Fate : A Journey of The Blood...

Od monochrome_shana404

18.2K 3.1K 4.3K

18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. J... Více

(Bukan) Kata Pengantar
PENGUMUMAN PENTING!!
Prologue
Act I : White Rose
Chapter 1.1 [1/2]
Chapter 1.1 [2/2]
Chapter 1.2 [1/2]
Chapter 1.2 [2/2]
Chapter 1.3 [1/2]
Chapter 1.3 [2/2]
Chapter 1.4
Chapter 1.5
Chapter 1.6
Chapter 1.7
Chapter 1.7.5
Chapter 1.8
Chapter 1.9
Chapter 1.10 [1/2]
Chapter 1.10 [2/2]
Chapter 1.11
Chapter 1.12
Chapter 1.12.5
Chapter 1.13
Chapter 1.13.5
Chapter 1.14 [1/2]
Chapter 1.14 [2/2]
Chapter 1.15 [1/2]
Chapter 1.15 [2/2]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(0)]
Act II : Bloody Rain
Chapter 2.1
Chapter 2.2
Chapter 2.3
Chapter 2.4
Chapter 2.4.5
Chapter 2.5
Chapter 2.5.5
Chapter 2.6 [1/2]
Chapter 2.6 [2/2]
Chapter 2.7
Chapter 2.8
Chapter 2.9
Chapter 2.10
Chapter 2.10.5
Chapter 2.11 [1/2]
Chapter 2.11 [2/2]
Chapter 2.12
Chapter 2.12 [EX]
[FILE_CAST(S)_Fate:AJoTBR(1)]
Act III : The Dark Garden
Chapter 3.1
Chapter 3.2
Chapter 3.2.5
Chapter 3.3
Chapter 3.4
Chapter 3.4 [EX]
Chapter 3.5
Chapter 3.5.5
Chapter 3.5.5 [EX]
Chapter 3.6
Chapter 3.6 [EX]
Chapter 3.6.5
Chapter 3.7
Chapter 3.8
Chapter 3.9
Chapter 3.10
Chapter 3.10 [EX]
Chapter 3.11
Chapter 3.12
Chapter 3.12 [EX]
Chapter 3.12.5
Chapter 3.12.5 [EX] [1/2]
Chapter 3.12.5 [EX] [2/2]
Chapter 3.13
Chapter 3.13.5
Chapter 3.14 [1/2]
Chapter 3.14 [2/2]
Chapter 3.14.5
Chapter 3.14.5 [EX]
Chapter 3.15
Epilogue
(Mungkin bisa dibilang) Akhir Kata

Chapter 1.9.5

177 43 48
Od monochrome_shana404

Detik stopwatch bergulir seiring Kirika memulai merakit pistol di atas meja. Tangannya bergerak cepat memasukkan laras ke dalam slider. Selanjutnya, batang pemandu yang sudah terbalut pegas. Segera ia memasang deretan ke bagian bawah pistol, mengokang deretan lengkap dengan pengait yang ia pastikan benar-benar kuat.

Beberapa kali Kirika memastikan pegas di dalam deretan benar-benar bekerja dengan mengokang slider. Segera ia beralih kepada magazen yang sudah terisi penuh oleh peluru.

Setelah memasukkan magazen, Kirika spontan menekan stopwatch meja dan mulai membidik papan sasaran di hadapannya.

Sementara ia mulai menembakkan peluru sampai isi magazen habis, Leon datang menghampiri seraya meraih stopwatch. Manik birunya memandangi angka yang terhenti di sana. Senyum miring terpatri, ia bahkan mulai membatin, Dia pasti tidak akan puas dengan angkanya.

Kirika menurunkan pistol, menoleh kepada Leon yang mulai menyurutkan sedikit senyumnya.

"Enam belas detik," cetus Leon tanpa ditanya.

Benar dugaan batin pria itu. Kirika mendengkus tak puas selagi ia melepas kacamata pelindung.

"Hanya lebih sedetik, Nak. Kau tidak perlu seperfeksionis itu dalam kegiatan bongkar pasang FN-46*," sahut Leon. "Aku mengerti betapa berharganya waktu bagimu. Namun, setidaknya sekarang kau tahu membongkar pasang senjata api semi otomatis dengan cepat."

