Angkasa Tanpa Warna

By sebaitrasa

587K 73.2K 21.8K

[FAMILYSHIP, NO ROMANCE] Karena kamu adalah Angkasa. Yang begitu tangguh di pelukan semesta. Yang datang deng... More

Prolog
Warna 1
Warna 2
Warna 3
Warna 4
Warna 5
Warna 6
Warna 7
Warna 8
Warna 9
Warna 10
Warna 11
Warna 12
Warna 13
Warna 14
Warna 15
Warna 16
Warna 17
Warna 18
Warna 19
Warna 20
Warna 21
Warna 22
Warna 23
Warna 24
Warna 25
Warna 26
Warna 27
Warna 29
Warna 30
Warna 31
Warna 32
Warna 33 (Akhir)
Epilog
Secarik Pesan dari Sudut Langit yang Gelap
In Memoriam, Angkasa Dewangkara
Dari Sabiru...

Warna 28

13.9K 1.9K 827
By sebaitrasa

Dari awal, Biru memang tidak pandai menunjukkan apa yang sesungguhnya ia rasa. Bagi Biru, luka adalah hal biasa yang telah menemaninya sejak lama. Cowok itu terlalu hafal dengan sakit yang dihasilkan ketika belati tak kasatmata itu menikam jantungnya. Terlalu terbiasa dengan sayatan panjang yang membekas dan menyakiti hatinya. Jadi, saat Ranin akhirnya mengungkap satu kenyataan yang selama ini menjadi rahasia, cowok itu tidak bereaksi apa-apa.

Biru memilih kembali ke rumah dan menghabiskan separuh harinya di dalam kamar. Tidak ada yang dia lakukan di sana selain diam dan merenungkan semua. Mencoba menggali lagi segala ingatannya tentang bagaimana selama ini ia hidup bersama orang-orang yang ternyata tidak pernah menikah atas dasar cinta. Keluarga yang Biru anggap sempurna, kenyataannya tidak pernah sesempurna yang ia kira. Kalau begitu, bukankah kehadirannya di dunia juga bukan sepenuhnya keinginan mereka?

Sekali lagi, Biru mencoba memahami arti hadirnya bagi Yasinta dan Praja. Walau dengan begitu ia justru merasa lubang besar kembali membekas di dadanya. Biru merasa tidak diharapakan. Lebih dari itu, dia merasa hidupnya tidak pernah berguna bagi semua orang.

Pekat iris cowok itu beralih pada pigura kayu di sisi meja dan meraihnya. Wajah teduh Yasinta yang Biru temukan di sana seolah menambah remasan kuat di jantungnya. Seandainya dinding yang Biru bangun sejak awal untuk melindungi dirinya tidak kuat, dia mungkin sudah benar-benar hancur sekarang. Hancur dan menjadi kepingan. Tidak bisa lagi disatukan.

Terima kasih kepada segala pengkhianatan dan kehilangan yang telah mengajari Biru arti sebuah luka, berkatnya kini Biru terbiasa dengan sakit sampai dia tidak bisa lagi merasakan apa-apa.

Cowok itu terpaku lama pada senyum yang Ibunya perlihatkan seolah wanita itu benar-benar bahagia. Sampai kemudian suara Ranin kembali bergema di tengah sepi ruang ini. Lalu semua berubah begitu saja. Senyum Yasinta dalam foto di genggamannya seperti hanya ilusi saja. Tidak pernah nyata. Detik itu Biru sadar bahwa semua yang ia lihat selama ini memang hanya pura-pura. Pertama Angkasa, dan sekarang orang tuanya.

Tawa Yasinta hanya sekadar untuk menutupi luka di hatinya. Karena dari awal, wanita itu tidak pernah mendapatkan cinta Praja.

"Jadi, selama ini Mama juga pura-pura?"

Hening tempat itu menjadi jawaban atas pertanyaan Biru. Sedetik kemudian cowok itu mendecih, menertawakan betapa menyedihkann ia selama ini. Kenapa takdir bisa sekejam ini terhadap seseorang?

