Angkasa Tanpa Warna

By sebaitrasa

587K 73.2K 21.8K

[FAMILYSHIP, NO ROMANCE] Karena kamu adalah Angkasa. Yang begitu tangguh di pelukan semesta. Yang datang deng... More

Prolog
Warna 1
Warna 2
Warna 3
Warna 4
Warna 5
Warna 6
Warna 7
Warna 8
Warna 9
Warna 10
Warna 11
Warna 12
Warna 13
Warna 14
Warna 16
Warna 17
Warna 18
Warna 19
Warna 20
Warna 21
Warna 22
Warna 23
Warna 24
Warna 25
Warna 26
Warna 27
Warna 28
Warna 29
Warna 30
Warna 31
Warna 32
Warna 33 (Akhir)
Epilog
Secarik Pesan dari Sudut Langit yang Gelap
In Memoriam, Angkasa Dewangkara
Dari Sabiru...

Warna 15

11.6K 1.7K 340
By sebaitrasa

Biru akhirnya pulang, setelah berdebat panjang dengan dirinya sendiri. Cowok itu menghabiskan satu malam panjang hanya untuk memikirkan semua, mencoba menerka apa saja yang mungkin akan ia terima jika ia memutuskan kembali. Tapi, sejak awal memang dia tidak berniat untuk pergi. Biru hanya ingin melarikan diri karena jengah, bukan meninggalkan rumah  selamanya.

Walau kenyataannya, Biru memang selalu sendirian. Bahkan di rumah itu, dimana ada tiga orang lain di dalamnya, Biru tetap merasa kesepian.

Jangan kira Biru mau kembali ke rumah karena Praja. Tidak! Bujuk rayu lelaki itu bahkan tidak cukup kuat untuk mengetuk pintu hati Biru yang sudah ia tutup rapat sejak kepergian Yasinta. Lelaki itu tidak pernah memiliki kekuatan apa pun untuk meluluhkannya. Biru pulang karena memang dia ingin pulang, bukan karena siapa-siapa.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga, cowok itu tertarik dengan satu pernyataan Praja. Bahwa lelaki itu punya sesuatu untuk disampaikan padanya. Biru mencoba tidak peduli, tapi nalurinya berkata sebaliknya. Biru ingin tahu, dan dia tidak akan munafik mengakui itu.

Tapi sejak ia kembali menginjakkan kaki ke rumah ini tadi pagi, tidak ada yang Praja katakan. Lelaki itu diam dan Biru tidak ingin memulai obrolan. Dia biarkan jarak kembali membentang di antara mereka. Jarak yang sengaja Biru ciptakan hanya agar dirinya tidak kembali terluka. Karena setiap berhadapan dengan Praja, ia tahu luka akibat kepergian Yasinta akan kembali terbuka. Setiap matanya beradu dengan milik Praja, Biru seperti diingatkan kembali tentang bagaimana lelaki itu mengkhianati Ibunya.

Sekarang, yang cowok itu lakukan hanya mengurung diri bersama sepi di dalam kamarnya. Menghabiskan setiap detik yang ia punya untuk menikmati jingga yang perlahan mendekat ke cakrawala. Karena selain menjadi penikmat fajar, Biru juga seorang pecandu senja. Entah bagaimana jingga keemasan di pelukan angkasa itu bekerja hingga sanggup membuat ia terpaku sejenak untuk menikmatinya kemudian terlena.

Cih! Benar-benar definisi manusia kesepian yang menyedihkan.

Biru berdecih singkat sebelum akhirnya menutup kembali pintu balkonnya. Senja semakin tenggelam di batas hari dan Biru tidak punya alasan untuk berdiri di sana lagi. Cowok itu memutuskan untuk kembali ke ranjang dan membanting tubuh lelahnya ke sana.

