Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18.3K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 2.10

78 21 73
By monochrome_shana404

"Tidak ada pilihan lain, aku harus menggunakan rivanolmu dengan dosis tinggi."

Kedatangan Silvis langsung disambut dengan diskusi. Kirika tentu saja tidak mengharapkan kekhawatirannya membumbung semakin tinggi, jadi jelas mengapa ia mengabaikan setiap manik biru laut yang mematri khawatir itu.

"Atau kau mau aku menggunakan cairan baru yang kau ciptakan sebelum kau vakum dari biogenik?" Pun, Kirika agaknya sama sekali enggan menunggu Silvis menimbang lebih lama. "Kita tidak punya banyak waktu meski aku bisa mempercepat regenerasi pada luka-lukaku. Beruntung jahitan di perutku tidak lepas ...."

Terang-terangan Silvis melotot, segera menciptakan tatapan enggan dari Kirika.

"Nyaris," koreksi Kirika sembari berpaling. Lalu ia meneruskan, "Ada banyak hal terkait perusahaan yang harus kukerjakan. Kau pun tidak akan bisa terus-terusan menggantikanku, bukan?"

Memang. Mustahil selamanya Kirika harus bersembunyi dari publik, hanya karena serangan yang terus berdatangan padanya. Di samping itu, akan sangat banyak pekerjaan yang tertinggal. Konon lagi seusai acara seminar, banyak sekali taman rekreasi yang mengajak Alford untuk bekerja sama.

Silvis melemparkan pandangan kepada Akira. Nihil, tak ada jawaban yang akan ia temukan dari si android. Berakhir ia mengembuskan napas, pula mengembalikan pandangan kepada Kirika.

"Rivanol tidak akan bekerja begitu efisien untukmu sekarang. Ditambah punggungmu yang mendapatkan cedera," tutur Silvis pada akhirnya. Dia mendesah. "Aku memang tidak bisa memikirkan jalan pintas lain, jadi ...."

~*~*~*~*~

Semua rencana berjalan sesuai keputusan. Dua hari setelahnya, Kirika hadir. Bahkan ia memimpin rapat hari ini, berdiri tegak seolah hari-hari lampau tak terjadi apa-apa.

Pembahasan rapat kali ini hanya sekadar diskusi mengenai kerja sama dengan taman rekreasi di prefektur Kanagawa, Yokohama. Dalam seminar, Silvis memang menemui empunya taman rekreasi yang berkunjung langsung. Dia sempat mengatakan bahwa ia tertarik untuk menggunakan salah satu tipe robot Human Helper dari Alford.

"Itu merupakan satu langkah yang bagus jika percobaan pertama pada museum nasional benar-benar berjalan dengan baik," tanggap Kirika sembari mengangguk-ngangguk di belakang kedua tangan yang tengah menyatukan jemari-jemarinya. "Barangkali kita juga bisa mempersiapkan Human Helper versi percobaan yang baru bagi mereka. Bagaimana menurut Anda, Profesor Radiovalenka?"

"Tentu, Madam," balas Eleonor cepat. "Kita bisa melakukannya dengan menyesuaikan program ke robot-robot yang dibutuhkan dalam taman rekreasi."

"Tidak perlu terburu-buru. Saya terlebih dahulu akan melakukan kunjungan ke sana untuk berdiskusi dengan Tuan Yoshitaka mengenai hal ini. Dengan begitu kita tidak perlu mengeluarkan dana lebih banyak." Demikian Kirika beralih kepada Sayo Nakamura di seberangnya, lengkap dengan senyum samar. "Saya harap Anda tidak akan mengecewakan saya nantinya, Nona Nakamura."

Senyum merekah dari empunya cangkang manik lebar yang berapi-api penuh semangat. Barulah Sayo membalas, "Mohon dukungannya, Madam."

Sebentar Kirika berkutat kepada tablet yang lebih dulu menyediakan informasi mengenai taman rekreasi yang merupakan target selanjutnya. Sementara, Luciana menuturkan anggaran yang telah diberikan pemerintah untuk menjalankan percobaan ke museum.

