Fate : A Journey of The Blood...

Da monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... Altro

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 2.8

69 22 48
Da monochrome_shana404

Kepulangan Kirika disambut oleh wartawan. Berita mengenai penyerangan di hotel baru Howard telah sampai ke negaranya. Sebisa mungkin Kirika menjawab sesingkatnya, sebab ia belum pulih seutuhnya dan harus segera melakukan perawatan intensif.

Dia sudah lelah dengan kejaran mereka. Kala mengunjungi makam Jason saja ia sudah dikuntit oleh juru kamera dari sejumlah stasiun televisi lokal di sana.

Barangkali rumah sakit memang tidak seburuk itu. Dia bisa benar-benar jauh dari wartawan sekarang. Setidaknya ia mendapatkan kamar dengan luas yang tak jauh berbeda dari kantornya. Begitu Kirika bisa melihat pemandangan kota seperti miniatur lewat jendela.

Tetap saja, kini ia melakukan pekerjaannya melalui daring. Baru saja ia melepaskan jas dengan susah payah, demikian mengalihkan diri kepada data-data yang baru sampai ke surelnya.

Sayangnya, saat ini pekerjaannya menjadi kurang leluasa. Setiap luka di sekujur tubuhnya sukses menyita setiap pergerakannya. Konon lagi luka dari tusukan belati yang cukup dalam di bagian perut. Itu membutuhkan penyembuhan yang cukup lama, begitu kata dokter.

Sehari setelah Kirika sampai, jahitan di perutnya tak kunjung mengering. Kala pulang malah lebih parah. Mati-matian ia tidak mendelik menahan sakit di perutnya setiap kali ia bergerak. Sementara bagian selangkanya masih terasa nyeri. Bergeser saja sudah cukup membuat Kirika sedikit meringis. Kadang-kadang ia bergumam, mengutuk mereka yang telah menorehkan luka dalam.

Beruntung, luka-luka kecil sembuh lebih cepat. Namun tetap saja itu tidak cukup membantu. Dia memerlukan pulih total agar ia bisa menuntaskan pekerjaannya.

Kirika mendengkus terang-terangan, melempar pandangan lelah kepada langit biru. Musim semi tiba begitu cepat. Semua seolah berlalu hanya dengan satu kerjapan mata. Atau barangkali ia baru menyadarinya. Lagipula Kirika memang tidak terlalu memikirkan berapa macam musim yang terlewat. Baginya, menyelesaikan tugas-tugas yang terus melimpah ruah sudah lebih dari cukup untuk melewatkan hari.

Seusai insiden di Amerika, Silvis memang sudah mengambil alih sementara melalui daring mengenai perencanaan seminar Human Helper selama Kirika belum siuman. Tidak ada pilihan, sebab agenda seminar sudah berada di depan mata.

Atau lebih tepatnya besok malam, mereka harus mengadakan seminarnya tanpa Kirika.

Divisi robotika sudah menyelesaikan uji coba Human Helper beberapa hari belakangan ini, Kirika sudah membaca laporannya. Mereka sudah menyewa gedung, sepertinya Silvis akan disibukkan dengan persiapan acara di sana.

Sekarang Kirika hanya bisa berharap semuanya berjalan lancar tanpa adanya satu pun kendala.

Suara ketukan pintu mengundang Kirika menoleh. Tampak wajah Akira bersama senyuman cerahnya di kaca pintu. Sekadarnya Kirika menganggukkan kepala, mengisyaratkan Akira bahwa si android diperbolehkan masuk.

Maka si android membuka pintu, menutupnya dan melenggang dengan hentakan kecil yang berujar riang. Kali ini ia membawakan sekuntum mawar putih.

"Masukkan saja ke dalam vas. Biarkan ia bergabung bersama teman-temannya yang sudah pernah kau bawa."

Lantas ucapan Kirika disambut dengan kikikan kecil. Selanjutnya Akira menurut, lantas menghampiri vas di atas nakas yang penuh dengan bermacam-macam bunga.

Selama Kirika masuk rumah sakit, Akira selalu melintasi sebuah toko bunga yang memiliki bunga-bunga baru. Berhubung musim semi, banyak yang berkunjung ke sana. Akira selalu menemukan bunga-bunga yang cantik, kemudian menyerahkannya kepada Kirika.

Alasannya sederhana. Dia tidak ingin sang Madam merasa kebosanan selama sendirian di sini. Benar-benar seperti seorang bocah yang khawatir akan ibunya.

