Perfect Strangers (✔)

By adoravble

140K 14.9K 3.1K

Jerome dan Chelsea, dua orang yang harus terjebak di dalam ikatan pernikahan dengan rasa keterpaksaan. Setela... More

00. Prolog
01. First Day in Bali
02. Second Day
03. The Night
04. Everything Begins Here
05. Not A Dream
06. Croissant
07. Surprise
08. Decision
09. Birthday Gift
10. She's Back
11. Trust Me
12. Someone You Loved
13. Lost Control
14. The Wedding
15. Loser
16. Something Different
17. Change Up
19. One More Chance
20. Lay Your Head On My Shoulder
21. Sick
22. Please, Listen To Me
23. Too Afraid To Love You
24. Stay With Me
25. Hypnotized
26. A Day Full Of Happiness
27. Obsession
28. Welcome To The World
29. Protect You
30. Perfect Strangers
31. Epilog

18. Cravings

3.6K 493 148
By adoravble

Hari ini sangatlah kacau.

Jerome menghempaskan tubuhnya begitu saja di ranjang besarnya. Kedua bola matanya memandang kosong langit-langit kamar berwarna putih itu. Sudut bibirnya tampak masih lebam, dan kemejanya juga terlihat berantakan.

Beberapa saat waktu berlalu, Jerome masih pada posisinya. Kepalanya terasa sangat berat, hingga luka lebam di sudut bibirnya seolah tak ia rasakan.

Bayangan kejadian tadi sore terus menyerangnya. Bara, sudah mengetahui segalanya. Bukan takut akan gertakan Bara kepadanya, tapi ada sesuatu hal yang mengganjal di hati Jerome.

Seharusnya tidak begini. Seharusnya Jerome hanya perlu tidak memedulikan semua kekacauan tadi sore itu. Biarlah Bara tahu sekarang, toh cepat atau lembat semua orang juga pasti akan tahu alasan mengapa ia dan Chelsea menikah secepat itu. Iya, seharusnya begitu.

Tapi Jerome tetap tidak bisa tak memedulikannya. Ada sesuatu yang Jerome pun tidak tahu, kenapa rasanya ada yang mengganjal di hatinya. Hingga ia harus mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya saat ini.

Selang beberapa saat akhirnya lelaki itu pun bangkit. Sempat duduk di tepi ranjang sebentar, ia kemudian bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Begitu selesai, Jerome yang sudah berganti baju itu melangkah keluar kamar. Tenggorokannya terasa sangat kering, ia butuh air mineral di dapur.

Sesampainya Jerome di dapur, ia hampir membalikkan badan lagi. Ada Chelsea di sana, sepertinya habis meminum segelas susu.

"Jer."

Suara panggilan Chelsea menghentikan niat Jerome untuk memutar balik badannya. Namun Jerome tidak menjawabnya, dan hanya menatapnya dingin.

Chelsea terlihat menghela napas dahulu sebelum bersuara. "Mau gue obatin lukanya?"

Dengan segala gengsinya, tentu Jerome menolak. Lagipula, ia merasa sangat canggung berhadapan dengan istrinya itu. Emosinya juga masih belum stabil akibat kejadian tadi sore.

"Enggak perlu." Jawab Jerome seraya membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral di sana.

Saat Jerome sedang meneguk minumannya dengan sangat rakus, ia tahu Chelsea bergerak pergi meninggalkannya. Sambil masih meneguk minumannya, ujung matanya memantau pergerakan Chelsea di ruang tengah. Entah apa yang wanita itu cari di sana. Kemudian Jerome mengalihkan pandangannya lagi untuk mencoba mengabaikannya. Hingga saat Chelsea sudah naik ke lantai atas, Jerome keluar dari dapur dan segera melesat kembali ke kamarnya.

Begitu sampai di kamarnya, kedua matanya membelalak lebar melihat sekotak obat sudah berada di atas ranjangnya. Dan juga ada semangkuk es dan handuk kecil di atas nakas.

Tidak usah bertanya siapa yang menaruh ini semua di kamarnya, tentu saja Chelsea. Jerome hampir saja tersenyum, tetapi ia malah kesakitan karena ujung bibirnya belum terobati.

Tanpa menunggu lama, Jerome mengompres luka bekas tinjuan Bara dengan air es yang disiapkan Chelsea. Sedikit nyeri, hingga Jerome mengernyit menahan sakitnya. Dibukanya kotak obat dan mengambil salep yang tertempel sebuat notes tulisan tangan Chelsea.