Pasalnya pemerintah benar-benar memberikan hampir delapan puluh persen dari proposal yang telah diajukan. Mendengarnya Kirika mengulum senyum penuh kemenangan, tetapi tak sedikit pun meningkatkan minat untuk beralih tatap pada Luciana.

Tak heran, negara ini memang banyak mengambil keuntungan dari pariwisata, batinnya dalam hati.

Beberapa masalah kecil lain ikut dibahas di dalam sana. Namun, itu tak berlangsung lama.

Berakhirlah mereka bubar tepat setelah Kirika keluar dengan Akira yang terus setia mengekor. Sebelumnya si android sempat membungkuk dalam-dalam kepada karyawan lainnya sebelum berlalu.

Tentu sekarang kegiatan menjaga dan melindungi akan semakin diperketat. Silvis meminta Akira agar selalu bersama sang Madam. Malangnya, Kirika tidak memiliki alasan apapun untuk menolak usulan itu. Intinya Akira akan selalu menjadi ekornya. Kadang-kadang Kirika merasa jengah. Semua terlihat terang sekali kala seluruh mata memandang.

"Sejauh ini aku baik-baik saja. Tak perlu mengkhawatirkanku." Kirika berbicara tanpa menoleh kepada Akira yang hendak membuka mulut. "Dan kau tidak perlu melaporkan apapun kepada Tuan Silvis."

Empunya manik delima mengerling memandangi sosok asisten melalui bayangan samar yang terpantul dari kaca. Agaknya sama sekali Akira tak menyadari tatapan tak langsung tersebut. Beruntung, Kirika mengembalikan pandangan tepat waktu.

Tepat di aula utama, baru saja seseorang berwajah familiar memasuki gedung Alford Corporation. Pun, mata Kirika terlanjur menangkap sosok itu lebih dulu. Ditambah lagi dia memiliki banyak ajudan yang ia bawa, sehingga tak ada kesempatan untuk menghindar sekarang.

"Tuan Menteri Pertahanan," tutur Kirika sembari membungkuk hormat dengan enggan kala pria tersebut melenggang ke arahnya. "Saya tidak menyangka kedatangan Anda. Apakah ada sesuatu yang mendesak?"

Menteri Pertahanan sempat-sempatnya melirik Akira yang masih membungkuk dengan kepala yang menunduk dalam-dalam. Demikian puas memandangi Akira dari ujung kepala hingga ujung kaki, dia menghela napas sembari memulai berpaku tatap kepada wanita di hadapannya.

"Maaf jika mengganggu Anda, Nona Alford. Sebenarnya kasus kali ini amat sangat melenceng dari urusan perusahaan Anda, hanya saja ...." Sejenak Menteri Pertahanan menjeda.

Jeda yang terhitung cukup lama kontan membuat Kirika mengerti. Maka bersama segenap isyarat ia memerintahkan Akira untuk segera menyusul Eleonor yang hendak berlalu menuju laboratorium. Si profesor menyempatkan diri memberi hormat kepadanya, berikut kepada Menteri Pertahanan yang memandangi kehadirannya.

Menteri Pertahanan meminta beberapa ajudan untuk mengikuti, sisanya akan keluar. Barangkali akan bergabung dengan penjaga keamanan atau di sekitar mobil saja. Barulah dia melangkah bersama Kirika yang menjadi pemandu jalan.

"Saya memahami Anda tidak begitu suka basa-basi, tetapi tak ada salahnya untuk berbincang sembari duduk di tempat yang lebih privasi. Anda setuju, bukan?"

~*~*~*~*~

Akira menyerap darah dari kantong donor lebih cepat dari siapa saja yang menyadarinya. Caranya memang kurang lebih sama ketika Kirika menerima infus melalui tangan kiri. Hanya saja lebih praktis.

