Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 2.3

113 33 60
By monochrome_shana404

Mendapati Kirika yang begitu tergesa-gesa menghampiri Jason, Akira ikut melangkah dengan segan. Android itu juga memandangi Kirika yang sedikit membungkuk kala Jason memeluknya singkat seusai keduanya berjabat tangan.

"Senang bertemu denganmu kembali. Kupikir kau tidak akan datang mengingat kabar bahwa perusahaanmu tengah sibuk dengan proyek baru," kata Jason kala mereka akhirnya melepas pelukan.

Senyum samar Kirika pasang demikian mereka bertatap-tatapan. Tangan yang masih berjabat kemudian saling melepas diri di kala Kirika mulai menegakkan tubuh.

Lantas Kirika berujar setelahnya, "Paman bilang akan sangat disayangkan jika saya harus melewatkan pesta selebrasi dari Howard Corp. untuk yang ketiga kalinya. Saya pikir beliau ada benarnya. Maka saya memutuskan untuk tidak akan mengecewakan Anda yang telah mengadakan pesta besar ini."

"Ah, begitu? Ya, ya. Aku ingat kau tidak datang beberapa kali karena sibuk dengan studimu di Inggris, benar?" balas Jason, kemudian ia sambung dengan kekehan singkat. "Kuharap kau mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Mengurusi ini dan itu agaknya sangat merepotkan, begitu?"

Wejangan repetitif yang sering telinganya tangkap tak disangka sampai ke Amerika. Kirika bahkan hanya bisa mengendikkan bahu sembari menahan diri untuk tidak mendengkus di antara senyum yang masih ia pertahankan.

Tak lama pandangan manik Jason yang serupa warnanya dengan abu rokok tercuri kepada Akira yang sudah berdiri membelakangi Madam-nya. Si android mengerjap, tersenyum lalu setengah membungkuk guna menyapa Jason.

Sebisanya kembali Jason tersenyum ramah kala ia membalas sapaan Akira. Maka ia kembali kepada Kirika yang masih berfokus kepadanya.

"Tak kusangka kau akhirnya membawa pendamping menemanimu datang kemari."

Ujaran Jason hampir sukses menggoda Kirika untuk mendengkus di antara senyum yang masih ia pertahankan. Wanita itu kemudian menoleh pada Akira, tidak begitu utuh. Namun, cukuplah untuk mengerling kepada si android, mendapatinya tersenyum polos.

"Sayang sekali jika Anda berprasangka demikian. Saya tak lebih dari asisten Nona Alford." Kemudian dengan sopan ia pun menundukkan kepala sebelum melanjutkan, "Mohon maaf sebab telah menginterupsi. Salam jumpa, Tuan Howard. Perkenalkan, saya Akira Kurihara."

Sekali lagi Jason terkekeh. Suaranya terdengar nyaris menggelegar ke seluruh lorong yang hampa tak berpenghuni. Karena suara Jason, resepsionis yang masih bertahan di tempat bahkan terlonjak jantungnya. Kirika sendiri hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak memijat pelipis.

Kekehan Jason yang kemudian menyempatkan diri mengaku bahwa ia bergurau, sempat membuat Akira berkedip-kedip. Tapi pada akhirnya si android tertawa polos seusai kepalanya sukses mencerna lelucon dari Jason.

"Omong-omong, suasananya terasa semakin membosankan, ya. Sudah saatnya bagiku untuk mengantarkan kalian ke kamar. Aku sudah menyediakan kamar dengan pemandangan yang bagus. Mari, ikut aku."

Akira dan Kirika menurut.

Sesungguhnya kegiatan ini merupakan yang ditunggu-tunggu oleh Akira. Dia sangat senang dengan kegiatan jalan-jalan. Lagi, hotel milik Jason juga sukses menarik perhatiannya untuk mengeksplorasi tempat itu lebih jauh.

Tepat di belakang meja resepsionis dalam jarak beberapa meter, terdapat dinding kaca. Terdapat pintu putar. Seseorang tak dikenal baru saja ke luar dari sana bersamaan di kala mereka masuk.

