Angkasa Tanpa Warna

Von sebaitrasa

585K 73.1K 21.8K

[FAMILYSHIP, NO ROMANCE] Karena kamu adalah Angkasa. Yang begitu tangguh di pelukan semesta. Yang datang deng... Mehr

Prolog
Warna 1
Warna 2
Warna 3
Warna 4
Warna 5
Warna 6
Warna 7
Warna 8
Warna 9
Warna 10
Warna 11
Warna 12
Warna 13
Warna 14
Warna 15
Warna 16
Warna 17
Warna 18
Warna 19
Warna 20
Warna 21
Warna 22
Warna 23
Warna 24
Warna 25
Warna 26
Warna 27
Warna 28
Warna 29
Warna 31
Warna 32
Warna 33 (Akhir)
Epilog
Secarik Pesan dari Sudut Langit yang Gelap
In Memoriam, Angkasa Dewangkara
Dari Sabiru...

Warna 30

14.8K 2K 1K
Von sebaitrasa

Entah sejak kapan suara detik jarum jam yang berjalan menjadi terasa begitu melegakan. Padahal biasanya Biru tidak pernah merasa nyaman.

Hampir satu jam, tapi cowok itu masih tetap diam. Entah alasan apa pula yang menahan cowok itu untuk tetap bertahan di dalam ruang rawat Angkasa bahkan ketika ada Ranin di sana. Berkali-kali logika cowok itu menyerukan perintah untuk pergi, tapi nuraninya tidak pernah sejalan hingga akhirnya dia memilih untuk tetap berada di sini.

Tidak banyak yang Biru lakukan. Dari tadi, ia hanya duduk di sofa sudut ruangan dan memejamkan mata. Berpura-pura tidur hanya untuk menghindari obrolan dengan dua manusia lain di sana. Sejujurnya, dia hanya tidak ingin bicara dengan Ranin. Karena meski ia mulai terbiasa dengan Angkasa, bukan berarti ia juga sudah melupakan semua yang wanita itu lakukan.

Biru tahu Ranin memang datang lebih dulu ke kehidupan Praja, tapi wanita itu sudah memutuskan untuk pergi sejak semua berakhir begitu saja. Lalu tiba-tiba dia kembali lagi dan mengusik hidup Praja ketika lelaki itu sudah berkeluarga. Meski Biru bisa mengerti alasan wanita itu melakukannya, tetap saja memaafkan tidak pernah sesederhana mengedipkan mata.

Di mata Biru, Ranin tetap salah. Dan kesalahan itu akan selalu menjadi alasan Biru tidak menerima hadirnya.

Suara denting sendok yang Ranin gunakan untuk menyuapi Angkasa kembali bergema di antara hening, lalu obrolan hangat ibu dan anak itu kembali mengalir. Dalam diamnya, Biru ikut merekam semua. Dia bahkan tahu kalau mereka sengaja mengecilkan suara hanya agar tidak mengusik tidurnya. Tapi percuma. Karena dari awal, Biru memang sepenuhnya terjaga.

Satu detik Biru bisa mendengar keduanya tertawa, detik selanjutnya dia bisa menangkap nada serius dari cara mereka bicara. Kemudian, telinganya seperti dihadapkan langsung pada getar tak biasa dalam gema suara Angkasa. Sesuatu yang sejenak berhasil membuatnya terpaku dan kembali merekam semua.

Topik obrolan dibanting begitu saja dan untuk pertama kali Biru menyaksikan sendiri bagaimana topeng Angkasa terbuka.

"Mulai sekarang, Mama nggak mau kamu berhubungan lagi sama Papamu, apapun alasannya. Mama juga minta sama kamu, tolong, kali ini jangan halangi Mama untuk bertindak sebagaimana mestinya. Bagaimanapun juga, Papa kamu harus dihukum sebagaimana mestinya, Sa."

"Aku bukannya nggak mau hargain keputusan Mama. Tapi ... nggak bisa, ya, masalah ini diselesin baik-baik aja?"

"Nggak bisa! Hendra itu sakit, Sa. Nggak akan bisa diajak bicara baik-baik. Satu-satunya yang bisa menghentikan dia cuma hukum. Nggak ada cara lain."