Aoi mengamati tetes terakhir dari darah yang masuk melalui selang yang Akira keluarkan dari pergelangan tangan. Sedikitnya ia berdecak kagum sembari beralih tatap kepada si android yang tersenyum tanpa dosa.

"Entahlah, mungkin aku tertular Adam yang sering tidak percaya bahwa kami menciptakanmu," ujar Aoi kala memandangi sepasang lensa yang terlihat berkilauan. "Tampaknya kau senang sekali hari ini? Ada apa?"

Si android lantas menggeleng, masih mempertahankan senyumnya di sana. Namun, tentu Aoi merasa tidak puas. Kontan saja si profesor muda berkacak pinggang dan menerka-nerka dalam hati.

Ah, tetap saja dia tidak bisa menemukan jawabannya. Tidak ada pilihan lain, dia memang harus memancing Akira sedikit untuk bercerita.

Menyadari hal ini saja Akira kontan menegakkan badan, tampak bersiap dengan ribuan pertanyaan yang hendak dilontarkan Aoi. Memang tidak ada salahnya menghabiskan waktu senggang dengan salah seorang yang merupakan ibu baginya.

Setidaknya ... untuk saat ini.

"Tenanglah, aku tidak menanyai tentang insiden hotel Almarhum Tuan Howard," kata Aoi yang kemudian disambut dengan tawa oleh lawan bicaranya. "Hanya sedikit penasaran ... mengapa Kirika mengizinkanmu untuk datang di waktu-waktu sibuk untuk berdiskusi saat seperti ini. Konon lagi dia akan sering bepergian nanti."

"Menteri Pertahanan datang menemui beliau secara langsung, jadi saya pikir tidak ada salahnya untuk kembali mengisi tubuh saya dengan darah di sini."

"Jangan bilang begitu. Terdengar seperti vampir saja."

Keduanya tertawa.

Demikian Aoi melepas alat bantu penyedot darah yang tersambung di selang pergelangan Akira. Akira, tanpa menggerakkan tangannya sama sekali, mengamati selang pemasok darah masuk kembali ke tempatnya. Dia mengabaikan Aoi sibuk dengan kantong darah palsu yang telah kempis, lantas membersihkan semua yang tak seharusnya ada di sekitar mereka.

Di dalam kepalanya, Akira kembali tenggelam dalam kumpulan informasi yang belum sempat ia baca. Dalam kondisi ini, biasanya ia akan terlihat sedang melamun.

Sekadarnya ia tersenyum kala mendapatkan sebuah artikel mengenai Kirika. Namun, senyum tersebut surut setelah ia mendengar desahan panjang Aoi yang diam memerhatikan keranjang sampah di hadapannya.

Manik gelap Aoi baru tertarik beralih membalas tatapan Akira. Si android masih saja duduk tegak, tetapi kini ia malah mengembangkan senyum seperti seorang bocah yang tertangkap basah melakukan kenakalan.

"Ah, sepertinya memang sulit aku pura-pura tidak khawatir mengenainya," celetuk Aoi sembari menghampiri Akira.

Aoi kembali menarik bangku. Saat duduk salah satu siku ia tenggerkan di atas bangku. Benar, dia duduk menyamping di hadapan Akira agar ia bisa menyandarkan dagu.

"Padahal ... kau tahu," lanjut Aoi, mengangkat bahu. "Selumbari, dia masih di rumah sakit dan terkapar tak berdaya karena luka-lukanya."

Akira tertawa. "Anda terlalu melebih-lebihkan."

"Siapa yang tidak khawatir? Kudengar ada kasus pembunuhan berantai yang muncul di sebuah rumah sakit. Beruntung Kirika tidak berada di sana." Balasan Aoi kali ini terdengar seperti tengah menggerutu. Lantas ia mengamati Akira yang sedang menghela napas.

Tampaknya semua berjalan sesuai keinginan. Bahkan Aoi yang merupakan sahabat lama dari Kirika saja tidak tahu bahwa Kirika terlibat dalam insiden rumah sakit.

