Angkasa Tanpa Warna

By sebaitrasa

585K 73.1K 21.8K

[FAMILYSHIP, NO ROMANCE] Karena kamu adalah Angkasa. Yang begitu tangguh di pelukan semesta. Yang datang deng... More

Prolog
Warna 1
Warna 2
Warna 3
Warna 4
Warna 5
Warna 6
Warna 7
Warna 8
Warna 9
Warna 10
Warna 11
Warna 12
Warna 13
Warna 14
Warna 15
Warna 16
Warna 17
Warna 18
Warna 20
Warna 21
Warna 22
Warna 23
Warna 24
Warna 25
Warna 26
Warna 27
Warna 28
Warna 29
Warna 30
Warna 31
Warna 32
Warna 33 (Akhir)
Epilog
Secarik Pesan dari Sudut Langit yang Gelap
In Memoriam, Angkasa Dewangkara
Dari Sabiru...

Warna 19

10.9K 1.8K 591
By sebaitrasa

Angkasa masih diam di sisi pintu gerbang ketika semesta mulai menghitam. Dingin angin sore itu bertiup kasar dari sekitar, menyadarkan Angkasa bahwa hujan mungkin akan segera datang.

Cowok itu berdecak kesal dan melirik lagi ke jalanan. Kenapa, sih, ojek online yang dia pesan nggak datang-datang? Tidak tahu apa kalau Angkasa sedang dikejar waktu? Dia harus buru-buru, sebelum kena serangan api lagi dari Biru.

Angkasa baru saja menerima pesan bahwa jam tangan yang ia titipkan tadi pagi sudah selesai diperbaiki, jadi sekarang ia akan menjemputnya lalu pulang sebelum Biru tiba di rumah dan sadar kalau jam-nya menghilang. Pokoknya, apa pun yang terjadi, Angkasa harus tiba di rumah sebelum Biru. Bisa mati dia kalau sampai Biru tahu jamnya sedang dia curi.

Tapi memang semesta dan kawan-kawannya itu tidak pernah berpihak pada Angkasa. Setelah tadi pagi dia terlambat dan harus menerima hujatan darimana-mana, kali ini kesabarannya masih harus diuji lagi oleh ojek online yang sebenarnya sudah ia pesan sepuluh menit sebelum bel pulang menggema tapi sampai sekarang belum datang juga.

Angkasa mendengkus keras, sampai suara motor yang ia kenal mengambil alih fokusnya. Dengan cepat cowok itu menoleh dan mendapati sosok Biru melaju begitu saja, melewati pintu gerbang, lalu melesat di jalanan. Tidak ada yang bisa Angkasa lakukan selain diam sembari memandangi jarak yang anak itu bentangkan.

Sejenak, pikirannya melayang lalu jatuh pada potongan kejadian tadi pagi, saat ia berdiri di tengah lapangan dan menjadi tontonan semua orang. Angkasa ingat bagaimana mata itu ikut menatapnya tajam, serta wajahnya yang sama sekali tidak terpancar rasa kasihan. Di antara kerumunan manusia yang mengoloknya, kehadiran Biru benar-benar menjadi yang paling menyakitkan bagi Angkasa.

Dingin mata itu menusuk lebih tajam dari semua yang ada di sana. Cowok itu tidak mengatakan apa-apa, tapi entah mengapa, hanya dengan melihat hadirnya saja, Angkasa bisa dengan mudah mendapatkan kesakitannya.

Terlebih saat Angkasa melihat cowok itu berbalik lalu pergi begitu saja. Meninggalkan dirinya yang kepayahan, sendirian. Angkasa jelas kecewa, tapi memangnya apa yang ia harapkan dari kehadiran Biru di sana? Pembelaan? Cih! Seluruh caci yang ia terima tadi pagi itu juga hasil dari apa yang telah ia dan Ibunya lakukan pada Biru. Kalau ada yang harus dibela di sini, tentu itu adalah Biru. Bukan dirinya.

