LOVE AT THE NEIGHBORHOOD

By ditarskun

1.1K 222 45

Status sebagai ketua dalam Tim Pemeliharaan Kerapian dan Kebaikan Perilaku di sekolah membuat Zee Thompson me... More

1. EPISODE KESATU : INTRODUCTION
2. EPISODE KEDUA : (STILL) INTRODUCTION
4. EPISODE KEEMPAT : (AGAIN) MY DAYS
5. EPISODE KELIMA : MEMORI
6. EPISODE KEENAM : MEMORI MEMORI
7. EPISODE KETUJUH : MEMORI MEMORI MEMORI
8. EPISODE KEDELAPAN : MENGAMATI
9. EPISODE KESEMBILAN : TRAVELOGUE
10. EPISODE KESEPULUH : COMPLICATED
11. EPISODE KESEBELAS : AWAL PETUALANGAN
12. EPISODE KEDUA BELAS : AGGRESSIONS
13. EPISODE KETIGA BELAS : REVEALING
14. EPISODE KEEMPAT BELAS : KEPUTUSAN
15. EPISODE KELIMA BELAS : MENDALAM
16. EPISODE KEENAM BELAS : PRICELESS
17. EPISODE KETUJUH BELAS : BROKEN HEARTED GIRL
18. EPISODE KEDELAPAN BELAS : THE LAST (?)
19. EPISODE KESEMBILAN BELAS : LOVE NEVER END
20. CAST

3. EPISODE KETIGA : MY DAYS

70 14 4
By ditarskun

Pagi Hari = Sebal

Aku mengambil sepeda warna coklat dari garasi rumah yang terparkir di antara mobil Ford milik kakakku dan VW Beetle milik saudaraku. Aku letakkan tas di keranjang sepeda.

"Semoga hari ini menjadi hari yang tenteram." Aku bergumam sambil memperhatikan sekeliling rumah. Dari dalam, aku mendengar dua saudaraku bertengkar berebut mobil. Lagi.

"Hari ini aku pakai mobilmu!" Itu suara Darius.

"Enak saja! Kemarin kau sudah memakainya dan kau tabrakkan ke trotoar! Biaya ganti catnya yang tergores juga belum kau ganti!" Nick tidak bersedia. Yeah... Nick Thompson, idola para gadis di sekolah. Dia adikku. Tepatnya, saudara kembarku dengan beda waktu kelahiran sepuluh menit. Teman satu sekolah tak ada yang mengetahui status kami, karena memang tak ada yang berasal dari junior high school yang sama dengan kami.

"Aku ganti nanti. Mana kuncinya?" Darius tetap memaksa.

"Tidak mau!"

Aku kembali ke dalam rumah. Oh, tidak! Mereka sudah bergumul di karpet ruang tamu memperebutkan kunci mobil. Aku melewati mereka begitu saja menuju lantai dua, mencari dad dan mom untuk berpamitan.

"Mom?" Aku melongokkan kepala ke dalam kamar orang tuaku yang terbuka pintunya. Aku temukan mom memasangkan dasi ke leher dad.

Dad menoleh padaku dan tersenyum. "Zee, kau sudah mau berangkat?" Dad menyuruhku mendekat.

Selesai memasangkan dasi, mom beralih ke kancing jas dad. "Makan siangmu sudah Mom masukkan ke tas, tapi Mom lihat kemarin ban belakang sepedamu agak kempes." mom memandangku.

"Aku sudah minta tolong Paman Sebastian untuk mengisi angin tadi pagi-pagi sekali." Aku mengecup pipi dad dan mom. "Sekarang sudah tidak apa-apa." Pandanganku menuju ke jendela dan kulihat wanita cantik yang rumahnya berhadapan dengan rumahku, menyeberang jalan dan melangkah di halaman rumah.

"Aku berangkat!" Aku bergegas turun, melewati kedua saudaraku yang terus saja bergumul dan sekarang pindah ke sofa ruang keluarga. Sebelum keluar dari pintu, aku sempat mendengar dad berteriak pada mereka.

"NICK! DARIUS! HENTIKAN!! SELALU SAJA BEGINI! SEKARANG SIAPA YANG MULAI!?" Aku mendengar dad menuruni tangga dengan kesal.

Aku pergi ke teras dan benar saja, wanita cantik itu berdiri di sana. Tangannya membawa kotak besar, entah apa isinya.

