Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 2.4

102 28 60
By monochrome_shana404

Baru saja Leon sampai di sebuah kafe kecil yang letaknya tak begitu jauh dari hotel di mana ia menginap. Dirinya memutuskan untuk duduk di dekat jendela. Tepat dari posisinya, ia mendapatkan pemandangan gedung tinggi dari hotel Howard.

Tepat pelayan hendak menghampirinya, ia sudah lebih dulu memesan kopi hitam. Lantas ia kembali melemparkan pandangan kepada gedung hotel Howard.

Mengawasi Kirika dengan jarak tertentu merupakan misi sulit yang ia jalani. Sama sekali belum ada pesan dari Akira, sepertinya tidak ada masalah yang terjadi. Belum ada kabar lain dari Akira setelah ia mengabarkan bahwa Silvis dan Aleah telah tiba kemarin malam.

Sesungguhnya dia agak sedikit lega dengan kedatangan Silvis. Leon bisa bersantai menemui putri semata wayangnya.

Tapi tampaknya tidak demikian.

Bersamaan dengan kedatangan kopi hitam pesanannya, suara lonceng pintu mengundang Leon menoleh. Sumber suara juga mendatangkan seorang wanta muda yang dia tunggu-tunggu. Kontan senyum Leon terukir jelas mendapati Leona berdiri di sana.

Lebih kepada senyum prihatin.

Betapa tidak? Leona hadir bersama dengan wajah kusut, berhias kantong mata yang sedikit menghitam. Dia tak melupakan jas dinasnya, kini sedang ia tenteng di tangan kanan. Pun, dia membawa dompet dan sedikit dokumen di tangan kiri. Sungguh, bahkan kedua tangan itu tak diberi istirahat barang sedikit saja.

Langkahnya terdengar sengaja sedikit dihentak-hentakkan. Ketukan dari sepatu berhak pendek itu adalah buktinya.

Leona belum berkata apa-apa, bahkan sampai ia duduk menghadap sang ayah. Sementara Leon menunggu dengan sabar, masih saja mempertahankan senyum. Lagi, senyumannya kian melebar sembari ia bersandar dan bersedekap. Manik elang bersorot tajam miliknya pula kian melembut, sebuah pelampiasan bahwa ia sangat merindu.

"Kira-kira seberapa banyak mereka merebut jam tidurmu, Tuan Putri?"

Yang ditanya justru sekedarnya menguap sebentar. "Entahlah, aku juga sudah tak ingat indahnya masa-masa tertidur di kasur."

Ah, jadi dia juga jarang pulang. Leon terkekeh.

Salah seorang pelayan menghampiri, menjeda percakapan mereka barang sejenak. Si pelayan tak perlu berlama-lama menunggu. Leona bahkan melakukan hal yang sama dengan Leon di kala memesan, meski minuman yang dipesannya berbeda.

Tentu saja mereka tidak peduli apakah pelayan itu akan memendam dendam sama sekali saat ia kembali ke tempatnya.

"Bagaimana dengan ratumu? Dia baik-baik saja?" Demikian Leona mengalihkan pembicaraan. Dia menoleh ke luar jendela, sedikit menengadah memandangi gedung tinggi dari hotel milik Howard sebelum kembali memandang ayahnya. "Kudengar dia sedang menghadiri pesta selebrasi di sana."

"Ya. Aku datang untuk mengawasinya," jawab Leon. "Untuk sementara hotel itu hanya boleh dikunjungi oleh orang-orang yang menerima undangan. Kau pahamlah."

"Sayang sekali. Padahal aku mau mengajaknya bermain."

"Huh. Tetap tidak berubah, ya."

Sahutan Leon kemudian ia akhiri dengan menyesap kopi yang sudah hilang kepulan uapnya. Sembari merasakan kopi yang mulai masuk ke saluran pencernaan, sebentar ia menghirup kopi dan melirik Leona yang sudah memangku dagu.

"Jadi, bagaimana dengan kasus penyelidikannya?" Sekali lagi Leon membuka percakapan.

Leona tak langsung menjawab. Tak lebih dari dengkusan gusar, ia berakhir menjatuhkan maniknya kepada dokumen yang tergeletak tak jauh dari siku. Tangan yang tengah lapang dari pekerjaan lantas segera menyeret dokumen.

"Seharusnya aku membaca laporan-laporan ini," kata Leona. "Aku baru sempat membaca sebagian."

Demikian tangan Leona bergerak mendorong dokumen ke hadapan sang ayah.

