Fate : A Journey of The Blood...

By monochrome_shana404

18K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... More

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.9.5
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 1.15 [2/2]

150 36 63
By monochrome_shana404

Kini Kenji kembali ditemani gelap. Kali ini ia telah menenteng kantong plastik yang entah apa isinya. Tak lagi ia pedulikan bau anyir dari darah—entah yang menempel dan membekas di jaket atau dari dalam kantong plastik.

Gedung runtuh, tak berpenghuni merupakan tujuan terakhir baginya. Kenji berhenti persis di hadapan gedung itu seusai ia melangkahi pita kuning yang menyuratkan peringatan dilarang masuk.

Demikian udara dingin menyambut kedatangannya, berikut dengan sebutir salju yang hendak menghinggapi pundaknya. Tak ada keinginan di dalam benaknya, ia menengadah menikmati keindahan mereka yang tak lama datang beramai-ramai.

Manik merah itu berfokus kepada gedung di hadapannya. Teramat banyak jendela pecah, nyaris satu pun di antara mereka benar-benar utuh. Pun, pilar-pilar yang seharusnya berdiri kokoh sebelum pintu menyambut kedatangan setiap orang telah rubuh. Sama sekali tiada satu ruangan yang sudi memaparkan secercah cahaya lampu dari sana.

Puas bersendu dalam kesepian, Kenji kembali menapakkan jejak demi jejak.

Tidak, dia tidak akan menerobos masuk melewati pintu utama. Ada bagian pintu menuju bagian bawah tanah tepat di penutup lubang selokan. Kontan Kenji mendapatkan tangga besi kala ia membuka penutup tersebut. Dia memanjat menuruninya, tak lupa kembali menutup lubang.

Sesampainya di bawah, ia merogoh kantong jaket. Seusai mendapati senter kecil, ia melangkah ke tangga yang mengarahkannya ke lantai utama.

Udara tak ada ubahnya jika dibandingkan dengan yang berembus di luar sana. Kenji mengedarkan pandangan sembari mengarahkan senter kepada objek yang cukup membuatnya tertarik untuk berpaku tatap. Benar saja, ada sebuah tulisan besar hasil semprotan cat merah sukses menarik perhatiannya.

'Matilah, Oohara!'

'Oohara akan jatuh! Oohara akan mati!!'

'Oohara harus menanggung semua hal yang terjadi!'

Tak ingin meneruskan lebih lanjut, Kenji segera berpaling dan melangkah mengabaikan meja resepsionis yang tak berpenghuni.

Langkahnya terkesan sedikit terseret-seret kala ia masuk lebih jauh oleh sebab serpihan kaca dan tembok yang sama sekali tak kasat mata di tengah gelap. Suaranya terpantul, menggema menemani Kenji.

Entah apa yang mengundangnya menghentikan langkah. Denyut dari dalam kepala mendapat kesempatan untuk menginterupsi pergerakan. Tiba-tiba saja ia merasa sulit bernapas. Segera ia menumpu diri pada dinding terdekat. Tak seorang pun mengetahui betapa pucat dirinya kala itu.

Kala menghirup napas dalam-dalam, udara mendadak hangat menerobos masuk ke paru-parunya. Dari pintu utama, cahaya pagi menerobos masuk menyelimuti kulitnya yang kedinginan.

Kontan Kenji menoleh ke sana. Sedikitnya kernyitan kening yang semula menahan sakit berangsur hilang.

Reruntuhan, serpihan kaca, berikut dengan tulisan dari cat semprot merah yang ia dapati di dinding menghilang ... berikut tergantikan dengan suasana kantor yang begitu sibuk dengan belasan pasang langkah para pegawai yang tergesa. Terdapat di antara mereka yang tengah berbincang.

Semuanya diwarnai dengan warna yang ... seharusnya ada.

Kala demikian seorang pria paruh baya bermata empat menoleh padanya. Tangan kirinya tengah sibuk memegang kopi yang tertampung oleh gelas plastik. Kenji tidak ingat pasti siapa orang itu. Namun, dia menoleh dan tersenyum pada Kenji. Sukses membuat Kenji tersentak.