Sejenak, hening tempat itu berhasil membawa pikirannya pergi. Tiba-tiba sosok palsu Angkasa muncul di benaknya tanpa permisi. Biru tidak tahu kenapa pikirannya tertuju ke sana, tapi sejak ia mendapatkan kesadarannya kembali semalam, bayang sosok itu seperti tidak mau hilang.

Biru memang tidak sepenuhnya sadar saat Angkasa memapahnya keluar dari kafe dan menghambur ke jalanan, karena jika ia dalam keadaan sadar seratus persen, sudah pasti ia akan menolak uluran tangan anak itu dan memilih pergi sendirian. Namun, dalam situasi itu, Biru masih bisa merekam jelas apapun yang anak itu lakukan. Dia bisa mendengar Angkasa mengumpat karena panik, dia bisa menangkap panggilannya berkali-kali, dan satu lagi, dia juga sempat beberapa kali mendengar Angkasa mendesis saat tanpa sadar tangannya meremat punggung anak itu selama mereka duduk di dalam taksi.

Biru yakin rematannya tidak kuat. Tidak cukup kuat untuk membuat seseorang meringis karena sakit. Tapi kenapa anak itu terlihat kesakitan sekali?

Lagi, pikiran itu membawa Biru termenung lama. Sampai suara pintu yang dibuka membuyarkan semua. Dengan cepat cowok itu menoleh hingga matanya beradu dengan milik seorang wanita yang tidak pernah Biru harapkan hadirnya.

"Ngapain?" tanya Biru sebelum wanita itu melangkah lebih jauh ke dalam. Karena selain Angkasa, kamar Biru juga terlarang untuk Ranin.

"Mama cuma mau antar ini," jawab Ranin sembari mengangkat nampan kecil berisi segelas minuman yang ia bawa.

Cowok itu berdecih. Sekarang ia tahu darimana Angkasa mendapatkan muka setebal sepuluh lapis baja setiap berhadapan dengannya, karena ternyata semua itu menurun dari ibunya. Anak dan ibu sama saja. Sama-sama sudah putus urat malunya.

Seharusnya Ranin sadar bahwa semua yang dia lakukan ini sia-sia. Wanita itu harus tahu bahwa sampai kapanpun Biru tidak akan pernah menerima hadirnya. Ranin akan tetap menjadi Ranin yang Biru benci melebihi siapapun di dunia. Cih! Jangan mimpi dia bisa menggantikan posisi Yasinta!

Wanita itu sudah maju satu langkah, namun suara Biru segera menghentikannya.

"Siapa yang ngizinin Anda masuk kamar saya?"

"Sebentar aja, Ru. Mama cuma mau taruh ini."

"Nggak butuh. Keluar dari sini!"

"Biru-"

"Keluar!"

Ada hening yang menjelma menjadi jeda setelah Biru melontarkan bentakannya. Tidak ada yang cowok itu lakukan selain diam dengan hati yang berdesir pelan. Campuran dari amarah dan kecewa yang tidak bisa Biru ungkapkan. Sampai akhirnya hening itu pecah saat Ranin kembali maju dan meletakkan gelas minumannya ke meja di sisi ranjang cowok itu.

"Angkasa bilang kamu suka cokelat hangat. Diminum, ya. Nanti Mama kesini lagi buat ambil gelasnya."

Benar-benar keras kepala dan tidak tahu malu, pikir Biru.

Tapi cowok itu memilih diam dan membiarkan kalimatnya tetap tersimpan. Dia segera berpaling setelah mendecih pelan, bersamaan dengan menjauhnya langkah Ranin dari sana sebelum akhirnya hilang dan menyisakan Biru sendirian.

"Angkasa bilang kamu suka coklat hangat."

Kalimat itu kembali bergema di tengah sepi yang memeluknya, membuat Biru mendecih entah untuk yang ke berapa.

"Sok tau!" gumamnya.

Kemudian, dia mengangkat sebelah lengannya untuk menutupi mata. Memilih untuk terlelap sebelum riuh dunia kembali memanggilnya.