Angkasa menarik napas dalam dan membuangnya bersama dingin yang perlahan datang. Hingga satu tepukan di bahu kembali membuat fokusnya teralihkan. Wajah teduh Alva menyambutnya tepat ketika ia menolehkan kepala.

"Nggak bawa motor?" Tanpa basa-basi Alva bertanya. Cowok itu memang tidak suka membuang waktu terlalu lama untuk sesuatu yang sia-sia. Itu juga salah satu yang Angkasa suka dari Alva.

Angkasa menggeleng pelan dan memasang senyuman. Masih senyum yang sama. Senyum yang selalu terlihat nyata, juga penuh dengan warna. Senyum yang hanya bisa ditemukan dalam diri seorang Angkasa.

"Lagi ngambek, minta dielus-elus dulu sama abang bengkel," jawabnya.

Alva hanya mengangguk dan tersenyum singkat. "Mau bareng?"

Pekat mata Angkasa memandang ke seberang jalan sebentar, tepat pada mobil hitam yang ia kenal betul sebagai milik Ibu dari temannya itu, sebelum dia kembali menatap Alva dan menggeleng ringan.

"Nggak usah, duluan aja. Gue udah persen grab, kok."

Ada jeda beberapa saat setelah Angkasa menyampaikan penolakannya. Iba terpancar melalui bagaimana cara Alva menatap Angkasa, tapi cowok itu tidak menyadarinya. Dia justru kembali memerhatikan jalanan, berharap apa yang ia tunggu segera datang.

Sampai kemudian suara Alva kembali mematahkan jeda yang memeluk mereka. Memaksa Angkasa untuk meletakkan perhatiannya ke sana.

"Lo oke, Sa?"

Sejenak, Angkasa terpaku. Dia mengerti betul maksud kalimat itu. Tapi bukan Angkasa namanya kalau dia menjawab lurus-lurus saja tanpa menambahkan lelucon garingnya.

"Enggak. Gue benci nunggu dan sekarang kesabaran gue lagi diuji sama mas-mas ojolnya. Capek hati, capek kaki gue tuh," jawabnya dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat. Namun siapa sangka jawabannya kali ini justru membuat raut muka Alva berubah dalam sekejap.

"Gue serius," sahutnya cepat. Kalimatnya tegas, dan detik itu Angkasa sadar kalau Alva benar-benar sedang tidak ingin mendengar omong kosongnya.

Angkasa berdeham singkat, mencoba mencairkan suasana, sebelum akhirnya dia merangkul Alva dan menepuk dadanya pelan.

"Kalau maksud lo itu yang tadi pagi, tenang aja, gue udah kebal, kok. Buktinya gue masih di sini sekarang. Kalau mental gue lemah, udah kabur dari dulu kali gue," ucapnya dan diakhiri dengan tawa. "Udah sana cabut. Nyokap lo lumutan tuh, lo-nya kelamaan."

Alva hanya bisa menghela napas. Ia tahu betul bagaimana Angkasa. Anak itu punya banyak sekali rahasia yang tidak bisa ia baca. Tawa jenaka anak itu adalah senjata paling ampuh untuk menutup semua. Kalau sudah begitu, Alva tidak bisa melakukan apa-apa. Mendesak pun percuma, dia yakin Angkasa tidak akan terbuka padanya.

Pada akhirnya, yang bisa Alva lakukan hanya mengembangkan senyuman. Berusaha percaya meski ia tahu apa yang Angkasa katakan tidak sepenuhnya sejalan dengan apa yang ia rasakan. Dia mulai mengambil langkah, tepat setelah Angkasa menarik diri dari sisinya dan mendorong pelan punggungnya agar segera menjauh dari sana.

"Yaudah, gue duluan." katanya.

"Iya. Hati-hati di jalan, Alva. Patuhi rambu lalu lintas dan jangan ngebut! Ingat, keselamatan lebih penting daripada kecepatan. Lebih baik terlambat sedikit, daripada sampai rumah tinggal nama doang. Selamat jalan.." ucap Angkasa menirukan gaya Pak Mulyo, guru Agama mereka yang rajin menasihati murid-muridnya agar selalu berhati-hati dalam berkendara.