Benar dugaan Akira bahwa bangunan kedua dikelilingi oleh gedung utama yang hanya memiliki dua lantai. Terlihat bangunan itu benar-benar terlihat lebih tinggi ketika mereka melangkah semakin dekat padanya. Di sini, para penginap juga terlihat tengah duduk di sekitar kafe dan juga supermarket yang disediakan di sini. Tak sedikit dari mereka mengambil beberapa potret foto di dekat pancuran yang memiliki patung wanita sedang menuang air dari kendi.

Lantai-lantai di halaman telah diberikan keramik, beberapa jarak diselingi oleh bagian yang diisi dengan kerikil-kerikil cantik dan telah ditutup oleh kaca. Bunga-bunga musim semi ditanam menghiasi pinggiran pembatas menuju bangunan tinggi. Akira mendapati kolam yang mengelilingi bangunan di sana, tepatnya memisahkan bangunan tinggi dan halaman belakang gedung utama.

Ada empat jembatan yang mengarah ke bangunan tinggi. Jembatan-jembatan tersebut dibangun dengan kaca yang kuat. Karena air kolam yang begitu jernih, Akira menyempatkan diri untuk menunduk, sekedarnya hanya ingin melihat ikan hias yang berkerumun, berenang mengitari kolam.

Jason sempat menyinggung topik mengenai desain hotel. Sesungguhnya, ia memesan desain dari anak bungsunya, Lilia Howard. Belia yang baru beranjak dewasa itu menyanggupi setelah sang ayah berjanji untuk membayar hasil desain tersebut.

Di dalam kepalanya, Akira memuji keahlian Lilia. Dirinya jadi sedikit penasaran akan sosok yang telah menciptakan desain hotel ini, maka ia menyempatkan diri bertanya persis ketika mereka memasuki gedung.

"Dia akan datang saat pesta selebrasi tiba," terang Jason di kala Akira bertanya. "Mungkin kau bisa menanyakan hal-hal yang membuatmu tertarik dengannya nanti."

Senyum bangga terukir jelas di wajah Jason di kala ia menoleh pada Akira. Si android justru berterima kasih.

Akira yakin, Jason amat sangat menyayangi Lilia.

Masih belum selesai perjalanan kecil ini.

Semula mereka disambut oleh lorong yang mengarahkan mereka kepada aula utama. Ada bagian lantai yang sekedarnya diberikan kaca, kembali memperlihatkan para tamu ikan-ikan yang terpelihara di kolam. Tak banyak hal menarik selain beberapa patung setinggi lutut yang disusun keliling di dekat dinding, juga ditemani oleh lukisan-lukisan tiruan dari para pelukis ternama.

Betapa pun, perpaduan emas dan putih gading lengkap dengan corak-corak berwarna cokelat mengilap setidaknya cukup memanjakan mata. Tengah gedung terdapat dua lift dengan bentuk tabung transparan. Kirika menduga seluruh kamar di gedung ini tersedia di lantai dua hingga lantai teratas. Mereka dipandu ke lift kemudian.

Sesampai di lantai yang dituju, mereka diarahkan ke kamar masing-masing.

"Kupikir tur kecilnya sudah cukup sampai di sini. Kalian bisa meminta ditemani pelayan jika ingin berjalan-jalan lebih lanjut," kata Jason.

"Terima kasih banyak karena sudah berkeinginan mengantarkan kami sampai di sini, Tuan Howard. Seharusnya Anda tak perlu repot-repot." Kirika akhirnya bersuara.

"Akan lebih menyenangkan jika kita berbincang sedikit," balas Jason. Kemudian dia melirik Akira sejenak sebelum android itu menangkap tatapan dari manik abunya. Jason kembali memandang Kirika dan melanjutkan, "Kadang-kadang kau harus belajar dari Tuan Kurihara dalam hal menikmati perjalanan kecil, kau tahu?"

Yang dibicarakan justru tertawa kecil. "Banyak hal yang ingin saya pelajari, Tuan. Tempat ini sangat menarik. Barangkali saya akan betah jika tinggal di sini."

Jason tertawa. Sayang, di kala ia hendak menanggapi ucapan Akira, ponselnya menginterupsi dengan suara nada dering yang berbisik. Sebentar ia meminta izin untuk menggunakan ponsel, menyempatkan diri untuk membaca pesan pendek yang baik Kirika dan Akira tak tahu apa isinya.