"Kuharap kau benar-benar mau mendengarkan," kata Leona. "Kita akan membahas Timothy dengan julukannya Si Seribu Wajah."

~*~*~*~*~

Malam dimeriahkan ingar-bingar di dalam ballroom yang luas. Para tamu mengenakan busana terbaik yang mereka punya. Senyum terlampir di wajah-wajah mereka, menciptakan kerutan yang tiada berkeluh-kesah atas lelah atau semacamnya. Kadang pula terdengar tawa yang nyaris terdengar menggelegar, berkuasa di dalam ruangan.

Berkali-kali Akira menoleh kepada pintu yang belum berhenti menerima tamu. Namun, sang Madam belum juga menampakkan batang hidungnya. Sedikit penasaran dirinya apa yang membuat para wanita begitu lama bersiap-siap.

"Apa Kirika tidak berminat mendatangi pesta?" Sebuah celetuk dari suara lembut kontan membuat Akira menoleh ke sumbernya.

Ah, Elizabeth rupanya.

Dia nampak berbeda dengan gaun biru gelap dan rambut yang disanggul rapi. Bahkan butuh detik untuk mengenalinya saat ini.

"Kupikir dia sangat menyenangi tempat ini. Dia begitu menyenangi taman hotelnya."

"Mungkin butuh waktu agar terlihat menawan?" sahut Akira menerka-nerka.

Kekehan singkat justru meledak dari bibir ranum yang sudah dipoles lip gloss. "Beruntung Kirika memiliki asisten sepertimu, ya, hm? Amat sangat penyabar. Aku menyukainya."

"Terima kasih. Saya menganggapnya sebagai pujian." Demikian Akira berujar kepada Elizabeth tak lama yang menyesap anggur.

Hendaknya Akira mengedarkan pandangan, beberapa jarak seketika terhenti kepada Silvis yang pula tak sengaja menjatuhkan pandangan padanya. Pria itu sekedarnya mengangkat gelas dengan singkat sebagai sebuah sapaan. Sementara si android mengangguk sembari mengulas senyum, pun melanjutkan perbincangan bersama Elizabeth.

Berbeda dengan Akira, Silvis justru lebih senang merapatkan dirinya pada dinding. Begitu baginya menyenangkan menikmati pemandangan dari sudut ruangan. Ballroom juga semakin penuh oleh suara-suara percakapan yang berkombinasi, selagi lagu yang tengah dimainkan para pengiring di panggung musik ikut menemani. Pun, terkadang dentingan yang seolah saling sambung-menyambung.

Sudah sepatutnya Silvis menemui Jason. Minimal, anak sulungnya, James Howard. Namun, satu pun di antara mereka belum menampakkan diri sama sekali.

Barangkali mereka tengah menyiapkan kejutan di tengah-tengah acara? Entahlah. Lagi pula, Silvis hanya mampu sekedar menerka. Pun, merasa hal itu terlalu konyol untuk dipikirkan, ia mengangkat bahu sebagai jawaban atas pertanyaan dari dirinya sendiri.

Demikian manik yang semula memandang dasar anggur dari gelasnya, kini melirik ke luar jendela.

Ya, dia juga agaknya penasaran apa yang membuat istri dan keponakannya begitu lama.

"Sedang menunggu Nona Alford, Tuan?"

Aksen Rusia yang familiar lantas membuat Silvis menoleh.

Dia sama sekali tidak menyadari sejak kapan Sergei berada di sampingnya. Yah, terlalu sering tenggelam di dalam pikiran acap kali membuat Silvis hampir tak sadar kepada sekitar.

Pun, sesungguhnya ia juga tidak menyangka Jason turut mengundang orang ini.

"Begitulah, Tuan Abramov," balas Silvis. Kekehan hambar pula ia tuturkan. "Sudah sewajarnya wanita membutuhkan waktu untuk mempercantik diri. Jadi, saya pikir tak mengapa jika kita menunggu sedikit lebih lama."

Semula Sergei tersenyum menampakkan giginya yang rapi. Berakhir ia menyandarkan punggung ke dinding dan bertutur, "Sangat serupa dengan mendiang istri saya. Percayalah, perjuangan yang terlihat sepele itu akan semakin enak dipandangi hasilnya."

Silvis membenarkan.

Tak lama atensi mereka tercuri kepada suara pembawa acara yang sudah mulai memberikan sambutan. Pun, belum juga ia temukan Jason di mana pun, sejenak memutuskan untuk memulai dengan pertunjukan musik dari Agatha Wagner.