Katanya, hidup itu sekali begitu pula mati. Kalau mereka mempertaruhkan nyawa di jalanan dan apesnya bertemu malaikat Izrail yang kebetulan sedang menjalankan tugas, maka habislah mereka. Mau nangis sambil guling-guling di aspal sekalipun, nggak akan bisa kembali ke dunia kalau mereka sudah bertemu dengan sang pencabut nyawa.

"Yang nyetir nyokap gue, bangsul! Kenapa lo jadi ceramah ke gue?" sahut Alva.

Angkasa cuma nyengir kuda lalu membungkuk hormat pada Ibu Alva yang tersenyum padanya di seberang jalan sana.

"Ya nanti ceramah gue lo sampein ke nyokap lo lah. Jangan lupa pake logat khas Pak Mulyo biar meyakinkan."

"Bodo amat, Sa. Gue cabut."

Tawa Angkasa mengiringi langkah Alva menjauh dari sana. Dia melambaikan tangannya ke udara ketika sekali lagi Ibu Alva tersenyum padanya dari balik kaca, sebelum akhirnya mobil itu melaju dan menghilang dari pandangan Angkasa.

Bersamaan dengan itu, ojek yang daritadi dia tunggu akhirnya tiba. Angkasa sudah siap naik, saat tiba-tiba ponsel di saku jaketnya bergetar. Sejenak, punggung Angkasa menegang. Membaca nama di sana berhasil membuat ketenangannya buyar.

"Bentar ya, Mas," ucapnya yang hanya dibalas anggukan.

Ada jeda beberapa detik yang Angkasa habiskan hanya untuk diam dan mengumpulkan keberanian, sebelum akhirnya dia putuskan untuk menggeser tanda warna hijau di layar. Ketakutannya muncul perlahan, tapi percuma, ia tidak bisa menghindar. Tidak ada pilihan lain selain menjawab panggilan itu sekarang.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Angkasa membawa ponselnya ke telinga. Satu helaan napasnya terbuang perlahan, bersamaan dengan mengalunnya suara familiar dari seberang.

"Ke sini, sekarang!"

Tidak ada penekanan, tapi Angkasa tahu kalimat itu tidak menerima bantahan. Tegas yang menguar di sana sudah cukup untuk membuat Angkasa paham bahwa dia tidak punya pilihan selain mengiyakan. Karena dari awal, hidupnya memang tidak pernah memiliki banyak pilihan.

"Iya," katanya kemudian.

Setelah itu panggilan dimatikan sepihak tanpa Angkasa perlu repot-repot berpamitan. Dia terdiam sejenak setelah hening kembali menenggalamkan suara familiar di seberang, sebelum akhirnya dia mengembuskan napas kasar dan berpaling kemudian.

"Ke tempat reparasi jam dulu ya, Mas. Habis itu lanjut ke Jalan Pemuda," ucap Angkasa sembari memakai helm yang diangsurkan padanya. Kemudian, setelah memposisikan dirinya dengan nyaman di boncengan, dia kembali berujar pelan.

"Patuhi rambu lalu lintas dan jangan ngebut ya, Mas. Ingat, keselamatan lebih penting daripada kecepatan. Lebih baik terlambat sedikit, daripada sampai rumah tinggal nama doang. Berangkat!"

☁️☁️☁️

Dingin menguar saat Angkasa kembali memijak lantai rumah itu. Gelap karena mendung di luar sudah merambat sampai ke dalam, namun penerangan di dalam rumah sederhana itu masih belum dinyalakan. Angkasa mencoba memberi salam lalu berjalan menuju saklar lampu yang sudah ia hafal, namun yang ia dapatkan sama sekali bukan sambutan. Lebih tepatnya, tidak ada yang menyambut kedatangan Angkasa.

