Perfect Strangers (✔)

By adoravble

141K 14.9K 3.1K

Jerome dan Chelsea, dua orang yang harus terjebak di dalam ikatan pernikahan dengan rasa keterpaksaan. Setela... More

00. Prolog
01. First Day in Bali
02. Second Day
03. The Night
04. Everything Begins Here
05. Not A Dream
06. Croissant
07. Surprise
08. Decision
09. Birthday Gift
10. She's Back
11. Trust Me
12. Someone You Loved
13. Lost Control
14. The Wedding
15. Loser
16. Something Different
17. Change Up
18. Cravings
19. One More Chance
20. Lay Your Head On My Shoulder
22. Please, Listen To Me
23. Too Afraid To Love You
24. Stay With Me
25. Hypnotized
26. A Day Full Of Happiness
27. Obsession
28. Welcome To The World
29. Protect You
30. Perfect Strangers
31. Epilog

21. Sick

4.3K 475 139
By adoravble

Chelsea merasakan ada seseorang yang menyentuh kulit pipinya. Kedua mata yang sedari tadi tertutup pun kini terbuka perlahan. Rasanya berat sekali untuk membuka mata, namun ia paksakan untuk terbuka. Hingga sayu-sayu ia melihat wajah seseorang yang sedang menatapnya dengan jarak yang sangat dekat. Meskipun pandangannya belum terlalu jelas, ia tentu tahu siapa pemilik wajah itu.

"Jer."

"Kenapa? Pusing? Gue udah panggil dokter,ㅡ"

"Jer."

"Ya?"

"Jer."

"Apa? Lo kenapa?"

Raut wajah Jerome seketika berubah semakin panik.

"Gue gak papa. Lo gak kerja?"

Chelsea berusaha memberikan senyum, meskipun itu hanya senyuman tipis. Ia hanya tidak mau Jerome terlalu khawatir padanya. Chelsea tahu bahwa hari ini Jerome ada rapat yang harus dihadiri, maka dari itu semalaman suaminya itu lembur sampai larut malam.

Meskipun sejujurnya Chelsea butuh Jerome untuk menemaninya yang sedang tidak enak badan hari ini. Tapi menurutnya pekerjaan lebih penting, lagi pula Chelsea bisa meminta Bunga untuk menemaninya di sini. Bunga kan pengangguran, pasti akan selalu siap sedia.

"Kalau gue kerja, yang ngurus lo siapa?" Jerome kembali menempelkan kompres dingin ke dahi Chelsea.

"Gue bisa minta Bunga nemenin gue. Dia available 24 jam nonstop kok. Lo pergi kerja aja, kan ada rapat penting hari ini?"

Jerome terdiam sesaat, mungkin lelaki itu sedang menimbang-nimbang perkataan Chelsea. Memang benar, hari ini ada rapat penting yang harus dihadiri.

"Serius, Jer. Gue telpon Bunga sekarang, dia pasti bakal dateng. Lo bisa pergi kerja."

Akhirnya Jerome berdiri dari duduknya, mengeluarkan sebuah ponsel dan menempelkannya ditelinga. Dapat Chelsea dengar Jerome menghubungi Julian, suaminya itu meminta untuk rapat diundurkan satu jam dan juga berpesan pada Julian untuk meminta Bunga datang ke apartemennya.

"Gue udah minta Julian hubungi Bunga."

"Iya. Makasih."

"Dokter sebentar lagi datang. Gue pergi kalau lo udah di cek dokter."

"Iya."

"Ya."

"Maaf ya, Jer."

Seketika Jerome mengurungkan niat untuk melangkah pergi setelah mendengar suara lemah Chelsea.

"Gue ngerepotin ya?" Lanjut Chelsea lagi, dan langsung mendapat anggukan Jerome.

"Iya."

"Maaf."

"Makanya jangan sakit." 

Chelsea hanya menyunggingkan senyum tipis dan kemudian Jerome pun melangkah pergi dari kamarnya untuk bersiap kerja.