"Apa kau membawa berita baru?" Kembali Kirika membuyarkan hening. Meski demikian, manik delimanya masih tertuju kepada mawar yang masih Akira rangkaian bersama teman-teman barunya. "Jangan bilang kau hanya ingin datang memberikanku bunga lagi."

Akira menggeleng sembari tertawa canggung. Lagi pula ia sudah kapok dimarahi sang Madam karena itu. Lekaslah ia duduk di samping Kirika, lantas bertutur, "Kita mendapatkan sponsor dari sejumlah taman hiburan yang Anda undang ke seminar."

Satu kedipan dari Akira tak lama disusul getar notifikasi dari tablet Kirika. Kirika memeriksa dokumen yang ia terima, langsung membaca isinya dengan hati-hati.

"Saya sudah mengirimkan data pendapatan sejak bulan Januari dari Nona Adams," lanjut Akira. "Seperti yang Anda ketahui, Nyonya Watanabe masih menjalan operasi ke luar negeri sejak pertengahan bulan ini."

Demikian Kirika puas melihat setiap data baru, ia meletakkan tablet kala mendesah panjang. "Dia memang sudah terlalu tua, tetapi Paman tetap menyuruhku untuk mempertahankannya di perusahaan. Tidak ada pilihan lain.

"Untuk sementara aku akan melihat perkembangan atas kesehatannya." Kirika lalu menoleh pada Akira yang mengerjap. "Ada hal lain?"

Kali pertama Akira tertegun. Pun, ia berpaling dari pandangan Kirika, sedikit menunduk dan sejenak menoleh ke samping.

"Profesor Tsukino mengkhawatirkan Anda," katanya sambil melirik segan. Sementara telah ia dapati Kirika membuang muka ke jendela. "Dia sangat ingin menjenguk Anda ... jika Anda berkenan."

"Katakan padanya aku akan baik-baik saja. Barangkali aku akan sembuh lebih cepat dari perkiraan dokter." Kirika menoleh dengan senyum samar.

Satu kedipan seolah menyadarkan Akira kembali ke kantor Kirika. Lensa birunya menangkap langit sore. Matahari terbenam, membentuk lembayung yang menyilaukan mata.

Puas memandang cahaya yang menerpa, Akira menoleh kepada sofa tunggal yang kosong. Tepat. Sebuah tempat di mana biasa Kirika menghabiskan waktunya di sini. Wanita yang masih tak meninggalkan kebiasaannya menetap berhari-hari ketika pekerjaannya sedikit lebih lenggang.

Sayangnya, kali ini ketiadaan sang Madam di kantor bukan karena pekerjaannya telah menipis. Bukan pula sebab ia tengah pergi mengurus perihal yang terkait perusahaan.

Menyadari kekosongan di sekitar tetap sama sejak beberapa hari silam, Akira sebisanya mendengkus panjang. Dia sama sekali tak terbiasa. Meski ia tahu, keberadaan Kirika hampir terasa serupa seperti sekarang, tetapi setiaknya kantor ini terasa lebih hidup.

Akira melempar pandangan kepada pemandangan yang sejajar dengan kedua kakinya. Lensa si android berfokus kepada orang-orang yang semula terlihat kecil di penglihatannya. Kala memperbesar jarak pandangan, ia mendapati satu per satu wajah orang berlalu lalang, begitu jelas.

Demikian Akira berkedip, mengembalikan fokus ke jarak normal. Dia menerima suara dering ponsel dari dalam jasnya. Namun, ketimbang merogoh saku jas, ia lebih memilih mengedipkan lensa guna mengangkat sebuah panggilan. Atas kesalahannya, ia malah tertawa kecil.

"Ah, lupa."

"Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"

Suara Aoi jelas menghentikan tawa si android, tetapi tetap mempertahankan senyumnya. Berakhir tangannya meraih ponsel, kemudian memandangi layar yang memperlihatkan tampilan bahwa ia telah terhubung dengan nomor si profesor muda.

"Tidak, Profesor Tsukino. Hanya saja saya masih belum terbiasa menggunakan ponsel," kata Akira, berikut dengan kikuk menempelkan ponsel ke telinga kiri. Demikian ia melangkah keluar dari kantor bergerak menuju lift. "Apakah semuanya sudah siap?"

"Ya ... begitulah. Profesor Eleonor belum selesai mengajar, mungkin dia akan sampai beberapa menit sebelum acara dimulai. Bagaimana denganmu? Kau sudah di jalan?"

"H-hampir." Langkah Akira terhenti di hadapan lift yang tak lama terbuka. Lekas lensa birunya mendapati seorang wanita berambut hitam.

"Kalau begitu, cepatlah!"