Suaranya sedikit menggema, terdengar bernada rendah. Bersamaan bersemangat. Dia bahkan tanpa ragu menyunggingkan senyum kala itu, menyapa Kenji dengan mimik penuh sukacita, "Terima kasih atas kerja kerasmu!"

Si manik merah sedikit melembut pandangannya. Sementara senyum miring terpatri, justru sang empunya menggeleng. Barangkali cukup sulit dirinya merangkai kata, oleh sebab itu ia bergeming begitu lama menanggapi si pria yang menunggu respon darinya.

Sebisanya, Kenjji melontarkan kata dengan suara yang nyaris bergumam, "Justru kalian yang—"

"Kepada siapa kamu berbicara?"

Sebuah kalimat yang menginterupsi tanpa ragu mengundang Kenji berkedip. Utuh suasana hangat yang ia rindukan menghilang dari pandangan.

Kembali kegelapan menemaninya, pun angin dingin ikut membelai. Hidung mulai menghirup napas begitu dalam, sukses memasukkan sensasi beku ke dalam dada. Seolah hal itu mampu sekali lagi menyadarkannya bahwa ia sudah kembali ke dunia nyata.

Lantas, barulah Kenji tertarik untuk mencari sumber suara. Dia berbalik, menyoroti lorong dengan senter.

Tak begitu jauh dari hadapannya, pun tak begitu dekat. Seorang wanita dengan separuh wajah yang ia sembunyikan dengan topeng rubah, lengkap dengan baju ketat, berdiri bersandar di daun pembatas.

Mendapatkan sosok nyata di sana, justru mengembalikan tatapan dingin dari si manik merah. Sebelumnya, ia sempat berpaling mengingat ada pertanyaan yang belum ia jawab.

"Entahlah."

Nada dari suara bariton sang tuan memunculkan tanya di satu sisi benaknya. Pun, tampak Kenji enggan bercerita. Buktinya ia lebih memilih untuk melintas dan menghindari tatapan si wanita.

Meski sedikit jengkel dengan perlakuan tuan muda, tiada keluhan terang-terangan yang ia utarakan. Dia pula sempat memutuskan untuk bungkam sejenak sembari ia mulai mengekor.

"Kuharap kamu tidak lupa meminum obat," ujarnya kemudian.

Tidak ada tanggapan yang ia terima selain kekehan lirih dari Kenji. Dia memandang lurus kepada punggung si pria muda. Tak lama ia dapati Kenji yang memukul pelipisnya sendiri. Spontan, bahkan dari suaranya saja terdengar begitu kuat pukulannya.

Percayalah ... di balik topeng rubah itu ada yang tengah mengernyit penuh prihatin memandangi dirinya berperilaku demikian.

Hanya saja ia tetap memutuskan untuk bungkam.

Mereka menuruni tangga. Kali ini barulah perhatian si wanita tertarik kepada bungkusan yang tengah Kenji jinjing. Pun, ia menyadari bau anyir yang selama ini menghantui indera penciumannya berasal dari sana.

"Kau tidak lupa menyembunyikan mayatnya?"

Langkah mereka terhenti tepat menghadap pintu besi. Sebentar Kenji mengerling kepada si wanita bertopeng rubah, berakhir menyibukkan diri membuka kunci pintu. Dia memilih membuang muka di kala mendorong pintu yang pula menciptakan suara derik singkat.

"Aku tidak bodoh, Ayame."

Maka Ayame—begitu Kenji memanggil si wanita bertopeng rubah—memutuskan untuk tak bersuara setelahnya.

Keduanya memisahkan diri kala Kenji mematikan senter. Kenji menurunkan tuas yang dipatri di sampingnya, menarik energi listrik masuk ke ruang bawah tanah.

Tak begitu banyak lampu yang menyala, bahkan sebagian dari mereka begitu temaram cahayanya. Namun, cukup untuk memperlihatkan seisi ruangan. Pun, tak banyak yang begitu menarik dari tabung-tabung setinggi pilar yang ikut memancarkan cahaya kehijauan. Mereka diisi dengan sekian makhluk yang entah seperti apa bentuknya.