Ada sebersit perasaan senang ketika ia mendapat perlakuan hangat Jerome. Siapa sangka, lelaki yang awalnya Chelsea kira seperti patung es itu ternyata punya sisi hangat tersendiri. Meskipun Chelsea tahu, gengsi selalu menutupi sikap peduli Jerome padanya. Tapi, Chelsea selalu tertarik untuk tersenyum ketika melihat sikap Jerome itu. Lucu, menurutnya.

Suara ketukan pintu dari luar terdengar, lalu pelan-pelan terbuka menampilkan Jerome yang sudah rapi dengan kemejanya. Jerome tidak sendiri, melainkan bersama seorang dokter yang Chelsea juga sudah mengenalnya. Pernah sekali ia bertemu dengan dokter Theresia saat pernikahaannya. Beliau adalah dokter pribadi keluarga Hadinata.

Setelah menyapa singkat, Theresia mulai mengecek kondisi badan Chelsea. Sedangkan Chelsea malah fokus melihat ekspresi Jerome yang sangat serius, dan itu malah membuat Chelsea tersenyum menahan geli.

"Chelsea cuma butuh istirahat aja. Ini cuma masuk angin biasa, Jer. Jangan khawatir. Bayi kamu baik-baik saja."

Wajah tegang Jerome kini akhirnya melunak. "Denger gak lo, Chel? Istirahat!"

"Hush!" Dokter yang masih terlihat sangat cantik itu menepuk lengan Jerome. "Kamu itu sama istri jangan kasar begitu, Jer. Dia lagi hamil loh. Kamu jangan bikin Chelsea tambah setres."

Begitu mendengarnya Chelsea langsung terkikik geli. Demi Tuhan, pusing di kepalanya tadi perlahan menghilang gara-gara hiburan melihat ekspresi Jerome pagi ini yang tidak seperti biasanya.

"Denger gak, Jer? Jangan kasar sama aku."

Jerome mengernyitkan dahinya menatap Chelsea. Mungkin ia merasa aneh karena daritadi Chelsea terkikik geli menatapnya. Mungkin juga Jerome merasa ada yang tidak beres pada wajah tampannya, apa tiba-tiba muncul tompel di dekat bibirnya?

Selepas dokter Theresia pergi, Jerome kembali ke kamar Chelsea setelah mengantar dokter itu pergi.

"Lo sakit jiwa?"

"Iya. Selamat lo punya istri gila."

Jerome kembali duduk di tepi kasur, mengeluarkan ponselnya dan kembali menelpon Julian untuk mengatakan bahwa rapatnya harus diundur lagi. Seketika itu Chelsea langsung menarik tangan Jerome hingga lelaki itu menoleh.

"Jangan diundur lagi, lo pergi aja sekarang. Gue gak papa."

Jerome terdiam sesaat menatap Chelsea, lalu akhirnya ia mengangguk dan menutup teleponnya dengan Julian.

Kemudian Chelsea berpesan sebelum Jerome meninggalkannya.

"Bunga bakal dateng. Lo gak usah khawatir."

"Gue gak khawatir."

"Oh, iya enggak khawatir."

"Gue ngelakuin karena anak gue."

"Iya, gue tahu."

"Ya."

Setelah itu Jerome pun akhirnya menggerakkan kakinya untuk pergi. Sedangkan Chelsea hanya tersenyum melihat punggung Jerome sampai menghilang di balik pintu.

Lelaki yang awal pertemuan dengannya tidak berkesan baik, lelaki yang yang awalnya selalu memancing debat dengannya, lelaki yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya dan menikahinya itu, ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan. Jerome selalu peduli padanya, meskipun masih tertutupi gengsi yang besar.

"Chel!"

Pintu kamar Chelsea mendadak terbuka lebar, menampakkan Bunga di sana. Tanpa menunggu sang pemilik mempersilahkan masuk, Bunga setengah berlari menghampiri Chelsea yang masih terbaring lemah di atas kasur.

"Santai, Bung. Gak usah lari segala." ujar Chelsea sambil menatap Bunga heran.