Sekali lagi Kirika mendengkus. Leon hanya tertawa gemas memandanginya. Tak tahan, ia meraih puncak kepala Kirika dan mengacak rambutnya singkat. Benar saja, Kirika terkadang tak jauh beda dengan Leona yang tak sabaran ketika pelatihan.

"Selanjutnya kita akan mulai dengan senjata laras panjang. Aku berani taruhan kau akan menyukai sniper yang kubawa."

Tanpa berkomentar, Kirika hanya mengekor.

~*~*~*~*~

Kembalinya Leona ke Amerika memang membuat Kirika merasa sedikit bosan. Tidak ada yang berani mengajaknya melatih bela diri setelah ia nyaris mematahkan lengan salah satu bintara. Setidaknya prajurit itu berhasil diselamatkan setelah Leon datang tepat waktu untuk menghentikan latihan bertarung jarak dekat.

Meskipun semua kegiatan pelatihan sungguh membunuh tenaga, hal itu sama sekali tidak meruntuhkan semangat Kirika sebagai salah satu wanita di dalam barisan campuran. Dia memilih untuk mengikuti semua pelatihan, alasannya menghilangkan rasa bosan.

Selain membongkar pasang senjata api—baik yang laras panjang maupun laras pendek—Kirika diajarkan memanah menggunakan busur silang yang dibawa oleh Leon dari kampung halaman. Busur silang yang nampak tua, tetapi kecepatannya dalam menembakkan anak panah tak ikut termakan usia.

Sementara setiap pagi ia harus menjalankan aktivitas lari pagi. Dua hari sekalinya ditambahkan tantangan dengan memikul tas yang berisikan beban hingga lima puluh kilogram sambil mengelilingi lapangan pelatihan di luar ruangan sebanyak dua kali. Diiringi dengan nyanyian penuh teriakan semangat pula.

Walaupun beberapa di antara prajurit melantunkan nada sumbang, sama sekali satu pun di antara mereka yang terganggu dan malah semakin senang melawan lelah.

Seusai makan siang, sejumlah prajurit biasanya akan beristirahat atau bermain adu panco. Permainan itu tidak hanya dimainkan para prajurit pria, tetapi juga wanita di dalam barak. Kadang-kadang Kirika hanya ikut menonton. Jika diajak untuk ikut bermain, maka ia menerima undangan mereka dan akan menolak jika sedang tidak berminat.

Tidak semua penantang yang bisa ia menangkan dengan mudah. Yang mendapat kekalahan seringkali meminta adu ulang.

Sore harinya mereka dibimbing untuk memanjat dinding dan snapling. Leon tak pernah menyarankan orang-orang yang takut ketinggian melakukan hal itu. Namun pada akhirnya rasa penasaran menghilangkan ketakutan bagi mereka yang mengidapnya.

Jika diberi kesempatan Kirika akan melatih bela diri bersama Leon atau Gilbert Brown.

Gilbert Brown merupakan salah satu mantan Letnan Tentara Inggris yang pensiun dini karena menurunnya kesehatan. Diharuskan untuk melakukan perawatan intensif di Jepang, segera ia memilih untuk menetap dan bahkan berpindah kewarganegaraan. Mendengar kepulihannya, Gilbert direkrut oleh Hardy saat itu juga, dijadikan sebagai salah satu komandan untuk divisi kemiliteran.

Di sinilah ia sekarang. Bersama dengan anak dari sahabatnya tepat di atas arena gelanggang. Sementara Leon di bawah, tengah memantau. Saat ini, Kirika tengah dilatih kepekaannya terhadap pandangan gelap. Merupakan sebuah alasan mengapa kedua maniknya ditutup oleh penutup mata.

Gilbert akan memberikan sejumlah pukulan atau tendangan. Kirika diperboleh menghindar dan menangkis, mengikuti intuisi dan berfokus kepada angin dari lambungan serangan. Tidak sekali atau dua kali ia menerima pukulan karena gagal mengelak.

"Fokus, Nona Alford!" tegas Leon.

Ini kali ketiga Leon memperingatkan. Rasa dongkol membuncah di dalam dada Kirika membuat fokusnya hampir hilang.