"Tapi gimanapun juga dia Ayahku."

"Nggak ada Ayah yang tega menyakiti anaknya sendiri! Mama mohon, Angkasa ... ikuti saja keinginan Mama kali ini. Mama lakuin semuanya juga demi kamu. Mama nggak mau kamu disakitin lagi sama laki-laki sakit jiwa seperti Ayahmu itu!"

Dalam diamnya, Biru mengumpat. Dia tahu Angkasa itu bodoh, tapi tidak mengira akan sebodoh ini.

Jika itu Biru, sudah pasti dia akan memenjarakan Hendra sejak lama, bukan hanya diam dan membiarkan dirinya disakiti sedemikian rupa. Biru bahkan rela melupakan fakta tentang apa kedudukan lelaki itu di hidupnya sejak pertama kali tangan lelaki itu menggoreskan luka ke tubuhnya. Bagi Biru, tidak pernah ada kata wajar untuk orang tua yang tega melukai anaknya sendiri.

Tapi Angkasa itu memang bodoh. Biru sudah bersumpah, kalau sampai dia mendengar Angkasa menolak keinginan Ranin untuk memenjarakan Hendra, Biru sendiri yang akan memastikan anak itu babak belur di tangannya.

Ada jeda cukup panjang yang membentang sejak Ranin selesai bicara. Sepi ruang itu benar-benar menyiksa, sampai kemudian Biru bisa menangkap kembali suara Angkasa lengkap dengan helaan napas beratnya.

"Oke."

Bagus. Seenggaknya otak lo ada gunanya.

"Terimakasih, sayang. Mama cuma mau memastikan kamu aman mulai sekarang."

Yang selanjutnya Biru dengar adalah desah lega Ranin, lalu topik kembali berganti menjadi obrolan ringan. Biru masih tetap bertahan di posisinya, tapi lama-lama dia jadi kesal sendiri. Seharusnya dari awal dia tidak di sini dan mendengar semua omong kosong ini.

"Lain kali, tolong bilang sama Mama kalau ada apa-apa. Jangan dipendam sendiri. Mama tau kamu kuat, tapi kekuatan seseorang juga ada batasnya, Sa. Nggak selamanya kamu bisa menghadapi semuanya sendirian. Jadi Mama mohon, mulai sekarang, cerita sama Mama kalau ada apa-apa. Ngerti 'kan maksud Mama?"

"Aku cuma nggak mau Mama khawatir."

"Terus kalau kamu udah seperti ini, kamu pikir Mama nggak khawatir? Nggak cuma Mama yang kamu bikin kelimpungan, Sa. Tapi juga Papa Praja. Dan Biru. Kita semua khawatir sama kamu."

"Maaf."

Biru masih diam di posisi yang sama, namun entah mengapa dia seperti bisa merasakan tatapan Angkasa yang kini tertuju padanya tanpa ia perlu membuka mata.

"Tapi daritadi kita kayaknya berisik banget deh, Ma. Untung Birunya nggak kebangun. Kasihan, Ma. Dia kelihatan capek banget."

"Ya udah, nih, lanjutin dulu makannya. Habis ini kamu juga istirahat."

Kemudian ruang itu kembali tenang setelah mereka memutuskan untuk diam. Rasanya Biru benar-benar hampir terlelap, jika saja suara gaduh dari luar tidak pernah ada. Detik itu Biru membuka mata dan memandang Ranin yang sudah lebih dulu bergegas keluar ruangan.

Mata Biru menyipit sebentar saat ia merasa suara dari luar terdengar familiar. Detik selanjutnya ia bangkit dan segera menyusul keluar, meninggalkan Angkasa sendirian.

Di sana, Biru menemukan Praja yang sedang berusaha menahan Hendra untuk menerobos ke dalam ruangan, serta Ranin yang berdiri di sisi Praja dengan amarah yang begitu besar. Untuk pertama kali, Biru menyaksikan wanita itu tampak begitu berapi-api.

"Mau apa kamu ke sini? Belum puas kamu bikin anak kamu sendiri hampir kehilangan nyawa?"

Suara pekikan Ranin menggema di udara. Sepinya lorong malam ini membuat suasana semakin tegang. Amarah Ranin kali ini begitu besar, tapi laki-laki di hadapannya sama sekali tidak gentar.