Ayame tidak pernah tertarik kepada eksperimen-eksperimen yang diciptakan tuannya. Hanya saja kala ia saat ini melirik ke tabung terbesar. Cukup lama ia berpaku tatap, barangkali hingga suara lemari es menginterupsi kegiatannya, utuh pandangannya tercuri.

Kegiatan Kenji di depan lemari tak berlangsung lama. Bahkan tahu-tahu ia sudah menutupnya, seolah tak mengizinkan Ayame untuk melihat apa yang sedari tadi ia bawa. Pria muda itu langsung beranjak dari tempat sembari melepas jaket, memutuskan duduk di kursi yang dikelilingi oleh tabung, barulah Ayame datang mendekat.

Ayame menarik tisu dengan asal dari meja, hendaknya ia berniat menghapus bercak darah yang menempel di leher Kenji. Justru si pria muda menarik senyum tipis kala ia melakukannya. Pun, tatapannya melembut menerawang kepada manik yang bersemayam di balik topeng tersebut.

"Kupikir kau mendapatkan berita bagus sehingga kau sudi mendatangiku?"

Begitulah Kenji. Selalu langsung kepada inti pembicaraan. Tak pernah Ayame jadikan soal, pula tak pernah ia ambil hati akan sang tuan yang tidak ingin sedikit berbasa-basi.

Dia memandangi Kenji yang sudah menepuk pelan pahanya, paham bahwa ia ingin mendengar Ayame lebih dekat. Maka yang diundang segera duduk berpangku di atas sana, sementara kedua lengannya melingkar di sekitar leher Kenji.

"Ah, lihatlah. Agaknya memang ada kabar yang menarik." Kenji kemudian membelai lembut pipi Ayame. Dengan hati-hati ia mulai menahan pinggang si wanita agar tidak merosot dari pangkuan. "Kupikir membunuh memang semudah itu. Benar, Ayame?"

Ayame tak menanggapi, tetapi masih saja berpaku tatap kepada Kenji yang kemudian sedikit berpaling.

"Nah, kalau begitu semuanya akan dijalankan sesuai rencana."

"Termasuk pesta kostum di Amerika?"

Kenji tersenyum miring, lantas mengulang, "Termasuk pesta kostum di Amerika."

Si wanita bertopeng rubah sejenak diam sembari ia memiringkan kepala. Memang ....

Dia bahkan tak pernah habis pikir apakah tuannya ini bersungguh-sungguh dalam rencananya.

"Tenanglah, Nona," kata Kenji tak lama seusai Ayame puas berkelana di dalam batin. "Kadang-kadang kita memang perlu melakukan hal yang dirasa tidak perlu untuk memastikan sesuatu, bukan?"

Dan Ayame membenarkan dalam diam.

Sama sekali Ayame tak menolak tangan Kenji yang mulai meraih topeng rubahnya. Amat sangat perlahan lagi hati-hati, Kenji menyingkirkan topeng itu dari wajah si wanita. Lantas sang empunya manik merah memuaskan diri memandangi kelereng karamel di hadapannya.

Ayame memiliki sepasang manik bulat; manik yang seolah senantiasa memberikan tatapan teduh kepada siapa pun. Hidung mungil dan bibir tipisnya selalu membuat kaum adam tertarik untuk terus-terusan berpaku tatap kepada si empunya paras oriental tersebut. Lengkap pula dengan rambut selegam arang panjang yang ia kucir ke belakang.

Kenji memandangnya cukup lama, tepat sebelum ibu jarinya mengusap perlahan bibirnya yang sedikit pucat oleh sebab ia sempat terbelai udara dingin. Masih saja senyum lembut menempel di wajah pria muda itu di kala ia menikmati pemandangan di hadapannya.

"Omong-omong, tidakkah kau sedikit lelah menyembunyikan parasmu yang indah ini, sayangku?" Bersamaan dengan ujaran yang ia lontarkan, sekali lagi Kenji membelai pipinya. "Sangat disayangkan ... ini kali terakhir aku menikmatinya."