Saat Gilbert melambungkan serangan samping, Kirika menangkisnya. Bersamaan, cepat-cepat ia menyerang dagu Gilbert yang berhasil ditangkis. Mengetahui keberadaan Gilbert mengundang Kirika untuk melangkah maju, memberikan serangan lanjutan. Pukulan dan tendangan dari segala arah secara bergantian.

Yang menerima serangan juga ikut memberikan serangan selain menangkis. Sedikit kewalahan, dia segera mengitari Kirika, berhenti di belakang lalu menghentak punggung wanita itu pelan. Segera Kirika mengayun lengan ke arah Gilbert bersamaan ketika ia berbalik.

Pukulan Kirika barusan sukses melaungkan suara benturan yang keras. Leon yang menyadari Gilbert sedikit bergeser saat menahan serangannya mengerjap.

Sementara Gilbert menahan napas, degup jantungnya memburu di kala memandang Kirika yang masih diam bersama tinju yang menempel di telapak tangannya.

"Kupikir sudah cukup berlatih dengan Komandan Gilbert," ujar Leon membuyarkan tekanan di antara keduanya.

Lekaslah Kirika menurunkan pukulan dan melepas penutup mata. Maniknya sempat menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata, lengkap dengan pandangan berbayang. Sementara ia dapat Gilbert yang tengah melepas sarung tangannya.

"Terima kasih atas kerja samanya, Komandan," ucap Kirika sebelum Gilbert turun dari gelanggang.

Giliran Leon yang akan melatihnya. Tanpa berkata apa-apa, Letnan Jenderal itu sudah berlalu lebih dulu bermaksud mengundang Kirika untuk mengekorinya.

Malam sudah menampakkan diri. Beberapa bintang sudi berhias, tetapi tak satu pun penduduk markas membuang waktu untuk menikmati keindahan kecilnya.

Kirika mengekori Leon, menyusuri lorong sempit yang sepi. Beberapa kompi sudah diizinkan untuk beristirahat seusai membersihkan tubuh. Yang masih berlatih samar-samar menghantarkan suara sahutan atau komando yang disampaikan, berikut dengan derap langkah.

Sampailah mereka di lapangan kosong dengan beberapa alat latihan seperti boneka kayu dan papan sasaran. Terdapat pepohonan di sekitarnya, seolah berdiri tegak sebagai pembatas. Tak mudah menerawang di antara mereka, utuh hanya didapat kegelapan. Sementara lapangan diterangi oleh lampu yang berpijar redup.

"Kita berlatih di sini," cetus Leon sembari membalik badan menghadap Kirika. "Meningkat fokusmu melawan musuh yang mengepung."

Kirika mengerjap. Dipilihnya diam, membiarkan Leon menjelaskan.

"Sejatinya, aku hanya ingin melihat seberapa jauh kemampuanmu dalam hal ini." Leon mengaku. "Aku agak sedikit tertarik setelah mendengarkan ceritamu mengenai penyerangan dari Oohara."

Kala itu Leon mengembangkan senyum. "Aku mengakui kau berkembang pesat ...."

"Tapi Anda tak akan percaya dengan perkembangan saya jika Anda tidak melihatnya dengan mata kepala Anda sendiri?" tukas Kirika segera.

Senyum masih saja menempel di wajah Leon, sama sekali enggan untuk menjawab apa-apa dari pertanyaan tersebut. Maniknya pun segera beralih kepada jam tangan yang ia kenakan. Tangan yang satu memutar bingkai jam tangan.

"Kita akan melakukannya ...."

Bersamaan, lampu penerang lapangan semakin redup.

"Dalam gelap."

~*~*~*~*~

Tembakan melaung, suaranya terpantul menuju batang pepohonan mengagetkan para penghuni dahan yang berakhir memutuskan untuk terbang menjauh menyelamatkan diri. Derap langkah senyap tercipta dari kedua kaki berbalut sepatu bot bersol tebal. Namun, sang empunya tak pernah bisa lolos dari papan sasaran yang selalu mencegatnya. Pun, selalu sukses melonjakkan detak jantungnya di tengah gelap.

Beberapa pukulan, tembakan atau sekali hujam di titik tertentu akan membuat mereka kembali jatuh ke tanah. Papan sasaran pertama muncul di hadapan mendapatkan hujaman terdalam di bagian tengah.

