.

"Ah, kau memiliki bahan candaan yang bagus rupanya," timpal Kenji. Lantas jarinya berhenti menggeser layar tablet. "Tapi sudah terlambat. Sekarang malah aku lebih senang jika aku ke intinya saja. Kuharap kau tidak keberatan, Profesor."

Eleonor bungkam seribu kata kala Kenji memperlihatkan tabletnya. Cukup sulit baginya menatap isi tablet, dia baru ingat barangkali Kenji juga telah melepas kacamatanya.

Namun, jantungnya berpacu kala mendapati seseorang melesat menangkap seseorang yang baru jatuh dari lantai gedung tinggi. Begitu maniknya menyipit, lebih jelas bahwa orang tersebut tengah mengaktifkan roket yang tertanam di punggungnya.

Akira ....

Tidaknya hanya itu, Eleonor juga menemukan bukti bahwa Kirika diserang oleh seseorang yang begitu familiar baginya.

Begitu puas Kenji memandang ekspresi Eleonor mati-matian menyembunyikan keterkejutan. Tanpa diminta, ia meletakkan kembali tabletnya lalu menopang dagu.

"Begini." Akhirnya ia memulai. "Aku meminta kolegamu untuk mencari informasi mengenainya. Karena ... aku begitu yakin orang ini telah berbaring dengan damai di dalam tanah, dimakan ulat. Hm, mungkin tinggal tulang.

"Nah, beruntung sekali kami mendapatkan informasi itu; dua Akira Kurihara. Sebagai contoh Akira yang itu memiliki kanji yang itu, dan Akira yang ini memiliki kanji yang ini. Tanggal lahirnya juga berbeda, tahu.

"Memang bukan hal yang sulit bagi Nona Alford memalsukan sebuah identitas. Tapi ... mengapa dia harus repot-repot menciptakan orang yang tidak ia harapkan kembali untuk menderita?" Kali ini suara Kenji terdengar seperti gumaman.

Demikian Kenji tertarik memainkan helai demi helai rambut Eleonor yang keemasan. "Sebaiknya kesampingkan hal itu supaya kau pun tidak pusing, Profesor. Memang, orang berada bisa melakukan apa saja. Lagi, manusia memang memiliki pikiran yang aneh.

"Di dalam pikiranku ... ada dua asumsi yang bisa dilakukan oleh Alford." Sejenak Kenji menjeda dengan mengacungkan dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengah. "Kalian menghidupkannya kembali ... atau menciptakannya."

Lantas tak lama Kenji mendapati Eleonor mengatup mulut rapat-rapat.

"Jadi benar yang kedua? Syukurlah! Tidak salah aku mengandalkan Jackal setelah ini," seru Kenji girang.

Amat sangat perlahan tangannya bergerak menelusuri lengan Eleonor, hingga benar-benar menggenggam tangannya yang terbebas. Tentu Eleonor tersentak, tetapi entah mengapa sama sekali enggan melakukan perlawanan tepat Kenji mendekatkan telinga ke atas dadanya.

"Aku penasaran apa yang membuatmu seketika menggebu-gebu, Profesor," bisiknya tak lama. "Kau menunggu tawaran menarik dariku, ya?"

Sungguh, ia benar-benar tak berhenti membuat Eleonor meneguk ludah hingga detik ini.

Demikian Kenji menarik kepalanya, lantas berdiri tegak. Sengaja ia menelengkan kepala kala memandang Eleonor, seolah-olah itu sukses membuatnya memesona lagi memancing kemesraan.

"Tapi agaknya kau akan menolak tawarannya, benar begitu?"

"Jangan pesimis begitu. Bahkan aku baru mau memulainya dengan mencacimu di sini, sekarang juga."

"Ah, senang mengungkit-ngungkit masa lalu rupanya." Kenji berbalik kemudian menyandarkan pinggulnya. Dia bersedekap, lantas mendongak persis sejajar dengan langit-langit. "Ketahuilah, aku sama sekali tidak meminta pak tuaku untuk melakukan masa-masa menyedihkan itu. Terlalu memalukan jika diingat-ingat.

"Mungkin kita masih bisa menikmati teh di sebuah kafe. Ah, minimal bersama Nona Alford pun sudah cukup menyenangkanku." Dia tak lama menghirup napas dalam-dalam. Terdengar memilukan, tetapi cepat-cepat ia mengalihkannya dengan merasakan paru-paru yang telah penuh oleh udara. "Tidak ada yang meminta takdir berjalan seperti ini. Benar begitu, Profesor?"

Cepat sekali Kenji berbalik, nyaris jantung Eleonor melompat karenanya. Seringainya sedikit memesona kali ini.

Iris Eleonor bergerak, memberanikan diri untuk memandang maniknya yang kemerahan. Cantik, ia mengakuinya. Namun, sesaat empunya kembali mengajukan tawarannya, sekilas si profesor menangkap sirat-sirat penuh permohonan.

Lagi ... kesepian yang amat sangat.

"Bergabunglah denganku." Bahkan suaranya hampir terdengar lirih. Eleonor terpana dibuatnya, pun tak melupakan belaian lembut dari telunjuk yang sedikit kasar.

Andai saja Eleonor bisa mengenyahkan tangan itu, mungkin ia sudah melakukannya setengah detik kemudian. Sekarang ia hanya mampu mengelakkan kepala.

Lantas Eleonor berujar, "Kupikir kau tidak akan keberatan jika aku menolak."

