Senyum di bibirnya mendadak hilang begitu saja. Jantung yang tadinya berderap kencang, seakan berhenti berdetak detik itu juga. Kedua matanya terbuka lebar. Wajah yang beberapa detik lalu tersipu malu, kini seketika berubah cemas. Rania menambah kecepatan langkah kaki. Dengan gerakan yang buru-buru, ia menghampiri Kayla yang tengah menangis di kursinya. "Kayla, kenapa?" tanya Rania sambil menempatkan diri pada kursi kosong di sebelah Kayla.
Kayla menoleh dengan mata sembab, memperlihatkan wajah berantakan yang ia punya. Pipi basah, hidung merah, dan kantung mata yang menghitam, kontan membuat Rania langsung membatin bahwa Kayla sedang tidak baik-baik saja. Setahun bersama Kayla, Rania tahu betul bahwa gadis yang telah melepaskan kacamatanya ini sangat pantang untuk menangis. Dan ketika menemukannya dalam keadaan kacau seperti ini, pantas sekali jika Rania bertanya, "Siapa yang udah nyakitin lo?"
Sebuah pelukan yang begitu erat diterima Rania detik itu juga. Bersama isak tangis yang membuncah, Rania terus membatin bahwa telah terjadi sesuatu kepada gadis di depannya. Rania mencoba untuk menenangkan Kayla dengan mengusap punggungnya secara perlahan. Menepuk-nepuk bahunya sembari berbisik lirih, "Gue ada di sini, Kay."
* * *
Keduanya masih menetap di tempat yang sama meski bel istirahat telah berbunyi sejak 2 menit yang lalu. Kini Rania dan Kayla sama-sama terdiam. Rania beranggapan kalau Kayla tengah menyusun kata yang akan dilontarkan untuknya. Karena selepas tangis tadi pagi yang kemudian dilanjutkan dengan kedatangan pengajar, Rania masih belum sempat untuk mendengarkan cerita sang sahabat.
"Sekarang cerita ke gue apa yang terjadi sama lo," tukas Rania yang merasa telah cukup bersabar untuk mendiamkan mulutnya agar tidak bertanya.
"Fiki ... " Kayla menunduk, mengembuskan napas pelan dari mulutnya, "lagi-lagi dia kasih gue harapan paslu, Ran."
Jantung Rania mencolos, terasa panas seperti baru saja disirami air mendidih ke atasnya. Di saat tangannya berinisiatif untuk menggenggam tangan Kayla yang kemudian dibalas dengan sama eratnya, gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. "Apa gue yang udah berlebihan, ya, Ran? Gue merasa kalo Fiki itu punya rasa yang sama ke gue, tapi ternyata enggak. Gue udah kepedean, udah berharap banyak sama dia, tapi ternyata--"
"Udah, cukup. Jangan dilanjutin lagi," potong Rania yang tak kuasa untuk mendengar kelanjutannya.
Lantas Kayla terlihat mengangkat kepala. Ia menatap Rania, lalu tertawa kosong setelahnya. Bermula dari tawa kecil yang akhirnya pelan-pelan berubah menjadi tawa yang begitu keras. Kayla tampak frustasi setelah harapnya berakhir dengan kekecewaan. Kayla kembali menangis, membuat mata dan hidungnya terlihat merah seperti tomat. Dari situ Rania tahu bahwa sahabatnya begitu jauh dari kata baik-baik saja. Genggaman tangan keduanya bertambah kuat, sekuat Rania yang mencoba untuk tidak ikut menangis bersamanya. Percayalah, Rania juga merasakan sakit yang sama.
Berselang waktu setelah kondisi Kayla terlihat sedikit membaik, Rania pun mencoba untuk membawa gadis itu ke kantin. Tangis Kayla itu lama, dan Rania yakin bahwa gadis yang melangkah di sebelahnya ini juga merasakan lapar yang sama dengannya.