"Emm... aku datang di saat yang kurang tepat?" Dia terlihat tidak nyaman.

Aku tersenyum dan menggeleng. "Tidak, kau kan tahu sendiri kalau setiap pagi selalu begini."

Dia juga tersenyum.

"DARIUS! DAD BILANG BERHENTI! KAU SUDAH DEWASA!" Teriakan dad terdengar hingga ke teras.

Wajah Kak Tessa benar-benar tak nyaman.

Aku ingin sekali memberi makan kedua saudaraku dengan bom nuklir yang bisa menghilangkan mereka dari muka bumi.

"Tunggu sebentar Kak." Aku mundur dan melongok ke dalam. Dad yang tadinya sudah rapi, kini melonggarkan dasi juga kancing atas kemeja dan berdiri di atas kursi ruang keluarga sambil berkacak pinggang. Darius dan Nick berdiri terpisah dengan ibu sebagai tameng.

Benar-benar tidak tahu malu. Terus bicara dengan intonasi tinggi.

Aku bersuara. "Hello, bisakah mengecilkan volume sedikit? Berteriak dan bertengkar di pagi hari sangat tidak baik bagi kesehatan."

Dad, Nick, Darius, dan mom menoleh padaku serempak. Wajahku benar-benar memohon.

"Di sini, ada Kak Tessa. Jadi, jangan permalukan diri kalian di depan tetangga sepagi ini. Oke? Aku sangat memohon sedikit perhatian kalian." selesai berkata aku kembali menemui Kak Tessa.

Sudah aman. Thank's God. Aku merapikan dasi dan blazer seragamku. Rupanya kata-kataku cukup didengar  karena dad sudah tidak berteriak lagi.

Kak Tessa menyerahkan kotak besar berpita putih itu padaku. "Semalam Ben pulang dan ini ada sedikit oleh-oleh untuk kalian."

Aku menerimanya. "Terima kasih. Kau selalu saja baik pada kami."

"Itulah gunanya tetangga, Zee." Dia menepuk lembut bahuku.

"Honey!" Sebuah panggilan dari halaman rumah di seberang jalan membuat Kak Tessa dan aku mencari sumber suara. Dia. Laki-laki itu menyeberang jalan menuju rumah.
      
Oh, tidak! Apa yang harus aku lakukan?! Apa aku harus masuk rumah, menutup pintu, menguncinya, dan menahannya dengan lemari? Atau masuk saja ke kotak yang sedang kupegang? Atau menutupi wajahku yang mulai memerah dengan taplak meja? Atau... atau... atau... oh! Dia semakin dekat ke teras rumahku.

Kak Tessa menyambutnya dengan senyuman. Aku bingung. Zee, kau harus tersenyum atau berkata 'hai' sedikit yang penting jangan diam! Kenapa kau selalu bertingkah bodoh begini setiap melihatnya? Lama-lama dia pasti akan menjauhimu dan menyuruh dokter untuk menyuntikkan obat rabies! Ayo Zee, senyum! Senyum! Senyum!

Kak Tessa mengecup pipi kiri pria itu dan merangkul lengannya penuh sayang.

Ben tersenyum, memperlihatkan lesung di pipi kirinya.

"Zee? Apa kabar? Seminggu tidak bertemu." Dia berdiri di depanku dan menepuk bahu kiriku.

"Iy... ya... ap.. pa... kabar juga?" Oh sial! Kenapa gagap di saat seperti ini?!

"Kau sakit, Zee?" dia meletakkan punggung tangan kanannya di dahiku.

"Oh!" Aku cepat-cepat menarik diri. "Aku tid... tidak... ap... apa... apa..." Gagap lagi! Masukkan saja kepalamu ke lemari es kalau kau terus-terusan bertingkah bodoh begini, Zee!

Kak Tessa mulai cemas. "Benar tidak apa-apa?"

Aku mengangguk.

"Mr. dan Mrs. Thompson belum berangkat?" Ben bersiap melongok ke dalam rumah.

Aku menghalangi pintu. "Iya, tapi lebih baik jangan menemui mereka sekarang karena mereka masih menjadi 'monster'." Jelasku dengan suara yang mulai normal. Akhirnya.

"Monster?" Dia tidak paham apa yang kumaksud.