'Pakai ini.'

Jerome melepas notes berwarna kuning itu, lalu dipandanginya beberapa saat sebelum kertas itu ia taruh di atas nakas.

Ia tahu bahwa Chelsea merasa bersalah terhadapnya. Gara-gara perbincangan Chelsea dengan Bunga, Bara menjadi tahu semuanya dan membuat Jerome harus merasakan tonjokan keras dari musuhnya itu. Tapi Jerome sama sekali tidak menyalahkan Chelsea dalam hal ini. Hanya saja, Jerome terus kepikiran dengan perkataan terakhir Bara kemarin.

Sampai pagi tiba, ternyata Jerome masih memperlakukan Chelsea dengan dingin. Padahal, Chelsea berusaha untuk memecah kecanggungan di antara mereka.

"Jer, gue masak enak."

Jerome melihat meja makan dipenuhi masakan Chelsea yang sangat menggugah selera. Tapi ia hanya menelan ludahnya dan menggeleng untuk menolak memakannya.

"Elo dari semalam belum makan. Seenggaknya makan sedikit aja,ㅡ"

"Gue keburu telat."

Chelsea melirik jam dinding, ini masih jam 7 pagi. Bohong jika Jerome takut terlambat karena waktu masih banyak tersisa sebelum jam kerjanya.

Dengan cueknya Jerome bergegas pergi. Sambil menahan lapar, Jerome berangkat ke kantor tanpa sarapan atau membeli apapun di jalan. Hingga saat di kantor, ia menemukan sebungkus croissant di atas meja kerjanya. Tanpa berlama-lama memikirkan siapa yang membelikan croissant itu, Jerome buru-buru melahapnya. Sekali gigit pun, ia tahu bahwa croissant yang dimakannya ini adalah croissant yang dijual di toko Chelsea.

Masa bodoh, yang penting ia dapat mengisi perutnya sebelum bekerja. Jadwalnya hari ini akan sangat padat. Mulai dari rapat, memeriksa banyak sekali dokumen yang sudah tertumpuk di mejanya, hingga nanti sore ia harus keluar bersama Julian untuk mengurus proyeknya. Bisa pingsan jika saja Jerome tidak mengisi perutnya dengan makanan apapun.

"Lo gak mau berterima kasih ke gue karena bawain lo croissant?"

Julian kini sedang masuk ke ruangan Jerome untuk menghampirinya pergi keluar bertemu dengan beberapa orang penting.

Jerome masih fokus berkutat pada dokumen-dokumen yang belum selesai ia baca. Hingga Julian mengetuk meja Jerome dengan menggunakan sebuah pulpen.

"Pak bos?"

"Iya, thanks."

Terdengar suara helaan napas Julian setelahnya. Kemudian lelaki bergigi kelinci itu menarik sebuah kursi dan duduk di depan Jerome.

"Harusnya lo juga bilang makasih ke Chelsea,ㅡ"

Pergerakan Jerome terhenti setelah perkataan Julian.

"Dia khawatir lo gak makan dari kemarin dan nolak sarapan sama dia. Akhirnya gue ambil croissant tadi gratis di tokonya."

Jerome akhirnya melarikan pandangannya ke Julian.

"Gue tahu kalian gak saling cinta. Tapi lo jangan dingin-dingin ke Chelsea bisa gak sih, Jer?"

Semenjak kejadian kemarin, Julian akhirnya mengetahui semuanya.

Jerome meletakkan pulpen berwarna emasnya, kemudian menutup dokumen terakhir yang ia baca. Ada sesuatu hal yang ia rasakan setelah mengetahui bahwa Chelsea yang memberinya croissant tadi. Tiba-tiba suasana hatinya sedikit membaik.

Setelah itu, Jerome bangkit dari duduknya. Mengambil jas hitamnya, ia kemudian menyuruh Julian untuk segera mengikutinya keluar.

"Kasihan Chelsea kalau lo dingin gini. Gue aja sebagai temen udah merinding, gimana Chelsea sebagai istri yang ketemu lo setiap hari di rumah?"

Julian terus saja bersuara meskipun Jerome tetap diam seribu bahasa.

"Ibu hamil itu butuh kasih sayang, bukan malah dicuekin. Apalagi kalau dia ngidam, lo harus siap nyariin apapun yang dia inginkan. Nanti anak lo bisa ngeces terus-terusan kalau gak diturutin ngidamnya."

Akhirnya Jerome menoleh pada Julian di sampingnya. Merasa tertarik pada omongan Julian tentang ngidam.