Menjelang 15 menit sebelum bel berakhir, kantin sekolah masih terlihat ramai. Kali ini mereka lebih memilih untuk makan di dalam saja. Dan pada saat keduanya baru saja selesai memesan makanan, seseorang memanggil salah satu dari mereka dengan suara lantang. "Pacarnya Elang Angkasa!"
Kompak menoleh, Rania dan Kayla akhirnya menemukan Elang yang tengah melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Bersama Fiki, Elang memenuhi kursi pada jalur tengah. "Sini!" teriak Elang dengan isyarat agar Rania menuju ke arahnya.
Namun, Kayla cepat-cepat memegangi lengan Rania. Ia menggeleng kecil, pertanda bahwa saat ini Kayla meminta Rania untuk menolak ajakan Elang. Sebagai sahabat yang baik, Rania paham dan tahu betul bahwa gadis yang satu ini membutuhkan jarak dan ruang antaranya dan Fiki. Dan dengan tekad yang yakin, Rania balas meneriaki Elang. "Kita di sini aja, Lang." Lalu setelahnya ia buru-buru pergi. Setidaknya agar Elang tak lagi berteriak yang mungkin saja akan mengganggu ketenangan murid di sana.
"Makasih, ya, Ran," ucap Kayla begitu keduanya telah menduduki kursi pada bagian paling sudut.
Dari sini Rania menemukan Kayla yang tersenyum kecil ke arahnya. Usai membalas senyum itu dengan sedikit tawa ringan, Rania pun berujar, "Santai aja, Kay. Gue tau betul kalo lo perlu jaga jarak sama dia."
Sementara kedua gadis itu yang sibuk menyantap makanannya, Elang sendiri malah dihadapkan dengan kebingungan. Selepas Rania yang menolak ajakannya, laki-laki itu tak bisa mencegah dahinya untuk tidak berkerut. "Aneh," gumamnya yang masih bisa didengar oleh Fiki, "lo ngerasa gitu gak, sih?" Dan kali ini tatapan Elang menuju ke arah Fiki yang dibalas dengan mengangkat kedua bahunya.
"Biasalah, Lang. Cewek-cewek, mereka butuh privasi kali," jawab Fiki yang menanggapinya dengan santai.
Terlihat Elang menganggukkan kepala banyak kali disertai dengan gumaman yang panjang. Di saat dirinya hendak kembali melanjutkan makan, sesuatu yang sempat dipikirnya semalam tiba-tiba terlintas di pikirannya. Pun kepala Elang kembali terangkat. Bukan lagi memasang ekspresi bingung, kini Elang malah memasang ekspresi cerah. "Udah jadian sama si Kayla lo, ya?"
Detik itu Fiki refleks tersedak oleh air minumnya sendiri. Matanya membola, menatap Elang dengan wajah kagetnya. "Apa? Jadian, Lang?"
"Ya iya. Bukannya semalam kalian kencan?"
"Kencan bukan berarti jadian kali. Gue ajak Kayla kencan juga karna katanya dia bosen di rumah sendirian."
Mendengar Fiki berkata seperti itu, membuat Elang nyaris memicingkan mata. Embusan napas kasar terhela dari mulutnya. Ia menggeleng tak habis pikir, lalu berkata dengan nada nyeleneh di akhirnya. "Segitunya lo nyakitin dia, Ki."
"Hah!? Maksudnya?"
Keduanya saling berbagi tatapan. Sebelum akhirnya Elang kembali melanjutkan perkataan yang sempat tersusun rapi dalam kepalanya. "Lo udah salah, Bro. Lo udah ngelakuin sesuatu yang seharusnya enggak lo lakuin."
Fiki menutup mulutnya rapat-rapat. Ucapan Elang bernada rendah itu seketika membuatnya lekas berpaling ke lain arah. Sekilas matanya tak sengaja bertemu dengan manik Kayla. Hanya berlangsung selama dua detik, sebelum akhirnya gadis cantik yang diketahui menyukai hujan itu terlihat memutuskan kontak di antaranya.
"Gue tau lo paham maksud perkataan gue apa. Jadi saran gue di sini, kalau lo emang gak niat, mendingan jangan."