"Nick dan Darius bertengkar lagi." Bisik Kak Tessa.

"Oh... rutinitas di pagi hari, ya?" Dia tersenyum geli.

Telanlah aku lantai! Telan aku! Aku malu sekali pada mereka berdua. Karena terlalu seringnya Darius dan Nick berebut mobil tiap pagi, mereka sampai hapal kebiasaan kedua saudaraku.

Aku tersenyum kecut menanggapi komentar Ben.

"Oops! Aku harus mengantar Josh ke sekolah." Kak Tessa melihat jam tangannya.

"Kalau begitu kita lanjut berbincang lagi nanti, Zee. Aku juga harus berangkat ke kantor." Ben menepuk bahuku. "Bye!" Dia berpamitan pada orang yang berada di belakangku.

"Kami pergi dulu, Zee. Nick." Kak Tessa melambaikan tangan.

"Terima kasih lagi Ben, terima kasih Kak." Ucapku lalu mereka berdua pergi.

Aku masuk rumah, mengabaikan sosok berantakan yang berdiri di ambang pintu. Meletakkan kotak itu di meja ruang makan. Aku membuka tutupnya dan kulihat cake cokelat dengan krim dan buah stroberi segar di atasnya. Hmm... yummy!

"Mom, oleh-oleh dari Ben! Aku makan sepulang sekolah." Aku keluar rumah.

"Oke, Sayang." Mom kembali merapikan penampilan dad.

"Hati-hati, Zee!" Mom dan dad serempak. "Jangan lupa bawa Nick bersamamu!" Kalimat selanjutnya membuat hariku berubah suram. Kuharap salah dengar barusan.

Aku menemukan Nick sudah duduk di kursi teras. Aku terus saja berjalan, mengeluarkan sepedaku dan bersiap naik ke kursi kemudi, tapi batal karena Nick memanggilku.

"Tunggu!" Dia berjalan ke arahku sambil membawa ranselnya.

Aku diam. Berarti aku tidak salah dengar tadi.

"Dad menyita kunci mobilku dan dad menyuruhku untuk berangkat sekolah denganmu." Dia naik ke boncengan sepeda.

Aku hanya bisa mengembuskan napas berat. Sudah kuduga, lambat laun ini pasti akan terjadi.

"Kenapa belum jalan?" Dia meresleting ranselnya.

Aku berbalik dan berkacak pinggang. "Jadi, aku yang harus menyetir sepedaku sementara kau asik di boncengan?!" Aku melotot padanya.

"Iya." Dia berdiri dan memasang standar sepedaku. "Apa kau keberatan?"

"Sangat! Apalagi dengan penampilanmu yang seperti koran kusut. Jangan sampai kepala sekolah memberimu kartu tilang lagi. Aku sudah bosan melihat nama Nicholas Luis Thompson memenuhi jurnal kerapian dan tata tertib. Benar-benar merusak nama baik keluarga! Cepat rapikan!"

"Kalau aku tidak mau?"

Aku tersenyum samar. "Jalan kaki saja kalau begitu." PLOK! PLOK! Aku menepuk lengan atasnya. "Selamat pagi Nick! Dan temui Mr. Gonzalez setelah kau sampai di sekolah untuk mengambil kartu tilangmu. Terlambat untuk yang kesekian kalinya. Oke?!" Aku bersiap naik sepeda.

"Baiklah! Okay! Fine!" Dia menyerah dan mulai merapikan penampilannya. Memasang kancing kemeja dan dasi. Memasukkan kemeja dan juga memasang jas dengan sempurna.

Aku bertukar posisi dengannya dan sempat mendengar dia bergumam tidak jelas, mengata-ngataiku pasti. Dia melepas ransel dan meletakkannya juga di keranjang, bertumpukan dengan tas milikku. Dia naik ke kursi kemudi, aku duduk di boncengan dan dia mulai mengayuh sepeda.

"Hati-hati adik kecil!" Darius berteriak mengejek dari pintu.

Nick hanya menanggapinya dengan jari yang tidak pantas diacungkan kemudian menggerutu. "Selalu saja memulai pertengkaran. Padahal dad sudah membelikan kami mobil masing-masing." Nick keluar dari halaman menuju jalanan komplek.

Aku tak berkomentar.

"NICK! ZEE!" Sebuah suara yang memanggil kami, membuat Nick mengerem mendadak.

