Despacito [Terbit 28 Oktober...

Par IndahHanaco

1.6M 170K 9.1K

Ranking : #1 Chicklit (4-6 Desember 2019) #2 Chicklit (29-30 November, 1-4 Desember 2019, 29-31 Maret 2020... Plus

Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga [A]
Dua Puluh Tiga [B]
Dua Puluh Empat [A]
Dua Puluh Empat [B]
Dua Puluh Lima [A]
Dua Puluh Lima [B]
Dua Puluh Enam [A]
Dua Puluh Enam [B]
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan [A]
Dua Puluh Delapan [B]
Dua Puluh Sembilan [A]
Dua Puluh Sembilan [B]
Tiga Puluh
Special Order Despacito

Satu

122K 5.2K 115
Par IndahHanaco

Febe Emmalita bangun pagi seperti biasa. Dia sudah meninggalkan ranjang sekitar pukul lima. Tempat pertama yang ditujunya adalah kamar ibunya, Rosita. Perempuan itu membuka pintu dengan hati-hati, mengintip sebentar untuk mengecek kondisi Rosita. Setelah yakin ibunya masih terlelap, Febe kembali menutup pintu.

Rutinitas itu sudah dilakukannya selama enam tahun terakhir. Tepatnya sejak kesehatan Rosita terus menurun. Perempuan berusia 59 tahun itu mengidap banyak penyakit. Mulai dari kolesterol, darah tinggi, serta mag kronis. Seingat Febe, Rosita mulai sakit-sakitan sejak suaminya meninggal. Kematian ayah Febe itu membawa serta sebagian kebugaran istrinya.

Febe yakin, penyebabnya adalah cinta yang terlalu besar. Menemukan seseorang yang dicintai dengan total, bisa dibilang lumayan langka. Febe menyimpulkan itu berdasarkan pengalaman pribadinya. Usianya sudah melewati angka 28, tapi Febe belum menemukan belahan jiwanya. Tidak ada kekasih yang dicintainya hingga membuat dunia jungkir balik.

Febe menuju dapur untuk membuat segelas teh hangat tanpa gula untuk dirinya sendiri. Di sana sudah ada Dila, asisten rumah tangga yang bekerja untuk keluarga mereka. Dila sedang menyiapkan sarapan.

"Mau masak apa, Mbak?" Febe melirik ke arah talenan yang dipenuhi irisan daun bawang, cabai, dan bakso. Sementara di cobek ada bumbu yang sudah dihaluskan.

"Mi tek-tek. Cuma belum mau dimasak sekarang, nunggu Ibu bangun. Biar nggak keburu dingin." Dila mencuci tangan di wastafel. "Irina belum bangun ya, Fe? Tumben."

"Belum ngeliat, Mbak. Tadinya kukira udah di sini."

Dila meringis. "Dua hal yang bisa dilakuin Irina lebih baik dari kamu adalah bangun pagi dan masak. Seingatku, jarang banget dia bangun belakangan dibanding kamu."

Febe mengambil sebuah gelas dan sendok. "Bukan cuma jarang. Langka malahan." Gadis itu mulai menyeduh tehnya. "Rumah kita bakalan sepi, nih. Nggak nyampe dua minggu lagi Irina mau nikah dan langsung pindah. Nantinya cuma tinggal kita bertiga doang di sini."

"Asal Irina jangan gampang ngambek aja kayak biasa. Kalau ribut dikit langsung minggat ke sini, kan repot." Dila merendahkan suaranya sambil melirik ke arah pintu. Untungnya tidak ada orang lain yang bergabung dengan mereka. Entah Irina atau Rosita.

"Iya sih, kebiasaan Irina yang suka kabur-kaburan itu, nggak banget."

"Jadi, kenapa nggak buruan nyari pacar, Fe? Syukur-syukur bisa cepet nikah." Dila mengulum senyum. "Trus kamu tetap tinggal di sini, sambil jagain Ibu."

Febe tertawa pelan. "Pacar nggak bisa sengaja dicari, Mbak. Rumusnya beda. Kalau keluar rumah dengan niat nyari pasangan, pasti gagal."

"Tapi tetap harus usaha, Fe. Kalau cuma diam di rumah, kapan ketemu calon potensial?"

Febe mencubit lengan Dila. "Nyindir aku, nih?"

"Nggak nyindir, cuma ngomong apa adanya," balas Dila kalem. "Eh, tapi kamu bukan karena trauma atau takut nikah, kan?"