"Kalau emang sakit, seharusnya dari awal Mama tinggalin Papa. Buat apa hidup sama orang yang hatinya buat orang lain?"

Entah dari mana datangnya, rasa panas yang Biru benci itu perlahan menjalar di dada. Dingin mata cowok itu mencair, berganti bingkai kaca yang siap pecah kapan saja. Namun, Biru tetaplah Biru yang tidak akan membiarkan dirinya jatuh di hadapan semesta. Apa yang cowok itu rasa adalah rahasia. Jadi walaupun pekat iris itu menampilkan luka, datar wajahnya tetap tidak menunjukkan apa-apa.

Tapi siapa yang bisa menduga bahwa jiwa cowok itu kini tidak lagi sempurna? Jika saja rasa sakit dapat dilihat dengan mata, maka semua orang pasti sudah melihat betapa hancur dan kacaunya Biru sekarang.

Menit berlalu begitu saja tanpa terusik jeda, sementara angin dari luar berembus kasar sampai ke dalam ruangan. Seolah menyampaikan isyarat yang menuntut untuk dipecahkan, sayangnya Biru tidak paham. Jadi cowok itu hanya menghela napas panjang dan memejam, berusaha menikmati ngilu yang membuat dadanya seperti terbakar.

"Kenapa semua jadi kayak gini, Ma? Hidup Biru rasanya berat banget."

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, Biru membuka mata dan menatap lagi wajah Yasinta. Seketika getar hebat merambat di dada Biru, membakarnya dengan sesuatu bernama rindu. Cowok itu kehilangan kerja normal jantungnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya suara daun pintu yang dibuka dari luar memecah semua.

Biru menoleh dan mendapati sosok tegas Praja datang dengan wajah yang tidak bisa ia baca. Namun, dengan cepat Biru kembali berpaling dan meletakkan foto Yasinta kembali ke tempat semula.

Praja mendekat lalu duduk di sisinya, tapi Biru tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya diam dan membiarkan deru napas lelaki itu mengisi keheningan. Entah mengapa menatap lelaki itu kini terasa semakin menyakitkan.

"Ranin udah cerita. Sekarang kamu tau semuanya."

Rasanya Biru ingin menutup telinga ketika Praja mulai bicara. Tapi di saat yang sama, ia juga tidak munafik untuk mengakui bahwa ia ingin mendengar semuanya. Biru ingin tahu semua yang selama ini lelaki itu tutup rapat darinya. Dia ingin tahu apa yang lelaki itu rasa. Dia sungguh ingin mendengar semua dari mulut Praja.

Jadi, yang bisa Biru lakukan saat ini hanya diam dan menjaga bibirnya untuk tidak menyela. Berharap Praja akan mengatakan segalanya tanpa ia perlu meminta. Walau Biru tahu betul kemungkinannya setelah ini ia akan patah lebih dari sebelumnya. Tidak apa-apa. Cowok itu bahkan sudah hancur sejak pertama kali ia mengetahui kebenaran tentang hidupnya.

Biru mendecih sinis, sebelum akhirnya membuka suara.

"Tentang semua kebohongan Papa." Lalu pandangannya tertuju pada Praja. Mata tua itu begitu sendu, tidak seperti biasanya. Entah apa yang membuat lelaki itu tidak terlihat seperti Praja yang selama ini Biru kenal.

"Kenapa, Pa?" tanya Biru setelah membiarkan jeda singkat memeluk mereka. Getar lirih dalam penggalan suaranya betul-betul sejalan dengan luka yang menguar di matanya.

"Kenapa Papa pertahanin Mama selama ini kalau nyatanya kalian nggak pernah bahagia? Kenapa juga ... kalian biarin aku ada kalau nyatanya pernikahan kalian nggak pernah didasari cinta?" lanjutnya.

Mendengar itu, Praja buru-buru menggeleng. Biru tidak tahu apa artinya, tapi mata lelaki itu seperti mengisyaratkan sebuah penolakan.

"Kamu salah. Papa bahagia, Ru. Selama dua puluh tahun, Papa nggak pernah menyesal menikahi Mama kamu."