"Benar-benar tak ada yang terjadi?" Sekali lagi Aoi memastikan. Meski begitu, tetap saja ia mendapatkan jawaban berupa gelengan.

"Beliau hanya mematuhi seluruh anjuran dokter; tidak bergerak banyak dan beristirahat cukup," jawab Akira.

"Bukan main. Seperti bukan manusia saja."

Tentu gumaman itu tertangkap jelas oleh alat pendengar Akira. Si android tersenyum samar seraya memiringkan kepala setelahnya. Pun, Aoi seolah terpancing untuk kembali berpaku tatap padanya.

"Tidakkah kau mengira ... demikian?"

"Apanya, Profesor?" Akira berkedip-kedip tak mengerti.

"Kirika tampak seperti manusia super!" seru Aoi, sukses mengejutkan Akira yang semakin menegakkan tubuh. Dia terlihat benar-benar kaku sekarang. Namun, agaknya Aoi tak begitu hirau lantas melanjutkan, "Tidakkah kau berpikir begitu?

"Maksudku ... dia cantik, pintar, serba bisa, pandai bertarung ... di masa mudanya saja dia meraih sangat banyak medali emas dalam kompetisi figure skating, kau tahu? Terlalu sempurna." Sempat Aoi terkesiap di patah kata terakhir. "Jika memandang diri sendiri, rasanya sulit untuk mendapatkan Nona Alford ini. Terlampau sempurna ...."

"Beliau selalu terluka dalam setiap insiden yang melibatkannya. Lagi, beliau memiliki masa lalu yang sulit untuk dijalani, Anda ingat?" tukas Akira, sama sekali mengabaikan ulangan patah kata terakhir dari Aoi. "Lalu ... beliau pernah mengatakan ia membenci kelainan genetik yang diidapnya.

"Madam masih memiliki kekurangan dalam dirinya. Kadang-kadang kita melupakan itu sehingga menganggap dia seolah bukan manusia." Aoi termangu mendengar pembelaannya. "Bagaimana manusia menanggapinya, Profesor? Umm ... seperti ... selalu ada jalan yang menyakitkan menuju keindahan yang dipandang setiap orang, mungkin?"

Mata sewarna arang di hadapan Akira mengerjap takjub.

"Kau benar-benar mendengarkan semuanya dengan baik, ya. Anakku bijaksana sekali." Kali ini ia menopang dagu. "Atau barangkali kau menggali informasi sebanyak mungkin tanpa sepengetahuanku?"

Akira menarik kedua sudut bibirnya kala berkedip. Baru saja ia hendak menjawab, Aoi sudah menyela, "Jangan-jangan kau menyukai Mawar Es itu?"

Sebuah pertanyaan yang sukses membuat Akira tersentak. Sayang, lagi-lagi jawaban yang segera ia lontarkan kembali diinterupsi. Aoi dipanggil untuk kembali bekerja.

"Katakan jika mau kembali ke kantor Madam-mu, ya. Tapi setidaknya isi dayamu terlebih dahulu, mengerti? Sampai penuh."

Begitu kemudian Aoi berlalu, tetapi sebelum benar-benar menghilang lewat pintu, ia sempat menoleh lagi. "Lain kali kita bercerita soal perasaanmu itu, ya."

Seusai memandangi empunya pundak kecil tersebut lenyap dari pandangan, Akira memperlebar senyum. Sekarang ia beranggapan Aoi sangat serupa seperti seorang ibu berhati lembut. Benar-benar seorang pun tidak bisa menolak segala titah dan permintaannya.

Akira tetap di sini sampai sang Madam memanggilnya sewaktu-waktu. Untuk sementara, tidak ada salahnya menyibukkan diri di dalam kepala.

Kembali terlintas pertanyaan Aoi yang sukses tersimpan di dalam memorinya. Seolah terekam jelas, terus berputar bagai sebuah lagu yang dinyanyikan radio rusak. Sebuah pertanyaan berulang yang ia dengar lewat kepala, sukses membuat ia tertegun cukup lama.

~*~*~*~*~

Apa saya menyukainya?