"Aduh!" Kepalaku membentur punggung Nick.

"Gangguan apa lagi ini?!" Nick agak kesal.

Aku menoleh. Nick juga. Kami melihat Ben yang berjas dan siap masuk mobil.

"Nick, kaukah itu?"

"Yeah! Kau pikir Vampir atau Frankenstein?!" Jawab Nick sebal. "Aww!!"

Aku mencubit pinggangnya. "Kau sopan sekali?!" Aku menekan kalimatku.

"Lagi-lagi membelanya." Nick mengelus pinggangnya yang kucubit.

"Sepertinya masih ada yang mengamuk." Ben mengangkat bahu. Dia suka sekali menggoda Nick sejak dulu.

Nick hanya berdecak dan kembali mengayuh sepeda lebih cepat.

Aku ingin sekali menelan Nick hidup-hidup saat itu juga. Selalu saja bersikap tidak hormat pada Ben yang jauh lebih tua enam belas tahun darinya. Padahal Ben bertanya dan menyapa baik-baik. Dasar saudara tak diharapkan! Aku menyesal dan ingin sekali tidak dilahirkan bahkan serahim di saat yang bersamaan dengannya. Ingin sekali bertanya pada dad dan mom, kenapa aku harus punya saudara kembar seperti Nick?! Tapi mom selalu  bilang padaku, "Seharusnya kau bersyukur karena Nick bukan perempuan."
Aku sadari itu. Tak bisa kubayangkan jika aku punya kembaran perempuan dengan sifat seperti Nick, hidupku pasti lebih sengsara.

"Bagaimana dengan Darius? Dia membawa mobilmu?" Tanyaku di sela perjalanan kami.

Nick menggeleng. "Dad akan mengantarnya hingga jalan raya lalu menyuruhnya untuk naik bus. Sebulan ke depan, Darius akan terus seperti itu. Hidup tanpa mobil! Ha-ha-ha! Rasakan manusia serakah!" Nick senang.

"Kau sendiri?"

"Sepulang sekolah dad akan menyerahkan kunci mobilku kembali." Dia semakin cepat mengayuh.

"Dasar laki-laki!"

"Kenapa? Kau iri ya, karena tidak juga dibelikan mobil oleh dad dan terus saja berkelana dengan sepeda butut ini!" KRING! KRING! KRING! Nick membunyikan bel sepeda.

Bukannya dad tak mau membelikanku mobil, tapi justru aku yang menolaknya.

"Hhhh... aku jadi ingin tahu. Apa reaksi yang terjadi bila para gadis tak tahu diri itu tahu bahwa, kau punya kebiasaan memeluk boneka panda jelek robek dan bau sebelum tidur?"

"Kau mengancamku?"

"Tidak, hanya sebuah pertanyaan."

"Jangan harap kau bisa menang dengan perkataan semacam itu, Zee!" Nick menoleh sekilas dan aku bisa melihat kilatan tajam dari ujung matanya.

"Aku kan sudah mengatakannya padamu, itu hanya sebuah pertanyaan. Apa kau tidak mengerti? Pantas saja nilaimu penuh dengan C." Aku mulai migrain. Bila aku memutuskan untuk bicara dengannya, pasti saja berakhir dengan pertengkaran.

TIN! TIN! Tak berapa lama mobil sedan perak, menyejajari laju kami di sebelah kanan.

"Zee? Mau ku antar ke sekolah?" Pemilik mobil itu menawariku.

Aku hanya menggeleng dan melihat sekilas ke arahnya.

"Kau yakin? Karena sepertinya Nick kewalahan mengayuh sepeda. Kau kurang berolahraga sobat!" Dia mengomentari Nick.

Kulihat telinga Nick memerah. Entahlah, mereka berdua selalu  begini. Kadang aku merasa puas kalau Ben mulai menggoda Nick.

"Zee? Kau mau?" Ben masih menawariku.

"Oke, sekarang gangguan lagi!!" Nick berseru. "Ayolah Zee, ini kesempatan kau pamer pada teman-temanmu bahwa kau bisa juga pergi ke sekolah naik mobil dan diantar pria keren berjas macam dia." Nick menoleh lagi.

Aku memelototinya. "Lebih baik kau diam sebelum aku menyumbatmu dengan sepatu." Aku mendesis padanya.

