Angkasa Tanpa Warna

By sebaitrasa

585K 73.1K 21.8K

[FAMILYSHIP, NO ROMANCE] Karena kamu adalah Angkasa. Yang begitu tangguh di pelukan semesta. Yang datang deng... More

Prolog
Warna 1
Warna 2
Warna 3
Warna 4
Warna 5
Warna 6
Warna 7
Warna 8
Warna 9
Warna 10
Warna 11
Warna 12
Warna 13
Warna 14
Warna 15
Warna 16
Warna 17
Warna 18
Warna 19
Warna 20
Warna 21
Warna 23
Warna 24
Warna 25
Warna 26
Warna 27
Warna 28
Warna 29
Warna 30
Warna 31
Warna 32
Warna 33 (Akhir)
Epilog
Secarik Pesan dari Sudut Langit yang Gelap
In Memoriam, Angkasa Dewangkara
Dari Sabiru...

Warna 22

12.1K 1.8K 680
By sebaitrasa

Kejadian kemarin seolah tidak lagi berarti apa-apa bagi Angkasa. Semua berlalu begitu saja, bahkan Angkasa membuatnya terlihat seperti tidak pernah ada. Padahal, nyaris saja kemarin dia meregang nyawa.

Pagi ini, anak itu kembali menjadi Angkasa yang penuh warna. Senyumnya merekah di antara langkah yang ia bawa keluar dari kamar, sambil sesekali melantunkan nada yang ia hafal di luar kepala. Anak itu benar-benar seperti telah melupakan semua. Seolah kejadian kemarin hanya bunga tidur yang kemudian lenyap ketika ia membuka mata.

Tapi ... sebenarnya Angkasa tidak benar-benar lupa. Ia sadar betul yang kemarin itu nyata. Hanya saja, setelah mendengar seluruh umpat kesal Biru dan mendapatkan kembali akal sehatnya, Angkasa sadar kalau tindakannya kemarin itu gila. Sumpah, itu seperti bukan dirinya.

Jadi, ketika dia bangun pagi ini, dia putuskan untuk menelan bulat-bulat rasa malunya dan bertekad untuk melupakan semua. Anggap saja kemarin Angkasa sedang khilaf.

Langkah ringan Angkasa membawanya berhenti di depan pintu kamar Biru. Tidak ada yang berubah dari sana. Beku pintu itu masih menjadi sesuatu yang terlarang untuknya. Dan Biru masih menjadi Biru yang tidak pernah menganggap hadirnya.

Angkasa terkekeh pelan saat tanpa sadar ingatannya menghadirkan lagi potongan kalimat Biru kemarin. Bahwa ia harus tetap hidup untuk Biru. Untuk menanggung segala benci dan sumpah serapah cowok itu.

Tapi Angkasa tidak peduli. Baginya cukup mengetahui bahwa Biru masih ingin ia di sini. Terlepas dari apa alasan cowok itu memintanya hidup, yang terpenting bagi Angkasa adalah ia tahu kalau Biru membutuhkannya.

Sudut bibir Angkasa terangkat perlahan bersamaan dengan satu hela napas yang terbuang. Anak itu membulatkan tekad, sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar Biru dengan brutal.

"Biru ... Biru ... sekolah, yuk!" pekiknya dengan nada ceria.

Namun, nasib sial memang selalu menimpanya. Siapa sangka pekikan riangnya barusan justru berhadiah lemparan sepatu dari dalam sana. Beruntung ada pintu kayu di depannya. Jadi, lemparan Biru hanya membentur daun pintu dan menghasilkan gaduh yang cukup menyentak Angkasa.

Tapi tetap saja jantung Angkasa rasanya hampir berpindah ke paha.

"Berisik!"

Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk membuat Angkasa merengut di tempat. Benar-benar deh si Biru. Bawaannya ngegas mulu!

"Selow dong, Ru ... masih pagi ini. Jangan sampai kucing tetangga ngacir ketakutan gara-gara lo!"

Tepat seperti dugaannya, kalimat itu tidak mendapat balasan apa-apa. Angkasa bisa mendengar suara gaduh, tapi tidak tahu apa yang sedang Biru kerjakan di dalam sana. Dia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap bisa menebak apa yang Biru lakukan melalui suara yang dihasilkan, tapi tetap saja tidak jelas.

Angkasa mendengkus keras sebelum kembali menyerukan kalimatnya.

"Ru, nebeng lagi, ya? Motor gue masih di bengkel, belum ada duit buat ngambil. Kalau lo mau ngutangin sih nggak apa-apa."

"Males."