Bunga meletakkan sebuah mangkuk dan juga plastik berwarna putih di atas nakas samping ranjang Chelsea.

"Buset, Jerome ngomel terus ke Julian. Katanya gue harus beliin lo bubur dan nebus obat ke apotek. Itu aja dia masih nyuruh gue cepet ke sini. Dia kira gue punya kekuatan transportasi??"

"Teleportasi, Bung."

"Ya, itu maksud gue!"

Dengan wajah masih setengah kesal, Bunga duduk di tepi ranjang Chelsea dan mengambil semangkuk bubur ayam yang tadi dibawanya.

"Makan nih sekarang, terus minum obat."

Chelsea mengernyit, "Kok lo galak?"

"Gue masih kesel ya sama suami lo itu. Pagi-pagi bikin gue panik sampai lupa nyisir rambut!"

Tawa kecil Chelsea mulai terdengar setelah mendengar omelan Bunga. Ia tidak menyangka Jerome sampai segitunya menyuruh Bunga untuk datamg. Padahal, ia merasa sakitnya tidak separah itu. Hanya demam sedikit dan juga pusing. Benar kata dokter, ia hanya butuh istirahat saja.

"Mulai seneng ya lo punya suami? Ketawa mulu." Bunga membantu Chelsea untuk duduk, lalu menyuapi sahabatnya itu dengan bubur ayam yang tadi sempat ia beli.

"Lucu aja Jerome sekarang."

"Terus lo udah mulai suka?"

Chelsea tiba-tiba terbatuk kecil, dan membuat Bunga semakin memicingkan matanya menatap Chelsea penuh selidik.

"Akhirnya lo pinter juga, Chel."

"Apasih, Bung? Gak gitu."

"Ya, gue sih setuju aja daripada lo masih nungguin cinta monyet lo itu."

Chelsea hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ia memang belum memberitahu Bunga tentang kejadian tempo hari saat Bara mengatakan suka padanya. Mungkin jika Bara membalas rasa sukanya jauh sebelum ia menikah, tentu Bunga menjadi orang pertama yang akan Chelsea beri tahu tanpa ragu.

"Eh, ngomong-ngomong soal Bara, gue beberapa kali lihat dia di berita. Bukan berita gosip kampungan itu, tapi ini berita bisnis!"

"Iya, gue juga lihat."

Chelsea menganggukkan kepalanya, dan menerima suapan bubur dari Bunga.

"Ah tapi lebih keren Jerome sih, Chel. Elo jangan tergoda lagi sama dia."

"Iya, enggak."

"Hah? Jadinya iya atau enggak??"

Chelsea mendengus. Bunga memang banyak omong, membuatnya semakin pusing saja.

Jujur, Chelsea akhir-akhir ini mendadak setres juga karena memikirkan Bara. Tidak dapat dipungkiri, hatinya memang masih dimiliki oleh lelaki itu. Dan kejadian tempo hari sempat membuat Chelsea sedikit goyah, meskipun ia tetap berhasil mempertahankan benteng pertahanannya.

"Bung."

Bunga menoleh begitu Chelsea memanggilnya, dan menunggu beberapa detik sampai Chelsea akhirnya membuka mulutnya lagi.

"Ada sesuatu yang harus gue bilang ke elo."

"Apa?"

Chelsea menunduk dan memainkan kukunya. Entah kenapa ini menjadi hal sulit untuk ia ceritakan pada Bunga.

"Bara minta kesempatan ke gue. Dia bilang, dia suka sama gue dan mau nunggu gue."

"Chel? Lo ngigau?"

"Demi Tuhan, Bung. Gue sadar dan gue serius."

"Terus?" tanya Bunga dengan kedua mata membulat. "Lo bilang iya?"

Chelsea menggeleng, "Enggak. Gue tolak dia."

Mereka terdiam sejenak, Bunga masih setengah kaget dengan cerita Chelsea.

"Kenapa lo tolak? Bukannya ini yang lo mau sejak lama?"