Dia tidak mempedulikan ucapanku, justru semakin keras saja berbicara. "Jangan sok jual mahal begitulah! Gadis mana yang akan menolak pria sekeren Ben." Dia tetap berceloteh.

Sekarang ganti telingaku yang memerah. "Nick!" Aku mengatupkan rahang, kesal setengah mati.

"Ben, sepertinya Zee mau tapi dia malu." Nick mengedikkan kepalanya padaku. "Iya kan, Zee?"

DEBUG! Kuhantamkan tinjuku ke punggungnya.

Ben terperanjat, dia terus saja mengikuti laju sepeda kami.

Aku masih tetap tidak melihat ke arahnya. Berbagai makian kasar untuk Nick, terbayang-bayang di kepalaku.

"Bawa saja Ben!" Nick masih berbicara sambil memegang perutnya yang baru saja kuhantam juga dengan tinjuku.

"Atau kau saja yang ikut denganku, Nick? Karena aku tidak yakin kau akan sampai di sekolah dalam keadaan sehat." Ben berkata begitu karena aku kembali meninju punggung Nick dengan kedua tanganku bertubi-tubi.

"Iya, itu ide bagus!" Nick mengerem dan berhenti mengayuh sepeda.

Aku turun dari boncengan dan terus menghantam bagian tubuh yang bisa kucapai dengan tinjuku.

Nick mengambil ransel dari keranjang, menggunakannya sebagai tameng mengikuti seranganku di tubuhnya dan bergegas lari ke mobil Ben yang berhenti di sebelah sepedaku yang sudah tergeletak di jalan.

Ben memperhatikanku dengan seksama. Dia pasti kebingungan mengapa aku bertindak brutal pada Nick barusan. "Apa Nick berbuat jahat padamu? Kuturunkan lagi dia, ya?"

"Don't do that, Ben! Don't do that!" Nick buru-buru memasang seatbelt.

Aku tidak menjawab. Napasku agak tersengal karena seranganku pada Nick barusan.

"Dia hanya belum minum obat." Nick menjawab asal dan kulihat dia meletakkan ranselnya di kursi belakang.

"Obat?" Ben beralih padanya.

"Dia agak..." Memutar telunjuknya di sekitar kepala.

"Kau!" Aku menatap tajam pada Nick dan naik ke sepeda, mengayuhnya secepat mungkin. Tidak lagi menoleh ke belakang.

Tidak lama kemudian, mobil Ben menyusulku. "Hati-hati, Zee!" pesan Ben sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk dan memberi Nick tatapan membunuh. Aku yakin dia sedang mengata-ngataiku. Mudah-mudahan kau tertimpa truk semen!

Brother atau Monster

Ada yang membunyikan klakson di belakangku saat aku bersiap memasuki gerbang sekolah. Aku menoleh. Kulihat Darius melambaikan tangannya dari dalam mobil. Bukan mobilnya, bukan mobil dad, bukan mobil Nick, dan yang pasti bukan pula bus. Dia duduk di kursi depan, di samping bangku kemudi dan terus melambai padaku. Ya Tuhan... Norak sekali.

"Zee! Mana Nick?!" Dia membuka kaca mobil sepenuhnya.

Aku hanya mengangkat bahu.

"Sam, itu Zee. Sekarang dia sudah remaja. Tidak seksi seperti yang lain sih, tapi dia cantik dan bikin gemas, kan?" Darius berkata pada laki-laki tampan yang duduk di kursi kemudi.

Dia memandangku lama, kemudian tersenyum. Kulihat lesung pipi kiri muncul saat tulang pipinya terangkat. Mirip Ben.

"Zee, kau ingat Sam? Adik Ben? Sekarang dia akan mulai magang di kantor Ben, di sini!" Tetap berteriak dari pintu mobil.

Aku tersenyum pada Sam. "Hai Sam. Lama tidak bertemu." Dan memandang tidak bersemangat pada Darius. Uhh! Kenapa semua saudaraku tidak ada yang beres? Yang satu menyebalkan, yang satu lagi memalukan.

"Nanti malam dia akan ke rumah. Mom mengundangnya untuk makan malam. Ben dan Tessa juga." Ucapnya. "Bye Zee!" Akhirnya Darius pamit juga.

Sam mengangguk padaku lalu kembali menjalankan Jeep putihnya.