"Lo kata siapa? Jangan sok tahu."

"Ya elah, semua orang juga tahu. Tapi kayaknya elo doang yang gak tahu."

Jerome mendekat pada Julian. Sekarang mereka berdua berada di lift dan tidak ada orang lagi selain mereka. Jadi mereka bebas untuk membahas ini.

"Emangnya kalau ibu hamil suka ngidam apa aja?"

"Ya macem-macem lah, Jer. Mangga muda, rujak, makanan aneh-aneh, atau tetangga gue itu ngidam jitak kepala botak orang lain."

Kedua alis Jerome bertautan, "Terus suaminya nurutin?"

"Ya iyalah. Emang lo mau anak lo ngeces terus?"

Jerome menggeleng.

"Nah kan, Jer. Mending lo sekarang jangan cuekin Chelsea. Nanti ngaruh ke anak lo."

Tak lama kemudian pintu lift terbuka, mereka segera keluar untuk masuk ke mobil. Di sepanjang perjalanan mereka masih membahas masalah ibu hamil. Julian sudah seperti dokter spesialis ibu dan anak.

"Apa hubungannya sih gak diturutin ngidam sama anak jadi ngeces?"

"Ya lo coba, Jer. Pengen sesuatu tapi gak kebeli, pasti ngeces karena saking pengennya."

"Gue gak pernah ngeces. Apapun bisa gue beli."

"Aduh, ya pokoknya gitu lah. Pokoknya anak lo bisa ngeces kalau Chelsea ngidam gak lo kasih!"

"Gak jelas teorinya."

"Ngapain mikirin teori? Lo kira kita lagi belajar fisika?"

Obrolan mereka terhenti ketika sudah sampai di tempat tujuan. Selama beberapa saat mereka menemui beberapa orang penting untuk membahas proyek besar perusahaan. Kesampingkan masalah ibu hamil dan teori ngidam Julian, fokus Jerome kini sudah sepenuhnya pada pekerjaan.

Namun, sekembalinya mereka ke mobil untuk pulang,ㅡ setelah selesai dalam pertemuan, mereka kembali membahas tentang kehamilan Chelsea lagi.

"Lo beliin susu ibu hamil deh ke Chelsea. Itu juga penting."

"Udah kalau itu."

Julian terperangah menoleh pada Jerome. "Serius? Wah, tanggap juga lo."

"Yang buat anak gue, pasti gue beli."

"Chelsea pernah ngomong dia ngidam sesuatu?"

Jerome menggeleng. "Enggak pernah. Mungkin dia gak ngidam."

Di sela-sela memegang kemudi, Julian menepuk dahinya. "Bukan gak ngidam, itu karena dia takut minta ke elo. Pasti dia kira, lo gak akan beliin."

"Ya terus gimana gue tahu dia ngidam apa?"

"Ya tanyain lah, Jer. 'Sayang, kamu ngidam apa aku beliin?' Gitu!"

"Gila!"

Julian tertawa lepas setelahnya. Jerome tampak menatapnya penuh kesal.

Selang beberapa saat, Julian kembali bertanya lagi pada Jerome. 

"Chelsea udah periksa ke dokter kandungan?"

Jerome menoleh, setelah baru saja ia fokus pada ponselnya. "Gak tahu."

Julian menghela napas lagi. Lalu entah kemana Julian melajukan mobilnya, yang jelas ini bukan jalan kembali menuju ke kantor. Jerome juga menyadarinya, tapi ia hanya diam dan acuh. Mungkin Julian mencari jalan alternatif agar cepat sampai ke kantor?

Tak berapa lama setelah itu mobil pun berhenti. Bukan di parkiran perusahaannya, melainkan di depan sebuah klinik kandungan. Tentu saja Jerome bingung. Kenapa Julian membawanya ke klinik kandungan? Kan bukan Jerome yang hamil.

"Ngapain?" Jerome menoleh pada Julian yang kini sudah melepas sabuk pengamannya.

Julian berdecak sambil menatap Jerome. "Istri sendiri mau periksa kandungan lo gak tahu? Suami macam apa sih lo?"

"Hah?"

"Chelsea sekarang ada di dalam sama Bunga. Dia mau periksa kandungan. Seenggaknya lo nemenin dia."

Julian keluar dari mobil, diikuti Jerome setelahnya.

"Kata siapa kalau Chelsea di sini?"

"Kata Bunga lah."