Pertanyaan Bunga membuat Chelsea bungkam beberapa detik. Ya, memang itu yang Chelsea inginkan sejak lama. 

"Iya. Tapi gue gak bisa."

Ada jeda sebelum Chelsea melanjutkan perkataannya.

"Saat gue mulai goyah, tiba-tiba gue inget Jerome."





***



Berkali-kali Jerome mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Mengecek pesan, lalu memasukkannya lagi ke dalam saku. Pikirannya mulai terusik dengan Chelsea, padahal seharusnya ia harus berkonsentrasi penuh pada rapat penting hari ini.

Dua jam rapat selesai, Jerome langsung mengeluarkan ponselnya lagi dan buru-buru menghubungi satu nomer di kontaknya.

"Hmm."

"Udah minum obat?"

"Udah."

"Baikan?"

"Iya."

"Ya udah."

Baru saja Jerome akan menutup panggilannya, tiba-tiba Chelsea bersuara lagi.

"Jer."

Jerome kembali menempelkan ponsel pada telinganya.

"Apa?"

"Cepet pulang."

Lama Jerome tidak menjawab, hingga Chelsea kembali memanggilnya, dan akhirnya Jerome tersadar.

"Iya, nanti gue pulang cepet."

Demi Tuhan, rasanya aneh tiba-tiba ada yang menyuruhnya untuk pulang cepat. Dan anehnya lagi, Jerome rela mengerjakan pekerjaannya hari ini secepat kilat. Bahkan jam makan siangnya pun tidak diambil, ia hanya memesan makanan cepat saji dan memakannya sambil memeriksa beberapa dokumen di ruangannya.

Gila.

"Chelsea baik-baik aja. Bunga bilang ke gue dia udah baikan."

Julian tiba di ruangan Jerome dan mengamati bosnya itu dengan heran.

"Iya gue tahu."

"Ya udah, lo bisa istirahat sekarang. Gak usah buru-buru. Bunga masih nemenin Chelsea."

Jerome bahkan mengabaikan Julian. Ia masih sibuk memeriksa dokumen-dokumen dan juga file-file laporan di emailnya. Hingga akhirnya, satu pertanyaan dari Julian berhasil membuatnya berhenti.

"Lo udah mulai suka Chelsea ya?"

Seketika Jerome terhenyak atas pertanyaan itu. Sedangkan Julian terkekeh melihat ekspresi Jerome saat ini.

"Akhirnya, luluh juga hati keras lo." sambung Julian lagi.

"Jangan sembarangan ngomong." Jerome tentu mengelak. Kemudian ia berdehem dan melanjutkan kesibukannya lagi, meskipun kini fokusnya terpecah gara-gara Julian si kampret.

Apa benar ia sudah mulai suka Chelsea? Sepertinya tidak. Kekhawatiran Jerome itu hal yang wajar. Ia hanya melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami yang tanggung jawab. Lagipula, ada anaknya di dalam perut Chelsea. Sudah, itu saja alasannya. Tidak ada yang lain.

"Lo bisa bohong bilang enggak. Tapi lo gak bisa bohongi gue, Jer."

"Jangan sok tahu."

"Kurang-kurangi gengsinya. Akuin aja perasaan lo itu, Pak Bos."

Selepas Julian pergi, Jerome sempat terdiam dan hanya memandang kosong dokumen-dokumennya. Perkataan Julian tadi terngiang di kepalanya terus-menerus. Sial. 

Bahkan ketika ia sudah berada di jalan untuk pulang, suara Julian seperti mengikutinya. Masih terdengar jelas di telinganya, seperti Julian masih di sebelahnya dan berbisik dengan sangat keras.

"Lo udah mulai suka Chelsea? Kurang-kurangi gengsinya. Akuin aja perasaan lo itu."

Sial. Semakin Jerome mengusir suara itu, malah suara Julian seperti terdengar semakin keras.

Sampai-sampai Jerome mengumpat keras di dalam mobil, dan membuat latah Supri kumat karena tersentak kaget.