"Nggak usah munafik, Pa! Kenyataannya, Papa nikahin Mama karena terpaksa. Bukan karena Papa bener-bener cinta. Kenyataan yang lainnya, bahkan setelah Papa punya keluarga, hati Papa tetep buat orang lain."

"Iya, Papa akui, memang benar Papa nggak pernah bisa melupakan Ranin. Tapi bukan berarti Papa nggak bertanggung jawab sama Mama kamu. Seiring berjalannya waktu, Papa mulai bisa menerima dia, dan pelan-pelan menyayanginya. Ketika kamu lahir, Papa benar-benar mencintai kalian berdua sebagaimana seharusnya seorang kepala keluarga mencintai keluarganya, Ru."

"Kalau gitu kasih tau aku kenapa akhirnya Papa tetep milih mantan pacar Papa itu? Kalau emang Papa bahagia sama kita berdua, seharusnya Papa bisa jaga kepercayaan kita. Seharusnya Papa bisa jaga hati Mama, bukan malah nyakitin Mama dan bikin keluarga kita jadi berantakan kayak sekarang!" Tanpa sadar Biru meninggikan suara. Mata cowok itu berkaca-kaca, tapi sekuat tenaga dia masih berusaha menjaga tangisnya. Setidaknya, Biru tidak ingin menangis di depan Praja.

"Papa minta maaf, Biru. Papa tau Papa salah. Tapi Papa nggak ingin munafik, dalam hati kecil Papa, Papa masih sangat mencintai Mamanya Angkasa. Dan ketika akhirnya Papa bisa bertemu lagi sama dia, Papa nggak mau kehilangan orang yang Papa cinta untuk kedua kalinya. Maafkan Papa, Biru."

Biru hanya bisa tertawa mendengar pengakuan Praja. Hatinya sakit, tapi amarahnya jauh lebih besar.

"Mama tau soal ini?"

"Nggak ada satu pun yang Mama kamu nggak tau, Ru."

Sialan.

Sialan.

Sialan.

Rasanya Biru ingin mengumpat dan menghajar Ayahnya sendiri, tapi logika cowok itu masih tahu jalan. Dia tidak ingin menjadi seperti Hendra yang tega melukai anaknya sendiri sampai nyaris mati.

Jadi, sekali lagi, yang bisa Biru lakukan hanya terkekeh sinis dan menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana takdir bisa berlaku setidak adil ini?

"Jadi, gara-gara itu Mama milih pergi?" Pertanyaan itu Biru gumamkan pelan di antara jeda yang ia ciptakan. Sebelum akhirnya dia kembali melanjutkan. "Wajar, sih. Sekarang aku bisa ngerti kenapa Mama milih mati. Dan seharusnya, aku juga nggak pernah ada di dunia ini."

Detik itu, dengan cepat Praja meraih pundak Biru dan memaksa cowok itu menatapnya. Mata keduanya berjumpa dan kini Praja bisa melihat jelas bagaimana bingkai kaca itu akhirnya pecah menjadi serpihan duka.

Tangan besar Praja bergerak cepat menghapus air mata yang baru saja jatuh di wajah anak itu. Hatinya mendadak sakit. Praja tidak pernah mengira kalau melihat langsung bagaimana Biru terluka ternyata sesakit ini rasanya.

Namun, Biru tetap tidak bersuara. Cowok itu hanya diam dengan wajah datar, bahkan saat ia merasa pundaknya digenggam dan diguncang pelan.

"Dengar ya, Ru! Kamu itu anak Papa. Darah daging Papa. Papa bersyukur banget punya kamu sebagai anak Papa. Papa bahagia karena kamu ada. Sebejat-bejatnya Papa, Papa nggak pernah menyesali kehadiran kamu di sini, Ru. Kamu boleh benci Papa, kamu boleh kecewa sama Papa, tapi kamu harus percaya kalau Papa sayang sekali sama kamu. Jadi tolong jangan pernah bicara seolah kamu itu lahir dari sebuah kesalahan. Hati Papa sakit dengernya, Ru."