"Yaudah, makanya gue nebeng. Ya? Iya pokoknya."

"Enggak!"

"Iya aja lah. Kan satu tujuan juga, Ru."

"Gue bilang enggak ya enggak. Budeg ya lo?!"

Angkasa mencebikkan bibirnya kesal setelah mendengar jawaban Biru. Dia kemudian berbalik dan memilih berlalu dari sana, menghampiri meja makan di bawah hanya untuk mengambil selembar roti yang ia olesi selai, lalu membawanya keluar. Niatnya ingin mencegat Biru di depan pagar dan memaksa cowok itu memberinya tumpangan. Tapi saat matanya menangkap motor milik Biru di garasi, tiba-tiba saja Angkasa berhenti.

Detik itu, rasanya seperti ada bola lampu yang berpijar di kepala dan senyum jahil Angkasa mengembang setelahnya. Dengan cepat dia menghabiskan rotinya, kemudian menghambur menuju tempat motor itu berada. Mata anak itu tampak mengamati sebentar, memastikan pergerakannya aman dari penglihatan siapapun, sebelum akhirnya dia berjongkok di sisi roda dan mulai melancarkan aksinya. Tidak butuh waktu lama sampai roda yang semula menggembung itu berubah menjadi sedatar tanah.

Angkasa tersenyum puas kemudian berlari meninggalkan tempat itu dan berdiri santai di depan pintu. Sedetik setelahnya, sosok Biru muncul dari dalam dengan langkah tenang. Matanya melirik Angkasa sekilas dan dibalas dengan senyuman lebar. Tapi Biru tidak peduli dan segera bergegas menuju garasi.

Sementara Angkasa hanya memerhatikan dari tempatnya. Pekat mata Biru tampak mengamati, membuat jantung Angkasa ikut berdisko menantikan cowok itu bereaksi. Hingga akhirnya Biru menoleh dan menusuk Angkasa dengan tatapannya, membuat anak itu dengan cepat memalingkan muka dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.

Namun, menyadari tatapan Biru yang sama sekali tidak beranjak darinya, Angkasa kembali menoleh untuk kemudian mempertemukan mata mereka.

"Apa?" tanya Angkasa, memulai aktingnya. Tapi sepertinya dia memang tidak dilahirkan dengan bakat akting seperti Dimas Anggara. Buktinya, dalam sekali lihat, Biru bisa langsung tahu kalau ia hanya bersandiwara.

"Nggak usah pura-pura bego! Jangan kira gue nggak tau ini semua kerjaan siapa."

Angkasa menelan ludahnya kasar. Kalimat Biru tajam. Meski sudah terbiasa, tetap saja melihat Biru memasang muka seperti itu rasanya menakutkan.

Angkasa mencoba menanggapi dengan senyuman. Walau dengan begitu amarah Biru justru semakin besar. Terbukti dari bagaimana tatapannya menajam dan kedua tangannya mengepal kencang. Tapi bukan Angkasa namanya kalau tidak punya cara untuk memecah ketegangan. Anak itu justru mendekat pada Biru dengan wajah riang, seolah amarah Biru bukan ancaman.

"Habisnya lo pelit banget, sih. Mau nebeng aja nggak boleh. Hati malaikat gue 'kan jadi tergoda sama bisikan iblis-iblis alay yang maksa gue berbuat jahat."

Niatnya Angkasa mau mencairkan suasana, tapi ia lupa kalau Biru itu serupa dinding di kamarnya. Kaku. Tidak bisa diajak bercanda. Alih-alih tawa, yang Angkasa dapatkan justru kalimat penghakiman yang cukup untuk mengoyak perasaannya.

"Mau lo apa, sih? Gue nyuruh lo hidup bukan buat nyusahin gue. Kalau gue tau hidup lo se-enggak berguna ini, kemarin gue nggak bakal mikir dua kali buat biarin lo mati."

Angkasa terpaku karena kalimat itu. Tapi tidak lama, karena setelahnya dia justru tertawa seolah ancaman Biru adalah sesuatu yang lucu. Ya, anak itu tertawa. Tapi hambar.

"Ya udah, kapan-kapan kalau gue pengin nyoba lagi, lo nggak usah nolongin. Pura-pura aja nggak lihat," jawab Angkasa ringan.

Untuk beberapa saat, raut muka Biru berubah. Garis wajahnya menegang dan rematan tangannya semakin kencang. Jelas sekali cowok itu tidak tenang. Sayang, Angkasa terlalu bersemangat dengan dirinya sendiri sampai tidak menyadari saat dingin mata Biru mencair perlahan.