"Ah, sepertinya aku harus pergi. Ada beberapa hal yang harus kuurus untuk pesta selebrasi besok," katanya kemudian sembari ia kembali mengantongi ponsel. "Barang-barang kalian akan diantarkan jika kalian sudah masuk ke kamar masing-masing, jadi tak perlu khawatir.

"Omong-omong jangan sungkan-sungkan untuk melakukan apa saja. Bersenang-senanglah, kalian memerlukannya sebelum kembali bekerja."

Maka Jason pun berlalu meninggalkan Kirika dan Akira. Demikian punggung pria itu menghilang dari pandangan, Akira tersenyum sembari ia melirik Kirika. Dia sudah mendapati sang Madam telah menyurutkan senyum samarnya.

Tak perlu membalas tatapan androidnya, Kirika sendiri sudah merasa risih. Dadanya bahkan agak sedikit membusung, hanya saja tidak terang-terangan ia mengembuskan napas.

Berakhir ia kembali bersuara, masih saja tak mau memandang Akira, "Apa?"

"Tidakkah Anda mendengarkan saran dari Tuan Howard agar Anda mau sedikit bersantai?"

"Aku mendengarnya," kata Kirika sembari melangkah menuju kamarnya seusai ia menatap angka kunci. "Sayangnya, mereka sudah keluar lewat telinga kiri."

Tidak ada yang bisa Akira lakukan selain tertawa canggung menanggapi ucapan tersebut.

Hampir dengan rentang waktu yang berdekatan, serentak Kirika dan Akira membuka pintu kamar. Bahkan suara pintu tertutup saling bersambungan setelahnya.

Langsung saja Kirika melangkahkan kaki menuju jendela. Maniknya seolah menuntut pembuktian dari Jason yang menjanjikan pemandangan bagus untuk mereka.

Teringat Kirika kepada percakapannya dengan Jason kala mereka melakukan tur kecil sebelumnya, pesta selebrasi akan diadakan tepat di aula dari gedung utama yang bertempatan di bagian belakang.

Sulit untuk mendapati pemandangan dari tempat tersebut di sini, tentu saja. Namun manik delima itu tak lama menangkap sebuah rumah kaca yang berhiaskan tanaman menjalar di tiap-tiap tepi dinding kacanya. Posisinya tak begitu jauh dari gedung utama. Juga terdapat taman cantik yang cukup luas.

Sedikit tertarik dirinya kepada tempat tersebut. Bahkan dia terpaku cukup lama hanya untuk sekedar melihat-lihat dari kejauhan. Pun, ia sempat mendapati dua tukang kebun. Yang satu tengah menyirami tanaman, sementara yang lain tengah memotong dedaunan yang sudah sedikit lebih tinggi dari kawanannya.

Banyak bunga yang bermekaran menghiasi taman. Belum lagi air jernih dari kolam yang dihimpit oleh dua gazebo. Gazebo itu diberikan jarak, terhubung oleh jembatan. Atapnya juga berhiaskan tanaman rambat.

Sesungguhnya Kirika cukup tertarik untuk mendatangi taman hotel. Dia sendiri penasaran sihir macam apa yang kali ini Lilia ciptakan kala mendesain tempat tersebut.

Tak lama bel kamar berbunyi, mengusik kegiatan Kirika yang masih menikmati pemandangan. Segera ia melangkah menuju pintu, mendapati pelayan yang tengah berdiri di sana. Kirika hanya membukakan pintu sedikit, setidaknya cukup untuk menampakkan kepalanya.

Dia hanya berbincang sebentar. Setelahnya ia memasukkan koper-koper yang telah dibawakan si pelayan ke kamar.

Namun, tepat sebelum dirinya masuk, sebuah suara membuat aksinya terhenti.

"Kirika?"

Sesegera mungkin Kirika menoleh ke sumber suara. Elizabeth Stanford berdiri di sana.

"Kirika, 'kan?" Sekali lagi suara lembutnya memastikan.

Lantas Elizabeth langsung melangkah cepat di kala Kirika membuka pintu kamar lebih lebar. Dia sendiri mengizinkan Elizabeth menghamburkan pelukan padanya.

"Senang akhirnya bertemu denganmu. Apa kabar?"