Tangan besar Praja beralih menangkup wajah Biru dan memaksa cowok itu menatap tepat ke matanya. Praja hanya ingin membuat Biru percaya kalau dia serius dengan ucapannya. Dia ingin Biru paham arti hadirnya yang sesungguhnya bagi Praja. Bahwa Biru bukanlah kesalahan. Bahwa sampai kapanpun, hadirnya tidak akan pernah menjadi sesal.

"Papa mohon, tolong, jangan pernah mikir kayak gitu lagi. Papa bakalan hancur banget seandainya kamu nggak ada di sini, Ru. Papa butuh kamu. Demi Tuhan, Papa bener-bener butuh kamu."

Detik selanjutnya, yang bisa Biru rasakan hanya bagaimana tubuhnya ditarik pelan dan direngkuh sedemikian erat oleh lengan besar yang ia kenal. Biru merasa nyaman. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali Praja memeluknya. Tidak bisa dipungkiri, Biru merindukan pelukan ini lebih dari ia merindukan Yasinta. Biru ingin hanyut dan menyelami hangat ini lebih lama.

Namun, hati cowok itu sudah terlanjur patah dan berserakan kemana-mana. Bahkan Praja tidak akan dapat dengan mudah menyatukan kepingannya menjadi kesatuan utuh seperti semula.

Cowok itu hanya diam dalam dekapan Praja. Tidak membalas, tidak pula mengatakan apa-apa. Wajahnya tetap datar meski air matanya mengalir keluar. Tapi Biru juga tidak pernah mengira kalau hanya dengan kalimatnya, Praja bisa mematahkannya untuk yang kesekian.

Hati Biru rasanya sakit, padahal Praja tidak sedang menyakitinya.

"Jangan pernah tinggalin Papa, Ru. Tempat kamu ada di sini, di rumah ini, di dekat Papa. Kamu harus tetap di sini sama Papa. Maaf karena Papa harus ninggalin kamu dulu, tapi Papa janji akan segera pulang. Jadi, Papa mohon.. jangan pernah kemana-mana."

Biru tidak tahu apa yang terjadi pada hatinya. Ketika detik itu Praja menutup mulutnya, dia merasa dadanya seperti diremas, hatinya memanas, tapi Biru merasa lega. Rasanya seperti dia menemukan kembali tempatnya untuk bersandar setelah sebelumnya ia hanya berjalan sendirian.

Cowok itu tidak mengatakan apa-apa. Namun perlahan tangannya terangkat membalas pelukan Praja. Kemudian, untuk pertama kali, Biru membiarkan tangisnya pecah tanpa ada lagi pura-pura ... di hadapan Ayahnya.

Siapa sangka detik itu pikirannya justru tertuju pada satu nama yang membuat jantungnya kehilangan irama. Jika berpura-pura ternyata sesakit ini rasanya, bagaimana dengan Angkasa yang seluruh hidupnya hanya pura-pura?

Angkasa.

Setelah semua rahasia menyakitkan tentang hidupnya ini terbuka. Nama itu ... seharusnya Biru hapus saja dari ingatannya, 'kan?

☁️☁️☁️

Sampai detik ini, usaha Biru untuk menjadi tidak peduli bisa dikatakan berhasil. Setidaknya, ia berhasil menahan diri untuk tidak berdebat dengan Praja seharian kemarin. Ia juga berhasil menata kembali hatinya yang sebelumnya sempat hancur berkeping-keping. Dan yang paling penting, Biru berhasil menghindari segala hal yang berhubungan dengan Angkasa.

Biru sendiri tidak tahu apa alasannya ia begini. Yang jelas, ia hanya merasa perlu menghindari manusia bernama Angkasa untuk saat ini. Walau dalam usahanya itu, Biru harus berkali-kali menepis bayang wajah sosoknya yang sering datang tiba-tiba memenuhi kepala, serta ingatan terakhir ketika anak itu tergeletak tak berdaya di hadapannya.

Biru sudah setengah mati berusaha untuk tidak kembali ke rumah sakit dan melihat keadaannya. Dia masih belum bisa menerima kenyataan yang ada, dan entah mengapa amarahnya untuk Ranin justru ia lampiaskan pada Angkasa.