Terima kasih atas informasi yang akan menambah daftar kejadian menyebalkan di hari Rabu ini. Aku masuk gerbang dan memarkir sepedaku di antara mobil-mobil yang memenuhi lapangan parkir sekolah.

Aku melangkah ke gedung sekolah dan mampir dahulu ke loker untuk melihat jadwal pelajaranku hari ini. Aku menemukan segerombolan pemandu sorak Nick Lover, bergosip di depan lokerku. Aku tidak peduli apa yang mereka bicarakan, tapi kupikir tidak ada salahnya untuk mendengarkan obrolan di pagi hari bersama mereka karena aku mendengar kalimat, "Nick idola kita mempunyai hobi baru. Dia suka berkuda."

Ha-ha-ha! Aku ingin terbahak di situ sekeras-kerasnya, tapi tidak sopan menertawakan 'hal baik' begitu. Jangankan berkuda, memberi makan anak kucing saja dia ketakutan setengah mati.

"Permisi." Kataku pada gadis berambut merah yang menghalangi lokerku.

Dia melirikku. Aku bisa menangkap arti tatapannya yang berbunyi, 'Tukang tilang pengganggu gosip!' kubalas tatapan matanya dengan lirikanku yang tak peduli. Saat yang tepat bila mereka mencari masalah denganku. Aku bisa menyalurkan rasa kesalku yang sudah kusimpan sepagi tadi pada mereka.

Tak berapa lama dia langsung marah-marah. "Berani kau melirikku seperti itu?!" Membelalak sejadi-jadinya.

Kelima temannya ikut memelototiku.

"Lirikanmu tadi, menyebalkan sekali!" Dia semakin geram.

"Miss," aku melihat name tag di blazer-nya. "Oh, Miss Amanda Bones. Marah-marah di pagi hari bisa membuatmu lapar dan itu sangat mempengaruhi sirkulasi masa dietmu." Aku membuka kunci loker dan melihat jadwal pelajaran yang menempel di pintunya.

"Kau!" Dia sangat kesal. Kelima temannya menghalangi agar tidak menyerangku.

Heran, tulang menonjol dimana-mana, masih saja ikut program diet. "Biologi... Olahraga... Matematika..." aku mengangguk-angguk membaca jadwal pelajaranku. Aku beralih ke lokerku yang sudah dipenuhi setumpuk kartu persegi kecil warna merah-jingga yang bertuliskan 'Kartu Tilang' di atasnya. Lagi-lagi ini. Aku meremas beberapa lembar kertas itu. Bukankah permohonanku pada Mr. Gonzalez untuk cuti sudah sangat jelas! Jeritku dalam hati dan kututup loker untuk menuju laboratorium biologi, meninggalkan Amanda yang masih meronta-ronta ingin menyerangku.

"Gadis aneh pedalaman! Sebaiknya kau terbang saja keluar angkasa dan berteman dengan alien di sana!" Amanda mengoceh sekuatnya.

Whatever. Aku berbelok di ujung lorong dan membolak-balik bukuku untuk melihat catatan Biologi dua hari lalu.

Aku berhenti tepat di depan pintu lab yang tertutup. Aku raih gagangnya dan... Oh! Pemandangan tak pantas! Aku segera menutup wajahku dengan tas dan berjalan mencari kursi paling belakang sambil tetap menghalangi pandanganku dari sepasang sejoli yang terus saja bertukar saliva. Seriously! Tapi, tunggu dulu! Aku mengintip mereka di sela-sela pegangan tas.

"Nick?" Gumamku. Bukannya semalam dia baru saja melakukannya dengan Kylie di depan gerbang? Oh, kenapa dia menjadi laki-laki yang begitu gampangan? Sering sekali aku memergokinya bertingkah begitu dengan perempuan yang berbeda-beda di teras rumah.

BRAKK!! Aku sengaja membanting tas karena mereka berdua tidak mempedulikan bahwa ada orang lain di lab ini. Pagi-pagi sudah berulah!

Mereka tersentak dan berhenti. Napas mereka memburu. Aku mual. Kenapa kalian tidak bercumbu saja di tempat lain!? Nick melirikku sesaat dan mengecup gadis itu lagi. Aku diam saja melihat penampilan gadis itu. Dia buru-buru menyisir kembali rambutnya dan mengolesi bibirnya dengan liptint. Nick juga merapikan jas dan menggosok bibirnya sendiri dengan jemari.

