KAULAH KAMUKU [Telah Terbit]

By MarentinNiagara

343K 33K 8.9K

Besar bersama keluarga utuh meski bukan dengan ibu kandung. Bunda adalah malaikat tanpa sayap yang sengaja di... More

📒 Prolog ---
📒 00 ✏ Kenalan yuuukk ✏
📒 01 ✏ Goodbye City of Dreaming Spires ✏
📒 02 ✏ Market (heart) Mapping ? ✏
📒 03 ✏ Benci Untuk Mencinta ✏
📒 04 ✏ Tom and Jerry ✏
📒 05 ✏ Emisivitas Cinta ✏
📒06 ✏ Sejarah Terulang ✏
📒 07 ✏ Putra Sahabat Bunda✏
📒 08 ✏ Kehebohan Hafizh ✏
📒 09 ✏ Cemburu atau Baper? ✏
📒 10 ✏️ Tentang Rasa ✏️
📒 11 ✏️ Romantisme Senja ✏️
📒 12 ✏ Bias Asa ✏
📒 13 ✏️ Bukan Fatimah AzZahra ✏️
📒 14 ✏ Roda yang Berputar ✏
📒 16 ✏ Berdiri Atas Satu Kaki✏
📒 17 ✏️ Kesibukan Baru✏️
📒 18 ✏️ Think out of the Box ✏️
📒 19 ✏ Awal yang Indah ✏
📒 20 ✏ Salah Paham yang Melebar ✏
📒 21 ✏ a Different Day ✏
📒 22 ✏ Sejarah Terulang (2) ✏
📒 23 ✏ Bridal Shower ✏
📒 24 ✏ Cinta Takkan Pernah Salah Alamat ✏
📒 25 ✏ Hidup Baru ✏
📒 27 ✏ Pengakuan Dosa ✏
📒 26 ✏ Fitrah Cinta ✏
📒 28 ✏ (bukan) Rindu Terlarang ✏
📒 29 ✏ Lembaran Baru Sesungguhnya ✏
📒 Epilog ---

📒 15 ✏ Dilan(da) Bimbang ✏

7.4K 959 139
By MarentinNiagara

Biar aku saja, jangan kamu___________

🍄🍄

ADA yang bertanya, sejauh apakah itu cinta? Sejauh mata memandang untuk mengukur dalamnya hati. Tidak ada yang bisa memahami jika panah asmara telah tertancap di pusara hati yang belum sempat termiliki.

Hanya bisa diam, sementara ingin rasa berpacu dengan waktu untuk bisa saling mengungkapkan kekaguman. Andai mataharipun bersahabat dengan bulan. Tapi tak akan pernah keduanya datang di waktu yang bersamaan bukan?

Harus ada pilihan!

Hafizh harus memastikan Fatia telah menyantap makan siangnya atau belum dengan dia turun ke gerai pakaian. Ternyata matanya membulat saat gadis yang selama ini dia perhatikan itu sedang pontang-panting melayani costumer, alone.

"Hey, where is Widi? Apa dia belum kembali, mengapa kamu tidak memanggilku jika kamu sendiri?"

Fatia hanya tersenyum kemudian mengatakan kalau Widi sedang sholat. Perhatian kecil yang mulai membuat Fatia bergetar. Hafizh membantunya. Menjelaskan beberapa dan mencari barang yang diminta oleh costumer.

Seolah bukan seorang bos. Karena memang Hafizh tidak pernah memakai pakaian formal. Dia lebih menyukai smart casual yang membuatnya nyaman. Itu yang membuatnya lebih terlihat luwes jika bersama dengan para karyawannya.

Lima menit berikutnya Widi bergabung dan Hafizh segera meminta Fatia untuk segera menunaikan kewajibannya.

"Biar aku yang bantu Widi kamu dhuhur dulu." Katanya meminta Fatia untuk meninggalkan tempat.

No need say much until the end of service the costumers.

"Widi sudah maksi?"

"Sudah Bang."