Jadi, hari ini Biru memutuskan untuk kembali ke sekolah, hanya agar ia menemukan pengalihan untuk segala emosi yang ia pendam sendirian. Juga untuk mengalihkan pikirannya dari Angkasa. Tapi siapa sangka setiap sudut gedung sekolahnya justru seperti membangkitkan seluruh ingatan Biru tentang Angkasa.

Tempat ini adalah saksi bagaimana seorang Angkasa bermain dengan tawa palsunya. Di tempat ini, Biru melihat sendiri bagaimana Angkasa kehilangan warnanya. Di tempat ini pula, untuk pertama kali Biru memandangnya sebagai palsu yang tidak pernah nyata. Gemerlap gedung sekolah ini adalah luka terbesar bagi Angkasa. Karena di sini, kehadirannya benar-benar tidak dapat diterima. Bukan hanya olehnya, tapi juga semua orang. Di sinilah penolakan terbesar itu Angkasa dapatkan.

Benar-benar sialan.

Sekarang isi kepala Biru hanya dikuasai oleh satu orang. Usahanya untuk mencari pengalihan pun sia-sia. Biru juga tidak mengerti kenapa semakin ia berusaha untuk lupa, nama itu justru semakin kuat melekat di benaknya.

Memang siapa Angkasa sampai bisa membuat Biru demikian kacaunya?

Kesal, Biru beranjak cepat dari bangkunya tepat ketika bel istirahat menggema. Dia butuh udara segar dan suasana kelas terlalu memuakkan untuk ia yang memang sedang berantakan.

Cowok itu melangkah tenang di selasar, berusaha mencapai tangga menuju atap gedung yang ia tahu akan selalu kosong di jam istirahat pertama seperti sekarang. Sampai tiba-tiba Biru merasa lengan seragamnya ditarik dari belakang oleh seseorang, membuatnya berhenti melangkah.

Biru menoleh, mendapati sosok familiar yang tidak lebih menyebalkan dari Angkasa. Cowok itu mendecih lalu menyentak tangan Alva dari lengan bajunya.

"Gue mau nanya serius, jadi tolong banget lo jangan nyolot," ucap Alva. Dia menarik napas dalam sebelum kembali melanjutkan. "Angkasa kemana? Dia nggak masuk lagi tanpa izin, HP-nya juga nggak bisa dihubungin. Lo pasti tau dia kenapa, 'kan?"

Sejenak, Biru terpaku pada apa yang baru saja Alva sampaikan. Seolah disadarkan, Biru baru ingat dirinya lupa membuat surat izin untuk Angkasa selama anak itu dirawat. Praja juga sepertinya belum mengabari pihak sekolah karena belum sempat. Detik selanjutnya Biru berdecak. Bahkan dalam keadaan tidak sadar, anak itu masih saja merepotkan.

"Rumah sakit," jawab Biru akhirnya.

"Dia sakit?"

"Gue males nanggepin lo, jadi silahkan liat sendiri ke sana kalau lo mau tau." ucap Biru kemudian berlalu, tapi baru beberapa langkah suara Alva kembali terdengar dan sekali lagi berhasil menahan langkahnya.

"Gue nggak ngerti kenapa lo se-enggak peduli itu sama dia. Padahal yang gue liat, Angkasa itu care banget sama lo. Waktu lo nggak masuk karena diskors dan kabur dari rumah, dia kelabakan nyari lo kemana-mana. Dia pergi ke kelas lo dan rela di-bully di sana cuma demi nyari info tentang lo dari mereka. Waktu lo sering pulang malem dan ribut sama bokap lo di rumah, paginya dia selalu cerita ke gue kalau dia khawatir sama lo. Waktu dia liat lo berangkat sekolah tanpa sarapan, dia selalu diem-diem merhatiin lo dan mastiin lo pergi ke kantin buat makan. Sepenting itu lo buat dia. Kenapa lo buta?" Sejenak Alva berhenti untuk mengatur napasnya yang berantakan, sebelum kembali melanjutkan dengan suara yang lebih tenang.