* * *
Deru motor terdengar jelas di telinga. Debu-debu jalanan dan hawa panas yang menyegat, seketika membuat kulit serasa terbakar. Beberapa anak-anak terlihat berhamburan ke jalan saat lampu merah dinyalakan. Mereka berdendang sambil menggerak-gerakkan botol air mineral yang telah diisi dengan kerikil di dalamnya. Berusaha menciptakan bunyi yang indah, sehingga mampu menggerakkan hati manusia untuk sedikit memberi uang kepadanya.
"Kasian banget, ya, mereka. Bukannya main dan belajar, tapi harus kerja keras."
"Itulah Indonesia. Gak kerja, gak makan."
Berbeda dengan Elang yang kembali bisa melanjutkan memainkan ponsel di tangan, maka Rania tidak seperti itu. Tatapannya masih terpaku pada titik yang sama. Bahkan saat lampu lalu lintas telah berubah hijau dan anak-anak yang dibicarakan tadi sudah berpindah, dirinya malah berakhir dengan helaan napas kasar. "Katanya Indonesia kaya, tapi kenapa rakyatnya bisa semiskin itu, ya?"
Terlihat Elang menghentikan niat untuk menyeruput es teh manis miliknya. Kedua alisnya malah saling tertaut, membentuk satu garis bergelombang di dahinya. "Em ... Indonesia memang kaya, tapi hati para pemerintah gak sekaya itu. Paham-pahamin ajalah kalo Indonesia itu keras." Elang berkata telak, setelahnya kembali melanjutkan niat yang sempat tertunda.
Di depannya, Rania tampak menganggukkan kepala tiga kali. Embusan napasnya kembali terdengar, bersamaan dengan matanya menatap Elang yang kembali sibuk dengan ponsel pintarnya. "Lang," panggilnya tanpa berkedip sekali pun.
"Hm," sahut Elang dengan gumaman singkat.
"Aku heran. Kenapa, sih, kamu gak suka mi pangsit? Padahal rasanya itu enak banget dan cocok di semua lidah, lho."
Sekilas Elang terlihat menghentikan jari tangan yang semula bermain pada layar ponsel. Elang berkedip dua kali untuk menetralkan matanya yang terasa panas. Wajahnya mengeras aneh, tapi tak sedikit pun diperlihatkan kepada gadisnya. "Gak suka aja," akunya setelah memilah jawaban yang paling tepat untuk diutarakan.
"Sesekali cobainlah, Lang. Aku jamin nanti kamu pasti bakalan ketagihan," racau Rania tanpa memperhatikan dengan betul laki-laki di depannya. Gadis itu tak tahu saja bahwa jantung Elang telah bekerja dua kali lebih cepat dari semestinya. Dan gumpalan tangan di bawah meja, terus Elang pertahankan agar tidak menimbulkan getaran aneh yang bisa Rania tangkap dengan matanya. "Em ... gimana kalo Minggu nanti aku buatin kamu mi pangsit? Biar nanti kamu--"
"Udah makannya?"
"Eh! Apa, Lang?"
"Udah makannya? Bisa kita pulang sekarang?"
Pergerakan bibir Rania terhenti untuk beberapa detik ke depan. Glabelanya berkerut, menatap Elang dengan tatapan bingung sekaligus aneh. "Udah," jawab Rania walau mi pangsit miliknya masih tinggal separuh mangkuk. Namun, ini bukan tentang makanan kesukaannya yang belum sempat dihabiskan. Tapi ini lebih dari itu. Tentang dada Elang yang kembang kembis dalam tempo yang cepat. Dan tentang urat tangan Elang yang bermunculan ketika ia menggepalkan tangan.
* * *
Hai, kamu! Masih mau bertahan sama cerita ini? Maaf, ya, kalau sampai detik ini ceritanya masih garing. Tapi kamu harus tunggu beberapa chapter kedepan. Pasti bakalan keliatan serunya di mana. Tungguin, ya, cantik.
Salam,
dariku yang masih mau tiduran