Hhhh... kepalaku tiba-tiba pusing. Apa benar, dia saudara kembarku? Kenapa sangat jauh bertolak belakang? Kalau tahu begini, lebih baik aku jadi air ketuban saja dari pada harus jadi kembaran Nick!

Bel masuk berbunyi. Murid yang lain mulai berdatangan dan mengisi bangku-bangku yang kosong.


Basket... Basket... Basket...

Aku keluar dari lab biologi dengan kepala yang tidak berhenti berdenyut. Pusing, mual, untung saja tidak pingsan. Kenapa? Karena Mrs. Campbell memutarkan video tentang makhluk hidup yang memiliki kelainan genetis dan itu menyebabkan mereka menjadi albino, memiliki sel raksasa, atau tumbuh rambut dari dalam telinga. Dokter, perawat, ahli kesehatan, akan kucoret dari daftar cita-cita dalam buku bimbingan karir. Sama sekali tidak berminat. Terima kasih. Goodbye. Sayonara.

Lorong loker sudah terlihat dan murid-murid yang memiliki jam pelajaran olahraga bersamaan denganku, mengambil pakaian olahraga mereka dan bergegas ke ruang ganti. Aku pun mengikuti langkah mereka menuju ruangan berukuran 10 m x 10 m yang di dalamnya juga berbaris loker dan kamar mandi.

Para gadis seangkatanku dan juga adik kelas, mulai membuka seragam mereka. Tanpa malu memperlihatkan anggota badan yang masih mulus dan tidak bergelambir. Aku tidak memiliki kepercayaan diri setinggi itu. Aku masuk ke kamar mandi dan berganti pakaian sekaligus sepatu olahraga di sana.

"Kalian tahu, semalam Nick begitu romantis!" Aku mendengar suara Kylie yang baru saja masuk ruang ganti.

"Yang benar?!" Gadis-gadis yang lain tertarik dan sangat bersemangat.

"Ya!" Kylie bangga.

Aku hanya memandang lesu dan melipat seragamku.

"Apa yang telah dia lakukan?" Satu pertanyaan yang ingin membuatku muntah.

Aku tidak habis pikir, mereka gadis-gadis sehat yang mengidolai orang tidak waras sehingga ikut gila. Aku menyimpan seragam di loker ruang olahraga, bersiap keluar ruangan. Aku memperhatikan gadis-gadis yang hanya memakai pakaian dalam itu, duduk mengelilingi Kylie yang berdiri. Ingin tahu cerita menjijikkan selanjutnya.

"Well, sepulang dari makan malam yang sangat romantis dan menyenangkan dengannya, aku mengantar Nick hingga depan rumah, lalu..." Kylie sengaja menggantung kalimatnya untuk memancing rasa penasaran gadis-gadis itu.

Aku sama sekali tidak berminat dan sudah mengetahui lanjutan ceritanya. Aku melangkah ke pintu keluar.

"Kau mau kemana?" Cassie, reporter majalah sekolah bertanya padaku dan itu membuat seluruh gadis di situ melihat ke arahku. Termasuk Kylie yang melontarkan pandangan, 'Tukang tilang pengganggu gosip-nya'. Mirip seperti tatapan Amanda tadi pagi.

"Ke lapangan, tentu saja."

"Tapi, cerita Kylie belum selesai." Cassie mengenakan celana olahraganya.

"Aku tidak berminat." Ucapku lalu keluar dari ruang ganti dan langsung menutup pintu.

Aku mendengar suara teriakan dari dalam. Mungkin Kylie sedang mengataiku. I don't care.

Aku terus saja berjalan menuju lapangan olahraga. Ngomong-ngomong, hari ini aku belum melihat keadaan TK. Aku mampir sebentar ke balkon dan menunduk ke arah jalan raya. Anak-anak balita sedang berkejaran di halaman TK. Aku tersenyum sendiri.

Aku berbalik dan kembali berjalan ke arah lapangan olahraga indoor. Masih sepi, karena aku belum melihat seorang pun di sana. Gerombolan Kylie yang untuk semester ini sekelas denganku di pelajaran olahraga juga tak kelihatan. Mr. Banner, guru paling muda dan keren di sekolah juga tidak ada. Aku duduk di bangku kayu panjang yang berada di pinggir lapangan basket.