Selanjutnya yang lain muncul di kiri dan kanan. Yang dijadikan target memutar otak lebih cepat. Dia segera melompat sembari menendang kedua papan bersamaan dengan tendangan split. Ketika berputar ia dapati lagi papan sasaran. Maka Kirika mengeluarkan belati yang tanpa perlu pikir panjang ia lemparkan. Belati menancap di bagian atas, utuh papan membuat tumbang.

Perhatiannya yang teralih membuat Kirika lupa memfokuskan diri pada suara pisau yang melayang ke arahnya. Manik delima langsung terbelalak ketika menyadari angin yang terbelah. Sempat ia mengelak, tetapi nahas pisau sukses melukai bagian lengan atas.

Tak punya waktu untuk meringis sekarang. Pun, Kirika tidak peduli berapa banyak darah yang keluar dari lengannya. Namun, panik mulai merasuk, juga adrenalin terpacu membuatnya semakin waspada dengan sekitar.

Kala Kirika dihadapkan dengan dua pasang boneka kayu yang berputar, manik delima yang memandang awas langsung disambut dengan jarum-jarum yang melesat cepat. Mendapat kabar dari angin yang terusik, ia menarik tubuh ke belakang untuk menghindari serangan. Kirika merogoh saku pistol, dan menembaki satu di antara boneka tersebut. Kemudian berlari kepada yang tersisa untuk memberikan terjangan di bagian atas.

Tanpa sadar senyum Leon mengembang di kala memantau Kirika menggunakan kacamata penglihatan malam. Lalu ia angkat tinggi-tinggi pistol yang ia pegang, ia tembakkan beberapa peluru ke udara.

Sukses Kirika berbalik ke belakang. Datanglah bumerang dari dua sisi, tak mengizinkan ia untuk mengambil napas. Salah satu berhasil memukul lengan kanan, sementara yang satu berhasil memukul punggung. Kembali bumerang lain berdatangan, tetapi keduanya berhasil dielakkan dengan tendangan kupu-kupu. Belum selesai, serangan bumerang tambahan mengharuskan Kirika melakukan gerakan yang sama.

Derap langkah yang nyaris tak bersuara membuat Kirika teralih. Satu tendangan ia terima dengan tangkisan lengan. Beruntung, kala itu maniknya sudah menyesuaikan diri dengan kegelapan meski ia harus menerka siapa yang tengah ia hadapi saat ini.

"Refleks yang bagus."

Leon menjadikan tendangan yang mendarat itu sebagai tumpuan untuk memutar tubuhnya agar mampu memberikan tendangan selanjutnya tepat ke kepala. Kirika yang menyadari hal ini mengelak mundur.

Bersamaan dengan lengan dan kaki mereka yang semula tertahan kemudian turun, Leon berbalik memberikan pukulan. Yang didapat Leon adalah tangkupan di depan perut. Dia tersenyum miring menyadari Kirika yang tak mampu menghentak kepalan tangannya, sedikit kewalahan. Maka, ia berlanjut mendorong tinjunya.

Tak habis akal, Kirika bergerak mundur guna mengendurkan pegangan pada kepalan tangan. Dia hempaskan tangan Leon ke atas, kemudian ia keluarkan pisau untuk menyerang Leon.

Segera si mantan Letnan Jenderal melakukan hal yang sama. Mereka saling menyerang, menciptakan suara denting singkat dari pisau. Berulang. Kala mereka sempat terhenti, beradu mata pisau. Kirika bahkan memaksakan diri mengerahkan tenaganya hingga lengannya gemetar. Namun, itu tidak berlangsung lama.

Sementara Leon berfokus mengalahkan pisau Kirika, wanita itu justru memutar mata pisaunya, sukses ikut membawa pisau milik Leon dan membuatnya mencelat. Selagi menghembuskan napas singkat, Leon segera menghentak tangan Kirika yang memegangi pisau. Lengah, pisau Kirika ikut terlempar entah ke mana.

Kala Kirika melambungkan pukulan, keberadaan Leon hilang seketika dari hadapan. Kesempatan baginya untuk mengatur napas berbalut manik delima yang meliar, kembali waspada. Mulai Kirika ciptakan jejak dari satu langkah. Tapi langkah kedua tak berjalan sesuai rencana.