Agatha merupakan sesosok gadis berkulit pucat yang telah dibalut gaun hijau selutut, sedikit tergesa-gesa ke tengah panggung ditemani dengan biola dan busurnya. Dia mewarisi warna rambut kecokelatan dari sang ibunda yang disanggul, sementara ia memiliki manik kebiruaan dari sang ayah. Mata yang berbentuk seperti kacang kenari tersebut mengedarkan pandangan tepat sebelum membungkukkan badan.

Dia bisa mendengarkan tepuk tangan, begitu ramai dan meriah. Agatha menunggu semuanya berhenti, kemudian berdiri tegak. Sempat ia menoleh kepada sang ayah yang tak jauh dari panggung, mengangguk yakin lengkap dengan senyum lebar. Si gadis muda akhirnya memainkan lagu dengan biolanya.

Demikian kala lagu yang mengiring, tamu yang tertarik perhatiannya segera mendekat ke panggung. Sementara sepatu hak hitam dengan permata imitasi dan ukiran yang dibordir sempurna baru saja memasuki ballroom dengan langkah perlahan. Senyum tipis dari bibir yang telah dipoles lipstik merah terpatri kala ia menontoni Agatha.

Kirika melanjutkan langkahnya sembari merangkul lengan si bibi dengan lembut, hendaknya berkeinginan melihat pertunjukan orkestra lebih dekat. Namun, yang menemaninya saat ini tengah sibuk bercelingukan.

"Aku sama sekali belum melihat pamanmu. Di mana dia?"

"Kau ingin mencarinya terlebih dahulu?" sahut Kirika. "Aku akan menemanimu."

Aleah sekedar menurunkan tangan guna melepas pegangan Kirika. Senyum merekah di wajahnya yang tampak berbeda dibanding ketika ia menggunakan kacamata.

"Aku akan mencarinya sendiri. Carilah Akira dan nikmati pertunjukan Nona Wagner."

Maka Kirika menurut.

Sesegera mungkin mereka memisahkan diri. Baru saja Kirika hendak berbalik, maniknya sudah menemukan asisten androidnya.

Tepat di hadapannya.

"Selamat malam, Madam."

Tampaknya dia selalu memiliki radar yang mampu merasakan hawa keberadaan sang Madam.

"Memang benar. Membutuhkan sedikit waktu agar tampak semakin menawan," lanjut Akira. "Anda sangat cantik malam ini."

Sementara lagu hampir habis, mereka masih saja saling pandang. Namun, Kirika sama sekali enggan berlama-lama berpaku tatap seusai menerima pujian dari si asisten. Sekedarnya ia berpaling sembari menurunkan kepala, agak menyunggingkan senyum yangterkesan luar biasa tipis. Pun, sempat ia menyelipkan rambut ke belakang telinga.

Akira yang masih bertahan dengan senyumnya, menerawang. Sedikit ia condongkan tubuhnya, memandangi wajah sang Madam lebih dekat.

Baginya, waktu seolah berhenti, rentetan nada pula ikut berdistorsi dan menguap.

"Sebentar lagi dansa akan dimulai." Begitu Akira mengumumkan pada Madam-nya. Barulah ia mengulurkan tangan sembari membungkuk hormat. "Bolehkah saya mengajak Anda berdansa?"

Yang diundang akhirnya tercuri pandangannya. Semula ia memang terkekeh sedikit, tetapi manik delima itu sudi jatuh kepada si lensa biru.

"Tampaknya ada yang menggunakan kesempatannya sebaik mungkin di sini," sindir Kirika.

Akira tertawa kecil mendengarnya. Seusainya, ia memantapkan senyum sembari mengulurkan tangan lebih dekat. Sementara sang Madam agaknya tak memiliki keinginan untuk menolak. Dia segera menerima uluran tangan dengan lembut, maka mereka berjalan ke tepi khalayak.

"Jadwal acaranya sedikit aneh, ya, Madam. Mereka memulai pesta dansa tepat sebelum Tuan Howard datang memberi kata sambutan," celetuk Akira di tengah jalan. "Apa mereka selalu melakukan ini untuk mengulur waktu?"

"Barangkali begitu," balas Kirika. "Namun, jarang Tuan Jason sudi membuat para tamu menunggu."