"Btw, udah siang lho ini, Ru. Kita mau di sini terus ngelihatin ban motor lo yang menyusut sampai bisa ngembang lagi, apa mau jalan sekarang ke sekolah? Jalan aja, yuk! Keburu telat. Telat itu nggak enak lho, Ru. Nanti dijemur di lapangan kaya gue kemarin tuh."

Biru hanya menghela napas sebelum mengeluarkan ponselnya, hendak memesan transportasi online, tapi dengan cepat Angkasa merebut benda itu dan menarik tangan Biru.

"Kelamaan. Naik bus aja buruan!"

Biru hendak melontar penolakan, tapi Angkasa sudah lebih dulu menyeretnya keluar. Hingga keduanya tiba di depan pagar, barulah Biru menghempaskan tarikan anak itu dalam sekali hentakan.

"Nggak usah narik-narik. Lo pikir gue kambing?"

Angkasa hanya tersenyum lebar dan membiarkan Biru melangkah lebih dulu. Tadinya ia pikir cowok itu akan melarikan diri, atau meninggalkannya, tapi ternyata tidak. Dia memang mendahului Angkasa, tapi tidak membentangkan jarak yang terlalu jauh darinya. Cowok itu melangkah tenang tanpa menoleh lagi ke belakang, tidak menghiraukan Angkasa yang mati-matian menahan senyuman.

Tidak ada penolakan. Itu artinya ... Biru bersedia pergi bersamanya.

Halte bus yang mereka tuju rasanya jadi sangat dekat karena Angkasa menempuhnya dengan langkah ringan. Dia membiarkan Biru tetap berada di depan, sementara ia mengekor di belakang. Tidak ada obrolan sepanjang jalan, hanya ada nyaring derap kaki mereka yang bergesekan dengan aspal. Begitu saja sudah membuat Angkasa senang.

Sampai akhirnya, keduanya tiba di halte tepat saat bus datang. Benar-benar tepat waktu sekali. Angkasa mendorong pelan punggung Biru untuk naik lebih dulu lalu ia menyusul setelahnya.

Angkasa sedikit terkejut begitu tiba di dalam dan melihat penumpang yang saling berdesakan. Tanpa sadar, sebelah tangannya berpegangan pada ransel milik Biru. Dia pernah beberapa kali naik bus, tapi tidak pernah dihadapkan dengan suasana sepadat ini. Tidak ada bangku kosong yang tersisa. Bahkan orang-orang yang berdiri pun seperti sudah kehabisan ruang.

Angkasa benar-benar baru tahu kalau angkutan umum Jakarta akan sepadat ini di waktu pagi.

"Permisi. Permisi. Maaf."

Angkasa berusaha menyingkir saat ada seorang wanita menggendong anak kecil ikut berdesakan di dalam bus. Dia sendiri juga kepayahan, tapi dia harus tetap mengutamakan seorang perempuan. Lebih-lebih seorang ibu dengan anak kecil dalam gendongan. Angkasa ingat pesan Ranin bahwa seorang laki-laki harus selalu menjadi pelindung perempuan.

"Silakan, Bu. Ke sebelah sini. Hati-hati anaknya, jangan sampai kena senggol yang dewasa," ujar Angkasa yang langsung dibalas senyuman dan ucapan terimakasih oleh wanita itu.

Dia masih memerhatikan bagaimana punggung wanita itu berusaha mencari celah di antara barisan penumpang, sampai akhirnya fokusnya teralih saat suasana di belakangnya semakin brutal. Beberapa kali kaki Angkasa terinjak, tapi di saat ia ingin bersuara, tubuhnya justru terdorong kasar hingga menubruk punggung Biru di depannya.

"Sory. Yang di belakang bar-bar banget," bisiknya saat melihat tatapan tajam Biru.

"Lo sendiri yang milih naik bus. Sekarang nikmatin aja. Jangan nyesel kalau badan lo kegencet!"

"Ya gue mana tau kalau ternyata sepadat ini, kirain-" Belum sempat Angkasa menyelesaikan kalimatnya, dorongan dari sekitar kembali ia rasakan. Anak itu terhuyung ke depan dan buru-buru mencari pegangan.

"Sini lo!"

Kalimat tajam yang Biru lontarkan detik itu tidak cukup mampu menyembunyikan sesuatu yang tersirat di matanya. Sesuatu yang Angkasa simpulkan sebagai bentuk kepedulian, terbukti dari bagaimana tangan cowok itu melingkar di lengan Angkasa. Lalu, cowok itu mulai mencari celah untuk Angkasa maju, sampai dia benar-benar bisa berdiri di depan Biru. Angkasa berhasil lepas dari dorongan kasar orang-orang itu, berkat bantuan Biru.