Cukup lama Akira tertegun di tempat, hal serupa pula terjadi pada si wanita. Hingga akhirnya ia mengerjap guna menyadarkan diri dengan berdeham. Dia mengisyaratkan si wanita untuk menetap di dalam lift, sementara ia masuk sembari menekan tombol menuju parkiran bawah tanah. Pun, ia menyempatkan diri meladeni beberapa percakapan Aoi tepat sebelum menutup panggilan.

Demikian Akira menghela napas. Tepat seusai menyimpan ponsel, ia menoleh kepada wanita di sampingnya, menyapa si wanita dengan satu anggukan serta menyebutkan namanya, "Nona Adams."

Sebuah senyuman Luciana Adams lontarkan tepat sebelum lift kembali dikuasai sunyi di antara keduanya.

"Sebenarnya saya hendak mengirimkan dan mengirimkan data pengeluaran dana terbaru kepada Anda, Tuan Kurihara. Tapi tampaknya Anda akan sangat sibuk malam ini," celetuk Luciana, sedikitnya melirik bahu Akira. "Waktu bergulir begitu cepat. Benar begitu, Tuan Kurihara?"

Akira tersenyum lebar, sejenak menoleh kepada Luciana yang membalas tatapannya.

"Anda bisa mengirimkan data tersebut ke surel saya. Untuk sementara saya akan memeriksanya, lalu menyerahkan data kepada Madam." Senyum Akira tak lama terukir jelas, yang sukses mengundang Luciana membalasnya dengan senyum serupa. Lantas Akira menoleh ke tombol lift. "Jadi setelah ini Anda akan pulang?"

"Ya," jawab Luciana. "Saya sudah menyelesaikan tugas saya, tentu saja berikut mewakili tugas Nyonya Watanabe. Anda pasti tahu benar, beliau terus melakukan pengobatan terhadap penyakitnya."

"Benar-benar seorang ibu yang malang. Kemarin Madam mengatakan akan mulai mempertimbangkan posisi Nyonya Watanabe."

Lift terbuka, berikut dengan dentang belnya memperlihatkan lantai utama yang begitu senggang. Tepat di kala Luciana hendak melangkah keluar, Akira buru-buru menekan tombol untuk menutup pintu lift. Pula ia bertutur, "Saya akan mengantarkan Anda."

"Tapi, Tuan-"

"Jaraknya tak begitu jauh dari lokasi seminar diadakan, bukan?" potong Akira sembari tersenyum. Sekali lagi, bel lift berdentang. "Jangan sungkan, Nona Adams. Mari."

Kala itu ... entah mengapa waktu seolah bergulir semakin cepat.

Lembayung hampir seutuhnya surut, sementara keadaan jalanan kecil terasa lebih sepi. Bahkan suara mobil saja bisa terdengar lewat jendela-jendela yang belum sempat tertutup.

Akhirnya mobil tak lama melaju. Dia menunggu hingga mobil yang baru ia tumpangi menghilang dari pandangan, tepat sebelum ia berpaling kepada gedung tinggi yang cukup jauh dari apartemennya.

Warna gedung yang membosankan, begitu empunya manik biru langit tersebut beranggapan. Namun warna itu sama sekali tidak menghilangkan kesan elegan dari desain minimalis gedungnya.

Sekedarnya ia mendengkus dan berpaling. Kontan ia melangkah melewati gang, memasuki apartemen melalui pintu kembar yang tak terlalu lebar. Dia bahkan sempat berdesakan dengan salah seorang pria tegap bertopi bisbol yang hendak keluar dari sana.

Demikian ia menginjakkan kaki di apartemen sederhana. Dia menaiki lift yang berderik di kala pintunya terbuka. Kadang-kadang batinnya bahkan khawatir kalau saja lift macet saat ia masih berada di dalam. Namun, untunglah sejauh ini ia baik-baik saja.

Sesampainya ia di lantai ketiga, ia melangkah menuju sebuah pintu paling ujung di sebelah kiri. Lekas ia menekan sandi di pengaman pintu.

Memasuki apartemen yang sepi, sepatu haknya berketuk sedikit lebih nyaring. Hendaknya ia masuk seusai mengganti sepatu, lampu di lorong utama menyala otomatis kala ia melintas.

Apartemennya tidak terlalu luas, hanya cukup untuk satu orang. Ketika melangkah melewati lorong akan segera ditemukan ruang tengah serta dapur. Di sana, ia juga menggunakan tempat itu untuk makan. Bahkan menerima tamu. Samping kiri ruang tengah merupakan sebuah kamar mandi. Sementara tangga yang berada di sebelah kamar mandi mengarah ke kamar.