"Ok Boo, let's take our lunch. Follow me now." Kode keras untuk Fatia yang langsung direspon oleh Widi.

Sambil menyenggol lengan sahabatnya, Widi menunjukkan dagu ke arah Hafizh berjalan. Dengan isyarat matanya Fatia langsung mengekor kemana Hafizh menuju. Ditangannya sudah lengkap lunch box yang dia bawa dari rumah pantinya.

Makan di ruangan dengan pintu terbuka, bukan hanya dengan Fatia. Hafizh sering melakukannya juga dengan Indah atau yang lain. Sambil membicarakan masalah pekerjaan atau sharing season atas berbagai macam hal.

"Happy lunch__" ucap Hafizh ketika dia mulai membuka lunch boxnya.

Sesaat melirik, scrambled eggs milik Fatia membuat lidah Hafizh ingin mencicip. Apalagi dengan salad sayur yang baru saja di siram mayo pedas. Sepertinya Hafizh harus menukar lunch boxnya dengan milik Fatia.

"Boo, I wanna yours." Lirih Hafizh mengucapkannya namun tersampai di telinga Fatia 'I wanna you'.

"Haaah?"

"Oke kalau kamu tidak mau, I'll feed you first of mine and after, you have to do the same to me too." Tanpa persetujuan Hafizh langsung menyendokkan nasi dan juga lauknya untuk disuapkan ke mulut Fatia.

Hingga makan keduanya begitu romantis kala Fatia juga melakukan hal yang sama untuk Hafizh. Hidup jadi berwarna bukan?

Berbincang yang cukup membuat Fatia nyaman. Apalagi jika bukan masalah hadiah yang diberikan Hafizh kepadanya. Impiannya sebentar lagi terwujud menjadi mahasiswa guys. Is there anything more interesting than__? in Fatia point of view of course.

"Listen!!" kata Hafizh untuk memulai pembicaraan seriusnya. "Sudah searching universitas mana yang pas?"

"Akk dulu tinggal satu suapan." Perfectly finished!!!, lunch box keduanya sama-sama kosong. Menu di box Fatia telah berpindah ke perut Hafizh dan begitu sebaliknya.

"Kemarin tertarik satu Bang. Tapi kok biayanya mahal ya."

"Mana coba lihat." Kata Hafizh sambil memperhatikan gawai yang ada di tangan kanan Fatia. Sambil memperlihatkan semua yang telah di browsingnya. Hafizh melihat secara detail bagaimana dan apa yang membuatnya menyetujui Fatia untuk mengambil kuliah di sana.

Bukan menjadi masalah yang besar bagi Hafizh.

"Mengapa harus ini?" tanya Hafizh sambil mengerutkan keningnya. Butuh alasan yang tepat dari Fatia untuk memberikan persetujuannya.

"Akreditasi Fakultas A, tenaga pengajar juga siap bersaing dengan universitas negeri lainnya. Selain itu lokasinya juga tidak terlalu jauh dari outlet galery butik. Jadi memudahkan untukku, Bang." Jawab Fatia.

Sebenarnya mereka hanya berbincang biasa namun bahasa tubuh yang disampaikan menjadi luar biasa. Apalagi kegiatan sebelumnya yang membuat Indah greget untuk tidak mengganggu keduanya.

"Kirim ke bunda ah___", goda Indah. Ya hanya sekedar menggoda saja. Indah tahu bagaimana Hafizh tidak mungkin dia bertindak lebih daripada itu. Toh pintu ruangannya juga dibuka lebar. Selebar pintu hatinya yang dibuka untuk nama Fatia.

"Mbak Indah, I heard what you were talking about. So don't make me angry. We're discussing something very important now." Teriak Hafizh yang langsung disambut gelak tawa oleh Indah.

"Bang aku juga belum makan loh, boleh dong disuapin juga." Bercandaan yang sukses membuat Hafizh merah padam tapi akhirnya tersenyum kikuk kepada Fatia.