"Aku bahkan belum puas kasih dia pelajaran. Anak itu memang perlu dihajar supaya dia bisa lebih tau diri sama orang tua."

Di tempatnya, Biru mengepalkan tangan dan terkekeh pelan. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Hendra. Bagaimana bisa ada manusia seperti Hendra di bumi ini? Jika ada satu orang yang harus lenyap, maka itu adalah Hendra, bukan Angkasa.

"Sakit jiwa kamu Hendra! Kamu itu manusia, kamu seorang Ayah, tapi kenapa hatimu nggak ada? Angkasa itu anak kamu, darah daging kamu. Sadar, Hendra!"

"Justru karena aku ayahnya, aku berhak mendidik dia dengan caraku sendiri. Dia itu sudah kurang ajar sama aku."

Rasanya emosi Biru sudah di puncak, tapi sekuat tenaga dia berusaha menahan diri untuk tidak mendekat dan menghajar manusia bernama Hendra itu. Biru tahu ini bukan urusannya, jadi dia tidak berhak melakukan apa-apa.

Yang bisa ia lakukan hanya merekam keributan di hadapannya, sampai kemudian ia melihat Ranin maju lalu mendaratkan satu tamparan keras di wajah Hendra dan mendorong kasar tubuh besar itu menyingkir dari sana.

"Pergi kamu dari sini! Sampai mati pun aku nggak akan biarin kamu menyentuh anakku lagi. Pergi dan persiapkan diri kamu, karena setelah ini aku benar-benar akan mengirim kamu ke penjara!"

"Kamu berani sama aku, Nin?"

Lorong itu semakin gaduh. Suara pekikan Hendra menggema dan Ranin tidak mau kalah menyahutinya. Praja yang berusaha menengahi pun seolah tidak berarti apa-apa. Bahkan ketika ada beberapa perawat datang menghampiri mereka, keributan di sana masih belum berhenti juga.

Biru mendecih muak. Ini rumah sakit, kenapa manusia-manusia itu tidak bisa menjaga sikap?

Detik itu Biru memalingkan muka, namun pandangannya justru tertuju ke dalam ruangan dan menangkap sosok Angkasa yang tampak ketakutan. Otak Biru merespons cepat. Melihat bagaimana anak itu tampak gelisah saat menatap keluar ruangan, Biru mengerti apa yang saat itu harus ia lakukan.

Dengan cepat cowok itu berbalik dan menutup pintu, kemudian melangkah mendekati Angkasa di ranjangnya. Tatapan anak itu nanar, bola matanya terus bergerak-gerak tak beraturan. Biru bahkan bisa melihat jelas bagaimana Angkasa mencengkeram selimut yang ia kenakan.

"Heh!" Biru berusaha memanggil, tapi Angkasa tidak menanggapi.

Pikiran Angkasa penuh oleh keping-keping kejadian menyakitkan yang kini berdatangan. Teriakan Hendra, penggaris besi yang melayang di udara, tendangan bertubi yang mendarat di tubuhnya, lalu pecahan vas bunga. Satu persatu kejadian muncul, tidak nyata, tapi mampu membuat Angkasa seperti kehilangan dunianya.

Oksigen di sekitar Angkasa seolah menipis seiring dengan rematan kuat di jantungnya. Keringat dingin muncul bersamaan dengan pandangannya yang mulai mengabur oleh air mata. Dadanya sesak, rasanya seperti ia lupa bagaimana cara meraih udara.

Siapa pun, tolong selamatkan Angkasa!

Dan untuk pertama kali, Dewi Fortuna akhirnya melihat keberadan Angkasa. Baru saja dia merapalkan harap, sedetik kemudian dia bisa merasakan sentuhan hangat di ujung pundaknya. Lalu semua perlahan membaik dengan sendirinya. Angkasa mulai tenang, tepat saat sentuhan itu berubah menjadi genggaman yang membuat ia merasa tidak sendirian.

"Nggak usah takut. Lo nggak sendirian. Banyak orang yang bakal lindungin lo di sini." Biru memberi jeda, sebentar, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Termasuk gue."