☁️☁️☁️

Dulu, Biru pernah bilang kalau rumahnya adalah tempat paling nyaman untuk bersandar. Atap paling teduh untuknya berlindung dari dingin angin malam. Namun, sekarang, rumah itu tak lebih dari sekadar bangunan hampa yang telah kehilangan kehangatan. Bahkan ketika Biru berada di dalamnya, ia tak lagi merasa itu adalah rumah yang dulu pernah ia jadikan tujuan untuk pulang.

Ruang itu tenang tanpa bincang yang diam-diam Biru rindukan. Suara televisi yang menyala pun tidak mampu mengisi sepi yang membentang. Satu kesialan besar karena Biru harus terjebak di sana tanpa melakukan apa-apa. Tadi, selesai makan malam, Praja menahannya untuk tetap tinggal. Katanya ada yang mau dibicarakan, tapi sampai sekarang lelaki itu juga masih diam. Alasannya, karena Angkasa belum pulang. Dan Praja sudah bertekad tidak akan memulai pembicaraan sebelum anak sialan itu datang.

Rasanya Biru ingin lari, tapi Praja dengan segala omong kosongnya selalu berhasil menggagalkan niatnya untuk melarikan diri. Kini, yang bisa Biru lakukan hanya duduk diam seperti orang kurang kerjaan. Mata dinginnya tertuju pada layar televisi yang menyala, tapi tidak ada satupun yang ia perhatikan dari sana.

Ini semua gara-gara Angkasa. Kalau anak itu cepat pulang, seharusnya Biru juga bisa segera lepas dari Praja dan wanita murahan itu. Lagipula kemana, sih, dia? Biasanya anak itu sudah ada di rumah sebelum senja tiba. Kenapa hari ini dia harus pergi sampai malam dan membuat Biru repot-repot menunggunya?

Atau ... sebenarnya Angkasa memang sering pulang malam? Toh, selama ini Biru tidak pernah memerhatikan apapun yang anak itu lakukan. Ada atau tidak ada Angkasa di rumah rasanya sama saja bagi Biru. Dia tidak pernah peduli apapun tentang anak itu.

"Mau sampe kapan, sih, nungguin dia? Udah lah, aku mau ke kamar." Jengah, Biru bangkit dari sofa dan hendak pergi dari sana. Namun, suara pintu yang terbuka disusul derap langkah seseorang detik itu berhasil menahan langkahnya.

Itu orang yang dari tadi mereka tunggu. Orang yang telah membuang sia-sia waktu Biru hanya untuk duduk termenung di depan layar televisi seperti orang bodoh. Itu Angkasa, yang ingin Biru maki saja rasanya.

"Lho, pada ngumpul di sini? Ada apaan, nih? Gabung dong. Aku kepo, aku kepo!" seru Angkasa sembari mendekat ke arah mereka.

"Kita emang lagi nunggu kamu, Sa. Darimana saja? Tumben sampai jam segini?"

"Habis melaksanakan tugas negara, Pa. Aku 'kan sekarang ceritanya mau jadi pelajar yang super rajin dan taat aturan gitu. Kalau ada tugas, ya langsung kerjain, hehe."

Biru mendecih saat anak itu kembali memasang wajah tak berdosa. Tatapan Biru tajam saat Angkasa melintas di depannya, tapi sedetik kemudian dia justru terpaku pada pakaian yang anak itu kenakan. Ada noda yang menempel di bagian lengan, membuat warnanya berubah sedikit lebih lusuh daripada seharusnya.

Biru jadi ingat ketika dulu dia masih sering berkelahi, dia juga selalu berakhir dengan keadaan seperti itu. Tapi ... rasanya tidak masuk akal kalau Biru menyamakan dirinya dengan Angkasa. Selain terkenal tidak pernah membuat keributan, setahu Biru anak itu juga tidak punya masalah dengan siapapun. Tidak mungkin 'kan anak payah sepertinya berani membahayakan diri dengan berkelahi?