"Minta noh sama mas Adam." Suara Hafizh disambut dengan tawa malu Fatia yang kini telah menundukkan kepalanya.

Beberapa menit kemudian Hafizh benar-benar menyetujuinya dan meminta Fatia untuk mencari informasi lebih tentang universitas itu termasuk juga bagaimana pendaftarannya. Sementara Hafizh sendiri akan mempersiapkan pascasarjananya tanpa satu orangpun yang mengetahuinya.

Sebelum akhirnya mereka berpisah setelah Fatia membersihkan lunch box dari meja kerja Hafizh, Fatia kembali mengingatkan untuk menjenguk Aira di rumah sakit.

"Ok, nanti kita berempat kesana setelah butik tutup. Sampaikan kepada Widi dan mbak Indah."

Kembali ke aktivitas setelah keduanya berpisah. Hingga sore menjelang dan butik segera di tutup.

Bertemu di rumah sakit adalah keputusan bersama ketika Indah, Widi dan Fatia memilih untuk membawa kendaraan sendiri karena memudahkan mereka untuk sekalian pulang.

Disambut senyum hangat dari seorang laki-laki seusia pamannya. Hafizh menjabat tangan dengan erat.

"Mas Hafizh ya?"

"Iya, saya." Jawab Hafizh dengan sangat sopan.

"Saya Wildan, Abinya Aira." Dahulu sekali sepertinya memang Hafizh pernah bertemu dengan laki-laki yang kini berdiri tegak dihadapannya. Tapi dia tidak mengingat satupun. "Maaf jika Aira banyak merepotkan sampai harus pingsan di tempat PKLnya."

Hafizh tersenyum tipis dan mengatakan bahwa sudah kewajibannya sebagai manusia untuk saling tolong-menolong.

Berbicara banyak dengan ayahanda Aira membuatnya mengerti bagaimana kondisi fisik Aira yang sesungguhnya. Bukan untuk mengasihani namun dalam hati Hafizh salut dengan Aira yang begitu luar biasanya berjuang untuk kesembuhan dari penyakitnya.

"Maaf Om Wildan ini kan sebenarnya memiliki factory yang bergerak di bidang textile. Lalu mengapa Aira tidak melakukan praktek kerja di factory milik keluarga. Justru memilih untuk praktek di perusahaan saya yang kapasitannya mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan milik keluarga Om Wildan?" tanya Hafizh.

"Ya itulah Aira. Katanya dia lebih nyaman jika melakukan PKL di tempat orang tidak ada perlakuan khusus sehingga dia bisa belajar dengan benar."

Senyum mengembang dari bibir Hafizh menandakan bahwa dia sangat setuju dengan pendapat Aira.

"Jika saya menjadi Aira pasti juga akan melakukan hal yang sama kok." Kata Hafizh dan percakapan mereka terhenti karena Fatia, Indah dan Widi telah selesai menjenguk Aira dan pamit untuk pulang terlebih dulu.

"Mas Hafizh ingin ke dalam? Mari silakan saya antar." Awalnya Hafizh juga ingin untuk pulang bersama tiga temannya. Namun mendengar ucapan Wildan dia mengurungkan niatnya.

Memilih untuk mengikuti Wildan masuk ke dalam kamar rawat Aira.

Pucat, tentu itu pemandangan pertama yang Hafizh lihat. Tangan kiri yang terpasang infus dan Aira yang terbaring lemah sedang menutup matanya. Mungkin dia sedang tertidur.

"Sedari kecil Aira memang tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Ibunya meninggal ketika melahirkannya dulu. Itu yang akhirnya membuat dia berusaha serta selalu berjuang untuk membuat saya kuat. Padahal saya tahu dia sendiri juga harus memperjuangkan kesehatannya." Suara Wildan mengawali ceritanya tentang Aira. Entah apa yang membuat Hafizh tertarik untuk mendengarkan dengan seksama.

"Bahkan dia yang meminta saya untuk menikah kembali serta menghadirkan seorang adik untuknya. Dia pula yang memilihkan wanita untuk saya kala itu. Dia bilang, mungkin jika Allah menginginkan dia bertemu dengan uminya segera saya tidak sendiri di dunia ini."