Detik itu Angkasa menoleh dan iris sendunya beradu dengan milik Biru. Tatapan anak itu hampa, tidak seperti biasanya, dan entah kenapa Biru tidak suka. Terlebih lagi ketika anak itu menatap Biru dengan raut muka yang tidak bisa ia baca.

"Biru," panggil Angkasa.

"Hm?"

Ada detik yang terlewatkan begitu saja karena Angkasa tidak kunjung membuka suara. Anak itu hanya menatap Biru dalam, bodohnya, Biru justru semakin penasaran.

"Apa?" tanya Biru tidak sabar.

Angkasa menggeleng, tatapannya melunak, dan detik itu Biru menyesali semua yang ia pikirkan beberapa saat lalu.

"Lo kenapa jadi manis banget gini coba? Kalau dedek jadi makin sayang gimana?"

Refleks, Biru menarik tangannya dari pundak Angkasa dan berjalan meninggalkan Angkasa begitu saja. Biru kembali ke sofa untuk kemudian mengumpati Angkasa dengan segala sumpah serapahnya. Biru pikir luka di kepala bisa membuat anak itu sedikit lebih normal dari biasanya. Tapi ternyata Angkasa itu memang manusia paling tidak waras yang pernah ada. Bukannya normal, otak anak itu justru semakin geser dari tempatnya.

"Nggak usah ngomong sama gue lagi habis ini."

"Lhah, salah gue apa, Ru?"

Biru tidak menanggapi. Cowok itu justru mengeluarkan ponselnya dan mulai menyibukkan diri dengan dunianya sendiri. Untuk beberapa alasan, Biru ingin suara Angkasa menghilang saat itu juga.

"Biru kenapa, sih? Helooo! Jangan dicuekin dong gue nya. Kalau dicuekin ntar gue baper, kalau baper ntar gue sedih, kalau sedih ntar gue nangis, kalau nangis ntar gue minta dibeliin iPhone 11 loh. Hayoo ... emang lo ada duit?"

"Bisa diem nggak?"

"Bisa. Tapi gue lagi pengin ngomong."

"Ya jadi jangan kaget kalau bentar lagi ada sepatu melayang ke muka lo!"

Detik itu tawa Angkasa pecah, ternyata semudah itu membuat Biru kesal. Tapi kenapa rasanya menyenangkan? Sejenak, Angkasa lupa dengan rasa sakitnya. Termasuk juga pertengkaran Ranin dengan Hendra di luar sana. Kehadiran Biru di sini benar-benar sangat membantu Angkasa untuk lebih tegar menghadapi semua kenyataan pahit yang ada di hadapannya.

Sisa-sisa tawa Angkasa masih terdengar, sampai kemudian ia berhenti dan terpaku pada Biru yang tampak tidak lagi peduli dengan sekelilingnya.

Satu helaan napas panjang ia buang. Kemudian, sudut bibirnya terangkat samar.

"Thanks, Ru. Gue tau yang kemarin itu lo. Makasih udah nyelametin gue."

Bersamaan dengan itu, Biru menghentikan pergerakannya. Pekat matanya masih tertuju pada layar ponsel yang menyala, tapi pikirannya tidak lagi berada di sana.

☁️☁️☁️

Angkasa akhirnya bisa kembali menginjakkan kaki ke rumah setelah hampir mati kebosanan di rumah sakit. Sekarang, yang anak itu lakukan hanya berguling-guling di kasurnya. Walau terkadang harus meringis sakit saat luka di kepalanya kembali berdenyut hebat, atau perih di punggungnya kembali merambat.

Lelah dengan tindakannya sendiri, dia akhirnya berhenti dan menoleh ke jendela. Jingga keemasan membentang di pelukan langit yang perlahan menghitam. Senja. Cowok itu berdecak kagum sebelum akhirnya melompat turun dari ranjang.

Angkasa tahu ini masih terlalu awal untuk Biru pulang. Mentari bahkan belum sepenuhnya tenggelam. Tapi entah mengapa Angkasa berharap cowok itu sudah ada di kamarnya, berdiri di antara pintu balkon yang terbuka dan menikmati bagaimana senja menghilang di cakrawala.

Dari tadi pagi, Angkasa belum melihat Biru. Mengingat hubungan mereka yang mulai membaik, tiba-tiba saja sekarang dia ingin melihat cowok itu.