BRAKK! Ada yang menabrak pintu ruang olahraga. Aku menoleh. Ternyata, adegan tidak senonoh di lab biologi tadi pagi kembali terulang. Bisa ditebak siapa pelakunya? Nick Thompson. Lagi. Aku sampai bosan memergokinya berciuman dengan perempuan yang berbeda-beda dalam sehari.

"Hei Nick!" Aku terpaksa memanggilnya karena dia mulai brutal, sedangkan gadis itu pasrah dan tampak menikmati.

Nick terus saja. Mungkin dia terlalu asik sampai tidak medengarku.

"Nick!" Aku berdiri, tapi pandanganku menoleh ke arah lain. Tak sanggup melihatnya. Aku melirik Nick sekilas. Mereka tetap saja. Terpaksa, aku membuka sepatu dan kulemparkan sekuat tenaga ke arahnya.

BLUGH! Tepat mengenai punggung Nick.

Kegiatan mereka terhenti. Nick langsung melotot padaku.

"Kau kurang kerjaan, ya?! Menganggu kesenangan orang!!" Dia marah, tapi aku tidak peduli. Ini kulakukan demi kebaikannya, karena kurasa sebentar lagi Kylie datang dan pasti menangis bila sampai memergoki Nick berciuman dengan gadis yang beda dari gadis di lab tadi pagi.

"Lemparkan sepatuku." Aku bersiap menangkapnya.

Nick yang masih kesal, mengambil sepatuku dan melemparnya sekuat mungkin.

Hup! Aku berhasil menangkapnya dengan baik. Aku pakai sepatuku dan kembali duduk. "Lebih baik kau keluar dari sini secepatnya, sebelum cacing betina itu memergokimu sedang berduaan dengan gadis eksotis ini."

"Cacing betina?" Dia mengangkat alisnya, mencoba mengingat sebutan itu milik siapa. "Kylie?"

Kepada siapa lagi sebutan itu kusematkan kecuali pada gadis yang paling menyebalkan itu.

Nick sepertinya mendengarkan kata-kataku karena dia langsung merangkul perempuan itu keluar dari gedung olahraga.

"Huhhh..." Aku memegang perutku yang kembali mual.

PRIT! PRIT! Bunyi peluit dari pintu dan suara banyak langkah kaki, menghilangkan rasa mualku. Mr. Banner dan murid yang lain sudah datang. Akhirnya.

Beliau berjalan ke lemari perlengkapan olahraga dan mengambil sebuah bola basket, mendribel, kemudian... BLASH! Masuk keranjang.

"Hari ini penilaian. Sepuluh orang siswi berkumpul di sana!" Beliau menunjuk lingkaran besar di tengah lapangan basket.

Basket lagi? Penilaian lagi? Memangnya nilai minggu lalu kemana?

"Sir!" Eric mengacungkan tangan. "Kita bermain ini lagi? Minggu lalu, sepertinya anda sudah melakukannya dan saya berhasil melesakkan enam bola di sebelah sana." Dia menunjuk keranjang di sebelah kanan.

"Minggu lalu hanya nilai cadangan dan sekarang adalah penilaian yang sebenarnya. Jika hari ini kalian mendapat D, sedangkan minggu lalu mendapat A, aku bisa menulis B di rapor kalian." Jelas Mr. Banner. "Is it clear?"

Sangat paham. Setidaknya, ini bisa memperbaiki nilaiku menjadi A+.

To be continued...


Follow IG: ditarskun.story
Untuk mengetahui spoiler episode selanjutnya. 😁😀

Continue Reading

You'll Also Like

42.6K 3.3K 31
Shafa kecil tak pernah tahu awal mula ia bisa tinggal di Anugerah. Menjadi bagian keluarga Papa Juan dan Mama Tasya merupakan hadiah terbaik seperti...
16.7M 710K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
56.6K 7.4K 15
Mendadak kehilangan pekerjaannya, Runa Anantari kini sah menjadi orang paling memprihatinkan di keluarganya. Berusia tiga puluh tahun, jomblo, ditamb...
132K 12.8K 38
Turn down the negativity so that you can turn up a happy and healthy life. [] Race Ayudia, an independent, smart, and cold-headed woman. She has a...