Sedih, tentu saja hati Hafizh bergetar mendengar cerita Wildan. Sejauh itukah pikiran Aira hingga dia ingin membahagiakan orang tuanya.

Hafizh kembali mengukur hatinya. Kira-kira hal apa yang sudah dia berikan untuk kedua orang tuanya. Dulu, dia dan sang kakak memang yang meminta Daddy untuk menjadikan Qiyya sebagai ibu mereka. Tentu saja Hafizh bahagia, Ibnu, Daddynya juga bahagia dengan keluarga mereka.

Titik balik, mengingat kembali kata-kata yang disampaikan kepadanya kemarin. Ah, Aira memang cinta itu harus memilih. Mengungkapkan dengan sebuah penolakan itu memang menyakitkan namun akan lebih menyakitkan apabila kita memaksakan untuk mencintai padahal sebenarnya hati kita untuk orang lain.

Hafizh melihat kerapuhan itu sekarang. Aira, bukanlah seperti yang dia lihat sekarang. Banyak hal disembunyikannya yang sebenarnya membuat Hafizh justru ingin belajar darinya. Bagaimana dia bisa melakukan untuk orang lain yang dia sayang padahal dia sendiri harus berjuang.

"Mas Hafizh sudah menikah?"

"Saya?" Wildan mengangguk ramah. "Belum Om, belum ada yang cocok dan belum ada niat juga. Masih ingin mengembangkan usaha dulu."

"Saya dulu justru ingin menikah cepat-cepat setelah kenal dengan seseorang. Qodarullah beliau memilih orang lain untuk menjadi pendampingnya dan mempertemukan saya dengan uminya Aira." Kata Wildan sembari memutar kembali ingatannya ke masa lalu.

"Iya Om, memang jika sudah merasa mampu dan ingin sebaiknya disegerakan. Hanya saja saya masih belum pas."

"Yang penting jangan melanggar norma agama saja Mas, harus kuat-kuat iman. Jaman sekarang itu seolah menjadi digampangkan. Barang hak disepelekan padahal dosa besar itu ya berawal dari dosa-dosa kecil yang disepelekan itu."

Hafizh terdiam dalam lamunannya. Dosa kecil yang disepelekan. Apakah memperlakukan Fatia seperti itu termasuk ke dalam golongan dosa kecil yang disepelekan itu tadi?

Tidak ada yang salah dengan ucapan Wildan namun hati Hafizh sedikit menolak. Dia hanya ingin memberikannya kepada wanita yang memang dia inginkan namun Hafizh juga harus memastikan hati wanita tersebut tertuju kepadanya atau tidak.

Tak ingin mendengar yang lebih banyak lagi Hafizh akhirnya mohon diri untuk pamit pulang.

"Sepertinya saya harus pulang Om. Syafakillah buat Aira, semoga Allah segera mengangkat penyakitnya dan mengganti dengan kenikmatan lainnya."

"Aamiin, syukraan katsiran Mas Hafizh. Inshaallah nanti disampaikan kepada Aira."

Dan Hafizh melangkah menjauhi dengan berbagai praduga di dalam hatinya. Hingga matanya menangkap bayang-bayang yang tidak asing olehnya.

"Abang? What are you doing here?"

"Just visiting friend who is sick." Jawab Hafizh.

"Ya iyalah sakit. Masa konser di rumah sakit Abang. Who is he?"

"She is Aira."

"Heh, ini anak nggak sopan banget. Sama Aunty kok gitu banget sih?"

"Yeah, nanya dijawab salah. Temen abang namanya memang Aira, sama seperti nama Aunty Aira yang cantik, manis bikin Uncle Erland kicep nggak bisa berkata-kata kalau lagi hamil dan ngidam macam-macam." Jawab Hafizh dengan sangat panjang.

"Pasaran banget ya nama Aunty. Terus sekarang mau kemana?"