Begitu Angkasa keluar dari kamar, ternyata sosok Biru muncul dari tangga dengan penampilan yang sudah berantakan. Pasti habis main sama Sakti, pikir Angkasa.

"Baru pulang, Ru?" tanya Angkasa sembari membawa langkahnya mendekat pada Biru.

"Ya menurut lo?" sahut Biru.

"Idih ... baru nyampe rumah udah sewot aja. Yang selow, dong!"

Biru hanya melirik Angkasa sekilas tanpa berniat menjawab. Dia beralih membuka pintu kamarnya dan segera bergegas masuk, tapi dia sengaja tidak menutup pintu, seperti membiarkan Angkasa melangkahkan kaki melewati batas yang sebelumnya ia ciptakan sendiri.

Angkasa sempat terdiam beberapa detik, berusaha membaca keadaan, sampai akhirnya dia tersenyum senang lalu menyusul Biru ke dalam. Untuk pertama kali cowok itu memberi Angkasa kebebasan menginjakkan kaki ke tempat yang selama ini selalu ia tandai sebagai tempat paling terlarang untuknya. Untuk pertama kali juga Biru tidak menolak hadirnya di sana. Tentu Angkasa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini begitu saja.

Dia duduk di kursi depan meja belajar Biru, sementara cowok itu melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah di rak dekat pintu. Setelah itu, Biru kembali ke ranjang dan melempar tubuhnya di sana tanpa mengganti baju.

"Gue mau tidur. Jadi mending lo keluar!" ucap Biru yang sukses membuat Angkasa berdecak keras.

"Kok tidur, sih? Cerita-cerita, yuk. Lo nggak mau curhat apa gitu ke gue?"

"Seinget gue di kulkas banyak makanan. Kalo lo gabut mending lo makan. Nggak usah ganggu gue."

Lagi-lagi Angkasa berdecak. Kali ini bahkan lebih keras.

"Lo kenapa, sih, masih judes aja? Gue ada di sini dicuekin, ntar guenya nggak ada dicariin. Lama-lama lo tuh lebih ngeselin dari cewek yang lagi PMS tau nggak?"

Tapi Biru tidak peduli. Dia hanya menghela napas keras kemudian memejam, membiarkan sepi sore ini membawa kembali ketenangannya yang sempat hilang. Sebelum akhirnya dia kembali berujar pelan.

"Kalau ada yang harus cerita di sini, itu lo, bukan gue. Lo tau semua tentang gue, gimana berantakannya hidup gue selama ini, tapi gue nggak pernah tau apa-apa tentang lo. Termasuk soal bokap lo yang sakit jiwa itu."

Mendengar itu, Angkasa terdiam sebentar. Tapi kemudian dia memutuskan untuk mulai berterus terang. Lagipula tidak ada gunanya menyembunyikan apapun sekarang. Rahasianya telah diketahui semua orang.

"Bokap gue ... udah lama kayak gitu."

"Dan lo nggak cerita?"

"Sama siapa? Mama? Setelah dia mulai nyaman sama kehidupan barunya? Gue masih tau diri, Ru. Gue nggak mau nambah pikiran dia apalagi sampe bikin dia berurusan lagi sama bokap gue. Lo? Ngomong sama gue aja lo ogah, mana mau lo dengerin gue cerita." Angkasa tertawa hambar, sebelum kembali melanjutkan. "Selain alasan itu, gue juga masih belum lupa kalau dia bokap gue. Gimanapun juga gue sayang dia, tulus, nggak pake karena."

"Setelah semua yang dia lakuin ke lo, lo masih bisa bilang sayang sama dia?"

Angkasa mengangguk mantap. Tidak ada keraguan dalam jawabannya. Dan itu membuat Biru muak.

"Walaupun dia bisa kapan aja bikin lo kehilangan nyawa?"

"Dia tetep bokap gue, itu kenyataannya.

"Bego."

Angkasa tahu umpatan itu ditujukan padanya. Tapi dia tidak terlalu ambil pusing. Dia justru tersenyum, beberapa detik, sebelum binar di matanya berubah menjadi sendu yang menyatu dengan remang di sekitarnya.