"Duduk, Ru, Papa mau bicara."

Suara Praja detik itu berhasil menyentak Biru dari pikirannya. Sejenak, arah pandang Biru tertuju pada Angkasa yang sudah duduk terlebih dahulu, sebelum akhirnya dengan terpaksa dia menyusul duduk di sisi anak itu.

Detik berlalu dan suasana ruang itu seketika menjadi beku. Tidak ada yang mengusik sepi itu, sampai akhirnya suara helaan napas Praja terdengar, dan tatapannya berhasil membuat perasaan Biru berdesir tak nyaman. Apapun yang akan lelaki itu katakan, entah mengapa Biru merasa ini bukan sesuatu yang baik untuk dirinya ke depan.

Lelaki itu meraih remot televisi dan menekan tombol power hingga kemudian layar di depan sana mati, menyisakan hening yang memeluk ke-empatnya malam ini.

"Papa nggak mau basa-basi, jadi langsung aja," ucap Praja. Sejenak dia melirik Ranin di sisinya, sebelum mengembalikan pandangannya ke depan dan melanjutkan apa yang ingin ia sampaikan. "Kami berdua sebenarnya sudah mempertimbangkan banyak hal selama ini. Semua yang paling baik untuk kehidupan kita ke depan. Untuk keluarga kita. Untuk kalian berdua, terutama."

"Langsung ke intinya aja, Pa. Aku udah ngantuk, mau tidur. Papa bilang nggak mau basa-basi." Biru menyela setelah sebelumnya berdecak kesal. Berbanding terbalik dengan Angkasa yang hanya diam di tempatnya dan mendengarkan semua. Anak itu begitu tenang, bahkan ketika suasana di ruang itu tidak lagi terasa nyaman.

"Oke, tapi Papa mohon sama kalian, apapun yang Papa sampaikan saat ini, semua sudah Papa dan Mama Ranin pikirkan baik-baik. Ini semua demi kita." Ada jeda yang Praja ciptakan untuk sekadar menarik napas, sebelum akhirnya suara tegas lelaki itu kembali mengalun di tengah ruangan.

"Besok, Papa akan mulai pindah ke kantor cabang yang di luar kota. Jadi kami berdua akan ninggalin rumah ini dan menetap di sana untuk sementara waktu. Kalian, Papa beri tanggung jawab untuk mengurus sendiri segala keperluan kalian di sini. Karena kalian akan tetap tinggal di rumah ini. Berdua."

"Apa-apaan, sih, Pa?" Biru langsung bangkit setelah Praja selesai dengan kalimatnya. Baginya ini bencana dan dia tidak bisa diam saja.

"Duduk dulu, Biru!"

"Papa nyuruh aku pulang dan bikin aku nunggu berjam-jam cuma buat dengerin omong kosong kayak gini? Maksud Papa apa? Ada Papa di rumah ini aja aku ngerasa kaya orang asing, terus sekarang Papa malah mau ninggalin aku di sini sama orang yang bukan siapa-siapaku?"

"Berhenti menganggap Angkasa orang lain, Ru! Dia saudara kamu."

"Aku nggak pernah tau Mama ngelahirin anak lain selain aku. Aku anak tunggal. Dan aku nggak pernah punya saudara."

Mendengar itu, amarah Praja seperti tergugah. Lelaki itu bangkit dengan emosi yang sudah memuncak, namun sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak berdebat.

"Papa sudah pikirin semuanya dan ini keputusan Papa, Ru," katanya.

"Enggak. Papa cuma mikirin kepentingan Papa sendiri, bukan aku. Kalau Papa emang peduli, seharusnya Papa tetep sama aku gimanapun caranya, bukan malah ninggalin aku sendirian di sini!"

"Justru karena Papa peduli, makanya Papa lakuin ini. Papa mau kamu terbiasa hidup sama Angkasa. Karena cuma Angkasa yang Papa percaya bisa jagain kamu kalau Papa sama Mama nggak ada."