Jerome menarik napasnya dalam-dalam ketika melangkah memasuki klinik itu. Dan benar saja, ia melihat Chelsea dan Bunga sedang duduk untuk mengantri masuk bertemu dengan dokter.

Begitu sudah dekat, Chelsea menoleh kaget akan kedatangan Jerome. Mereka bertemu pandang sesaat sebelum Jerome mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Ngapain ke sini?" Tanya Chelsea pada Jerome, tapi malah Julian yang menjawab,ㅡ mewakili Jerome."

"Nemenin istri kesayangan periksa kandungannya lah."

Tak pelak jawaban Julian itu membuatnya harus mendapat tatapan tajam Jerome. Sementara itu Bunga kini berdiri dan menyilahkan Jerome untuk duduk di samping Chelsea.

"Oke, karena ada suami lo di sini. Gue pulang ya sama Julian." Bunga mengedipkan sebelah matanya pada Chelsea.

"Bung?" Chelsea menahan ujung baju Bunga dan menatap memohon untuk Bunga jangan pergi. Tapi Bunga dengan tega menepis tangannya dan berjalan ke arah Julian.

Jerome pun juga melarang Julian untuk pergi, tapi nyatanya Julian dan Bunga dengan tega meninggalkan sepasang suami istri itu dengan penuh rasa kecanggungan.

Tak ada yang membuka suara selama beberapa waktu berlalu. Jerome masih berdiri bersandar tembok,ㅡ meskipun kursi di sebelah Chelsea kosong, sambil mengamati beberapa ibu hamil yang datang mengantri juga. Mulai dari hamil muda, sampai hamil tua dengan perut yang sudah sangat besar. Raut wajah calon ibu itu tampak sangat bahagia ditemani suaminya. Bahkan ada seorang ibu hamil yang bersender pada bahu suaminya karena mengantuk.

Sementara itu, Jerome melihat Chelsea duduk sendirian memegangi ponsel. Raut wajahnya hanya datar, tampak berbeda dengan ibu hamil disekitarnya. Terlihat sangat kontras sekali.

Pada akhirnya, tanpa sadar kaki Jerome melangkah mendekati Chelsea dan duduk di sebelahnya. Hal itu membuat Chelsea menatapnya heran.

"Udah lama antrinya?" Tanya Jerome untuk membuka obrolan.

"Lumayan."

"Harusnya lo bilang gue. Gue bisa atur janji ke dokter biar lo gak antri lama gini."

Chelsea tersenyum tipis, "Gue kira lo masih marah. Gue takut bilangnya."

"Gue gak marah."

"Tapi lo kelihatan marah. Ngomong ke gue aja irit banget dari tadi malem."

"Ya, tapi gue gak marah."

"Oh."

Hening setelahnya. Sampai akhirnya Jerome menoleh ke Chelsea lagi dan menyenggol lengannya.

"Serius, gue gak marah. Ya, gue emang gitu. Gak maksud,ㅡ"

"Iya tahu."

"Iya."

***

Setelah melewati beberapa pemeriksaan kandungannya dan berkonsultasi pada dokter, Chelsea akhirnya bisa bernapas lega. Kata dokter, kandungannya baik-baik saja. Namun setiap 4 minggu sekali, ia harus rutin datang untuk pemeriksaan selanjutnya.

"Saya beri vitamin dan juga obat anti mual ya, bu Chelsea. Ingat, jangan terlalu banyak pikiran dan juga jangan terlalu berat bekerja. Banyak makan sayur dan buah yang sudah saya bilang tadi."

"Ya, Dokter. Terima kasih."

Chelsea menjabat tangan dokter wanita bernama Christina itu, lalu melirik Jerome yang sedari tadi dengan setia menemaninya untuk menjalani serangkaian pemeriksaan.

"Selamat ya pak Jerome." Kini Dokter Christina gantian menjabat tangan Jerome. "Peran suami juga sangat penting. Bapak juga harus siap sedia setiap waktu, membantu istri bapak dalam pekerjaan rumah juga. Dan juga harap memberikan dukungan emosional dan fisik. Harap bersabar ya pak, ibu hamil emosinya kadang tidak stabil."

Jerome mengangguk pelan seraya menoleh pada Chelsea yang kini tersenyum geli menatapnya.

"Denger dokternya tuh. Harus sabar. Gak boleh marah sama ibu hamil." Celetuk Chelsea sengaja di depan dokter.

"Gue udah bilang, gue enggak marah."

Chelsea terkekeh geli melihat raut wajah Jerome memerah. Ia tahu bahwa suaminya itu malu pada dokter karena perkataannya barusan.