Cowok itu melangkah perlahan, berusaha masuk lebih dalam. Ia tahu betul kemana harus menuju setiap kali ia datang. Aroma tembakau menyeruak, dan itu artinya, Angkasa sudah sampai. Dia menghentikan langkah, tepat setelah matanya berhasil menangkap punggung tegap seorang lelaki yang berdiri di sisi jendela dengan rokok terselip di antara jemarinya.

"Yah," panggil Angkasa pelan.

Lelaki itu menoleh dan seketika berhasil membuat tubuh Angkasa kembali menegang. Wajah itu datar, bulu halus tumbuh di sekitar dagunya, namun tatapannya tajam. Ketika mata keduanya beradu, Angkasa sama sekali tidak bisa menemukan kehangatan. Bahkan dari awal, yang bisa Angkasa temukan dalam diri lelaki itu hanya tegas dan mata yang sarat akan ancaman.

Namun, memang seperti itulah yang Angkasa kenal. Seperti itulah sosok Hendrawan. Ayah kandungnya.

"Lama banget. Mampir kemana dulu kamu?"

Angkasa semakin mengeratkan rematan tangannya saat lelaki itu akhirnya membuka suara. Hubungan darah di antara mereka ternyata tidak cukup mampu untuk membuat Angkasa merasa nyaman di hadapan Ayahnya sendiri.

"Maaf, Yah ... aku mampir tempat servis jam tangan dulu sebentar."

"Ngapain?"

Main bola. Ya umumnya aja, orang kalau ke tempat servis jam tangan ngapain? Pasti ada yang dibenerin lah. Nggak mungkin ke sana minta diajarin nendang bola ke gawang.

Tentu saja kalimat itu hanya Angkasa pendam. Gila saja! Cari mati namanya kalau dia sampai berani bicara begitu di depan Ayahnya.

"Benerin jam, Yah," jawab Angkasa.

Hendra menyesap rokoknya sekali lagi dan membuang asapnya ke udara, kemudian melangkah perlahan menghampiri Angkasa. Aroma tembakau yang menyesakkan itu semakin tajam seiring terpangkasnya jarak di antara mereka, tanpa sadar membuat Angkasa menekan bibir dalamnya.

Lelaki itu terdiam lama di hadapan Angkasa, tapi Angkasa tahu, tidak ada yang baik dengan diamnya seorang Hendra. Jadi, tanpa diminta, alarm di kepala cowok itu seolah menyalakan tanda bahaya.

"Mana uangnya?"

Sudah Angkasa duga, lelaki itu mengundangnya datang dengan alasan yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada alasan lain Hendra memanggilnya selain karena uang.

Jujur saja Angkasa kecewa. Tidak bisa dipungkiri, perasaannya terluka. Hendra hanya menginginkan uangnya, sementara dia selalu datang membawa rasa hormat serta rindunya terhadap lelaki itu. Namun sebagai seorang anak, Angkasa jelas mengenal Ayahnya. Dia tahu bagaimana Hendra. Dia tahu seperti apa posisinya di mata lelaki itu. Anak yang tidak pernah lelaki itu inginkan.

"Kamu bawa uang, kan? Mana, sini kasih ke Ayah!" Suara Hendra detik itu berhasil menarik paksa kesadaran Angkasa. Buru-buru cowok itu mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang kepada Hendra.

Namun, ekspresi lelaki itu berubah dalam sekejap. Aura gelap yang menyelubunginya sejak awal semakin pekat. Angkasa menelan ludahnya kasar, berharap kalimat tajam penuh penghakiman itu tidak lagi ia dengar.

"Apa-apaan ini? Kamu mau main-main sama Ayah?"

Tapi sia-sia. Doa yang Angkasa panjatkan barusan sepertinya hanya menguap di udara. Bentakan itu kembali ia terima. Sudah terlalu biasa, tapi entah mengapa rasanya Angkasa masih tidak bisa terbiasa.

"Enggak, Yah,"

"Terus ini maksudnya apa? Ayah udah bilang sama kamu kemarin 'kan, bawakan Ayah uang yang cukup untuk Ayah pakai selama satu bulan. Kenapa yang kamu bawa uang recehan?"