"Ayam, ayam, eh ayam, eh Tuan. Bikin kaget."

"Sup, puter musik yang keras!"

Bahkan musik yang sangat keras pun tak mampu mengusir suara Julian. Hingga Supri merasa gendang telinganya hampir pecah, tapi Jerome tak mau mengurangi volume speaker mobilnya. Berulang kali Jerome memutar lagu metallica dengan volume keras. Hingga Supri merasa setres karena mendengar lengkingan suara tinggi super keras itu.

Sampai di parkiran apartemen, Supri buru-buru keluar mobil untuk menyelamatkan telinganya. Sedangkan Jerome masih di dalam mobil, mengacak rambutnya seperti orang gila. Atau memang ia sudah gila sungguhan?

Jerome akhirnya keluar setelah Supri membukakan pintu mobil untuknya. Kemudian bergegas menuju lift untuk naik ke apartemennya. Di dalam lift pun, ia hanya menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan lemas. Hingga pintu lift terbuka dan ia sampai di apartemennya, Jerome masih berjalan menunduk sambil menutup telinga sebelahnya dengan tangan.

"Hey."

Jerome mendongak begitu mendengar suara Chelsea. Wanita itu sedang berjalan menuruni tangga dengan senyum lebar menyambutnya.

Sial. Kenapa harus tersenyum seperti itu?

"Ngapain lo senyum-senyum?"

"Gak boleh?" tanya Chelsea yang sekarang sudah berdiri tepat di depan Jerome.

"Enggak."

"Kenapa?"

"Kayak orang gila."

Chelsea mengernyit, dan seketika itu senyumnya pudar.

"Udah baikan?" tanya Jerome.

"Udah, obatnya mantul."

"Oh."

Entah, rasanya Jerome menjadi canggung di depan Chelsea. Dan akhirnya ia buru-buru melangkah pergi menaiki tangga melewati Chelsea begitu saja.

"Lo udah makan?" Chelsea mengikuti Jerome dari belakang.

"Belum."

"Gue tadi pesen makan. Ayo makan bareng."

Jerome tiba-tiba berhenti setelah tadi berjalan cepat seperti lomba gerak jalan. Hingga Chelsea pun akhirnya menubruk dadanya karena tidak bisa mengerem mendadak.

Lalu tiba-tiba Jerome memutar badan Chelsea dan mendorongnya pelan untuk mengusirnya.

"Lo tunggu aja di bawah, jangan ngikutin gue."

Saat Chelsea hampir berbalik menghadap Jerome lagi, lelaki itu menahannya kembali.

"Jangan balik badan!"

"Lo kenapa sih, Jer?"

Jerome bahkan tak menjawabnya dan langsung berbalik menuju kamarnya meninggalkan Chelsea yang masih kebingungan.

Dengan cepat Jerome menutup pintu kamar. Dadanya rasanya berdebar tak karuan, hingga rasanya hampir copot. Berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Lalu sejenak ia duduk di tepi ranjang sambil meminum sebotol air mineral yang tersedia di kamarnya.

Sialan, semua ini gara-gara Julian.

Tenang Jerome, tenang. Ini karena dirinya merasa setres saja, bukan karena suka.

Iya, kan?



###


Jerome, ngelamun di rapat hari ini.


Guysss, pada kangen Vivian gak sih???
Bentar, dia lagi semedi di goa. Semoga besok bisa muncul 👌

Continue Reading

You'll Also Like

YES, DADDY! By

Fanfiction

312K 2K 10
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
127K 14.8K 25
hanya sekedar cerita baru tentang percintaan Jeffrey dan zahra yang sama - sama sudah menginjak universitas dan bukan SMA lagi. Jeffrey yang sudah pe...
1.7M 65.5K 96
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...
1.5M 105K 58
[ 🔞🔞 Tidak sehat bagi jantung jomblo ] Prinsip hidup Alam sederhana, tidak mencari masalah dan enggan menikah. Sementara prinsip hidup Navella kom...