Dia berjalan lurus menuju balkon yang menghadap jalan. Atensinya sedikit ia turunkan, persis tertuju kepada pria yang ia temui di pintu keluar masuk apartemen. Tampak sosok itu berjalan dengan langkah berat.

Merasa tak memiliki waktu untuk memandangi setiap pergerakannya, manik ia beralih kepada gedung yang ia pandang begitu lama sebelum masuk apartemen. Namun, getar dari ponselnya menginterupsi, memaksa ia untuk meraihnya dari saku jas.

Cukup lama manik di balik kacamata tersebut terpaku kepada sebuah pesan yang tertera di sana.

Bagaimana dengan hadiahku?

~*~*~*~*~

"Seharusnya Anda tidak perlu datang hanya untuk menutup tirai jendela saya."

Suster tertawa kecil sembari menarik tirai jendela. Ujaran dari Kirika persis membuat ia menoleh kemudian. Namun si suster mendapati si wanita bermanik merah itu tersenyum kecil, kontan pikirannya merasa bahwa tindakan ini sama sekali tak membuatnya terganggu.

Di luar sana sudah hampir gelap. Sebagai alasan ia bertutur, "Nanti Anda bisa masuk angin. Lagi, Anda tidak ingin berlama-lama berada di sini, bukan?"

Lantas, lawan bicaranya berpaling.

"Anda memiliki banyak pekerjaan, sama seperti di kala Anda masih muda. Sering ke sini karena cedera, benar?" kata suster seraya mendorong troli makanan. "Saya akui saya merindukan peristiwa itu. Saya selalu melihat Anda dari jauh. Semua orang di rumah sakit langsung mengetahui kalau Anda datang."

"Jadi Anda menginginkan saya tetap sakit agar saya bisa berada di sini?" Kali ini agaknya Kirika berminat untuk menyahut meski maniknya tak tertuju pada suster.

"Tidak, tidak! Tentu kami selalu mendoakan kesehatan Anda!"

Mendengar Kirika terkekeh, seketika pipinya merasakan sensasi geli. Pun sedikit panas sampai-sampai ia nyaris berpaling. Akan tetapi manik delima yang kontan tertuju padanya, seolah mengunci pergerakannya, pula napas sempat ia buat tertahan.

"Apa tidak ada makanan untuk saya?" Pada akhirnya Kirika kembali bersuara kala ia berpaling kepada tabletnya. Telunjuk si wanita terus menggeser tiap-tiap lembaran dokumen kala ia selesai membaca. Berakhir ia melanjutkan, "Tapi saya harap porsinya tidak terlalu banyak."

"S-saya akan segera membawakannya."

Demikian Kirika ditinggal sendiri. Sempat-sempatnya ia memandang punggung suster yang masih tersipu, seolah memastikan ia benar-benar menutup pintu. Tak berlangsung begitu lama acara suster yang keluar dari kamarnya, toh Kirika sudah kembali berpaku tatap kepada laporan-laporan baru.

Di luar sana, lorong koridor begitu sepi. Memang tidak terlalu banyak pasien yang menyewa kamar orang penting. Bahkan rumah sakit berakhir memutuskan untuk memasang lampu yang bekerja dengan sensor saja.

Setiap suster melangkahi sebuah lampu, lampu akan menyala. Kemudian setelah belasan detik, lampu padam. Namun, di ujung koridor yang mengarahkannya ke resepsionis, ia mendapati salah satu lampu yang tetap menyala di sana.

Matanya berkedip. Seorang pria mengenakan topi bisbol tengah berdiri, bersandar di dinding. Suster terang-terangan terkesiap kala manik hijau si pria tertuju padanya. Meski begitu, sangat sulit bagi suster untuk mendapati wajah empunya manik yang menyala-nyala dalam gelap tersebut.

Tidak ada seorang pun selain mereka. Pun, suara televisi layar lebar terlalu besar suaranya. Biasanya suster akan selalu mendengar langkah-langkah kecil atau orang yang tengah berpapasan. Sayang, ia sama sekali tak menemukan seorang pun.

Keduanya masih bungkam dalam kegiatan masing-masing. Hanya saja semakin dekat jarak mereka, suster semakin waswas. Terus saja ia mencoba mengabaikan sosok pria yang masih berdiam di tempatnya, suster memilih tetap menatap lurus.

Wilayah ini terlampau steril. Bau obat seolah menyeruak ke mana-mana. Suster bahkan akan segera tahu kalau-kalau ada bau asing yang menyelinap indera penciumannya. Dia menangkap bau anyir, semakin kuat pula kala ia semakin dekat dengan ruang tunggu.