"Gue sebenernya kasihan sama dia. Dia bener-bener nganggap lo saudaranya dan peduli sama lo lebih dari dia peduli dirinya sendiri. Sayang, sih, orang yang dia peduliin setengah mati nggak pernah bisa lihat ketulusannya. Jadi ya percuma aja. Mau sebaik apapun dia, di mata lo tetep nggak akan ada artinya."

Detik itu Biru berbalik dan menikam Alva dengan tatapannya.

"Nggak usah bacot kalau lo nggak tau apa-apa!"

"Oke, stop! Gue bukan mau cari ribut sama lo. Jadi kasih tau aja sekarang dia di rumah sakit mana? Biar gue samperin ke sana langsung. Percuma juga nanya sama lo, yang ada berantem."

Biru tidak menjawab. Kedua tangannya mengepal kuat dan tatapannya tajam. Percikan api di dada cowok itu perlahan menjalar ke mata, tapi dengan cepat Alva mencoba memadamkannya.

"Gue nanya sama lo, denger nggak? Tadi lo sendiri yang nyuruh gue nyamperin dia ke sana, giliran gue tanya lo diem aja."

"Medika," jawab Biru singkat.

Alva mengangguk, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Tapi baru dua langkah, anak itu berhenti dan menoleh ke belakang sekali lagi.

"Gue emang nggak tau lo, Ru. Tapi gue tau Angkasa. Dia tulus peduli sama lo. Sama kayak dia peduli kakaknya sendiri."

Tidak ada yang Biru lakukan selain diam dan membiarkan punggung Alva membentangkan jarak yang semakin lebar. Kedua tangannya masih mengepal, tapi tatapannya tidak lagi tajam. Kemudian, tepat setelah sosok Alva menghilang, cowok itu mendecih sembari meremat tangannya kencang.

"Gue jauh lebih tau dia. Karena gue kakaknya."

☁️☁️☁️

Bau obat yang tercium kuat di sepanjang lorong menusuk penciuman Biru sejak langkah pertamanya di tempat ini. Cowok itu mengumpat kesal sembari terus membawa langkahnya masuk lebih dalam. Dia benci ketika egonya harus kembali kalah oleh nuraninya sendiri, hingga sekarang dirinya berakhir di sini. Di rumah sakit yang kemarin sempat ia tinggalkan begitu saja.

Biru kira dia benar-benar telah mati rasa untuk kesekian kalinya sejak mengetahui kebenaran tentang Ranin dan Praja, tapi ternyata sekali lagi Angkasa mampu mematahkan itu semua. Entah bagaimana caranya keberadaan anak itu sanggup menarik Biru untuk kembali lagi ke sana. Menyebalkan rasanya saat Biru justru khawatir pada orang yang sebelumnya tidak pernah ia anggap ada.

Langkah Biru akhirnya tiba di depan ICU, tapi cowok itu memilih berhenti sebelum benar-benar mencapai ruangan tempat Angkasa berada. Dia melihat Alva keluar dari sana lalu bicara sebentar dengan Ranin, sebelum akhirnya bergegas pergi bersama Ranin yang ikut mengantar ke luar.

Sekarang tidak ada siapa-siapa di sana. Ranin sedang keluar sementara Praja pergi karena suatu urusan. Perlahan, Biru mendekat dan memasuki ruangan untuk kemudian dihadapkan dengan sosok Angkasa yang masih terbaring di brankar. Terangnya pencahayaan di sana semakin memperjelas wajah pucat Angkasa yang nyaris tidak bisa Biru kenali, saking bedanya. Untuk pertama kali Biru menyaksikan Angkasa begitu hampa, tanpa warna.

Biru menghela napas panjang dan membuangnya perlahan. Beberapa saat, deru napas cowok itu menjadi bunyi asing di antara gema konstan dari suara bedside monitor di sisi brankar. Sampai kemudian decihan sinisnya terlontar.

"Gue pernah bilang hidup lo nggak berguna, bukan berarti lo boleh kayak gini terus. Lo pikir dengan lo kayak gini hidup lo bisa jadi lebih berguna?" Biru tertawa hambar. Ini konyol dan menyedihkan. Buat apa juga ia bicara pada orang yang tidak sadar?