Selanjutnya, tidak ada lagi kata di antara mereka. Desakan penumpang lainnya membuat Angkasa terpisah beberapa langkah dari sisi Biru. Anak itu kini berada di depan dengan wajah merah karena suhu udara yang tiba-tiba naik, sementara Biru berdiri tenang di belakang. Hanya sesekali kening cowok itu mengernyit tak nyaman. Selebihnya, ia hanya diam.

Namun, pandangannya tak lepas dari sosok Angkasa di depan. Mengawasi jika sewaktu-waktu anak itu kembali merepotkan.

Ini gila! Biru sepertinya sudah kehilangan kewarasannya sampai dia mau repot-repot pergi bersama Angkasa. Biru tidak tahu kenapa dia tidak menolak saja saat tadi anak itu menyeretnya. Biru juga tidak tahu sejak kapan keberadaan anak itu mampu menarik perhatian matanya.

Benar-benar gila. Bahkan, sejak kejadian kemarin, tidur Biru rasanya benar-benar tidak tenang. Dia terbangun tiga kali sepanjang malam hanya untuk pergi diam-diam ke kamar Angkasa dan melihat anak itu terlelap di ranjangnya.

Biru masih tidak habis pikir, sebenarnya dia kenapa?

Pikiran Biru buyar saat lengannya tersenggol seseorang. Dia menoleh sekilas pada seorang lelaki dewasa yang seenaknya sendiri membelah barisan dan merangsek ke depan. Tadinya Biru tidak ingin peduli, dia bahkan sudah berpaling kembali, sampai telinganya menangkap kegaduhan dari depan. Dengan cepat dia menoleh dan mendapati lelaki tadi dimaki oleh beberapa orang. Juga... Angkasa yang berdiri dengan sedikit kepayahan.

Biru tidak tahu apa yang terjadi, tapi setelah ia mencoba membaca keadaan, ia bisa menyimpukan kalau laki-laki itu baru saja menabrak seseorang. Dan orang itu... Angkasa.

Pekat mata Biru kini tertuju ke sana. Ada yang tidak biasa dari Angkasa. Seharusnya dorongan itu bukan apa-apa. Kalaupun lelaki itu menggunakan tenaga, Biru kira tetap tidak akan sampai membuat seseorang terluka.

Namun, kenyataannya, di depan sana, Angkasa sempat meringis kesakitan. Dan sepertinya, sakit itu berasal dari punggungnya yang kini terhalang oleh orang-orang.

Sisa perjalan menuju sekolah pagi itu hanya Biru habiskan untuk diam dan merenungkan hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. Memangnya sejak kapan sesuatu tentang Angkasa bisa mengambil penuh perhatiannya?

Sampai akhirnya, bus yang mereka naiki berhenti dan Biru segera turun dari sana. Pelan namun pasti, dia akhirnya bisa merasakan panas yang membekapnya sejak awal terbelah oleh udara sekitar. Biru telah terbebas dari desakan manusia yang membuatnya setengah mati tidak nyaman. Dalam hati cowok itu bersumpah, ini akan menjadi yang terakhir kali dia naik bus di pagi hari. Tidak akan ia ulangi lagi.

"Akhirnyaaa ... lolos juga dari neraka. Terimakasih, Ya Tuhan."

Suara itu mengambil alih fokus Biru. Dia memandang Angkasa yang berlari kecil melewati pintu gerbang, lalu menyapa Pak Satpam yang sudah siaga di sana. Matanya menyipit, berusaha membaca sesuatu dari sosok di depannya.

Untuk pertama kali, dia penasaran dengan anak itu. Untuk pertama kali juga, dia ingin membuktikan sesuatu.

Detik itu Biru maju dan berdiri di belakang Angkasa, lalu dengan sekali gerakan, tangan cowok itu terayun menepuk keras punggungnya.

"Anj—jayadi."

Biru membeku dan menyipitkan mata. Reaksi yang Angkasa tunjukkan benar-benar tidak biasa. Sesuai dugaannya. Dan kini Biru mulai mempertanyakan semua.

Namun, sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, suara Angkasa lebih dulu menyela. Menyadarkan Biru dari pikirannya.

"Lima menit lagi masuk, Ru. Gue duluan, ya! Kalau telat masuk bahaya, bisa dijadiin bahan eksperimen sama guru Biologi yang sadisnya nggak ada dua. Dadaaa!"