Kirika melepas pelukan. Dipandanginya manik biru Elizabeth yang berbinar penuh semangat sebelum ia menjawab. "Saya baik-baik saja. Bagaimana dengan Anda serta Tuan dan Nyonya Stanford?"

"Kami baik! Sayangnya Ibu tidak bisa hadir ke pesta selebrasi kali ini. Nenekku sedang sakit, Ibu tidak bisa membiarkannya sendiri di London," kata Elizabeth. "Omong-omong kau menyukai kosmetik yang kuberikan padamu? Kuharap kau mengenakannya besok malam."

"Saya menyukainya, terima kasih."

"Aku baru saja hendak mengajakmu ke taman hotel ini. Tapi tampaknya kau baru saja sampai, betul? Bagaimana jika siang nanti kita minum teh di sana? Aku akan menjemputmu jika kau sudah selesai."

Hampir-hampir Kirika mendengkus menatap Elizabeth yang tidak jauh berbeda dengan Akira ketika emosinya meledak-ledak dan cara bicaranya yang cepat. Wanita yang baru menerima jabatan CEO dari perusahaan keluarganya ini memang selalu berperilaku demikian di kala ia mendapati suatu hal yang menarik.

Tapi tampaknya tidak ada pilihan bagi Kirika untuk menerima ajakannya. Dia sendiri berakhir mengangguk mengiyakan undangan kecil dari Elizabeth. Sontak wanita bertubuh kecil itu bersorak girang.

"Baiklah! Aku akan menghubungimu lagi nanti, oke?"

Begitu Elizabeth selesai berujar, ia berlalu begitu saja menuju kamarnya. Tanpa dirinya tahu, Kirika sudah menggeleng-gelengkan kepala tepat sebelum masuk ke kamar.

Sementara Akira yang sukses menangkap suara percakapan yang terdengar samar hanya tersenyum di balik pintu. Ya, bukan suatu hal sulit bagi Akira menguping percakapan antara Elizabeth dan Kirika barusan.

Kelihatannya keberuntungan berpihak jelas kepada si android kali ini.

"Barangkali keberadaan Nona Stanford akan benar-benar mengalihkan Madam dari pekerjaan sebentar," gumamnya mulai bermonolog sembari ia mendorong kopernya ke dekat nakas. "Nah ... tampaknya semua akan berjalan baik-baik saja."

Tanpa sengaja, bayangan yang terpantul dari cermin rias mencuri pandangnya. Senyum ia rekahkan. Hanya saja kali ini terlihat lebih samar bersamaan kala ia berkedip.

"Semoga begitu."

~*~*~*~*~

Mengingat cukup banyak relasi yang ia undang, Jason menerka-nerka siapa saja yang sudah hadir malam ini. Beberapa tugas yang belum dapat ia selesaikan membuat dirinya tidak dapat kembali ke hotel sekarang.

Untungnya dia dapat memercayakan segalanya kepada Hansel. Dikabarkan ia tengah menjamu beberapa orang, terkadang juga mengkabarkan siapa saja yang sudah tiba di hotel.

Baru saja Jason menghabiskan rokoknya. Lantas seusai ia membuang puntung ke tong sampah, ia melangkah masuk menuju gedung kantor utama dari perusahaannya. Langkah pria itu mengundang pandangan para penjaga keamanan menoleh.

Senyum ramah tentu Jason ukir guna menyapa mereka. Sengaja ia perlambat langkah sebab di antara mereka sangat senang berbasa-basi.

"Memerlukan sesuatu di dalam kantor, Pak?" tanya salah satu dari mereka.

"Begitulah. Masih ada banyak hal yang mesti kuurus meski besok pesta selebrasi sudah mulai."

Yang tadi bertanya menyunggingkan senyum, hal yang dihafal Jason bahwa percakapan secepatnya berakhir. Maka Jason melangkah masuk sembari melaungkan tawa kecil.

Agaknya tak perlu banyak-banyak membuang waktu untuk mengedarkan pandangan terhadap aula utama yang senggang. Jam kerja sudah lama usai beberapa waktu lalu. Bahkan meja resepsionis sudah tak berpenghuni. Jason menggunakan lift, melewatkan beberapa lantai hingga ia mencapai lantai puncak.