"Cuma itu yang aku punya. Tadi udah kepakai buat biaya benerin jam tangan Biru yang nggak sengaja aku rusakin."

"Ya kamu minta lagi lah. Papa tiri kamu itu 'kan kaya, manfaatin dong kekayaannya. Nggak akan habis juga duit dia kalau cuma kamu minta beberapa."

"Aku nggak enak minta uang terus sama Papa Praja, Yah. Bulan ini aku udah dikasih, dan seminggu yang lalu udah Ayah minta. Aku nggak mungkin minta lagi."

"Bodoh! Punya orang tua kaya raya itu dimanfaatin. Dia 'kan udah nikahin Mama kamu, harus tanggung jawab juga dong sama kamu. Kalau dia nggak mau kasih kamu uang, suruh aja dia ceraikan Mama kamu. Lagian harta dia juga masih banyak."

"Tapi kalau Ayah minta terus, lama-lama juga bakal habis," gumam Angkasa, tidak cukup pelan sampai Hendra masih bisa mendengarnya.

Mata lelaki itu menajam dan rahangnya mengatup perlahan. Amarah tergambar jelas melalui bagaimana dia menjatuhkan sisa rokoknya ke lantai dan menginjaknya hingga padam.

Demi Tuhan, Angkasa tidak bermaksud memancing keributan. Dia hanya berusaha menyampaikan kejujuran. Tapi sayang, sepertinya ia lupa kalau Ayahnya adalah orang yang tidak pernah mentolerir penolakan. Membantah Hendra sama saja seperti mengibarkan bendera perang. Dan Angkasa baru saja mengibarkan benderanya di depan mata lelaki itu.

"Coba ulangi sekali lagi. Ayah nggak dengar," titahnya pelan. Tidak ada bentakan, tapi Angkasa tahu, kalimat itu adalah ancaman.

Cowok itu memilih diam, meski ia tahu semuanya percuma, dia sudah terlanjur menyalakan api dan ia yakin Hendra tidak akan membiarkannya padam begitu saja.

"Ayah bilang ulangi sekali lagi! Ayo ngomong! Kenapa diam aja?" Bentakan itu kembali menggema, jauh lebih keras dari sebelumnya. Tapi Angkasa justru menggelengkan kepala.

"Maaf, Yah."

Lelaki itu terkekeh, dan Angkasa bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Hendra berjalan ke sudut ruangan, mengambil penggaris besi yang cukup besar, lalu kembali ke hadapan Angkasa dengan amarah yang membara.

"Lepas jaketmu!"

Angkasa menggeleng ketakutan. Dia menatap lelaki itu tepat di mata, berharap belas kasih dari sosok yang selama ini dia hormati sedemikian tingginya. Tapi sekali lagi, semuanya percuma. Dia tidak pernah berarti apa-apa di mata Hendra.

"Enggak, Yah ... aku mohon. Aku minta maaf."

"Lepas Ayah bilang!"

"Ayah-"

"Sini kamu!"

Kesabaran Hendra habis. Dengan brutal dia mendekat dan menarik ransel Angkasa, lalu melepas paksa jaket yang Angkasa kenakan, menyisakan seragam putih yang mengekspos jelas tubuh kecilnya.

Tangan besarnya mendorong anak itu hingga jatuh berlutut di lantai, lalu tanpa iba dia mulai memukulkan penggaris besinya ke punggung Angkasa.

"Anak kurang ajar! Nggak ada hormat-hormatnya sama orang tua. Gimanapun juga Ayah pernah membesarkan kamu! Mana rasa terimakasih kamu sebagai anak? Dasar nggak berguna! Sama aja kamu kayak Mamamu," pekik Hendra sembari memukulkan penggarisnya. Amarah lelaki itu lepas, terbukti dari bagaimana pukulan itu semakin keras setiap detiknya.