"Pa!"

"Keputusan Papa sudah bulat, Biru. Tolong, jangan pancing Papa buat ribut lagi sama kamu. Papa sama Mama akan tetap pergi besok. Dengan ataupun tanpa izin dari kalian berdua."

Kalimat itu final dan Biru tidak punya kesempatan untuk melontar bantahan. Batinnya berteriak, tapi rasanya lidahnya kelu. Hening ruang itu seperti membalutnya dalam perih, tapi tidak ada yang peduli. Tidak ada satu pun yang mau membelanya di sini. Jika Ranin tidak bisa ia harapkan, setidaknya Biru berharap Angkasa akan berada di pihaknya untuk sama-sama menolak keputusan Praja. Tapi ternyata ibu dan anak itu memang tidak bisa Biru harapkan sedikit saja. Atau mungkin sebelum ini Angkasa memang sudah bersekongkol dengan Praja untuk benar-benar menghancurkan hidupnya.

Biru marah, tapi kecewanya jauh lebih besar. Ternyata memang benar, di rumah ini ia hanya sendirian. Tidak ada yang memihaknya, bahkan Praja. Alih-alih memikirkan perasaannya, lelaki itu justru begitu teguh dengan apa yang telah ia putuskan. Praja benar-benar yakin dengan ucapannya.

Untuk beberapa saat, pekat mata Biru bertemu dengan milik Praja. Tatapan lelaki itu tak terbaca. Yang Biru tahu, tatapan itulah yang selalu muncul saat ia marah dan tidak ingin dibantah.

Tidak ada lagi yang membuka suara setelahnya. Sampai Biru melirik Angkasa yang hanya diam saja sejak Praja membuka suara.

"Lo diem aja?"

Detik itu, Angkasa mendongak hingga matanya beradu dengan milik Biru. Tapi hanya sebentar, sebelum akhirnya dia kembali menunduk tanpa mengatakan apa-apa. Tanpa satu pun kalimat penolakan yang sejujurnya Biru harapkan akan keluar dari mulut anak itu untuk menentang Praja.

"Kayak yang lo bilang, gue bukan siapa-siapa. Dan nggak punya hak apa-apa. Bahkan sekalipun gue nggak suka, gue nggak berhak nolak. Karena gue bukan siapa-siapa."

Biru tertawa hambar dengan dada berdesir pelan. Kalimat Angkasa barusan seperti pengulangan apa yang sempat Biru sampaikan, tapi entah mengapa sekarang justru Biru sendiri yang merasa tak nyaman. Seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya, sesak, namun Biru bahkan tidak bisa menjelaskan.

Dan kalau sudah begini, tidak ada yang bisa Biru lakukan selain kembali menjadi pihak yang suaranya tidak akan didengar. Karena sebanyak apapun ia menentang, ia tahu Papanya tidak akan pernah menarik kembali apa yang telah diputuskan. Lebih tepatnya, keinginan Biru tidak akan pernah dipedulikan.

Cowok itu mengepalkan tangannya kuat, berusaha meredam sesak yang datang sejalan dengan amarah. Satu yang bisa Biru simpulkan adalah, kehancurannya akan dimulai sekali lagi, dari detik ini.

Luv 💕



24.10.2019

Republish : 07.05.2020

Continue Reading

You'll Also Like

286 56 47
Peringatan : kisah ini mengandung unsur kekerasan, juga perkataan yang buruk. Harap bijak dalam membaca. *Blindfold* Aku menutup mata untuk melihat ...
1.1M 80.6K 39
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
15K 860 36
Nani adalah anak yang terbilang sering di-bully dicaci maki dipukul jadi makanya Nani menjadi orang yang takut
6.8K 163 18
Tentang kisah cinta pelajar Putih-Biru. "Witing tresno jalaran seko kulino." Kisah dua remaja saling mencintai dan sama-sama ingin memiliki. "You ha...