Biru tahu tindakannya ini bodoh dan tidak akan berarti apa-apa, tapi entah mengapa ia ingin melakukannya. Biru ingin bicara, siapa tahu dengan begitu tempat ini akan menjadi berisik lalu anak itu terusik dan segera menanggapi perkataannya, seperti biasa.

Biru menatap lagi wajah pucat Angkasa, lalu pada pergerakan naik turun di dadanya.

"Lo masih napas. Detak jantung lo juga masih ada. Lo itu masih hidup, seharusnya lo bangun, goblok!"

Suara Biru tidak keras, namun sanggup menghadirkan kembali remasan kuat di dadanya. Seketika rasa panas menjalar dari dada ke matanya. Cowok itu mendongak sebentar dan mengembuskan napas kasar untuk menghalau ngilu yang membuatnya tak nyaman. Sebelum akhirnya dia menarik kursi di sisi brankar dan duduk di sana.

Lagi-lagi ingatan menyakitkan itu datang dan menyiksa Biru dengan perih yang tak bisa ia jelaskan.

"Lo tau, ternyata selama ini gue salah sangka. Gue kira nyokap lo yang ngerebut kehidupan nyokap gue, ternyata nyokap gue yang ngambil kehidupan nyokap lo." Biru terkekeh miris dan melanjutkan kembali. "Hidup ini tuh emang sebangsat itu. Banyak drama. Bikin muak."

Dingin mata Biru kembali tertuju pada Angkasa. Sejenak api tampak menyala di sana, tapi kemudian semua padam begitu saja tepat saat Biru kembali membuka suara.

"Lo nggak tau, 'kan? Bangun makanya kalau lo mau tau se-drama apa hidup nyokap lo!"

Setelahnya Biru diam dan membiarkan suara bedside monitor mengambil alih. Cukup lama, sampai helaan napas berat cowok itu kembali terdengar di antara tenang yang membentang.

"Gue tunggu 24 jam lagi. Kalau lo nggak bangun juga, mending nggak usah bangun sekalian."

Kalimat itu hanya ancaman, Biru tidak bersungguh-sungguh ingin anak itu hilang. Karena jika itu benar terjadi, Biru mungkin harus benar-benar bersusah payah menata kehidupannya kembali. Biru tidak ingin memikirkannya, tapi jika ia mau berandai-andai, ia merasa kepergian Angkasa sepertinya akan menyisakan lubang besar yang tidak akan pernah bisa disembuhkan.

Itu sebabnya, sebisa mungkin Biru ingin anak itu bertahan. Ia hanya tidak ingin repot-repot berteman dengan rasa sakit untuk yang ke sekian seandainya Angkasa benar-benar nekad menghilang sebelum Biru sempat memperbaiki semua kesalahannya.

Menit berlalu begitu saja sejak Biru mengakhiri semua. Tanpa sadar kini cowok itu melipat tangannya di sisi brankar dan meletakkan kepalanya di sana. Semalaman ia tidak tidur dan sekarang kantuk itu datang. Biru bahkan sama sekali tidak sadar ketika matanya mulai memejam, lalu alam bawah sadar cowok itu mengambil alih semua.

Bersamaan dengan terlelapnya Biru, jemari Angkasa bergerak pelan. Beberapa kali, sebelum semua kembali seperti sedia kala. Tenang, tanpa pergerakan.

Ketika guyonan receh Angkasa nggak ada, apa yang kamu rasakan?

Haha, tenang, jangan tegang. Aku cuma mau nunjukin seberapa berpengaruhnya kehadiran Angkasa di sini 😉

24.11.2019

Republish : 16.06.2020

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 70K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 74.1K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
5.1K 415 17
"Yano Kairi"nama yang bagus bukan? Tapi sayang kehidupannya tidak sebagus dengan namanya.
16.2K 2.2K 32
* Jangan lupa vote dan follow aku ya! . . . Lavender punya arti kesetiaan. Ia menjujung tinggi rasa percaya tanpa sedikitpun ingin berkhianat. Ia suc...