Sejenak keduanya memperlambat langkah kala suara tepuk tangan yang saling bersahutan menggaungi seisi ballroom. Serentak, mereka menoleh singkat kepada Agatha yang sudah membungkukkan badan, kemudian berlalu meninggalkan panggung.

Seorang pembawa acara akhirnya kembali berkuasa di atas sana, mengumumkan acara selanjutnya, meminta para tamu untuk bergabung dalam pesta dansa. Yang berminat tampak siap memenuhi bagian tengah ballroom. Bersama dengan pasangan masing-masing—entah baru kenal atau yang sudah berdampingan sejak lama sekali—mereka saling bergandengan.

Kala pembawa acara kembali turun panggung, orkestra mulai memainkan lagu yang mengalun lembut. Masing-masing pasangan mulai mengatur posisi. Kirika dan Akira juga melakukan hal yang sama.

"Apa kau benar-benar bisa berdansa? Aku khawatir jika kau lebih sering menginjak kakiku nanti," ucap Kirika.

Si android justru kembali menampakkan senyum. Kali ini tersirat rasa penuh bangga.

"Tenang saja. Saya sudah mempelajari langkah-langkah dasar berdansa." Begitu Akira membalas. Kemudian dia mendekatkan tangan ke pinggang Kirika, lalu berkata, "Apa Anda keberatan?"

Kirika menggeleng singkat. Lantas tangannya mulai hinggap di bahu Akira, bersamaan dengan Akira yang sudah menyentuh pinggangnya. Masing-masing tangan yang lain pula saling bergenggaman.

Dengan lagu yang masih mengalun, mereka mulai melangkah, membuat gerakan yang beriringan. Keduanya memutuskan tak berbicara, tiada di antara mereka yang tahu berapa lama manik delima dan lensa biru ini berpaku tatap.

Kadang-kadang Akira menuntun Kirika berputar, kemudian mereka sekedar berayun di tempat. Bahkan melangkah mengitari bagian tengah ballroom, mengikuti arus pasangan dansa yang lain.

Lensa biru terbuai oleh manik yang semerah darah, entah ia yang tenggelam atau malah sebaliknya. Tatapannya melembut di kala ia sedemikian terfokus.

Si manik delima tak lama mengerjap, membuyarkan fokusnya terhadap si lensa biru. Manik yang seketika berkaca-kaca lantas memilih berpaling. Sesak dari dalam dada sebisanya ia telan bulat-bulat mengembalikan fokusnya kepada si android.

Rasanya seperti ada nostalgia yang terpancing dari lensa biru yang seolah asing itu.

Hendaknya Akira menanyakan apakah ada yang salah, tetapi Kirika mengindahkan, menitah agar tetap melanjutkan dansa. Beruntung, begitu cepat mereka membuang jauh-jauh canggung yang sempat mengikat.

Dia sungguh menikmati keindahan paras sang Madam. Lipstik merah terpoles menyembunyikan bibir ranum, kelopak mata Kirika juga sudah berhias perpaduan warna celak keabuan dan perak.

Tampaknya dia tak begitu membutuhkan bedak yang tebal. Lagi pula, wajahnya memang sudah mulus sejak awal.

Sekitar belasan menit, lagu akhirnya mencapai puncak. Kirika segera melepaskan pegangan pada bahu, berikut dengan perlahan memisahkan tangannya dari genggaman Akira.

"Sudah?"

Sungguh, Akira sangat menyayangkan momen yang begitu cepat berlalu. Namun, dia hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Kirika berlalu, yang kemudian diekori oleh Akira. Menurutnya akan lebih baik jika ia bersembunyi di balik keramaian.

Meski ia tahu, rencananya tak akan pernah berjalan semulus yang ia mau.

Baru saja menapakkan beberapa langkah, tahu-tahu ia sudah dicegat oleh seorang wanita paruh baya dengan kursi roda.

Kirika mengenalnya. Wanita itu merupakan istri dari Jason Howard, Witney Howard. Dia memiliki paras yang penuh dengan kerutan kala ia tersenyum lebar sembari menampakkan giginya yang putih, bermata besar lengkap dengan manik gelap, pun memiliki bentuk hidung serupa paruh elang. Jangan lupakan bibir tipis yang kini dipoles oleh lipstik merah gelap juga rambut gelap sebahu.

Witney selalu ditemani oleh wanita muda yang senantiasa mendorong kursinya, ke mana pun ia hendak pergi. Wanita yang tak lain dan tak bukan Lilia, anak bungsu dari keluarga Howard.