Tak membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai kantor. Jason berhenti tepat di depan pintu yang tidak jauh dari lift. Kala pintu kantor ia buka, tiada satu pun yang menyambut dirinya selain pemandangan gelap.

Juga senandung Masquerade Waltz yang seolah menggema ke telinga.

Sama sekali Jason tidak salah dengar. Merupakan sebuah hal yang tak biasa baginya, mengingat ia tak pernah menyalakan musik di kala ia sedang bekerja.

Sebisanya manik tua Jason menerawang dalam gelap. Cukup awas ia untuk menyalakan lampu sekarang. Konon lagi ia mendapati kursi putarnya yang persis membelakangi dirinya.

Sesungguhnya, dalam hati Jason bertanya-tanya apa saja yang tengah para penjaga keamanan kerjakan sehingga seseorang dengan mudah lolos berkunjung kemari. Lagi, tanpa seizinnya sama sekali.

Demikian adrenalin Jason kian memburu. Barangkali di dalam dada yang sudah terlanjur sesak itu juga muncul keberanian. Mulailah dia mengambil langkah dengan hati-hati. Sama sekali kakinya terlupa bahwa mereka tengah berpijak kepada karpet yang utuh menutup lantai, yang sesungguhnya benar-benar cukup untuk meredam suara langkah.

"Siapa di sana?"

Ya, akhirnya tenggorokan yang sempat tercekat oleh pengaruh adrenalin itu melontarkan tanya.

Hanya saja ... tampaknya yang sedang berhuni di sana masih sengaja menutup telinga. Suara baritonnya yang bersamaan terdengar manis—jika Jason berpendapat—masih saja tak acuh kepada secercah cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Tetap dirinya menyenandungkan lagu yang sama, barangkali tengah berpangku dagu di tempat.

Berakhir Jason meraih tombol lampu, kontan memperlihatkan seisi kantor.

Seketika senandung berhenti.

"Burung birunya sudah tiba."

Sedikit pun Jason tak ragu, baru saja orang yang masih betah di kursinya itu melantunkan bahasa Jepang yang sama sekali tidak ia mengerti apa maksudnya. Suara si pria muda yang terdengar asing pula sukses membuat kernyitan Jason semakin dalam.

Perlahan kursinya berputar, memperlihat sesosok pria dengan setengah wajah yang tertutup oleh topeng. Dirinya menyeringai, pun tak segan-segan memangku dagu sembari manik yang tersembunyi di balik topeng memandang lurus kepada Jason.

"Selamat malam, Tuan Howard. Merupakan suatu kehormatan saya bisa bertemu dengan Anda." Kali ini ia berujar dengan bahasa Inggris yang fasih. "Sayangnya kita tak punya cukup waktu untuk berbincang, ya. Bagaimana kalau kita langsung saja?"

Sementara yang diajak bicara mulai berlakon tenang. Sayang, seringai pria di hadapannya semakin lebar sebab ia seolah tahu ... detak jantung Jason masih saja berdetak keras.

Masih saja benak Jason bertanya-tanya, kepalanya justru pusing dibuatnya. Tapi semua niatan dari dalam batin untuk kembali bersuara kontan terkurung. Berakhir ia memutuskan menunggu si lawan bicara yang bersuara.

"Aku pinjam sarang barumu, ya?"

Selamat datang kembali. *senyum*

Belakangan saya sangat menyenangi lagu-lagu santai seperti Arabesque atau Reverie dari Debussy untuk mendampingi saya dalam menuliskan karya aksi. Aneh sekali, kepala saya sangat lancar mendorong jari-jari saya untuk menulis kala mendengarkan lagu-lagu seperti itu.

Semoga kalian menyukai chapter ini. Jangan lupa berkomentar.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

1.9K 406 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...
29.6K 4.4K 29
(Sedang di revisi) Setelah kasus kesalahpahaman tersebut, Ken harus memulai hidupnya dari awal. Pindah sekolah adalah langkah pertama, atau mengambil...
43.1K 1.7K 33
Hubungan antara hyung dan dongsaeng dalam sebuah boy group bernama Seventeen..... Cast: Kim Mingyu x Jeon Wonwoo Seventeen's member Karya p...
148K 11.6K 22
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...