"Hah? Ngapain trauma atau takut nikah? Aku nggak selemah itu." Febe hendak menggoda Dila tapi membatalkan niatnya. Dia diingatkan status Dila yang sudah menjanda sejak empat tahun silam karena sang suami meninggal dunia. Sejak itu, Dila tampaknya belum tertarik untuk menikah lagi.

"Siapa tau, Fe. Kamu diam-diam pernah ngerasain dikecewain sampai ogah jatuh cinta lagi." Dila meringis sambil menatap Febe. "Kan banyak cerita kayak gitu."

"Aku nggak kenal yang namanya trauma." Febe membuka kulkas di sudut dapur, agak membungkuk untuk melihat isinya. "Hari ini mau masak apa, Mbak? Untuk makan siang."

"Kemarin sih Ibu bilangnya pengin makan ayam betutu. Trus sama tumis kailan."

Febe pun mengeluarkan ayam dan kailan dari dalam kulkas. "Kayaknya besok kudu belanja ke pasar, nih. Udah hampir kosong kulkas kita."

"Iya, lupa dari kemarin mau ngomong. Aku udah catetin apa aja yang perlu dibeli. Nanti tinggal ditambahin kalau ada yang kurang."

Seperti biasa, Febe menghabiskan waktu di dapur untuk membantu Dila yang mulai bekerja pada keluarganya sejak menjanda. Keterampilan memasak Febe cukup minim, jadi dia lebih suka membiarkan Dila atau Irina yang memegang kendali. Namun, Irina jarang memanfaatkan keahliannya. Di hari biasa, perempuan itu disibukkan dengan pekerjaan terbarunya sebagai resepsionis hotel. Sementara ketika libur, Irina menghabiskan waktu dengan calon suaminya, demi mempersiapkan pernikahan mereka yang kian dekat.

"Irina kok belum keluar kamar ya, Mbak?" Febe melirik jam dinding yang menempel tepat di atas pintu dapur. "Udah hampir jam enam. Biasanya jam segini dia udah rapi."

Dila yang sedang meniriskan mi telur yang baru direbus, menjawab, "Coba deh cek ke kamarnya, Fe."

"Nunggu bentar lagi deh, Mbak. Kalau nggak turun juga, baru kucek ke kamarnya."

Febe tidak keberatan naik ke lantai dua untuk melihat adiknya. Namun, belakangan Irina menjadi lebih sensitif dibanding biasa. Hal-hal kecil bisa membuat perempuan itu kesal. Dugaan Febe, adiknya sedang mengalami sindrom bridezilla.

Yah, memang kadang Irina sulit dihadapi. Makanya, Febe menaruh hormat pada calon iparnya, Kennan. Lelaki itu cukup sabar dan tampaknya benar-benar mencintai Irina. Hingga bersedia maju ke pelaminan. Bukan cuma sekali dua Irina memuji-muji kekasihnya di depan semua orang.

Sayang, pria itu tak pernah bersikap ramah di depan Febe. Kennan cenderung dingin dan menunjukkan dengan jelas bahwa dia tak berminat mengobrol dengan Febe. Kalaupun pria itu menyapanya untuk alasan sopan santun, Kennan tak pernah menatap Febe. Entah kenapa.

Padahal, kali pertama mereka saling kenal, Kennan adalah pria yang hangat dan ramah. Kala itu, Febe dan Irina menghadiri resepsi salah satu tetangga mereka. Di acara itulah dia dan adiknya berkenalan dengan Kennan yang ternyata teman baik mempelai pria.

Suara bel membuat Febe dan Dila saling berpandangan dengan kaget. Siapa yang bertamu sepagi ini? Di luar, suasana masih agak gelap. Tak ingin membuat ibunya terbangun, Febe pun meninggalkan dapur sambil berlari kecil.

Dari semua orang yang sangat mungkin mendatangi rumahnya sepagi ini, bukan nama Kennan yang ada di kepala Febe. Matanya menyipit. Apalagi saat menyadari jika pria itu tak serapi biasa. Kennan hanya mengenakan celana training dengan kaus polos, keduanya berwarna abu-abu. Rambutnya terlihata acak-acakan. Yang paling mencolok, tentu saja ekspresi wajahnya yang kusut.

"Bisa tolong panggilin Irina, Fe?" pintanya tanpa basa-basi. Kali ini, pria itu menatap Febe dengan mata cokelatnya.