"Nona Alford, lama tak melihatmu." Begitu Witney berujar di kala ia menerima pelukan singkat dari Kirika. "Aku harap kamu menikmati pestanya."

Kirika membalas dengan senyum tipis. Sebagai sapaan singkat kepada Lilia, dia sekedar menoleh dan menganggukkan kepala.

"Maaf karena aku tidak bisa datang di pelantikanmu tahun lalu. Apa suamiku menyampaikan salam padamu?" tanya Witney. "Omong-omong aku sama sekali belum menemukannya di mana pun. Kamu sudah menemuinya?"

"Ah, saya pikir beliau akan datang bersama Anda."

"Tidak, tidak. Dia tidak pulang sejak kemarin. Tapi ... aku memang mewajarkannya karena pesta selebrasi kali ini membutuhkan banyak persiapan," balas Witney. "Dia tidak bisa membiarkan Hansel bekerja sendiri."

Kirika mengerjap, menahan diri agar tidak menoleh kepada Akira. Suasana berlangsung canggung, konon pula Lilia menyorotkan pandangan sedikit khawatir mengingat perihal sang ayah.

Namun Witney segera menepis canggung yang menghinggapi, "Tak masalah. Dia pasti berada di sekitar sini."

"Aku akan mencarinya. Jika aku sudah menemukannya, nanti aku akan memanggilmu, ya? Nikmatilah pestanya."

Dengan bantuan dorongan dari Lilia, Witney berlalu menyisakan Kirika dan Akira di tengah khalayak.

Baru saja si android hendak mengajak Madam-nya berbicara, tetapi wanita itu malah berjalan menjauh. Langkah cepat segera Akira luncurkan sembari memandangi punggung Kirika.

"Bukankah itu aneh, Madam? Padahal kita baru menemui beliau kemarin."

"Ya. Bahkan lebih aneh daripada jadwal acaranya," tukas Kirika. Setapak langkah ia jejakkan berikut dengan titah yang melantun untuk si android yang masih mengekor, "Aktifkan sistem pelacak."

Beberapa langkah yang sukses menjejak tak kasat mata, berakhir berhenti kala Hansel menghadang perjalanan kecilnya.

Sesungguhnya tidak ada yang pria itu lakukan di hadapan Kirika. Sekedar ia pertahankan senyuman pada Nona Alford yang sengaja mempertemukan manik delima ke manik gelap miliknya.

Suara pembawa acara perlahan surut dari telinga. Begitu pula langkah demi langkah di sekeliling yang sukses teredam karpet.

Namun, sang Madam masih mempertahankan tatapan kepada si manik gelap.

"Sebuah kebetulan kita bertemu di sini, Nona Alford." Akhirnya Hansel memecah hening di antara mereka, memutus canggung yang tak mengenakkan. Ya, dia sama sekali belum mau menyurutkan senyumnya. "Saya mencari Anda ke mana-mana. Apa Anda memiliki waktu sebentar?"

Si wanita berambut merah muda keemasan itu agaknya lebih memilih untuk bungkam, seperti tengah tenggelam dalam pikiran. Sama sekali ia tak berkata apa-apa, tetapi utuh ia menerima ajakan dari Hansel.

Sementara telunjuknya mulai menulis di atas stoking yang ia kenakan.

Ya, halo.

Entah kenapa sifat rajin mendadak turun setelah praktikum kembali diadakan seperti sebelum UTS. Jadi kedatangan pembaruan karya agak tersendat. Padahal saya berharap kedua karya kesayangan saya ini tamat pada waktu yang ditentukan. *laughs*

Semoga kalian menyukai chapter ini. Jagan lupa memberikan jejak. Apakah ada sedikit keluhan atau komentar? Silakan jabarkan.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

27.3K 1.4K 40
Cie kepo, kalo kepo ayo mampir sini follow dulu syenkk LAPAK BROTHERSHIP NOT BL❌❌❌ ( FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!!! ) ( JANGAN LUPA UNTUK TINGGALKAN...
461 118 13
Adelia Natama Granajaya harus memilih satu laki-laki dari empat pewaris Daha Groups; Flin, Azur, Mazka, dan Emer, untuk menyelamatkan perusahaan kelu...
12.8K 1.7K 40
Melupakan tak mengubah masa lalu. Rengganis Lusiana menulis Kelompok Penunggang Kuda untuk mengenang teman masa kecilnya yang hilang dalam peristiwa...
1.9K 422 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...