Agaknya, kini ia tak perlu mencari dari mana bau itu berasal.

Ruang tunggu telah diwarnai oleh cairan merah pekat. Seisi ruang tunggu telah utuh diisi oleh mereka yang tinggal nama. Letaknya tak beraturan, ada pula yang menggantung di pintu juga tergeletak di badan sofa.

Salah satu jasad yang merosot menarik perhatian suster, darah tak sengaja terciprat mengotori wajah hingga baju seragamnya yang ia jaga tetap bersih sejak pagi. Namun, suster sama sekali tak mengedipkan manik kecilnya. Terus saja ia mematri oleh sebab dorongan syok tak terkira.

Demikian cairan merah mulai membentuk genangan, pula sebuah jalur menuju ke sepatu suster. Barulah ia mengalihkan pandangan kepada jasad di hadapannya. Semuanya sama seperti mereka yang telah tiada. Seisi perut terburai, tetapi kali ini ia menemukan jasad tersebut mengalami kerusakan pada bagian kepala.

Mulailah keringat dingin meluncur dari pori-pori kulitnya. Si suster merasa sepasang kakinya mulai lemas. Gemetar yang menguasai tubuh menciptakan gemelatuk di dalam mulut. Tak kuasa ia berteriak, malah ia memilih untuk mendudukkan tubuh oleh sebab kaki yang tak mampu menopang diri.

Namun, belum ia sempat melakukannya, justru si suster menerima rasa nyeri dari punggung. Kontan tanpa ragu, menjalar hingga menembus perut.

Sosok pria yang sejenak berdiri memandang si suster tengah ia jadikan mangsa. Tangan kirinya yang telah menjelma menjadi tentakel berduri dengan mudah mengangkat tubuh ringkih suster yang terseok-seok menahan hidup. Manik zamrudnya berujar dingin, memandang suster tanpa merasa bersalah.

Sekali ia mengendalikan tentakel yang memiliki ujung setajam pisau, merayap jauh hingga mencekik leher suster. Tidak tanggung-tanggung sekadar menghabiskan napas, justru ia pula mematahkan leher ringkih itu sampai kepala terpisah dari tubuhnya.

Puas bermain dengan korban terakhir, si pria langsung melangkahkan kaki menjauhi lokasi. Sengaja ia membiarkan tentakelnya tertanggal pada jasad suster, lantas membiarkannya terseret hingga benar-benar terlepas.

Tiada seorang pun yang menghentikannya membuka pintu kamar di mana suster tersebut baru keluar.

"Ah, bukan Anda terlalu cepat untuk-"

Suara wanita maskulin melantun lembut kontan membuat langkahnya terhenti di ambang pintu. Tuturan si wanita pula terputus kala ia mendapati sosoknya di sana.

Demikian manik delima menelusuri tiap-tiap lekuk wajah pria di hadapannya, seolah desingan nyaris menghilangkan akal sehatnya. Lonjakan detak jantung justru mendorong keringat dingin muncul.

Napas Kirika tak lagi beraturan tak lama setelah pria itu meneteskan air mata.

Sungguh, tak sanggup ia untuk menyebutkan satu kata ... dari sosok yang terlampau berarti dalam hidupnya. Namun, batinnya tetap mendorong ia memberanikan diri. Meski pelan, pula gentar berikut lirih, setidaknya ia berhasil menyebutkan kata itu.

"Ayah ...?"

Hai. Kembali berjumpa di chapter terbaru.

Mungkin tidak banyak yang tahu, tetapi belakangan saya sedang sibuk mengurus kucing. Tiga kucing-kucing itu tumbuh dan sudah berusia hampir lima minggu, setelah berhasil diselamatkan dari atap rumah. Ibunya tidak kunjung kembali, jadi saya memutuskan merawatnya.

Ada seekor yang saya beri nama Akira, karena dia sangat senang jalan-jalan. Kalau digendong sambil berjalan dia akan diam sambil purring. Tidak tahu apakah dia benar-benar senang atau bagaimana wwwwwww. Tapi toh dia diam saja, jadi saya pikir dia memang suka.

Apakah ini another excuse karena update terlalu lama? Hmmm ... tidak juga. Act 2 hampir selesai, saya masih harus mengeksekusi beberapa bagian sebelum dipublikasikan. Ada sekitar dua bab lagi yang harus saya kerjakan sebelum masuk Act III. Semoga bisa tamat tepat waktu.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

149K 11.6K 22
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...
1.9K 425 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...
46.4K 3.2K 23
BOBOIBOY MOVIE 2 & BOBOIBOY GALAXY SORI × READER
261K 9.4K 8
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 3 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...