"Sekarang tentang lo, Ru. Setelah lo tau semuanya, apa lo masih baik-baik aja?"

Pertanyaan Angkasa kali ini berhasil menarik Biru untuk membuka mata. Dari tempatnya, cowok itu menoleh ke kursi dimana Angkasa berada.

"Maksud lo?"

"Tentang orang tua kita. Mama udah cerita semuanya kok. Semua tentang masa lalu mereka yang selama ini mereka rahasiain dari kita."

Kali ini kalimat Angkasa berhasil menarik perhatian Biru sepenuhnya. Cowok itu bangkit dari posisinya dan duduk tepat menghadap Angkasa. Tatapannya serius, tapi anak itu justru tersenyum, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Waktu denger itu, gue langsung kepikiran lo. Kalau gue aja sakit banget dengernya, gimana lo?"

Mata itu menjebak Biru dalam kelam yang ia miliki. Sejenak, gemuruh di dada Biru membuat cowok itu meremat tangannya kuat. Bahkan setelah semua yang Biru lakukan selama ini, Angkasa masih tetap memikirkannya. Di saat Biru tahu anak itu sendiri tidak baik-baik saja, dia masih sempat menanyakan keadaannya.

"Gue cuma khawatir lo bakal hancur lebih dari yang pernah gue tau, Ru," lanjut Angkasa. Mata anak itu berkaca-kaca, tapi dia berusaha menyembunyikannya.

"Kenapa lo peduli?"

"Kenapa? Karena lo saudara gue. Walaupun lo selalu nolak gue sama Mama, buat gue, lo tetep saudara gue. Kakak gue."

Biru bungkam. Entah apa yang membuat cowok itu tiba-tiba kehilangan seluruh kalimatnya di depan Angkasa. Biru tidak pernah seperti ini sebelumnya, namun kali ini, dia bahkan tidak punya cara untuk sekadar membantah Angkasa.

"Jadi, gue cuma mau mastiin kalau lo nggak kenapa-napa. Lo udah banyak sakit, dan gue nggak tau harus gimana kalau sampai kali ini lo hancur lagi karena Mama."

Biru terkekeh, tapi mata cowok itu menyiratkan luka. "Dari awal, gue nggak pernah baik-baik aja." katanya.

"Iya, gue tau."

Gue juga, Ru...

Sejenak, hening membentang di antara mereka. Jingga di luar telah sepenuhnya tenggelam dan berganti warna. Tapi bisu di sana masih enggan beranjak meninggalkan tempatnya. Keduanya tampak nyaman dalam hening yang memeluk, sampai suara Angkasa kembali terdengar. Getar sendu yang sempat Biru dengar itu kini hilang dan Angkasa kembali dengan warnanya.

Secepat itu dia berubah. Diam-diam Biru jadi mempertanyakan, Angkasa itu sebenarnya punya berapa warna?

"Jadi, gimana? Lo masih tetep mau orang tua kita udahan, atau biarin kayak gini aja?"

Lagi-lagi pertanyaan itu membuat Biru diam. Banyak yang cowok itu pertimbangkan, tapi semakin ia berpikir, ia justru semakin bimbang.

"Gue nggak tau." Akhirnya, hanya itu yang Biru katakan. Karena memang dia tidak punya jawaban. Di satu sisi ia membenci keberadaan Ranin, tapi jika wanita itu pergi, Angkasa juga pasti tidak akan lagi berada di sini.

Itu yang Biru pikirkan sekarang. Entah sejak kapan kehadiran Angkasa menjadi sebuah ketergantungan.

"Pikirin baik-baik deh, Ru. Jangan sampai lo nyesel nanti."

"Lo sendiri gimana? Yang gue liat, lo nyaman banget tinggal di rumah ini. Emangnya lo rela kalau harus pergi?"

"Wah ... kalau gue sih suka banget di sini, Ru. Selain rumahnya gede, di sini makanannya juga banyak, jadi gue nggak perlu takut bakal busung lapar. Tapi, kalau lo lebih suka orang tua kita pisah, walaupun berat banget sih buat gue, tapi demi lo ... gue bakal berusaha yakinin nyokap gue buat ninggalin bokap lo." Angkasa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman. Tanpa tahu bahwa di hadapannya, ada hati yang seperti sedang diremas kencang.