Tepatnya ia tersungkur. Tangan kanan Kirika ditarik ke belakang, utuh pergerakannya segera dikunci saat itu juga. Tak lama lampu penerangan kembali menyala perlahan, memperlihatkan lapangan yang berserak.

Leon mengerjap. Tampak ia sudah lebih dulu melepas kacamatanya. Dia mendapati Kirika mengerling padanya. Tidak hanya itu ... tangan kiri Kirika yang terbebas menahan pisau di samping lehernya.

Namun, tentu ia tak kehilangan akal. Lekas ia memukul lengan Kirika tanpa ampun membuat si wanita meringis selagi Leon mencengkeram pergelangan tangan seraya menindihnya guna mengunci pergerakan.

"Kau memiliki stamina dan daya ingat yang bagus mengenai tata letak senjata yang terjatuh," komentar Leon seraya memandangi rambut Kirika yang berantakan. Pun, sang empunya terengah-engah lengkap dengan kulit yang penuh keringat. "Namun, sayangnya kau memerlukan dua dekade untuk mengalahkanku, Nona Alford."

Dengkusan jengkel lantas meletus bersamaan kala ia berpaling. Dengan hati-hati, Leon akhirnya melepas pengunciannya dan bangkit lebih dulu dari Kirika.

"Fokusmu cepat buyar, pula cepat kembali jika pola penyerangannya sama." Leon melanjutkan. "Apa penyerangan dalam gelap begitu mengganggumu?"

Satu anggukan didapatkan sebagai jawaban. Kirika menjawab, "Akan lebih mengerikan jika turun hujan. Telinga saya tidak akan bisa berfokus dengan baik di kala itu tiba."

"Murid yang kritis. Tenanglah, aku juga akan mengajarimu bertahan di tempat berisik dan gelap."

Sejenak pandangan Leon jatuh kepada lengan Kirika yang tertoreh oleh luka yang cukup lebar. Leon ingat, pisau yang melesat padanya sangat cepat memungkinkan bilahnya merobek baju.

Demikian latihan usai. Leon dengan hati-hati mengobati luka goresan Kirika menggunakan P3K kecil yang selalu ia kantongi di dalam saku. Jarang masing-masing di antara mereka hendak membuka suara.

Manik biru yang memudar itu mencuri pandang kala ia mendapati murid didikannya tengah memeriksa lilitan perban yang telah menutupi luka. Selanjutnya ia memilih untuk mengoleskan minyak ke lengan kiri Kirika untuk memijat memar yang terlihat samar.

"Kulihat bumerang yang kulemparkan mengenai lengan dan punggungmu." Leon berceletuk. "Apakah masih sakit?"

Kirika menggeleng.

"Jangan sungkan. Kau pernah mengalami cedera di bagian punggung saat masih menjadi atlet, 'kan? Aku akan memanggil Komandan Kathleen untuk mengobatinya nanti."

"Jangan merisaukannya, Letnan Jenderal," sahut Kirika. "Saya akan mendatangi Komandan Kathleen jika perlu."

Kemudian hening lagi-lagi sukses berkuasa.

Kala itu, beberapa burung kembali ke dahan yang berselimut gelap. Di antara mereka sudi mengintip kegiatan yang dilakukan oleh dua manusia yang masih singgah di lapangan.

Kirika akhirnya selesai diobati. Seraya bangkit, ia menyempatkan diri memutar bahu.

"Anda tak pernah membimbing pelatihan setengah-setengah. Meski demikian, Anda selalu bertanggung jawab atas luka para prajurit selama pelatihan," ujar Kirika. Setengah tolehan ia patri kepada Leon yang masih duduk di tempat. "Agaknya Anda kesulitan melepaskan sosok sebagai seorang ayah. Benar begitu, Letnan Jenderal?"

Sekilas Leon mengerjap. Senyum tipis mengembang, lebih samar dari yang sudah-sudah. Lantas mengedik bahu, tak ingin menyangkal.

"Tampaknya aku terlalu sering memandangmu seperti Leona," cetusnya kemudian. "Namun, memang ada hal yang membuatku harus berbuat demikian."

Tidak perlu menanyakan ke mana lawan bicara beranjak. Si wanita bermanik delima itu hanya menghentikan langkah persis di dekat pisau. Tanpa berbasa-basi ia memungutnya dan memandangi darah yang melekat di sana. Pun mereka sukses merekatkan pasir dari lapangan.