Febe yang baru saja hendak bersuara, mengatupkan bibirnya. Perempuan itu bergerak untuk melebarkan daun pintu. Sehingga Kennan yang bertubuh tinggi besar itu bisa masuk.

"Pintu pagarnya memang sengaja nggak dikunci, ya?" Kennan kembali bersuara, membuat Febe yang baru menjauh pun terpaksa membalikkan tubuh.

"Dikunci, kok. Tapi mungkin tadi udah dibuka sama Mbak Dila." Setelah jawabannya tuntas, Febe kembali melangkah menuju lantai dua. Perempuan itu menyimpan keheranannya sebaik mungkin. Akan tetapi, dadanya mendadak berdegup kencang. Kennan mustahil bertamu sepagi ini dengan penampilan ala kadarnya jika bukan karena sesuatu yang mahapenting.

Begitu tiba di depan pintu kamar Irina, Febe pun mulai mengetuk. Tidak ada respons sama sekali. Penasaran bercampur cemas, Febe pun nekat membuka pintu. Kejutannya, Irina tidak ada di kamarnya. Ranjang perempuan itu bahkan sudah rapi. Seolah tidak ditiduri sama sekali. Meja riasnya pun kosong melompong. Tidak ada lagi berbotol-botol kosmetik yang biasanya tersusun di sana.

Jantung Febe mendadak terasa menggelembung. Tanpa membuang waktu, dia berjalan ke arah lemari pakaian. Perempuan itu memejamkan mata saat membuka pintunya. Lutut Febe mendadak gemetar setelah melihat pemandangan di depannya. Tampaknya, Irina memutuskan untuk berulah lagi, hanya berjarak kurang dua minggu dari resepsi pernikahannya sendiri.

Saat Febe kembali ke ruang tamu, Kennan langsung berdiri begitu melihatnya. "Maaf Ken, Irina nggak ada," beri tahu Febe buru-buru. Wajah Kennan memucat dengan kecepatan cahaya. Kekalutan terpentang jelas di wajah pria itu.

"Nggak ada? Apa Irina udah berangkat ke kantor?"

Febe tidak tahu cara terbaik untuk menyampaikan berita buruk itu tanpa membuat Kennan terkena serangan jantung. Diam-diam Febe memaki Irina karena berulah di saat seperti ini. Seperti biasa, Febe menjadi orang yang paling besar terkena dampak dari perbuatan ceroboh sang adik. Kali ini pun Febe yakin situasinya takkan jauh berbeda.

"Kamu mau minum apa, Ken?" Febe mencoba mengulur waktu.

"Aku cuma mau ketemu Irina," tegas Kennan. Lelaki itu masih berdiri. "Kenapa dia nggak mau ketemu aku? Kamu nggak perlu nutupin apa pun."

Febe memberi isyarat agar Kennan kembali duduk. Dia mengambil tempat di seberang tamu tak terduga itu. "Aku nggak nutupin apa pun. Irina memang nggak ada di rumah."

"Ke mana dia?" Pria itu memajukan tubuhnya, menatap Febe dengan tajam.

"Aku nggak tau," aku Febe jujur. Telapak tangannya mulai dibanjiri keringat. "Kukira dia ada di kamarnya. Tapi pas barusan kuliat, Irina nggak ada."

"Nggak ada gimana? Masa iya Irina tiba-tiba ngilang kayak hantu?" respons Kennan dengan suara tajam.

Febe menyabarkan diri. Tidak akan ada gunanya jika dia membalas dengan sama ketusnya. "Tolong, volumenya rada dikecilin dikit. Ibuku masih tidur. Aku nggak mau Ibu terbangun gara-gara suara kamu."

Kennan tampak kaget mendengar ucapannya. Namun lelaki itu tidak mengajukan keberatan. "Maaf," ucapnya pelan. "Sekarang, bisa kamu jelasin Irina ke mana?" desak Kennan.

Febe berjuang agar tidak mendengkus. "Aku serius nggak tau Irina ke mana. Tadi malam sih kami sempet ngobrol sebentar. Dia pulang agak malam, katanya lagi banyak kerjaan. Dan pagi ini aku belum ngeliat dia sama sekali. Barusan, pas aku ke kamarnya, Irina nggak ada. Kayaknya udah berangkat ke kantor." Febe memilih tidak memberitahukan apa yang dilihatnya di kamar sang adik. "Kenapa kamu pagi-pagi udah ke sini? Apa ada masalah sama gedung atau katering?"