Angkasa berlalu, setengah berlari dia meninggalkan Biru. Menyisakan cowok itu sendiri di tengah pelukan bisu.

Pikiran Biru melayang lalu jatuh pada satu malam yang sialnya tidak bisa ia lupakan. Biru ingat saat malam itu dia meremas punggung Angkasa dan anak itu menunjukkan ekspresi serupa. Hari ini, sekali lagi, Biru melihat kejadian yang sama.

Kebetulan saja, atau memang Angkasa yang Biru tahu selama ini tidak pernah sesempurna kelihatannya?

☁️☁️☁️

Angkasa tidak tahu apa yang salah, tapi saat ia muncul di depan kelas, gaduh yang semula menggema dari kelas itu seketika lenyap. Semua pasang mata tertuju padanya, tapi Angkasa tidak bisa mengartikan apa maksudnya.

"Halo ... ini masih di bumi 'kan, ya? Kalian juga masih manusia, 'kan? Nggak tiba-tiba berubah jadi alien Pluto?" seru Angkasa dari posisinya, tapi tanya itu hanya menggantung di udara.

Semua kembali sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang menganggap Angkasa ada. Hening itu berlangsung lama, sampai akhirnya sorakan penuh kecewa menggema, memenuhi setiap sudut di sana.

"Yaah ... kenapa lo masuk lagi, sih, Sa? Gue kira lo nggak bakal mau sekolah di sini lagi."

"Iya, gue udah seneng banget padahal."

Angkasa hanya mendengkus keras mendengar kalimat-kalimat itu. Mencoba bersabar meski luka penolakan yang sebelumnya sudah coba ia pendam itu kembali naik ke permukaan. Semua tempat menolaknya. Semua orang tidak menginginkannya. Lalu Angkasa harus pergi kemana?

Pekat matanya menatap lagi wajah-wajah penghuni kelas itu. Sekali lagi dia harus menelan fakta bahwa hadirnya tidak diterima. Tapi... bukankah dia sudah terbiasa? Selama ini dia bertahan dengan baik, kali ini pun, ia yakin akan bisa mengatasinya.

Jadi, Angkasa mencoba tetap mengembangkan senyuman. Karena memang hanya dengan cara itu dia bisa bertahan.

"Nggak tau malu emang."

Kalimat sindiran itu kembali terdengar. Begitu jelas. Tapi Angkasa memilih untuk tidak peduli. Dia berjalan menuju bangkunya di pojok belakang, melewati beberapa siswi yang baru saja memberinya ucapan selamat datang.

Cih! Ucapan selamat datang perut lu ngembang!

"Gue tau diri kok. Takut kalian kangen kalau gue nggak ada," ucap Angkasa setelah berhasil duduk di bangkunya.

Setelahnya, sorakan seisi kelas kembali pecah. Tapi sekali lagi, Angkasa memilih untuk menulikan telinga.

"Iya, iya, tau ... gue emang ngangenin," katanya lagi sebelum melipat tangannya di meja dan membenamkan wajahnya di sana.

Dia tidak ingin peduli apa-apa. Bahkan ponselnya yang bergetar dari tadi pun ia biarkan begitu saja. Angkasa benar-benar sedang tidak ingin berurusan dengan siapa-siapa.

Lagipula, ia tahu darimana panggilan itu berasal tanpa perlu melihat nama.

Ayah.

Angkasa menghela napas panjang dalam diamnya. Dia bisa mendengar kursi di sebelahnya ditarik lalu ditempati oleh seseorang, tapi dia justru mulai memejamkan mata. Menolak dibaca rahasianya.

Satu kali saja, Angkasa ingin menjadi durhaka dengan mengabaikan Ayahnya. Tidak apa-apa, 'kan?

Santai banget kan part ini? 😊 Iyalah.. nyantai lebih enak 🙃

08.11.2019

Republish : 29.05.2020

Continue Reading

You'll Also Like

5.1K 415 17
"Yano Kairi"nama yang bagus bukan? Tapi sayang kehidupannya tidak sebagus dengan namanya.
96.4K 8.3K 46
"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa ya...
Januari By TATA

Teen Fiction

215K 26.8K 31
Katanya, Januari adalah awal. Dan ternyata benar. Januari adalah bagaimana ia kehilangan dan kemudian dipatahkan. Januari adalah bagaimana semesta me...
Jiwa Aksa [END]✔ By hiatus

Mystery / Thriller

4.9K 573 22
[Revisi berjalan] Terkadang kata-kata bisa menjadi sangat berbahaya, bahkan bisa membunuh secara perlahan. Mengalami keadaan hal yang berbeda, merupa...