Kirika membersihkan bilah pisau dengan sarung tangannya, lantas memandangi bayangannya yang terlihat kabur dari sana.

"Saya akui, Anda memang sedikit mirip dengan Ayah." Kirika berujar dari sana. "Beruntung saya benar-benar menemukan seorang komandan yang serupa dengan Ayah, ya."

Tiada seorang pun yang sadar bahwa Leon menaikkan alis sesingkatnya kala mendengar ujaran Kirika.

Tak lama hening disambut oleh pekikan seekor burung. Leon menengadah, mendapati burung berbulu hitam yang melintasi langit gelap. Utuh si burung meninggalkan langit, Leon menurunkan pandangan kembali kepada Kirika yang tengah menyarungkan pisaunya.

Udara ia hirup, membuat dadanya sedikit demi sedikit membusung. Puas membiarkan udara bermain di paru-parunya, lantas Leon memberanikan diri membuka suara.

"Kau merindukannya?"

Sejenak wanita yang berdiri cukup jauh darinya membeku di tempat. Dapat ia lihat dengan jelas di sana, Kirika tengah menundukkan kepala meski tak begitu dalam.

Napas berat tak bersuara dihembuskan. Sementara senyum tipis terpatri di antara sendu yang bersemayam di dalam dada.

"Tentu saja."

Akhirnya Kirika meneruskan dengan suara rendah, "Selalu."

Bergegas ia beranjak dari tempat. Mulailah Kirika memungut senjata dan papan yang tersisa. Tak ingin canggung berkuasa, Leon segera beralih untuk membantu.

Namun, perbuatannya seolah tiada guna. Lantas kembali terbesit sebuah pertanyaan di dalam kepalanya.

"Jika kita mampu mengembalikan waktu, apa yang akan kau lakukan, Nona Alford?"

Dalam hati Leon memahami, agaknya pembicaraan ini hanya membuat suasana semakin canggung. Sama sekali belum ia terima sambutan atas pertanyaan yang ia lontarkan. Sebisanya, ia kembali menyibukkan diri membersihkan lapangan alih-alih mampu menarik pertanyaannya.

Sementara Kirika berjongkok sembari menyapu pasir yang menutupi papan dengan tangan. Papan itu retak, agaknya ia kurang beruntung sebab sol sepatu bot yang Kirika kenakan terlalu tebal dan berat.

Sesungguhnya, ia termenung cukup lama sebelum berakhir mengangkat papan dan menggiringnya bersama susunan yang telah tertata. Si manik delima beralih tatapan dan beranjak. Lantas Kirika berminat untuk menjawab pertanyaan yang nyaris diabaikan.

"Barangkali ... kita tidak akan kembali berjumpa di sini," katanya. "Mungkin saja pertemuannya lebih menyenangkan, seperti ditemani dengan teh?"

Meski senyum terpatri, pula terdapat kenyitan dalam di kening Leon. Kesekian kali ia mendengkus dalam diam seusai mendengarkan lanjutan patah kata dari Kirika.

"Kemudian kita membicarakan kehidupan normal yang membosankan. Tapi, masing-masing dari kita menikmati momen itu. Barangkali akan mengenangnya sebagai sesuatu yang indah. Bagaimana menurut Anda?"

Manik elang Leon berkedip, samar-samar berubah sendu bersamaan dengan senyum yang memudar.

Diam-diam batin Leon membenarkan.

*FN-46 salah satu tipe pistol, senjata api laras pendek.

~*~*~*~*~

Saya harap kalian menikmati chapter ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

174K 14K 10
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
42.5K 4.5K 38
[Featured story WIA Indonesia Periode #4] [Reading List WIA Indonesia Periode #4] Dunia terbagi menjadi dua kubu: Perserikatan Negara yang dipimpin...
Enemies and Preys Od siGit

Mystery / Thriller

14.1K 4.7K 54
Pembunuhan dan pembakaran sadis terhadap tiga wanita secara acak terjadi di sepenjuru kota. Iptu Nikodim Patibrata yang bermasalah sekaligus berpenga...
4.8K 1.5K 23
It's a cliche story: si cewek bertemu si cowok di sebuah pesta. Si cewek mempermalukan si cowok yang ternyata merupakan berandalan terkenal di sekola...