Terus kepala Akira menyuarakan pertanyaan yang sama. Persis mobil terhenti di lampu merah, lagi-lagi lensa birunya tertuju ke spion yang memantulkan sosok sang Madam di jok belakang. Dia berada di sebelah kanan, menghindari terik matahari sembari memangku dagu. Sebuah rutinitas yang ia lakukan di sana tak lebih memandang hiruk pikuk tanpa minat.

Akira membuat gerakan menghela napas dalam-dalam sebelum menginjak pedal gas, kembali berfokus kepada jalan tepat lampu hijau menggantikan eksistensi lampu merah. Sementara di dalam diri, Akira kembali melamunkan percakapannya dengan Aoi.

Terlampau sempurna ... seperti sesuatu yang tidak mungkin dimiliki. Akira meracau dalam kepala. Sesuatu yang sulit digapai, terlalu indah di puncak sana-

"Ada apa?" Racauan itu seketika terhenti kala ia menangkap suara Kirika berceletuk. "Hari ini kau lebih banyak diam. Aku tak begitu yakin apakah android juga bisa sakit."

Senyum tak lama Akira lontarkan kepada sang Madam lewat kaca spion tengah. Hanya berlangsung singkat tepat sebelum ia berbelok.

"Saya sedang berpikir ...." Akira menjawab dengan jujur. "Seperti meracau dalam kepala atau bergelut dengan batin."

"Memikirkan sesuatu yang rahasia?" terka Kirika.

Tawa canggung lanta Akira ledakkan. "Ya, saya sedang memikirkan sesuatu yang rahasia."

Kirika tak membalas lagi. Maniknya tertuju kepada bunga-bunga yang bermekaran di beberapa pekarangan rumah. Beberapa pohon sakura menumbuhkan bunga mereka, begitu terlambat menurut Kirika. Tak sedikit di antara mereka menggugurkan diri, menghiasi trotoar dengan mahkota merah muda itu.

Kirika pula sempat mendapati beberapa kelopak beterbangan, mengikuti gerakan angin yang diciptakan mobil.

"Warna rambut Anda nyaris serupa dengan bunga sakura, ya, Madam. Jadi saya benar mengenai Anda."

Celetuk tersebut lantas menarik perhatian Kirika. Sama sekali ia tak mengatakan apapun, seolah mengizinkan Akira melanjutkan. "Anda benar-benar seperti peri musim semi."

Pun setelahnya, Kirika hanya berpaling di sela dengkusannya. Namun, pada akhirnya ia bergumam, "Kaleng bodoh."

Gumaman itu nyaris tak mampu dijangkau Akira. Sekadarnya ia hanya tersenyum lebar, membiarkan sepi di antara mereka kembali berkuasa. Pula, membiarkan senyumnya surut perlahan-lahan kala ia kembali meracau dalam kepala.

Jika memang demikian, apakah saya pantas untuk memiliki peri musim seminya?

Ga pernah liat android galau, 'kan? Karenanya, saya menyuguhkan Akira untuk kalian. Perasaannya mungkin terus tumbuh, seperti Akira versi kucing yang terus dewasa.

Baiklah, sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

42.5K 4.5K 38
[Featured story WIA Indonesia Periode #4] [Reading List WIA Indonesia Periode #4] Dunia terbagi menjadi dua kubu: Perserikatan Negara yang dipimpin...
337K 13.4K 9
TAMAT May contain mature scenes Ray awalnya memiliki segalanya, namun ia kembali jatuh dan bahkan kehilangan semua yang pernah ia punya. Impian, ka...
4.8K 1.5K 23
It's a cliche story: si cewek bertemu si cowok di sebuah pesta. Si cewek mempermalukan si cowok yang ternyata merupakan berandalan terkenal di sekola...
264K 9.8K 69
Suatu hari seorang gadis yang sedang tidur pada malam hari, ia bertemu dengan sosok yang ia rindukan muncul dalam mimpi nya. Yaitu ayah nya beliau me...