Setelah selesai konsultasi, mereka berdua bergegas pulang. Hari sudah menggelap, hujan turun dengan derasnya. Ditengah-tengah jalan menuju pulang, tiba-tiba Chelsea mengatakan menginginkan sesuatu.

"Jer, gue pengen mangga muda deh."

Tentu Jerome langsung menoleh pada Chelsea. "Lo ngidam?"

"Iya, kayaknya gitu. Dari dua hari kemarin gue pengen, tapi gak sempet beli."

"Kok lo gak bilang gue dari kemarin?"

"Kan kemarin elo marah sama gue. Ngomong aja irit."

"Gue enggak marah."

"Oh iya, lo lagi sariawan ya kemarin?"

Terdengar suara tawa kecil Chelsea yang membuat Jerome mendecak sebal.

"Mangga muda beli dimana? Supermarket ada?" Tanya Jerome.

"Di toko buah pinggir jalan ada. Bentar lagi kita lewatin kok."

Sekitar beberapa saat setelahnya, mereka menemukan toko buah yang dimaksud Chelsea. Akan tetapi, toko buahnya ada di seberang jalan. Yang berarti mereka harus menyebrang untuk membelinya.

Jerome menepikan mobilnya, dan menyuruh Chelsea untuk menunggunya di dalam mobil karena hujan turun terlalu lebat. Jerome bergegas mengambil payung di dalam mobil dan berlari menyebrang jalan yang saat itu tidak terlalu padat.

"Pak beli mangga muda ada?"

"Ada. Mau berapa kilo?"

Jerome lupa bertanya pada Chelsea berapa kilo yang harus ia beli.

"Sepuluh kilo."

Si bapak penjual melongo. "Mau buat jualan rujak mas?"

"Bukan. Buat Ibu hamil ngidam."

"Mas, kalau sepuluh kilo sekarang enggak ada. Adanya tiga kilo aja. Besok kalau udah habis, ke sini lagi aja mas."

Tanpa berlama-lama Jerome membayar mangga muda tiga kilo itu dan bergegas kembali ke mobil. Di dalam mobil, Chelsea langsung menyambut Jerome dengan senyum lebar. Ia benar-benar tidak menyangka Jerome begitu peduli pada kandungannya. Bahkan Jerome rela hujan-hujanan demi membelikannya mangga muda.

"Adanya cuma tiga kilo, tadinya gue mau beli sepuluh kilo,ㅡ"

"Thanks, Jer."

Chelsea memberikan Jerome senyuman yang membuat lelaki itu tiba-tiba terdiam. Bahkan Chelsea juga melihat Jerome sempat tersenyum padanya meskipun seperti tertahan.

Sesampainya di rumah, Chelsea segera mengupas mangga mudanya di dapur. Sementara Jerome pergi ke kamar untuk membasuh badannya yang setengah basah akibat kehujanan tadi. Nyatanya meskipun Jerome membawa payung, cipratan air dari kendaraan yang melintas mengenai kemejanya.

"Mau gak?" Tanya Chelsea setelah Jerome turun ke lantai bawah dengan rambut setengah basah dan tangan kanannya membawa sebuah laptop.

Tentu Jerome menggeleng. Mangga muda pasti sangat masam, mana kuat ia memakannya.

"Buat lo aja." Jawab Jerome seraya duduk di atas karpet di depan televisi.

Sementara Chelsea mengikuti duduk di sampingnya dengan membawa sepiring potongan mangga muda. Sambil melihat Jerome fokus pada laptopnya, ia memakan potongan mangga muda yang sangat masam itu. Hingga sesekali Chelsea membuat ekspresi lucu karena menahan rasa masam.

"Masih ada kerjaan yang belum selesai?"

Jerome menjawab tanpa menoleh. "Iya. Karena temenin lo tadi."

Chelsea mengangguk mengerti. Namun Jerome tiba-tiba menoleh dan membuat Chelsea tersentak.

"Heh, besok-besok kalau mau periksa bilang gue. Gue bisa atur janji sama dokternya biar gak antri."

Chelsea tersenyum seraya menganggukkan kepalanya lagi. Entah, sudut bibirnya tiba-tiba terus tertarik ke atas membuat senyuman. Jujur saja, ia merasa sangat senang dengan kepedulian yang Jerome berikan padanya. Dibalik sikap dingin yang sering Jerome tunjukkan, ternyata ada sisi hangat di dalamnya.

