EPIPHANY

By NurAzizah504

12.3K 1.2K 185

Rania berada di ambang kebingungan. Antara memilih Elang atau 'dia' yang sebelumnya pernah ada di hatinya. Hu... More

Prolog
1. Sore Yang Menyeramkan
2. Telepon Darinya
3. Jealous
4. Perihal Hujan
5. Tanyanya, "Kenapa?"
6. Dia Punyaku
7. Hujan di Malam Hari
8. Terima Kasih
10. Cemburunya Rania
11. Ada Apa dengan Elang?
12. Lagi-lagi Dia
13. Tentang Kita
14. Pingsan
15. Maaf Untuk Semua Luka
16. Tidak Ada Sentuhan
17. Sekilas Bayangan
18. Menjauh
19. Siapa Dia?
20. Dia Yang Tampak Sama
21. Kebingungan Yang Berbeda
22. Tentang Nama
23. Sesuatu Yang Aneh
24. Deal!
25. Keyakinan
26. Janji, Rania!
27. Tentang Luka
28. Lorong Belakang Gudang
29. Apa yang Terjadi?
30. Jangan Benci Aku
31. Bertamu
32. Romantis (?)
33. Pertama Kalinya
34. Sorry
35. Kedatangannya
36. Tangan Elang
37. Dia Yang Akan Datang
38. Tertangkap
39. Yang Patah Pagi Hari
40. Nasihat Mama
41. Kejutan Malam Hari
42. Upah Dari Rania
43. Si Tangan Penghancur
44. Tentang Rasa Sayang
45. Pulang dan Kekacauan
46. Pergi Untuk Kembali
47. Pilihan Opsi Kedua
48. Mendadak Ragu
49. Rasa Yang Dilupakan
50. Hilangnya Sebuah Senyuman
51. Sebenarnya Hancur
52. Amarah Terbesar Elang
53. Bentuk Kepedulian
54. Janji di Malam Hari
55. Bukan Karena Sayang
56. Terungkapnya Fakta
57. Kimbab Dari Rania
58. Tentang Kita Berdua
59. Perasaan Yang Tak Lagi Sama
60. Pesan Tak Terbaca
61. Pergi dan Hilang
Epilog

9. I Need You

226 28 6
By NurAzizah504

"Makasih udah mau khawatirin aku, Elang."

Namun, laki-laki itu tampak terusik ketika mendengarnya. Ia menoleh dan memperlihatkan wajah kerasnya ke arah Rania. "Apaan, sih, ngomong kaya gitu?" tanya Elang yang jelas-jelas langsung memasang ekspresi tak suka, "lo cewek gue, jadi wajarlah gue khawatir. Mau gue lagi marah atau kesal sama lo, tapi tetap aja gue gak mau lo kenapa-kenapa."

"Lang, aku--" Sial. Ia tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Tenggorokannya perih, seolah dicekat oleh sesuatu yang erat. Terakhir, ia hanya bisa terdiam bodoh. Kalimat 'aku sayang kamu' pun kembali tertelan dan tersimpan rapi dalam hatinya. Kini, ia membiarkan kedua matanya yang berbicara. Rania menangis dalam senyum tipis.

"Eh, kenapa nangis?" Elang mempertipis jarak di antara mereka. Wajahnya berubah pias. Sedikit lebih khawatir saat hidung gadisnya berubah warna semerah tomat. "Hapus-hapus. Jangan nangis lagi, ah."

Gadis itu mengangguk, kemudian menyeka sendiri air mata sialan yang membasahi pipinya. "Maaf," cicitnya begitu pelan.

Lantas, Elang menghela napas lelah. Netranya yang berwarna hitam kelam, dibawa memandangi wajah Rania yang saat ia tengah menundukkan kepala. Selalu seperti ini. Bagi Elang, Rania akan selalu terlihat cantik walau bagaimanapun dirinya. Walau mata lebarnya berkaca, walau hidung mancungnya memerah, walau dagu lancipnya bergetar, Rania tetap yang terindah baginya. Elang tak tahu kapan dirinya mulai mencintai Rania sedalam ini. Yang ia tahu, mendadak dirinya merasa cemburu saat ada laki-laki lain di sekitarnya. Dan ketika pacarnya ini tersenyum, rasa-rasanya dia ingin segera menyembunyikan gadis itu dari siapa saja. Elang ingin melihat Rania hanya untuknya, dan selalu miliknya.