Sementara Angkasa hanya bisa memejamkan mata, mati-matian dia menahan rintihannya. Luka yang sebelumnya ia dapatkan dari lelaki itu bahkan belum sembuh benar, dan kini luka itu seperti ditaburi garam. Perih menjalar di setiap pukulan yang Hendra ciptakan. Rasa panas membakar punggungnya, lalu pelan-pelan merambat ke dadanya. Hatinya sakit, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Sakit, Ayah ...."

Ingin rasanya Angkasa berteriak, meluapkan kesakitannya, tapi ia tahu, Hendra akan semakin gila jika sedikit saja ia berani bersuara.

Maka, yang bisa Angkasa lakukan hanya diam dan membiarkan dingin benda itu menghantam punggungnya tanpa jeda. Berkali-kali dia meringis, tapi dengan cepat mengatupkan kembali mulutnya. Apapun yang terjadi, dia tidak boleh bersuara.

"Ini hukuman karena kamu berani ngelawan Ayah."

Terakhir, kaki besar Hendra menendang punggung Angkasa, membuat anak itu tersungkur di lantai. Pukulan itu berhenti, tapi tidak dengan rasa sakitnya. Setelah Hendra membanting penggaris besinya ke lantai, Angkasa justru merasa tarikan napasnya semakin menyakitkan. Seperti tidak ada lagi udara untuk ia hela di sana.

Selanjutnya, Hendra mulai membanting apa saja yang ada di sekitarnya. Menendang apapun yang ada di depan mata. Ransel Angkasa pun ikut menjadi sasaran lelaki itu meluapkan amarah. Namun dengan cepat Angkasa meraih benda itu dan memeluknya erat. Hendra boleh menghancurkan apa saja, tapi tidak dengan satu benda di dalam sana. Jam tangan Biru, yang telah ia perjuangkan sedemikian rupa.

Walau dengan begitu, punggung Angkasa harus kembali menjadi pelampiasan Hendra. Tidak apa-apa. Yang paling penting, barang milik Biru baik-baik saja.

Angkasa bisa mendengar Hendra berteriak frustasi, sebelum akhirnya meninggalkan Angkasa seorang diri. Suara bantingan pintu menggema dan setelahnya semua kembali hampa. Hanya ada suara rintihan Angkasa, bersama sisa keributan yang Ayahnya ciptakan di sana.

Cowok itu kembali memejam sembari mengeratkan rematannya pada ransel hitam dalam pelukan. Bersamaan dengan itu, hujan di luar mulai berjatuhan. Rinainya membentuk nada yang selalu Angkasa rindukan. Namun kali ini, semua terasa menyesakkan.

Lalu, salah satu memori yang Angkasa simpan di kepalanya kembali terbuka. Hari itu, saat ia dan Biru saling meninggikan suara di bawah hujan. Hari dimana untuk pertama kali Angkasa merasa riuh hujan tidak lagi menenangkan.

Kini, suara Biru malam itu kembali menggema. Seolah ikut membuka luka yang selama ini ia coba pendam dari semesta.

"Ngomong emang gampang, karena lo nggak tau gimana rasanya. Sekarang gue tanya, pernah nggak lo dipukul sama bokap lo sendiri? Pernah nggak, lo ngomong, tapi nggak ada yang peduli?"

"Lo nggak tau. Jadi jangan sok tau!"

Angkasa tersenyum pedih dalam pejamnya. Kemudian dengan suara pelan, dia bisikkan kalimatnya pada dingin yang menguar diantara tangis semesta di luar sana.

"Gue tau, Ru. Gue tau."

03.11.2019

Republish : 23.05.2020

Continue Reading

You'll Also Like

160K 22.4K 48
Summary : Mencoba bangkit setelah berusaha membunuh dirimu sendiri bukanlah hal yang mudah. Samudra harus benar-benar berusaha keras mengembalikan wa...
6.2M 267K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1.4M 63.9K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
96.5K 8.3K 46
"Pada akhirnya, gue kalah dari semesta." Disaat dirinya mati-matian berjuang, namun semesta justru menolak, menyuruhnya untuk menyerah. Lantas apa ya...