"Gue emang nggak bisa nerima nyokap lo. Sekarang, nanti, dan mungkin selamanya. Tapi gue juga nggak sejahat itu buat hancurin kebahagiaan bokap gue sendiri. Apalagi setelah gue tau siapa nyokap lo sebenernya."

Tepat setelah kalimat Biru berakhir, Angkasa bangkit dari kursi yang ia duduki. Matanya menatap Biru dalam, ada ribuan isyarat yang terpendam di sana, tapi hanya satu yang berhasil ia ungkapkan dengan kata. Satu, sekaligus menjadi yang paling berat untuknya.

"Masih ada kesempatan buat mikirin semuanya. Dan gue juga belum berubah pikiran buat bantu lo seandainya lo beneran mau mereka pisah. Gue keluar deh sekarang, biar lo bisa mikir. Gue tau kok, muka gue emang bikin nggak fokus, saking gantengnya." Setelah mengatakan itu, Angkasa beranjak. Tapi baru dua langkah, anak itu berhenti dan menatap Biru lagi.

"Gue bakal dukung apapun keputusan lo, Ru. Gue emang sayang Mama. Tapi buat gue, yang paling penting itu lo. Jadi please banget, ambil pilihan yang bener-bener bisa bikin lo bahagia nanti." Senyum Angkasa mengembang, sebelum akhirnya dia berbalik dan melanjutkan langkah.

Tanpa Biru tahu, tepat saat Angkasa memunggunginya, senyum anak itu juga ikut lenyap. Ini semua berat bagi Angkasa, tapi dia harus melakukannya. Untuk apa bertahan jika Biru saja tidak bisa menerima hadirnya? Kecuali jika cowok itu sendiri yang menahannya untuk tidak kemana-mana. Angkasa akan dengan senang hati memilih tinggal, jika Biru yang meminta.

Langkah Angkasa sudah tiba di depan pintu, tinggal satu langkah lagi dia berhasil keluar dari sana, saat tiba-tiba suara Biru menggema.

"Sa!"

Lalu semua terjadi begitu saja Angkasa tidak sempat mengatakan apa-apa karena tepat saat ia menoleh ke belakang, Biru sudah berjalan ke arahnya dan menubruk tubuhnya begitu saja.

Detik seolah melambat dan Angkasa rasanya seperti dipaku di tempat. Yang ia tahu hanya hangat membalut tubuhnya saat itu, lalu wangi Biru seperti membuat udara di sekitarnya membeku.

Tempat itu masih sama heningnya seperti beberapa saat lalu. Namun kali ini, di antara sepi yang mengisi kamar Biru, dan dihadapan dinding-dinding beku tempat itu, Angkasa bisa menangkap suara lain yang ia kenal. Suara yang ia hafal lebih dari apapun.

Lalu kalimatnya berhasil ia tangkap sempurna. Dan siapa sangka detik itu Biru berhasil meruntuhkan pertahanan yang selama ini ia jaga sedemikian rupa.

"Gue minta maaf ... buat semuanya. Selamat karena lo berhasil bikin gue narik omongan gue sendiri. Tapi gue cuma bakal bilang ini satu kali, dan gue harap lo ngerti," Biru menarik napas dalam, bersamaan dengan jatuhnya air mata Angkasa.

"Jangan pergi!"

Dua kata yang akan selalu Angkasa tanam kuat di kepala, tidak akan ia lupa. Detik itu Angkasa membalas pelukan Biru dan membiarkan waktu bergulir begitu saja.

Bahkan jika ini hanya mimpi, Angkasa berharap tidak pernah bangun selamanya.

Barusan aku lihat storyline, dan baca plot buat part-part yang tersisa. Kok... rasanya berat banget ya? ☹️


30.11.2019

Republish : 23.06.2020

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

AGAM (End) Von Anisaa

Jugendliteratur

461K 42.6K 30
Agam itu selalu sendiri. Tidak ada penyemangat atau sosok yang selalu menyemangatinya. Ditengah kesulitan hidup yang pelik, Agam berusaha keras tetap...
96.5K 8.3K 46
"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa ya...
2.5M 143K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
6.2M 267K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...