Dan detik ini, Elang tak tahu apa yang telah merasukinya. Tangan kanannya pelan-pelan bergerak, lalu menyentuh pipi Rania dengan gerak lembut. Kemudian ia memutar wajah Rania agar berhadapan dengannya. Saat netra keduanya bertembung, ia pun langsung berbisik, "Jangan nangis lagi. Gue gak suka liatnya." Elang mengelus kedua belah pipi Rania. Memakai jempolnya, ia pun membersihkan sisa-sisa air mata yang masih bisa ditangkap olehnya. Jantungnya kontan berdebar cepat. Nyaris jatuh dan tergeletak di tanah. Dan dirinya pun yakin bahwa Rania juga merasakan hal yang sama.

"Habisnya ... kamu romantis banget malam ini."

Ah, sial! Bukan itu yang ingin Elang dengar. Maka setelahnya, ia pun berdecak. Wajah lembut dan tenang yang beberapa detik tadi ia pasang, kembali dilepas dan memperlihatkan wajah aslinya. Pun tangan yang tadinya bermain lembut di pipi Rania, kini malah beralih ke atas untuk menepuk puncak kepalanya. "Jadi lo suka gue kaya gini, hah!? Elang yang kasar dan gak bisa romantis. Gitu?" tanya Elang kembali cerewet.

Alhasil, gadis manis ini pun tertawa hingga kedua bahunya terguncang. Ia memang menyukai Elang yang romantis, tapi Elang yang emosian, gampang kesal, dan cerewet itu, juga tak kalah menarik hatinya.

"Ck, pake ketawa lagi," omel Elang kesal. Ia pun memutuskan untuk menatap bulan saja. Menarik kedua lutut dan memeluknya, Elang melayangkan pandangannya ke atas. Namun, sesuatu terasa mengenai bahunya. Elang menoleh, hanya untuk menemukan pemilik tawa tadi yang kini tengah bersandar padanya.

Pun senyum kecil tertarik pada bibirnya, muncul bersamaan dengan Rania yang bertanya, "Kamu udah gak marah lagi, 'kan, sama aku?"

"Hm."

"Udah gak kesel lagi, 'kan?"

"Iya."

"Udah bisa maafin aku, 'kan?"

Dan akhirnya Elang mendesah kasar. Sontak ia menjauhkan tubuhnya tiba-tiba, membuat Rania nyaris terjatuh karena hilang tempat bersandar. "Iya, Rania," jawab Elang dengan menekan suaranya.

Terakhir, Rania hanya bisa terkikik kecil. Lalu setelah tawanya reda, ia pun berkata, "Pulang sekolah besok kita ke warung Mbak Imas, ya?"

"Iya," sahut Elang yang lagi-lagi memakai jawaban yang sama. "Udah, gue mau pulang." Elang berdiri, lalu disusul Rania di sebelahnya.

Mereka pun berjalan berdampingan hingga ke gerbang. Ketika melihat benda ini, Rania lagi-lagi teringat akan cerita Elang. Ia pun sontak tertawa, dan Elang yang berada di sampingnya pun menyadari hal tersebut. "Apa? Masih mau ketawa? Iya?" cerca Elang tampak kesal seraya menajamkan kedua matanya.

Cepat-cepat Rania menutup mulutnya menggunakan tangan, lalu menggelengkan kepala berkali-kali. "Enggak, kok, enggak. Khilaf tadi," kelakarnya, tapi tidak mendapat respon yang begitu baik dari sang pacar.