Baik, sepertinya Chelsea juga harus membalas sikap Jerome itu.

Tiba-tiba Chelsea berdiri dari duduknya, mengambil sebuah handuk kecil di kamar mandi, lalu kembali lagi di ruang tengah. Jerome masih berkutat pada pekerjaannya di depan laptop, tapi Chelsea menyuruhnya untuk berhenti sebentar.

"Ngapain?" Jerome mengernyit ketika Chelsea menarik tubuhnya untuk berbalik menghadapnya.

"Diem bentar doang." Chelsea mengeringkan rambut Jerome dengan handuk kecil yang tadi sempat ia ambil. "Kalau gak kering-kering, lo bisa sakit. Nanti lo gak kerja, anak gue gak bisa minum susu."

Diam-diam Chelsea melihat Jerome yang tersenyum hingga kedua lesung pipinya terlihat.

"Gue gak kerja pun tetap bisa beli susu sepabriknya."

"Cih, sombong banget."

Selama beberapa saat Chelsea masih mengacak rambut Jerome hingga sudah sampir kering. Sampai tiba-tiba, ponsel Chelsea berdering dan membuat atensinya dengan Jerome beralih pada ponsel itu.

Tertera dengan jelas nama Bara di layar ponselnya. Chelsea yakin Jerome juga pasti melihatnya. Dengan buru-buru Chelsea menolak panggilan dari Bara itu. Ia masih sangat marah pada Bara karena membuat kekacauan di tokonya kemarin. Sebenarnya Chelsea merasa Bara tidak mempunyai hak untuk memukul Jerome dan mencampuri urusan pribadinya. Toh dulu saat Bara berkencan dengan banyak wanita, Chelsea sama sekali tidak protes ataupun mencampuri urusannya.

"Kenapa gak dijawab?" Tanya Jerome.

Chelsea menggeleng, dan kembali mengarahkan handuk ke atas kepala Jerome lagi. Tapi Jerome menahannya, dan mengunci kedua matanya.

"Kalau misal Bara juga suka sama lo, lo bakal gimana?"

Pertanyaan Jerome membuat Chelsea terperangah. Kenapa Jerome tiba-tiba membuat pertanyaan seperti itu?

"Bara gak mungkin suka sama gue. Dia hanya anggep gue temen aja. Gak akan lebih dari itu."

"Gue bilang, misalnya. Kalau misalnya dia suka. Lo gimana?"

Chelsea terdiam beberapa saat. Memang perasaannya dengan Bara belum hilang sepenuhnya, dan tentu saja ia pasti akan sangat gembira jika Bara membalas perasaannya. Akan tetapi, sebagian dari dirinya menolak. Ia tidak bisa bersama Bara lagi. Semua cerita tentang cinta pertamanya itu sudah ia akhiri sejak hari pernikahannya dengan Jerome. Tak ada lagi harapannya untuk memiliki Bara. Chelsea menganggap semuanya sudah selesai.

"Setelah kita pisah, lo pasti bakal balik ke dia."

Jerome masih menatap Chelsea dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian, karena Chelsea juga tidak menjawabnya, Jerome memutar badannya lagi untuk kembali fokus pada laptopnya.

Setelah beberapa saat berlalu, Chelsea akhirnya bersuara dan membuat atensi Jerome kembali pada istrinya itu lagi.

"Bagi gue, menikah hanya sekali seumur hidup. Kalau nanti kita benar-benar pisah, gue gak akan nikah lagi, Jer. Gue akan hidup berdua sama anak gue."


###




"Jer, gue ngidam mangga muda."

"Pak, beli mangga muda sepuluh kilo. Atau tokonya saya beli sekalian, bisa?"



( 3K WORDS. Chapter terpanjang.... Dan jariku lemasss ngetiknya karena ngebutt.)

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 95.6K 58
[ 🔞🔞 Tidak sehat bagi jantung jomblo ] Prinsip hidup Alam sederhana, tidak mencari masalah dan enggan menikah. Sementara prinsip hidup Navella kom...
2.7M 7.9K 2
(TERSEDIA DI PLATFORM KUBACA) "Marry, bagaimana perasaanmu?" Seseorang bertanya sambil mengarahkan kameranya kepadaku, sontak aku langsung menatapnya...
144K 14.2K 43
[SUDAH TERBIT - SALINEL] WARNING 20+ (Mature Content) Follow dulu sebelum membaca, ada beberapa part diprivate secara acak. Sinopsis: Oh Sehun menyu...
1M 87K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...