Si wanita bermanik karamel berkedip sekilas.

Dapat ia rasakan dengan jelas tangan Kenji yang mulai merayap di punggungnya. Pun senyuman si pria muda semakin lebar di kala ia sukses meraih tengkuk Ayame.

Sementara si manik karamel menatap kosong, lengkap dengan lengan yang semula bertengger di atas bahu sang tuan ikut melemas. Demikian tubuhnya kehilangan keseimbangan, justru terjatuh ke lengan Kenji. Penuh perhatian, yang menopang si wanita mengerling sembari ia memberikan belaian lembut pada puncak kepala.

Kecupan singkat yang terasa hangat seolah tak diindahkan. Ayame hanya mematung dalam pelukan. Masih saja tatapan kosong bagaikan kelereng boneka porselen itu bertahan pada satu titik, seolah tak mampu untuk menghindar ke mana pun.

Puas menghirup aroma Ayame dalam satu tarikan napas, Kenji mengerling sembari mendekatkan bibirnya pada telinga Ayame.

Maka, mulailah ia menitah.

"Perintah baru, Ayame ...." Sebentar Kenji menjeda suaranya yang merendah. "Tetap menjadi dirimu di hadapanku. Ambil identitas yang terbunuh."

"Dimengerti."

Suara lembut menjawab tanpa nada. Datar dan dingin. Kontan hal tersebut membuat Kenji tersenyum samar. Tersirat sendu dari maniknya. Segera ia alihkan sesak di dalam dada dengan menciumi kepala Ayame dengan lembut.

Seusai Kenji berpuas hati memanjakan wanitanya, ia beranjak dari tempat seraya menggendong Ayame menuju sebuah ranjang tunggal. Pelan-pelan ia rebahkan Ayame, kesekian kalinya menikmati kendahan paras si wanita.

"Tidurlah, sayangku," bisiknya mesra. "Barangkali kau juga membutuhkan lebih banyak energi untuk mempersiapkan pesta kejutannya ... benar begitu?"

Dengan ini, White Rose tamat. Saya begitu menyenangi sepanjang perjalanan di act ini, terutama dalam menuliskan bagian Kenji (benar-benar merupakan tantangan terbesar) dan perancangan Akira (yang mana paling saya cintai riset kecilnya). Dan saya selalu mencintai setiap aksi yang saya suguhkan untuk Kirika.

Mungkin para pembaca memiliki bagian kesukaan pula? Silahkan berkomentar.

Ya, selain membagi-bagi dengan act, saya melakukan cukup banyak perombakan. Saya harap perombakan ini menjadikan mereka tampak lebih hidup. Pun, saya lebih sering melakukan pembaruan sekaligus.

Yah ... mengingat ini merupakan revisi, saya merasa hal ini bukan masalah yang besar.

Sangat senang karena ... barangkali, ya, barangkali. Barangkali masih ada yang membaca Fate. Senang membaca banyak komentar, juga kadang-kadang membandingkannya yang lama.

Terima kasih sudah mau berkunjung sampai di sini. Rasa syukur, juga hormat tidak akan pernah putus teruntuk kalian yang sudi menginjakkan kaki ke karya saya.

Saatnya mempersiapkan diri untuk Act II. Barangkali juga membutuhkan waktu yang lama mengingat saya sudah mulai menerapkan menabung chapter. Ya, saya meminta waktu kepada para pembaca lagi untuk menunggu. Maafkan saya.

Sampai jumpa di tarian berdarah berikutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

102K 14.4K 46
[Reading List September 2023 - WattpadRomanceID as Dangerous Love Category] #1 on Mitologi - 29/01/24 #1 on War - 28/01/24 #1 on Yunani - 19/12/23 #1...
1.9K 406 36
16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari sepuluh abad lamanya seisi Dunyia berdamai sebagaimana semestinya. Hingga suatu kala tertulis sepint...
58K 5.2K 50
Shen Qing adalah Tuan muda dari keluarga Shen,ia mengantikan saudari perempuannya yang kabur di hari pernikahan dan menikah dengan musuh bebuyutan ny...
147K 11.5K 22
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...