Laki-laki itu mendengkus kesal, kemudian mengambil tempat di hadapan Rania. Dari sini, wajah Elang tampak remang-remang karena berdirinya yang membelakangi lampu jalan. Dengan muka datar, ia terlihat menyentuh ujung hidung Rania dan sedikit menekannya. "Jangan nakal-nakal lagi. Atau marah gue bakalan lebih lama dari ini."

"Iya," jawab Rania seadanya. Untuk saat ini dia memang ingin memperbaiki semua kesalahan yang terjadi. Karena perlahan-lahan ia tahu bahwa cemburu Elang pasti berlandaskan dengan alasan yang kuat. Dalam mata Elang, Rania tak hanya menemukan amarah semata, tapi ada beberapa rasa lainnya. Entah itu trauma, ketakutan, atau semacamnya.

Setelah sentuhan kecil pada ujung hidung, kini terasa beralih pada puncak kepala. Elang menepuknya pelan, tapi tak kunjung melepaskan. "Gak mau tau. Besok lo harus buatin kimbab buat gue."

Glabela Rania tampak bergelombang. Dahinya pun ikut berkerutan. "Harus banget besok?"

"Hu um," angguk Elang banyak kali, membuatnya terlihat seperti anak kecil, "harus besok pokoknya."

"Hm ... oke, deh," pasrah Rania setelahnya.

Terlihat Elang tersenyum lebar sehingga memperlihatkan deretan gigi bersihnya. "Gue pulang," pamitnya untuk kedua kali.

"Hm, hati-hati, ya. Jangan ngebut-ngebut itu bawa motornya. Jangan meleng," ingat Rania yang dibalas dengan acungan jempol oleh Elang. Elang kemudian berbalik setelah Rania mengangguk tiga kali. Namun, nyaris saat tangannya hampir menyentuh helm yang diletakkan di atas motor, Elang pun kemudian berbalik lagi.

Karena bingung, Rania lantas bertanya, "Kenapa, Lang?"

"Ada yang kelupaan," jelas Elang sembari berjalan menghampirinya.

"Apanya?" tanyanya lagi ketika Elang telah menjulang di depannya. Namun, bukannya jawaban yang ia temukan, Elang malah tersenyum jahil ke arahnya. Kemudian laki-laki itu juga menurunkan kepala dan akhirnya terlihat mengecup pipi Rania.

Tak sampai dua detik, ia kembali melepaskannya. Masih mempertahankan raut wajahnya, Elang berbisik, "Itu yang kelupaan."

Namun, gadisnya ini malah diam membisu. Bahkan jika diperhatikan, Rania sama sekali tak tahu lagi cara untuk berkedip. Alhasil, Elang berakhir mendesah pasrah bersamaan dengan tangannya yang menyugar rambutnya ke belakang. "Ck, kenapa harus pasang ekspresi begitu, sih, lo? Gak usah kaget-kaget amat-amat kali. Bikin gue gak enak aja," gerutu Elang yang akhirnya menyadari Rania dari lamunan konyolnya.

"Eh, sorry. Soalnya tadi itu ... mendadak banget buat aku," perjelas Rania dengan cicitannya yang sedikit halus. Rania memang tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dari Elang, ini adalah kali pertama buatnya. Wajar saja jika saat ini ia tak mampu melarang jantungnya untuk berdegup kencang. Atau lebih parahnya, ia juga tak kuasa untuk mencegah kedua telapak tangannya agar tidak bersuhu rendah seperti ini.

Bahkan saat Elang selangkah mendekatinya, lalu menggenggam sebelah tangannya dan mengatakan sebaris kalimat yang akan dapat mengganggu tidurnya. "Mungkin setelah ini lo akan sering-sering dapat yang begituan."

* * *

Tbc

Salam sayang,

ada masukan ga buat chapter ke depannya?

Continue Reading

You'll Also Like

108K 11.5K 44
Wei WuXian baru menyadari bahwa jiwanya tidak sepenuhnya lengkap tanpa kehadiran Lan WangJi di hidupnya. Disc: MDZS by MXTX
6.6M 280K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
3.3M 181K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
587K 7.4K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+