"Pulanglah. Aunty Ai emang nggak praktek di klinik Aunty Devi?"

"Iya habis ini. Mau jengukin anaknya temen. Tadi dapat kabar kalau anaknya di rawat di sini. Itu Unclemu juga nyusulin." Tiba-tiba ada Erland yang berjalan menghampiri mereka.

"Loh Abang di sini juga. Habis besuk siapa Bang?"

"Temen abang dong Uncle."

Akhirnya mereka berbincang sedikit sebelum akhirnya Erland menanyakan kepada Aira di kamar mana putra temannya di rawat.

"Pavillion Ahmad Dahlan, kamar no 2."

Otak Hafizh langsung menangkap sesuatu. Bukankah dia baru saja dari ruangan yang disebutkan Auntynya. Apakah itu artinya yang ingin Aunty dan Unclenya besuk adalah Aira?

"Tunggu!! Maksud Aunty, putrinya om Wildan?"

"Iya, teman Aunty Wildan namanya dan yang sakit adalah putrinya." Aira baru mengingat bahwa namanya sama dengan nama putri anaknya Wildan ketika dulu dia berkenalan di rumah sakit di Malang.

"Jadi, Aira putrinya Wildan ini yang pingsan di konveksi Bang?"

Hafizh mengangguk kemudian izin untuk segera pulang ke rumah. Kemungkinan Qiyya pasti akan menunggunya karena tadi dia janji untuk makan malam di rumah.

Dalam perjalanan pulangnya. Hafizh benar-benar terngiang kata-kata Wildan. Bahwa sebuah kebahagiaan itu bukan hanya diperuntukkan untuk diri kita sendiri namun juga untuk orang-orang yang kita sayangi. Bahagia itu bukan karena ingin dipuji tapi bagaimana kita bisa menjadi diri sendiri yang bisa berharga untuk orang lain disekitar kita.

Berjuang untuk bahagia. Apakah itu yang sedang dilakukan oleh Aira. Bahkan dengan beraninya dia mengungkapkan perasaannya kepada Hafizh karena sesungguhnya dia telah mengerti apa yang bisa membuat orang tuanya bahagia.

'Ada seseorang yang bisa menjaga aku nantinya. Sehingga Abi tidak terlalu khawatir saat aku jauh. Dan aku melihat Bang Hafizh sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh Abi.'

Bolehkah Hafizh berpikir yang sama dengan Aira kini. Dia juga ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Keadaan Aira telah mengingatkannya bahwa ada hal-hal tertentu yang mungkin menjadi keinginan kita namun terbentur oleh keinginan orang lain.

Seperti yang telah Ibnu katakan juga kepada Hafizh. Laki-laki itu adalah sikap dan omongan yang bisa di pegang. Jangan suka mengumbar janji jika nantinya kita belum pasti bisa menepati.

Action, action and action!!!

🍄🍄

-- to be continued --

🍃 ___🍃

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

🍃 ___ 🍃

mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini

Blitar, 13 September 2019

revisi dan republish 19 April 2020

Continue Reading

You'll Also Like

34.6K 1.7K 37
Di jalan setapak pemakaman yang dipenuhi pelayat dan para prajurit berseragam lengkap dua sosok muncul dengan senyuman kebahagiaan. Tangan perenpuan...
20.3K 1.9K 31
Naura tidak tau jika kedekatannya dengan Azam mampu menumbuhkan benih cinta dihati pria itu. Selama mengenal Azam, Naura hanya menganggap pria itu se...
Cinta Naynawa By P

General Fiction

2.5K 254 4
Zahra Naynawa. Kemarin mungkin ia berbahagia. Seseorang telah mempersuntingnya. Namun, sebuah kenyataan pahit telah menjadi tamparan telak untuknya d...
1.2K 317 10
Sudah terbiasa bersama, membuat Adiba menyimpan rasa pada sahabatnya, Naufal. Dari kecil, sampai masa-masa tersulitnya, Naufal selalu ada menemani Ad...