Kennan menyipitkan mata. "Kamu beneran nggak tau ke mana Irina pergi? Itu pun kalau memang dia nggak ada di rumah."

Kalimat penuh kecurigaan itu membuat dada Febe panas seketika. Namun dia tak mau emosinya lepas kendali. "Aku bukan pengasuhnya Irina. Umur adikku udah 26 tahun, siapa tau kamu lupa. Irina bebas mau ngapain aja tanpa harus laporan dulu sama aku." Febe memandang Kennan dengan dagu terangkat. "Terserah aja kalau kamu nggak percaya. Yang jelas, aku beneran nggak tau di mana Irina sekarang ini."

Wajah Kennan pucat manai. "Serius?"

"Iya."

Bahu Kennan merosot. Kekalutannya kian terlihat saat lelaki itu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Febe sungguh tidak tega melihat kondisi Kennan. Jika Irina ada di sini, Febe pasti akan memarahi adiknya. Tampaknya, Irina tak juga mampu bersikap dewasa meski bukan lagi remaja labil. Belum genap setengah jam silam Febe dan Dila menyinggung kebiasaan buruk Irina yang kadang pergi dari rumah tanpa permisi. Kini, perempuan itu mengulanginya lagi.

"Sebenarnya ada masalah apa, Ken?" tanya Febe dengan suara pelan. Dia tak sanggup berdiam diri lebih lama.

"Aku sendiri nggak tau." Kennan mengangkat wajah. "Tadi pagi aku baru baca WhatsApp dari Irina, makanya buru-buru ke sini. Dia ngebatalin rencana pernikahan kami. Katanya, dia jatuh cinta sama orang lain."

Alasan yang sangat khas Irina itu membuat tengkuk Febe seolah baru saja disetrum dengan aliran listrik tegangan tinggi. Adiknya tega membatalkan pernikahan hanya dengan mengirim pesan via WhatsApp.

"Kamu udah nyoba ngomong sama Irina?"

"Aku udah nelepon dia ratusan kali. Tapi hapenya nggak aktif." Kennan mengusap wajahnya dengan tangan kanan. "Aku nggak tau ada masalah apa. Sampai kemarin pun kayaknya semua baik-baik aja. Irina nggak ada komplain sama sekali. Tau-tau, tadi ngirim WhatsApp yang isinya ngebatalin pernikahan. Apa menurutmu itu masuk akal?"

"Irina ngapain, Ken?"

Suara dari arah punggung Febe itu membuat jantungnya seolah berhenti berdetak. Irina baru saja menambah penderitaan semua orang saat Kennan berteriak kaget melihat Rosita kehilangan kesadaran sedetik setelahnya. Febe melompat dari sofa tapi tak cukup dekat untuk menjangkau tubuh ibunya. Rosita ambruk.

Lagu : Despacito (Luis Fonsi featuring Justin Beiber)

Tiap lagu memiliki melodi
Tiap melodi menyimpan jutaan makna
Dan selalu ada cerita di balik alunan nada yang coba dibahasakan dalam sebuah lagu.

Dari mulai lantunan musik country yang menyenangkan. Menyentak dan membuat candu seperti latin pop. Ataupun lagu-lagu lama yang menyimpan banyak nostalgia.

Dalam series kali ini, kami para pecinta oppa dan babang ganteng bakal coba membahasakan sebuah lirik menjadi cerita panjang kepada kalian. Menyajikan konser kecil dari potongan cerita, yang mungkin akan membuat imajinasi kalian bermain-main dalam dentingan lagu dari kami.

Daftar lagu dari konser kami :

1. inag2711 : If I die young dari lagu If I Die young - The Band Perry (setiap Senin & Kamis)
2. Indah Hanaco : Despacito dari lagu Despacito - Luis Fonsi featuring Justin Bieber (setiap Selasa & Jumat)
3. pramyths : The Girl from Yesterday dari lagu The Girl from Yesterday - The Eagles (setiap Rabu & Sabtu)
4. mooseboo : Midnight Tea dari lagu Juwita Malam - Ismail Marzuki (setiap Kamis & Minggu)

Sudah siap mendengarkan lagu-lagu dari kami?

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

926K 18.2K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
138K 8.6K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
469K 39.8K 60
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
129K 16.3K 15
SEKUEL OF DIAMANTA Selama tiga tahun dipisahkan, akhirnya surat-surat itu berdatangan. Awalnya hanya memuat deretan informasi untuk dipelajari, hing...