Surut sudah senyuman itu. Tatapan manik kemerahan utuh mengeras. Kenji bergerak, penuh gentar menguasai tubuhnya. Dia seolah tak terkendali sampai ia menggebrak nakas. Sejurus kemudian, Eleonor seketika menghilang dari pandangan. Dari tempat semula ia berbaring terdengar suara air beriak, seolah memberontak.

Kenji mengerling kepada tangan yang menyembul sesekali dari sana. Dia tersenyum kecil, merasa melepas ikatan tangan Eleonor merupakan pemandangan yang bagus untuk dinikmati.

"Aku juga berpikir kalau ... kau akan setuju setelah kewarasanmu hilang, Profesor," gumamnya tak lama. Dia tak lagi memerhatikan bak kecil tersebut. Matanya terpejam lembut, seolah menikmati suara riak air seperti ia mendengarkan alunan musik yang digubah sedemikian rupa. "Kuharap kau tidak keberatan jika aku mengambilnya dari dalam otakmu."

~*~*~*~*~

Kilat dari langit menarik perhatian Aoi. Pun, sukses menghentikan langkahnya sejenak sembari manik obsidian itu berpuas diri memandang awan-awan gelap yang tipis.

Aneh sekali ... padahal sudah masuk musim panas.

Aoi mempercepat langkah menuju laboratorium. Sesampai di sana, ia mendapati beberapa asisten Eleonor menonton televisi yang tergantung di atas meja bundar. Mereka menyambut kedatangan Aoi dengan sopan meski ia lebih muda.

Sebentar Aoi ikut menonton. Tapi seketika ia mengurungkan niat ketika melihat wajahnya terpampang di sana. Dia bersama Kirika, sedang menghadiri sebuah acara bincang-bincang dan menjawab semua wawancara dengan tenang.

Lagi, Aoi mengambil langkah menuju kantor. Nina tertarik menyusul, mengimbangi langkahnya hingga benar-benar seirama. Segera si adik merangkulnya, tersenyum sebelum ia berujar, "Berbanggalah sedikit. Kau 'kan berhasil masuk televisi."

Aoi tersenyum masam menanggapi. Namun, ia belum melirik Nina sedikit pun.

"Sudah mendapat kabar dari Profesor?"

Pengaman pintu membunyikan suara pertanda ia telah terbuka setelah Aoi memasukkan kartu tanda pengenal. Dia menggeleng atas jawaban dari pertanyaan Nina seusai ia mendorong pintu.

Keduanya mendapati Adam sedang sibuk dengan komputer Aoi yang membutuhkan instalasi ulang terhadap sistem operasinya. Dilihat dari tampilan monitor, tampaknya proses tersebut sudah selesai. Kini ia sedang memindahkan data-data memori Akira.

Aoi menghampiri Adam. Selagi Nina membanting diri ke sofa, tak lama Aoi melempar sebuah roti melon ke depan keyboard. Mudah saja membuat anak itu melatah dengan bahasa Indonesia, terdengar sangat lucu baginya.

"Hadiah kecil, yang besar menyusul kapan-kapan," ujar Aoi sambil tersenyum menahan tawa. "Sudah sampai di mana?"

"Kira-kira seperempat lagi. Apa setelah ini aku boleh menonton setiap salinan memori Akira? Sepertinya asyik memandang Madam lebih dekat dengan VR* ...."

"Tidak boleh," tukas Aoi segera. "Setiap ingatannya merupakan privasi. Kita memindahkannya hanya untuk berjaga-jaga kalau ia butuh tubuh baru."

Cengir Adam melantun.

"Hanya bercanda, Kak. Tenanglah," ujar si pemuda kemudian. "Omong-omong ... sudah dapat kabar dari Profesor Eleonor?"

Sekadarnya Aoi mendesah, lagi-lagi menggeleng sebelum ia beralih mencari kursi terdekat di samping Adam untuk diduduki.

"Ah, begitu ...." Adam memerhatikan laju pemuatan di layar monitor. "Mungkin beliau belum sempat memberikan kabar dan sangat sibuk."

Jelas Aoi bermuram durja. Persis air mukanya semakin gelap setelah ia menyadari hari ini tak menerima satu pun notifikasi dari ponselnya.

Sementara maniknya kembali beralih kepada monitor komputer. Kini Adam tengah mengamati tayangan cuaca terkini yang tertangkap oleh CCTV. Di luar sana sedang hujan. Sekadar rintik, tetapi Aoi yakin itu mampu membuat khalayak menyingkir mencari tempat meneduh.

Sekali Aoi meraih ponselnya, memerhatikan tampilan layar yang menampilkan fotonya sedang bersama Eleonor dengan kernyitan di kening.

Setidaknya berkabarlah barang sebentar ....

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

46.4K 3.2K 23
BOBOIBOY MOVIE 2 & BOBOIBOY GALAXY SORI × READER
Into The Beneath By DrReno

Mystery / Thriller

3.7K 302 4
(Segera diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer, telah dihapus untuk kepentingan penerbitan) Rio hanyalah sarjana kelautan yang tak kunjung mendapatkan...
Destiny By Raa

Short Story

36.4K 3.7K 6
Samuel Hyun merasa dirinya laki-laki paling beruntung, karena bisa dipertemukan dengan wanita yang seperti bagian lain dari dirinya sendiri. Gadis pe...
1.9K 425 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...